Anda di halaman 1dari 50

TINJAUAN TEORI HUKUM TENTANG PROSES PERADILAN

PIDANA TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG


MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM

MAKALAH

Disusun Untuk Melengkapi Salah Satu Persyaratan Kelulusan Mata

Kuliah Hukum Pidana Militer

Oleh :

MAYA TIARA SARI


010117015
Kelas Ekstensi Hukum
Dosen :

1. Hj. Lilik Prihatini., S.H.,M.H.


i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala,

karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“TINJAUAN TEORI HUKUM TENTANG PROSES PERADILAN PIDANA

TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

UMUM”. Makalah ini saya susun guna memenuhi salah satu persyaratan

Kelulusan Mata Kuliah Hukum Pidana Militer.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu Saya

menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya

mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca makalah ini agar penulis

bisa menyadari kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi pembaca dan

bermanfaat umtuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Amin.

Bogor, 01 Januari 2020

MAYA TIARA SARI

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang............................................................................................1

2. Identifikasi Masalah..................................................................................12

3. Rumusan Pemikiran.................................................................................13

4. Tujuan Penulisan Makalah.......................................................................13

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Keadilan Secara Umum...................................................................14
B. Teori Keadilan Prosedural Dan Keadilan Substansial..............................17

BAB III

PEMBAHASAN

A. Sistem Peradilan Militer Di Indonesia......................................................21

B. Perlindungan Kepentingan Umum Dalam Penyelenggaraan Proses

Peradilan Terhadap Tindak Pidana Umum Yang Dilakukan Oleh Personil

Militer........................................................................................................29

BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan...............................................................................................35

ii
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakekatnya hukum selalu ada dan melekat pada setiap

kehidupan masyarakat di manapun juga di muka bumi ini.Bagaimanapun

primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti

mempunyai (seperangkat aturan atau pedoman) hukum.Oleh karena itu,

eksistensi hukum bersifat universal. Hukum tidak serta merta dapat

dipisahkan dengan masyarakat, tetapi justru mempunyai hubungan

timbal balik satu sama lain.1

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perihal utama

yang harus ditegakkan adalah terciptanya kehidupan hukum dalam

masyarakat. Pandangan ini diyakini tidak saja disebabkan negara ini

menganut paham negara hukum (sebagaimana yang telah dijelaskan

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945),

melainkan lebih melihat secara kritis kecendrungan yang akan terjadi

dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sedang berkembang ke arah

masyarakat modern.2

Hukum mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat,

1
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hal.27.
2
Khudzaifah Dimyanti, Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2004, hal.01.

1
yakni: pertama, sebagai sarana pengendalian sosial (social

control), kedua, sebagai sarana untuk memperlancar proses

interaksi sosial, dan ketiga, sebagai sarana untuk menciptakan

suatu kondisi atau keadaan tertentu. 3 Lebih lanjut Thomas

Aquinas dalam bukunya: “On Law, Morality, and Politics” (2002),

menegaskan bahwa hukum adalah peraturan dan ukuran

tindakan yang mendorong seseorang untuk melakukan atau

mencegah tindakan. Kata “Lex”(latin) yang berarti “hukum”,

berasal dari kata kerja “ligare”(latin) yang berarti “mengikat”.

Hukum sebagai peraturan, demikian Aquinas

mengatakan, merupakan bagian dari rasio.Karena hanya rasio

yang bisa menjadi pangkal tolak (ukuran) atau pusat perhatian.

Akan tetapi, ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan ketika kita

berbicara tentang hukum: (1) hukum sebagai konsep (legal

concept) yang sumbernya dari rasio, dan (2) hukum dari sisi

penerapannya (legal enforcement), yang berlaku bagi apa saja.

Dalam tataran konsep, hukum adalah ciptaan rasio dan masuk

ke dalam wilayah rasio.Sedangkan dari sisi penerapannya perlu

diperhatikan pula bahwa manusia seharusnya tidak bertindak

semata-mata karena paksaan hukum.Sikap hukum yang tepat

ialah mematuhi hukum karena hukum dibuat untuk membela

tujuan tertentu.4

3
Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.06.
4
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius (Anggota
IKAPI), Yogyakarta, 2009, hal.51.

2
Dalam upaya menegakkan hukum di Indonesia

dibutuhkan kerjasama yang solid dan saling melengkapi satu

dengan lainnya, terutama oleh negara dan aparat penegak

hukumnya, agar mampu mewujudkan tujuan hukum, yaitu:

keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun fakta yang

berbicara di lapangan ternyata tidaklah semudah membalikkan

kedua telapak tangan.Polemik hukum kerapkali muncul dalam

upaya menegakkan tujuan-tujuan hukum tersebut.Selalu

diketemukan inkoherensi antara ketiga tujuan hokum tersebut.

Sebagai contoh, apabila kepastian hukum yang ingin ditegakkan,

disisi lain justru bertentangan dengan keadilan, dan apabila yang

dituju adalah kepastian hukum, disisi lain justru bertentangan

dengan asas kemanfaatan. Menurut Gustav Radburch (seorang

filsuf hukum dari Jerman, yang mengajarkan konsep tiga ide

unsur dasar hukum atau tujuan hukum), penerapan tujuan

hukum dalam penegakkannya harus menggunakan asas prioritas

dengan landasan unsur keadilan (justice) yang menjadi prioritas

utama, baru kemudian unsur kemanfaatan (exppediency) dan

kepastian hukum (legal certainty).

Suatu organisasi yang berdasarkan aturan dan

menyertakan embel-embel ‘militer’ selama ini dipandang sebagai

organisasi yang tertutup oleh sebagian besar masyarakat.

Pandangan ini, tidak menutup kemungkinan ditujukan kepada

peradilan militer yang selama ini dipandang oleh masyarakat

3
sebagai peradilan yang tertutup, sehingga memunculkan

prasangka negatif dari masyarakat umum bahwa segala aktivitas

pelaksanaan hukum terhadap oknum prajurit yang bersalah tidak

dilakukan dengan seadil-adilnya dan para praktisi hukum menilai

putusan pengadilan militer dalam menjatuhkan hukuman bagi

prajurit yang bersalah melakukan tindak pidana tergolong ringan.

Dipandang dari segi hukum, anggota militer

mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota masyarakat

biasa, artinya sebagai warga negara baginya pun berlaku semua

aturan hukum yang berlaku, baik hukum pidana, hukum perdata,

acara pidana dan acara perdata. Bedanya masih diperlukan

peraturan yang lebih bersifat khusus yang lebih keras dan lebih

berat bagi anggota militer, hal itu dikarenakan ada beberapa

perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh tentara saja bersifat

asli militer dan tidak berlaku bagi umum, misalnya: menolak

perintah dinas, melawan perintah atasan (insubordinasi), dan

desersi.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat

telah menyatakan: “segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya”. Melalui isi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa

hukum tidak akan membeda-bedakan masyarakat baik dari suku,

agama, ras, dan antar golongan. Namun pasal tersebut ternyata

4
tidak serta-merta membuat segenap Warga Negara Indonesia

yang melakukan suatu tindak pidana diadili dalam satu peradilan

yang sama. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 18 menyatakan “Kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini pun diperkuat oleh

konstitusi kita Pasal 24 ayat (2) UUDN RI Tahun 1945 perubahan

keempat, bahwasanya Makamah Agung selain membawahi

Peradilan Umum juga peradilan Militer, sehingga tidak diragukan

lagi bahwa peradilan militer adalah salah satu komponen dan

kekuatan dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana

umum menurut Pasal 9 UU No. 31 Tahun 2002 merupakan

kompetensi Pengadilan Militer.Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menyatakan

“Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman

di lingkungan angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum

dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan

penyelenggaraan pertahanan keamanan negara”.Hal ini bisa

dipahami bahwa Peradilan Militer merupakan suatu lembaga

peradilan khusus yang diciptakan guna untuk mencapai rasa

5
keadilan atas suatu tindakan yang dilakukan oleh personil militer

dalam menjalankan tugasnya sebagai penanggung jawab

keamanan negara.

Pengadilan dalam Peradilan Militer terdiri dari

pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, peradilan militer

utama, dan pengadilan militer pertempuran.Dimana susunan

organisasi dan prosedur pengadilan-pengadilan tersebut

didasarkan pada peraturan pemerintah.Puncak kekuasaan

kehakiman dan pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer adalah Mahkamah Agung RI. Kekuasaan

Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan

Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan

sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya

ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan

gugatan ganti rugi. Sedangkan Pengadilan Militer Utama,

sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir

sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus

perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur

berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer selain mengatur susunan organisasi peradilan,

juga mengatur hukum acaranya Hukum acara yang diatur dalam

Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai

6
kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang

Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan

serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan

perkara.

Ketentuan mengenai penundukan prajurit TNI yang

melakukan pelanggaran hukum pidana umum pada kekuasaan

dilingkungan peradilan umum diatur dalam Pasal 65 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Nasional Indonesia. Sementara itu, pada Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Peradilan

Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah

prajurit atau seseorang yang berdasarkan undang-undang

dipersamakan dengan prajurit. Berdasarkan ketentuan Pasal 9

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 di atas dapat

disimpulkan bahwa kewenangan mengadili tindak pidana yang

dilakukan oleh prajurit militer berada pada Peradilan Militer, baik

tindak pidana umum maupun tindak pidana militer. Tindak pidana

militer merupakan tindak pidana yang hanya diatur dan

dirumuskan dalam KUHPM.

Setiap anggota militer harus tunduk dan taat

terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer

yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM),

Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM),

7
Peraturan Disiplin Militer (PDM) dan peraturan-peraturan lainnya.

Peraturan Hukum Militer inilah yang diterapkan kepada semua

Prajurit TNI baik Tamtama, Bintara, maupun Perwira yang

melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan,

masyarakat umum dan negara yang tidak terlepas dari peraturan

lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum.Dalam

mengadili pelaku tindak pidana sebelum di serahkan ke

Pengadilan, Oditur militer diberi wewenang untuk bertindak

sebagai penuntut umum yang mempunyai tugas dan wewenang

melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Oditur yang

ditunjuk dalam mengadili anggota TNI setelah menerima berkas

perkara dari penyidik (Polisi Militer) terlebih dahulu melakukan

pemeriksaan terhadap kelengkapan isi berkas perkara tersebut

setelah berkas perkara dinyatakan lengkap maka Oditur militer

akan mengolah berkas perkara dengan membuat Bapat (Berita

Acara Pendapat) yang berisi keterangan para saksi, keterangan

tersangka dan barang bukti serta kesimpulan dari Oditur tentang

tindak pidana yang terjadi dan pasal yang disangkakan kemudian

Kepala Oditurat Militer membuat SPH (Saran Pendapat Hukum)

yang ditujukan kepada Papera (Perwira penyerah Perkara) yang

isinya menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana. Selanjutnya Bapat dan SPH dikirimkan ke Papera

dengan dilampiri Skeppera (Surat Keputusan Penyerahan

Perkara) untuk dimintakan tandatangan ke Papera. Setelah

8
menerima Skeppera Oditur Militer membuat Surat dakwaan,

kemudian melimpahkan perkara ke Pengadilan Militer dan

berdasarkan rencana sidang dari Pengadilan Militer, Oditur

membuat surat panggilan kepada terdakwa dan para saksi yang

berisi tentang hari, tanggal, waktu, perkara disidangkan, dan

setelah perkara diputus terdakwa dinyatakan bersalah serta

perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap oditur segera

melaksanakan eksekusi kepada terdakwa untuk melaksanakan

pidana.

Banyak kalangan pemerhati HAM menilai bahwa

militer yang melakukan tindak pidana umum dan diadili di

Pengadilan Militer divonis terlalu ringan dari ketentuan yang ada,

mengingat Investigasi terhadap dugaan tindak pidana yang

melibatkan militer dijalankan oleh polisi militer, dituntut oleh

oditur militer, dan diputuskan oleh hakim militer. Hakim-hakim

militer ini adalah anggota dinas aktif. Hakim militer dapat dipecat

oleh Dewan Kehormatan Hakim yang anggotanya ditunjuk oleh

komandan militer.

Hal tersebut menyebabkan masyarakat

menuntutpemerintah untuk mempercepat revisi UU No. 31 Tahun

2002.Hal ini dilatarbelakangi oleh fakta yang terjadi bahwa

putusan peradilan militer terhadap anggotanya yang melakukan

tindak pidana umum dipidana tidak memenuhi keadilan

masyarakat.Seperti kasus di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

9
yang telah diputus oleh Pengadilan Militer tingkat provinsi Aceh,

terdapat Tiga serdadu yang dituntut pada Juli 2003 karena

memperkosa empat perempuan di AcehUtara, seharusnya

maksimum dihukum 12 tahun penjara, namun hakim Pengadilan

Milter dalam putusannya para terdakwa divonis antara 2,5 tahun

hingga 3,5 tahun serta dipecat dari militer.

Sebagai contoh, berikut sebagian kasus-kasus

tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer :

1. Tiga serdadu dituntut pada Juli 2003 karena memperkosa empat

perempuan di AcehUtara, seharusnya maksimum dihukum 12 tahun

penjara, mereka divonis antara 2,5 tahun hingga 3,5 tahun serta

dipecat dari militer.

2. Tiga tentara didakwa pada Juli 2005 karena menyiksa seorang

warga sipil di Bogor, Jawa Barat, yang dicurigai mencuri sepasang

sandal. Menurut laporan forensik, warga sipil itu tewas setelah sehari

akibat luka penyiksaan. Pengadilan militer mendakwa ketiga tentara

terlibat penyerangan dan vonis antara 1,5 dan 18 bulan.

3. Pada Juni 2008, pengadilan militer menjatuhkan hukuman kepada 12

marinir yang menembak sekelompok warga sipil di Pasuruan terkait

sengketa lahan, di mana mereka disewa untuk menyediakan jasa

pengamanan. Empat warga, termasuk seorang perempuan,

meninggal kena peluru pada 30 Mei 2007. Kendati ancaman

tindakan pidana itu maksimal 15 tahun penjara, para prajurit itu

divonis antara 18 hingga 36 bulan penjara, dan dipecat dari militer.

10
4. Sebuah rekaman video menggambarkan pelanggaran yang

dilakukan pada 17 Maret 2010, oleh 12 tentara dari Batalyon 753,

pimpinan Letnan Cosmos di kampung Kolome, Papua, juga di

Puncak Jaya. Video itu merekam kesatuan tentara menginterogasi

penduduk kampung, memukul dengan helm dan menendangi

mereka. Letkol CHK Adil Karo Karo, hakim militer, mengecam si

tentara yang merekam kejadian itu, berkata “Bodoh. Tahu ini sensitif,

kenapa kamu merekamnya?” Pada 12 November 2010, pengadilan

militer Jayapura menghukum Comos dan tiga serdadu bawahannya

dengan “insubordinasi.” Cosmos divonis tujuh bulan penjara,

sementara tiga prajurit masing-masing lima bulan penjara.

5. Pada 30 Mei 2010, beberapa tentara Indonesia menangkap dua

petani Papua, Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire, ketika melintasi

pos militer di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua. Beberapa tentara

itu menyiksa mereka, memaksa kedua petani itu memberitahu

dugaan senjata yang disembunyikan di kampung mereka. Sebuah

video merekam serdadu-serdadu itu melakukan kekerasan seksual

terhadap Kiwo dan mengancam akan membunuh Gire. Pengadilan

militer hanya menuntut tiga tentara, yang terlibat dalam penyiksaan,

dengan dakwaan “insubordinasi” dan dihukum antara delapan dan

10 bulan penjara.

6. Pada 6 Juni 2012, lebih dari 100 tentara dari Batalyon 756

mengamuk di kota Wamena, Papua, sebagai balasan atas kejadian

di mana warga kampung mengeroyok dua tentara yang menabrak

11
seorang anak kecil. Satu tentara tewas. Rekan-rekannya lantas

menyerang Wamena, membakar 87 rumah, membunuh seorang

pegawai negeri dan menikam parah 14 pria Papua lain. Tak ada satu

pun tentara yang terlibat serangan ini dituntut.

7. Pada tanggal 23 Mei 2015 seorang anggota militer yang sakit hati

terhadap pengunjung (korban) venue café di kemang, Jakarta

selatan karena ditegur untuk pulang namun korban tersebut tidak

terima dan terjadilah perkelahian yang mengakibatkan matinya

korban karena ditusuk punggungnya oleh anggota militer dengan

pisau sangkur yang selalu dibawa oleh anggota tersebut. Korban

meninggal dunia pada saat tiba di Rumah Sakit Umum Pertamina

Pusat Jakarta Selatan, stelah perjalanannya selama tiga jam.

Terdakwa didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 338 KUHP atau

Kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP, dan oleh Hakim Pengadilan Militer

II-08 Jakarta sampai Kasasi Mahkamah Agung terdakwa di vonis

dengan pidana penjara 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan dan dipecat

dari dinas militer (Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Militer).

Dari fakta di atas sudah saatnya direvisi undang-

undang peradilan militer, atau untuk lebih cepatnya Mahkamah

Agung sebagai lembaga yang membina dan menaungi peradilan


5
militer dapat menggunakan fungsinya untuk membuat Perma
5
Pasal 27 Undang-undang No. 14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang
tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

12
tentang komposisi hakim peradilan militer dalam beracara dalam

persidangan anggota militer yang melakukan tindak pidana

umum, dengan tidak lagi seluruh hakimnya dari Prajurit Militer

namun ada satu hakim adhoc dari peradilan umum yang

diberikan tugas untuk menjadi bagian dari majelis hakim.

Dalam kasus konkrit tersebut terlihat tidak bisa

peradilan pidana militer memproses prajuritnya yang melakukan

tindak pidana umum, di dalam tubuh militer banyak asas-asas

militer yang membuat para penegak hukum didalam sistem

peradilan militer tidak dapat membuat suatu keputusan

berdasarkan due process of law.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, dalam

penelitian ini penulis bermaksud untuk menemukan jawaban atas

tema Perlindungan Kepentingan Umum Dalam Penyelenggaraan

Proses Peradilan Terhadap Tindak Pidana Umum Yang

Dilakukan Oleh Personel Militer. Dan untuk lebih spesifikasi lagi

dalam melakukan penelitian penulis memberikan judul tulisan ini

dengan judul Tinjauan Proses Peradilan Pidana Terhadap

Anggota Militer yang Melakukan Tindak Pidana Umum Sebagai

Perwujudan Keadilan Bagi Masyarakat .

Hal inilah yang sangat perlu untuk dikaji dan dikupas

kembali berdasarkan teori-teori hukum yang ada. Maka oleh

karena itu kami akan mencoba mengupas dan

13
mendeskripsikannya melalui makalah ini dengan judul Tinjauan

Proses Peradilan Pidana Terhadap Anggota Militer Yang

Melakukan Tindak Pidana Umum.

B. Identifikasi Masalah

Dari rumusan masalah diatas bisa diidentifikasi

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana umum ?

2. Apa yang dimaksud dengan proses peradilan ?

3. Bagaimana system Peradilan Militer di Indonesia ?

4. Apa yang dimaksud dengan Keadilan ?

5. Bagaimana perbedaan teori keadilan prosedural dan keadilan

substantif ?

6. Bagaimana perlindungan kepentingan umum dalam penyelenggaraan

proses peradilan terhadap tindak pidana umum yang dilakukan oleh

personil militer?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang

timbul dalam penelitian ini, maka penulis perlu membatasi

pembahasannya.Hal ini dimaksud supaya pembahasannya tidak

terlalu melebar dan sesuai sasaran. Dalam makalah ini penulis

membatasi permasalahannya pada tinjauan teori hukum tentang

14
keadilan terkait perlindungan kepentingan umum dalam proses

penyelenggaraan peradilan terhadap personil militer yang

melakukan tindak pidana umum.

Adapun rumusan masalah yang akan

dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana sistem Peradilan Militer di Indonesia ?

2. Bagaimana perlindungan kepentingan umum dalam

penyelenggaraan proses peradilan terhadap tindak pidana umum

yang dilakukan oleh personil militer?

D. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui sistem Peradilan Militer di Indonesia ?

2. Mengetahui perlindungan kepentingan umum dalam

penyelenggaraan proses peradilan terhadap tindak pidana umum

yang dilakukan oleh personil militer.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Keadilan secara Umum

15
Suatu hasil dari proses peradilan pidana akan di

terima oleh masyarakat apabila putusan tersebut dapat

memenuhi keinginan masyarakat atau setidak- tidaknya dapat

memenuhi keinginan korban atau keluarganya, namun sudah

tentu dalam memenuhi keinginan tersebut hakim harus tetap

berjalan di dalam rel hukum baik undang-undang maupun ilmu-

ilmu hukum lainnya. Namun proses peradilan pidana bukan

hanya putusan nya yang menjadi perhatian, namun subsistem-

subsistem yang terlibat didalam sistem peradilan pidana juga

yang menjadi perhatian, agar dalam menegakan hukum tidak

menggunakan kewenangannya untuk melakukan perbuatan yang

bertentangan dengan hukum. Bagi masyarakat harus ada

pengawasan khusus terhadap lembaga-lembaga yang terlibat di

dalam sistem peradilan pidana, agar proses penegakan hukum

dilakukan dengan cara tanpa melawan hukum, dan

mengesampingkan Hak Asasi Manusia.

Menurut pendapat Terry sebagaimana yang dikutip

oleh Sujamto.6 Menurut Terry pengawasan merupakan salah satu

bagian penting dari manajemen dalam organisasi apapun

bentuknya.Terry membagi fungsi-fungsi manajemen menjadi

empat bagian. Pembagian fungsi manajemen tersebut adalah :

(a) Planning (Perencanaan); (b) Organizing (pengorganisasian);

6
Angger Sigit Pramukti & Meylani Chahyaningsih, Pengawasan Hukum Terhadap Aparatur Negara.
(Yogyakarta; Pustaka Yustisia, 2016), hal. 5

16
(c) Actuating (pelaksanaan); (d) Controlling (pengawasan).

Dari pembagian tersebut sudah terlihat bahwa

pengawasan adalah kegitan yang mutlak harus ada dalam suatu

manajemen organisasi, dalam suatu organisasi, suatu kegiatan

yang akan dilaksanakan harus direncanakan dan kemudian

pengorganisasian. Pengorganisasian sendiri terwujud

pembagian- pembagian tugas dan kewenangan.Setelah kedua

kegiatan tersebut dilakukan, kegiatan selanjutnya pelaksanaan

kegiatan. Agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan

perencanaan di awal, maka harus dilakukan tindakan lain, yaitu

pengawasan.7

Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan

untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya

tentang pelaksanaan tugas dan kegiatan, apakah sesuai dengan

yang semestinya atau tidak.8 Dari batasan tersebut, tujuan

pengawasan adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan

yang sebenarnya.Suatu kenyataan yang merupakan bentuk

pelaksanaan atas tugas dan wewenang dari pemerintah oleh

pejabat atau aparaturnya.Dari pelaksanaan tersebut, masyarakat

merupakan salah satu elemen yang kemungkinan besar

merasakan dan melihat sendiri kinerja atau pelaksanaan

7
Angger Sigit Pramukti & Meylani Chahyaningsih, Pengawasan Hukum Terhadap Aparatur
Negara,
8
Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia. (Jakarta; Sinar Grafika), hal. 19

17
pemerintah.Sehingga tidaklah heran apabila masyarakat

diberikan akses untuk menjadi pengawas terhadap pelaksanaan

pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat dan atau aparatur

negara.

Pengertian pengawasan masyarakat adalah

pengawasan yang dilakukan terhadap aparatur pemerintah yang

bisa berupa kritik, saran, pertanyaan, permintaan informasi, dan

lain-lain yang datang dari masyarakat tentang pelaksanaan

tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang

ditujukan kepada orang atau unit kerja tertentu secara langsung

atau tidak langsung.9 Partisipasi masyarakat dalam kegiatan

pengawasan diperlukan karena keterbatasan kemampuan aparat

pengawasan fungsional pemerintah. Pasal 28F UUDN RI 1945

telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak

untuk mencari, memperoleh, mempunyai, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan

segala jenis saluran yang tersedia.

Didalam peradilan militer yang terkesan tidak

transparan, dibutuhkan lembaga pengawasan sebagai wujud dari

kontrol sosial.Lembaga pengawasan tersebut harus berwujud

9
Angger Sigit Pramukti & Meylani Chahyaningsih, Pengawasan Hukum Terhadap Aparatur
Negara, hal. 66

18
baik didalam hukum acaranya maupun lembaga pengawasan

yang informasinya dapat diakses dengan mudah oleh

masyarakat.

B. Teori Keadilan Prosedural dan Keadilan Substansial

Dalam kaitan dengan kehidupan bernegara,

konstitusikita telah mengatur dan menentukan tujuan

penegakkan hukum oleh hakim, yaitu keadilan.Pasal 24 ayat (1)

UUD 1945 menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadila. Pasal 28D ayat (1)

menyebutkan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di hadapan hukum. Jadi.tekanannya bukan pada

kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.

Menurut Mahfud MD10 saat konstitusi diamandemen, prinsip

kepastian hukum, upaya menegakkan kepastian hukum sering

dijadikan alat untuk mengalahkan pencari keadilan. Atas nama

kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan dengan

dalil yang ada dalam undang-undang; Padahal saat itu, banyak

undang-undang yang berwatak konservatif, elitis, dan positivistik-

instrumentalistik atau sebagai alat membenarkan kehendak

10
Anwar C, Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
(Jurnal Konstitusi Vol. III No. 1 Juni 2010), hal. 129.

19
penguasa. Karena itu,saat melakukan amandemen UUD 1945

dengan amat sadar MPR menegaskan prinsip penegakan

keadilan ke dalam konstitusi dalam proses peradilan. Para hakim

didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive

justice) di masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-

undang (proceduraljustice).

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan

atau perlakuan yang adil.Sementara adil adalah tidak berat

sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar.

Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua

prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua,

perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.

Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.

Berbicara hukum secara substantif dan prosedural

juga tidak akan lepas dari konsep hukum dan keadilan sebagai

tujuan utama hukum, misalnya John Rawls memang dikenal

dengan teori keadilan prosedural, karena keadilan dipahami

sebagai hasil persetujuan melalui prosedur tertentu. Pada tingkat

ini Rawls menempuh prosedur memilih prinsip-prinsip keadilan

berdasarkan asas kesamaan dan kebebasan.11

Keadilan prosedural Rawls terdiri dari tiga macam.

Di samping perfect procedural justice, juga dikenal dua jenis

yang lain yakni: imperfect procedural justice dan pure procedural


11
Lawrence Friedman, American Law an Introduction, Second Edition, diterjemahkan oleh Wishnu
Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, (Jakarta : PT Tata Nusa, 2001), hal. 9.

20
justice12.Perfect procedural justice menunjuk pada ketersediaan

prosedur yang sebelumnya telah dirancang dengan baik, namun

hasil akhir bisa saja berbeda dari rancangan semula. Sedangkan

pure procedural justice berangkat dari tidak adanya kriteria

independen yang mendahului suatu prosedur, dan yang

dibutuhkan adalah proses perumusan konsep keadilan yang

benar dan adil untuk menjamin hasil akhir yang benar dan adil

pula. Sedangkan keadilan secara substantif menurut Rawls

harus mengacu pada takaran kesamaan dan

kebebasan.Pertama, adalah prinsip kebebasan terbesar yang

setara (principle of greatest equal liberty). Melalui prinsip ini tiap-

tiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh sistem yang

tersusun dari kebebasan-kebebasan dan yang cocok dengan

kebebasan-kebebasan tersebut. Kedua, persamaan yang adil

atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity). Inti

the principle of fair equality of opportunity menunjuk pada mereka

yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek

kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Untuk terciptanya

kesamaan, maka dibutuhkan the difference principle, yakni

bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar

memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang

paling kurang beruntung.13

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi

12
Lawrence Friedman, American Law an Introduction, Second Edition, hal. 14.
13
Lawrence Friedman, American Law an Introduction, Second Edition, hal. 13.

21
kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum.

Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek prsedural

akan di “nomorduakan”. Secara teoritik, kedalilan substantif

dibagi ke dalam empat bentuk keadilan, yakni keadilan distributif,

keadilan retributif, keadilan komutatif, dan keadilan

korektif.Keadilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala

sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat.Berdasarkan

keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan

hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok

keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat

kesempatan sama untuk memperoleh keadilan. 14

Keadilan substantif dimaknai sebagai keadilan yang

diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan

tanpa melihat kesalahan- kesalahan prosedural yang tidak

berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti

bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja

disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.

Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja

dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup

adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan

tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan

substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan

14
https://www.suduthukum.com/2017/03/keadilan-subtantif.html Diakses pada 12 Desember
2019.

22
ketentuan undang-undang, melainkan, dengan keadilan

substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang- undang yang

tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada

formal- prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa

keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

Sedangkan menurut konsep keadilan prosedural,

sesuatu dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim

selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang.Jika

hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap

tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah

ditentukan oleh undang-undang. Yang dikatakan adil di dalam

keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan

pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan

agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan

sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul

dari perbuatannya itu.

BAB III

PEMBAHASAN

23
A. Sistem Peradilan Militer di Indonesia

Dalam sejarahnya peradilan militer sama seperti

lembaga peradilan yang lain yaitu mempunyai dua atap, yang

secara administrasi keuangan dan kepegawaian di bawah

Departemen Pertahanan, sementara secara pembinaan teknis di

bawah Mahkamah Agung. Namun sistem dua atap tersebut

mulai diakhiri dengan diterbitkannya UndangUndang No.35

Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No.14

Tahun 1970 mengenai Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, dimana dalam pasal 11 yang menjadi dasar hukum

sistem dua atap diubah menjadi: badan-badan peradilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, secara

organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah

kekuasaan Mahkamah Agung.

Penegasan kebijakan satu atap (one roof system)

sejak amandemen Undang-Undang No.14 Tahun 1970 diubah

dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, kemudian di

amandemen lagi dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan

terakhir setelah disahkannya Undang-Undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengubah ketentuan

apa pun mengenai sistem satu atap dalam kekuasaan

kehakiman sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 UU No. 48

24
Tahun 2009 masih tetap mengatur tentang administrasi, dan

finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada

dibawahnya dalam hal ini peradilan umum, dengan beberapa

peradilan khusus dibawahnya, peradilan agama, peradilan militer

dan peradilan TUN berada di bawah kekuasaan Mahkamah

Agung. Maka, Peradilan Militer merupakan salah satu (sub

sistem) dari Peradilan Negara (sistem Peradilan Indonesia) yang

ditentukan oleh Undang- undang dan mempunyai kedudukan

yang sederajat dan setingkat dengan lingkungan Peradilan

lainnya.Peradilan Militer ini dibentuk secara yuridis atas dasar

delegasi amanat Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 amandemen

keempat dan merupakan hukum formil yang berfungsi untuk

menegakkan hukum pidana militer, yang secara materiil terdapat

dalam UU No. 39 Tahun 1947 dan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Militer (KUHPM).

Dalam Pasal 1 ketetapan MPR No.VI/MPR/ 2000

tentang kedudukan TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah

sesuai dengan peran dan fungsi masing- masing yaitu TNI

sebagai alat negara bertugas di bidang pertahanan Negara yang

terdiri dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD),

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), dan

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU), dan Polri

sebagai alat negara yang tugasnya lebih berorientasi kepada

penciptaan keamanan dan ketertiban masyarakat guna

25
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta

menegakkan hukum.

Dipisahkannya Polri dari TNI (dulu ABRI) akan

membawa implikasi hukum bagi anggota Polri yang melakukan

tindak pidana yaitu tidak lagi diadili di Peradilan Militer, tetapi

Peradilan Umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2)

Tap MPR No. VII/MPR/ 2000, yaitu bahwa anggota Polri tunduk

pada kekuasaan Peradilan Umum dan TNI tunduk pada

kekuasan Peradilan Militer.Ketetapan MPR No. VII/MPR/ 2000

tersebut telah ditindaklanjuti pada tanggal 8 Januari 2002,

dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 20

ayat (1) huruf a, anggota Polri bukan lagi Prajurit TNI tetapi

sebagai Pegawai Negeri sehingga pelanggaran tindak pidana

yang dilakukan anggota Polri menjadi yuridiksi Peradilan Umum

(Pasal 29 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002).

Aspek diberlakukannya Hukum Militer bagi prajurit

TNI inilah yang memposisikan Peradilan Militer sebagai peradilan

khusus dalam sistem penyelenggaraan peradilan Negara yang

berdampingan dengan ketiga peradilan lainnya.Oleh karena itu

Peradilan Militer dalam perbuatan memeriksa dan mengadili

tidak berpuncak dan diawasi oleh Mabes TNI atau Dephankam

tetapi berpuncak di Mahkamah Agung. Dalam hal beracara di

Peradilan Militer diatur dengan ketentuan khusus yaitu Hukum

26
Acara Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997

tentang Peradilan Militer menjelaskan bahwa peradilan militer

merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan

angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan

dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan

pertahanan keamanan negara, dimana dalam pelaksanaannya

peradilan militer dijalankan oleh sebuah lembaga peradilan

militer, yaitu pengadilan yang merupakan badan pelaksana

kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1997 tentang Peradilan Militer menyatakan “Peradilan militer

merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan

angkatan bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan

dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan

pertahanan keamanan negara”.

Hal ini bisa dipahami bahwa Peradilan Militer

merupakan suatu lembaga peradilan khusus yang diciptakan

guna untuk mencapai rasa keadilan atas suatu tindakan yang

dilakukan oleh personil militer dalam menjalankan tugasnya

sebagai penanggung jawab keamanan negara.

Pengadilan dalam Peradilan Militer terdiri dari

27
pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, peradilan militer

utama, dan pengadilan militer pertempuran.Dimana susunan

organisasi dan prosedur pengadilan-pengadilan tersebut

didasarkan pada peraturan pemerintah.Puncak kekuasaan

kehakiman dan pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan

peradilan militer adalah Mahkamah Agung RI.

Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer

Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan

kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan

sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha

dan menggabungkan gugatan ganti rugi. Sedangkan Pengadilan

Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan

kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk

memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara

dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan.

Sedangkan Pengadilan Militer Pertempuran memiliki kekuasaan

memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran

serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan

serta berdaerah hukum di daerah pertempuran pidana yang

dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan

berdasarkan undang-undang atau seseorang yang berdasarkan

Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman

harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus

dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata

28
serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara

pidana dalam satu putusan.15

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang

Peradilan Militer selain mengatur susunan organisasi peradilan,

juga mengatur hukum acaranya Hukum acara yang diatur dalam

Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai

kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang

Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan

serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan

perkara.16

Ketentuan mengenai penundukan prajurit TNI yang

melakukan pelanggaran hukum pidana umum pada kekuasaan

dilingkungan peradilan umum diatur dalam Pasal 65 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara

Nasional Indonesia. Sementara itu, pada Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1997 dinyatakan bahwa Peradilan

Militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :

a. Prajurit;17
15
Mia Kusuma Fitriana, Yurisdiksi Pengadilan terhadap Tindak Pidana Umum yang Melibatkan
Militer dan Sipil, (Jurnal Arena Hukum, Vol. 7, No. 2, Agustus 2014) hal. 277.
16
Pasal 69-131 UU Nomor 31 Tahun 1997.

17
Menurut Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, yang dimaksud dengan
prajurit di sini adalah prajurit ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI.Dalam konteks pemisahan TNI
dan POLRI, maka yang dimaksud dengan prajurit adalah prajurit TNI yang terdiri dari Angkatan Darat,

29
b. Seseorang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan

prajurit;

c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang

dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-

undang;

d. Seseorang yang tidak termasuk dalam huruf a, b atau c di atas,

tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri

Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Militer.18

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1997 di atas dapat disimpulkan bahwa

kewenangan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit

militer berada pada Peradilan Militer, baik tindak pidana umum

maupun tindak pidana militer. Tindak pidana militer merupakan

tindak pidana yang hanya diatur dan dirumuskan dalam

KUHPM.Sedangkan tindak pidana umum merupakan tindak

pidana yang pengaturan dan perumusannya terdapat dalam

KUHP maupun peraturan perundang-undangan pidana lainnya di

luar KUHP.

Setiap anggota militer harus tunduk dan taat

Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

18
Dalam konteks pemisahan TNI dan POLRI, maka mungkin yang dimaksud dengan Panglima
adalah Panglima TNI, sedangkan yang dimaksud dengan Menteri Kehakiman sekarang ini adalah
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

30
terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer

yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM),

Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM),

Peraturan Disiplin Militer (PDM) dan peraturan-peraturan lainnya.

Peraturan hukum Militer inilah yang diterapkan kepada semua

Prajurit TNI baik Tamtama, Bintara, maupun Perwira yang

melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan,

masyarakat umum dan negara yang tidak terlepas dari peraturan

lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum.

Dalam mengadili pelaku tindak pidana sebelum di

serahkan ke Pengadilan, Oditur militer diberi wewenang untuk

bertindak sebagai penuntut umum yang mempunyai tugas dan

wewenang melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Oditur

yang ditunjuk dalam mengadili anggota TNI setelah menerima

berkas perkara dari penyidik (Polisi Militer) terlebih dahulu

melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan isi berkas

perkara tersebut setelah berkas perkara dinyatakan lengkap

maka Oditur militer akan mengolah berkas perkara dengan

membuat Bapat (Berita Acara Pendapat) yang berisi keterangan

para saksi, keterangan tersangka dan barang bukti serta

kesimpulan dari Oditur tentang tindak pidana yang terjadi dan

pasal yang disangkakan kemudian Kepala Oditurat Militer

membuat SPH (Saran Pendapat Hukum) yang ditujukan kepada

Papera (Perwira penyerah Perkara) yang isinya menyatakan

31
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana. Selanjutnya

Bapat dan SPH dikirimkan ke Papera dengan dilampiri

Skeppera (Surat Keputusan Penyerahan Perkara) untuk

dimintakan tandatangan ke Papera. Setelah menerima Skeppera

Oditur Militer membuat Surat dakwaan, kemudian melimpahkan

perkara ke Pengadilan Militer dan berdasarkan rencana sidang

dari Pengadilan Militer, Oditur membuat surat panggilan kepada

terdakwa dan para saksi yang berisi tentang hari, tanggal, waktu,

perkara disidangkan, dan setelah perkara diputus terdakwa

dinyatakan bersalah serta perkaranya sudah berkekuatan hukum

tetap oditur segera melaksanakan eksekusi kepada terdakwa

untuk melaksanakan pidana.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan

militer dalam Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Peradilan

Militer dilaksanakan oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan

Militer yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pengadilan Militer yang merupakan pengadilan tingkat pertama

untuk perkara pidana yang terdakwanya berpangkat Kapten ke

bawah;

2. Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat

banding untuk perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama

oleh Pengadilan Militer. Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan

Pengadilan tingkat pertama untuk:

a) perkara pidana yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya

32
berpangkat Mayor ke atas; dan

b) gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

3. Pengadilan Militer Utama yang merupakan pengadilan tingkat

banding untuk perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan

Bersenjata yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan

Militer Tinggi;

Susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan

militer ditetapkan seperti tersebut di atas karena yustisiabelnya

adalah prajurit yang diberi pangkat sebagai keabsahan

wewenang dan tanggung jawab dalam hirarki keprajuritan untuk

menegakkan disiplin dan kehormatan prajurit.

Keberadaan/eksistensi peradilan militer memang

harus dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup

kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana

umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI

atau hanya mengadili tindak pidana militer, sedangkan tindak

pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan di

peradilan sipil/umum.1919

B. Perlindungan Kepentingan Umum dalam Penyelenggaraan Proses

Peradilan terhadap Tindak Pidana Umum yang dilakukan Oleh

Personil Militer

19
www.dilmil-semarang.go.id Diakses pada tanggal 12 Desember 2019 pukul 20.13 WIB

33
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

dalam sistem peradilan yang berlaku di Indonesia selama ini

adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh personil militer selalu

diadili di Peradilan Militer yang merupakan yurisdiksi lembaga

peradilan di bidang militer.Secara umum hal ini merupakan

sebuah terobosan yang baik dalam penyelenggaraan penegakan

hukum, karena personil militer mempunyai ketentuan khusus

dalam pelaksanaan tugas pengamanan penyelenggaraan

Negara. Tetapi timbul masalah ketika personil militer melakukan

tindak pidana umum yang melibatkan masyarakat sipil, apakah

asa keadilan dan kepentingan umum akan terjamin dengan

proses peradilan dilaksanakan oleh lembaga Peradilan Militer.

Persoalan selanjutnya adalah apakah keadilan prosedural dan

substansial akan tercapai dengan diprosesnya tindak pidana

umum yang dilakukan oleh personil militer di Peradilan Militer.

Hal ini penting untuk dibahas karena dalam

mewujudkan supremasi hukum haruslah diperhatikan

kepentingan umum guna mencapai sebuah keadilan yang

merupakan salah satu unsur tertinggi dari hukum. Melihat proses

dan sistem yang berlaku di Peradilan Militer, agaknya masih

menjadi persoalan ketika tindak pidana umum yang dilakukan

oleh personil militer masih diproses di Peradilan Militer tersebut.

Oleh karena itu putusan hakim sebagai hukum yang

sejatinya, harus dapat mewujudkan tujuan dari hukum itu

34
sendiri.Setidak-tidaknya terdapat tiga tujuan hukum yang harus

diwujudkan dalam putusan hakim, yaitu keadilan, kepastian dan

kemanfaatan.20 Suatu putusan hakim dapat diterima dengan baik

oleh masyarakat apabila telah memenuhi keadilan prosedural

dan keadilan substantif.

Menurut konsep keadilan prosedural sebagaimana

telah dijelaskan sebelumnya, sesuatu dianggap adil apabila

pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-

pasal di dalam undang-undang.Jika hakim memutus di luar

ketentuan undang-undang bisa dianggap tidak adil karena

melanggar kepastian- kepastian yang sudah ditentukan oleh

undang-undang.Yang dikatakan adil di dalam keadilan

prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada

aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar

ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu

sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari

perbuatannya itu.

Putusan keadilan substantif tidak hanya

mengakomodir aturan yang berlaku dalam tahapan penemuan

keadilan yang paling sosial. Keadilan bukan semata-mata

persoalan yuridis semata, akan tetapi masalah sosial yang dalam

banyak hal disoroti oleh sosiologi hukum. Karakter keadilan

substantif yang bertumpu pada ‘respon’ masyarakat, dengan


20
Ali Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996), hal. 84-96

35
indah membentuk penyelesaian permasalahan bersandar pada

hukum yang ‘mendalami suara hati masyarakat.’Artinya, hukum

mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen bagi

tercapainya keadilan substantif.21

Sedangkan proses peradilan dikatakan telah

memenuhi keadilan substantif bila didalam persidangan Majelis

Hakim menjalankan acaranya sesuai dengan fakta-fakta yang

terjadi sesungguhnya, dan menilai alat-alat bukti yang ada

berdasarkan ilmu hukum yang dimilikinya sehingga dalam

memutus sesuai hati nuraninya sebagai hakim yang tidak

memihak dan tanpa intervensi baik fisik maupun psikis.

Bila melihat ketentuan-ketentuan yang ada didalam

undang-undang Peradilan Militer, tidaklah mungkin dapat

tercapai keadilan substantif dalam proses peradilan terhadap

anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Hal ini

karena mengingat TNI mempunyai asas Kesatuan Komando

yang dalam arti seorang komandan mempunyai tanggungjawab

penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Asas ini dapat

menimbulkan efek negatif dan positif dalam proses peradilan

pidana terhadap anggota militer. Positifnya seorang komandan

akan selalu berusaha untuk menjaga anak kesatuan dan anak

buahnya agar terhindar dari tindak pidana, namun negatifnya

21
Ridwan.“Mewujudkan Karakter Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Solusi Pencarian dan Penemuan Keadilan Substantif.”Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 26 No.2. 2008.
Hlm. 170

36
seorang komandan akan berusaha kuat untuk melindungi

kesatuan dan anak buahnya yang terlibat tindak pidana agar

tidak terbukti bersalah, karena jika terbukti bersalah maka

komandan akan iktu bertanggungjawab dengan konsekuensi

terbesar yaitu dipecat sebagai prajurit dari kesatuan TNI.

Selain itu Majelis Hakim persidangan yang terdiri

dari satu hakim ketua dan dua hakim anggota semuanya adalah

militer aktif yang diangkat dan diberhentikan sebagai hakim oleh

Presiden selaku Kepala Negara atas usul panglima berdasarkan

persetujuan ketua Mahkamah Agung.Berdasarkan ketentuan

tersebut sangatlah mungkin terjadi benturan kepentingan

sehingga keadilan untuk korban tindak pidana yaitu masyarakat

umum tidak tercapai.dilatarbelakangi oleh fakta yang terjadi

bahwa putusan peradilan militer terhadap anggotanya yang

melakukan tindak pidana umum dipidana tidak memenuhi

keadilan masyarakat.

Berikutnya ketika dikaitkan dengan teori kontrol

sosial, maka sistem peradilan militer tidak mengakomodir kontrol

sosial karena dalam sistem peradilan militer tidak bisa dilakukan

pra-peradilan.Sehingga baik tersangka, korban, maupun

masyarakat tidak bisa mengontrol jalannya sistem peradilan

militer yang sedang berjalan.

Guna mencapai rasa keadilan dan perlindungan

kepentingan umum dalam penyelenggaraan proses peradilan

37
terhadap tindak pidana umum yang dilakukan oleh personil

militer, kami mencoba menawarkan dan memberikan dua solusi,

yaitu :

1. Mengubah sistem peradilan terhadap tindak pidana umum yang

dilakukan oleh personil militer, yaitu semacam peradilan

koneksitas. Apabila personil militer melakukan tindak pidana

umum, maka proses hukumnya tetap dilaksanakan di Pengadilan

Militer, tetapi salah seorang hakimnya harus berasal dari

pengadilan umum karena menyangkut kepentingan umum yang

harus dilindungi. Pengaturan ini bisa dengan mengubah ketentuan

hukum acara Peradilan Militer menjadi semacam hukum acara

pengadilan khusus, seperti hukum acara pengadilan hubungan

industrial. Dimana pada pengadilan hubungan industrial porsi

majelis hakim diambil dari kedua belah pihak yang bersengketa,

sehingga tercapai keadilan dan perlindungan kepentingan kedua

belah pihak.

2. Tetap mempertahankan sistem Peradilan Militer menurut Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang sekarang berlaku, dengan

catatan harus melakukan evaluasi dan perbaikan dalam pola

kinerja dan integritas personil militer yang bertugas sebagai aparat

penegak hukum di lingkungan Peradilan Militer, baik sebagai

penyidik, hakim militer, dan sipir militer harus sejalan dengan

proses peradilan yang berjalan di pengadilan lainnya. Dengan

demikian, diharapkan tidak ada tumpang tindih proses peradilan

38
mulai dari penyeledikan sampai kepada proses pelaksanaan

putusan terhadap personil militer yang melakukan tindak pidana

umum, sehingga perlindungan kepentingan umum dan rasa

keadilan terpenuhi.

3. Menyamakan sistem peradilan militer dengan sistem peradilan

militer dengan memasukkan pra-peradilan ke dalam hukum acara

peradilan militer, sehingga bisa dikontrol oleh masyarakat.

39
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku

di Indonesia, anggota Militer atau Prajurit TNI yang melakukan

tindak pidana umum di adili di Peradilan Militer. Yang menjadi

salah satu alasannya adalah untuk menjadi alat kontrol bagi

anggota TNI dalam menjalankan tugasnya, sehingga dapat

membentuk dan membina TNI yang kuat, profesional dan taat

hukum karena tugas TNI sangat besar untuk mengawal dan

menyelamatkan bangsa dan negara.

Hukum acara yang diatur didalam undang-undang

dan peraturan yang berlaku di Indonesia belum bisa memberikan

perlindungan terhadap kepentingan umum terhadap anggota

Militer yang melakukan tindak pidana umum. Dikarenakan para

penegak hukum didalam sistem peradilan pidana militer

semuanya merupakan prajurit aktif TNI, termasuk hakim yang

memutus perkara. Sehingga keadilan substantif dalam hal ini

tidak bias diwujudkan karena prosedur yang ada tidak

mengakomodir demikian, maka untuk itu kami memberikan dua

40
alternatif, pertama yaitu mengubah sistem peradilan terhadap

tindak pidana umum yang dilakukan oleh personil militer,

semacam peradilan koneksitas, dan alternatif kedua adalah tetap

mempertahankan sistem Peradilan Militer menurut Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1997 yang sekarang berlaku, dengan

catatan harus melakukan evaluasi dan perbaikan dalam pola

kinerja dan integritas personil militer yang bertugas sebagai

aparat penegak hukum di lingkungan Peradilan Militer, kemudian

menyamakan sistem peradilan militer dengan sistem peradilan

militer dengan memasukkan pra-peradilan ke dalam hukum

acara peradilan militer, sehingga bisa dikontrol oleh masyarakat.

41
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis).

Jakarta: Chandra Pratama, 1996.

Daliyo, J.B. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Prenhallindo,

2014.

Dimyanti, Khudzaifah.Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan

Pemikiran Hukum di Indonesia. Surakarta: Muhammadiyah

University Press, 2004.

Friedman, Lawrence. American Law an Introduction, Second Edition,

diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika

Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama. Jakarta : PT Tata

Nusa, 2001.

Rawls, John.Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk

42
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam

Negara.Yogyakarta: Pusaka Pelajar, 2006.

Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press,

1986. Syahrani, Riduan.Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi.

Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2004.

Ujan, Andre Ata.Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela

Keadilan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

B. JURNAL

Anwar C, Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif dalam

Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Konstitusi Vol. III

No. 1 Juni 2010.

Bahder Johar Nasution, Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari

Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern. Jurnal

Yustisia, Vo. 3 No. 2 Mei-Agustus 2014.

Mia Kusuma Fitriana, Yurisdiksi Pengadilan terhadap Tindak Pidana

Umum yang Melibatkan Militer dan Sipil. (Jurnal Arena

Hukum, Vol. 7, No. 2, Agustus 2014.

Yudi Krismen, Dilema Penegakan Hukum Pidana terhadap

Anggota TNI. Jurnal Selat, Oktober 2014, Vol. 2 No.

1.

C. Website

43
www.dilmil-semarang.go.id

http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-

aristoteles.html. https://www.suduthukum.com/2017/03/keadilan-

subtantif.html Diakses pada 12 Desember 2019.

https://www.hrw.org/id/news/2013/04/23/249489

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f8ebd9262fd8/proses-

hukum-jika- anggota-tni-memukul-warga

44

Anda mungkin juga menyukai