Anda di halaman 1dari 30

HAK ASASI MANUSIA:

Konsep Dasar, Prinsip-prinsip dan Instrumen HAM


Internasional dan Pengaturannya Di Indonesia1

Oleh:
Cekli Setya Pratiwi2
Fakultas Hukum - Universitas Muhammadiyah Malang

A. Pendahuluan

Konstitusi Indonesia Pasal 1 Ayat (3) secara tegas menyebutkan bahwa


Negara Indonesia adalah Negara hukum.3 Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
bagi setiap warga merupakan wujud Negara hukum (the rule of law). Salah satu ciri
dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM
oleh negara kepada warga negara.4 Prinsip rule of law mengajarkan bahwa seluruh
aspek negara menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun di atas prinsip
keadilan dan egalitarian. Rule of law adalah rule by the law bukan rule by the man.
A.V.Dicey menegaskan bahwa unsur-unsur rule of law meliputi: pertama, adanya
supremasi aturan-aturan hukum yaitu hukum harus menjadi panglima, ditaati dan
dipatuhi oleh setiap warga negara, aparatur negara, dan setiap unsur yang ada di
masyarakat. Kedua, adanya pengakuan “equality before the law” artinya setiap orang
memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Tidak ada perbedaan atau
diskriminasi baik menyangkut suku, agama, ras, warna kulit, status ekonomi, sosial,
dll. Ada tidaknya rule of law pada suatu negara ditentukan oleh “kenyataan”, apakah
rakyat menikmati keadilan, dalam arti perlakuan adil. Ketiga, terjaminnya hak-hak
asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan. Artinya,
setiap negara wajib menghormati, menjamin dan melindungai hak-hak asasi setiap

1
Paper ini paparkan dalam Workshop PENGUATAN PERLINDUNGAN DAN PENGHARGAAN TERHADAP
KEBEBASAN BERAGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama dan
Multikulturalisme (PUSAM)-Program Pasca Sarjana UMM bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah
Palangkaraya disponsori the Asia Foundation, Palangkaraya 8-10 Oktober 2013.
2
Penulis sekaligus narasumber adalah Dosen Mata Kuliah Hukum dan HAM dan Hukum Internasional pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, meraih gelar Sarjana Hukum (SH.) dari Fakultas Hukum
Brawijaya Malang (1998) dan gelar Master of Laws (LL.M.) dari School of Law, Utrecht University, Belanda
(2006). Saat ini aktif meneliti dan menjadi narasumber dalam berbagai forum topic-topik yang relevan dengan
Hak Asasi Manusia.
3
Pasal 1 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitus, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011. Hal. 5.
4
A. Muktie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


warga negaranya, dan jaminan terhadap perlindungan HAM warga negara tersebut
harus diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan lain baik di tingkat
pusat maupun daerah serta adanya jaminan perlindungan HAM melalui keputusan
pengadilan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat 5:”Untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan”.5
Penghormatan HAM warga negara juga merupakan bagian dari upaya
mencapai tujuan bernegara. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pembukaan
undang-undang dasar 1945, bahwa negara Indonesia didirikan untuk mencapai tujuan
negara yaitu: 1). Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
6
3) Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Ketiga tujuan bernegara ini harus
dilaksanakan dengan berdasarkan pada Pancasila (sila I sampai V) dengan tanpa
diskriminasi sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dari kelima sila Pancasila
tersebut selaras dengan prinsip penghormatan HAM yaitu hak kebebasan beragama
pada sila I Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan hak asasi manusia (Sila II
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil
dan tanpa diskriminasi (yaitu Sila III Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
Hak untuk ikut serta dalam pemerintahan (Sila IV Kerakyatan Yang Dipimpin oleh
hikmat dalam permusyawaratan perwakilan) dan hak atas kesejahteraan yang
tergambar dalam sila ke V Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan
demikian jelas bahwa sejak awal negara ini didirikan memiliki cita-cita luhur untuk
memberikan penghormatan yang tinggi dan perlindungan kepada segenap bangsa
Indonesia tanpa membedaka-bedakan suku, agama, ras, kepercayaan, warna kulit,
jenis kelamin dll dan perlindungan serta rasa aman tersebut seharusnya dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali dan di seluruh wilayah
Republik Indonesia secara merata. Komitmen Indonesia dalam menjamin
perlindungan HAM tidak cukup hanya ditunjukan dengan diratifikasinya berbagai
instrumen hukum internasional tentang HAM, namun Negara sebagai pemangku
kewajiban yang utama harus mampu menghormati, melindungi dan memenuhi HAM
setiap warga Negara.

5
UUD Negara RI Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ibid. Hal. 51.
6
Lihat Pembukaan UUD RI Tahun 1945 alenia IV.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Perlindungan HAM bagi setiap warga Negara merupakan wujud
pelaksanaan prinsip demokrasi konstitusional dan negara hukum yang
sesungguhnya. Menurut Jimly Asshidiqie, berdasarkan UUD NRI Tahun 1945
menegaskan kembali mengenai prinsip yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia
yaitu (i) prinsip demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy), dan
(ii) prinsip negara hukum yang demokratis atau “democratische rechtsstaat” atau
“democratic rule of law”,7. Di satu sisi harus diakui bahwa saat ini sudah banyak
kemajuan di bidang HAM yang diraih oleh Indonesia. Namun di sisi lain, masih
banyak upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia di
masa yang akan datang. Kemajuan yang telah dicapai Indonesia misalnya pada rezim
Orde Reformasi Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. 8 Pada tahun 2000 juga dilakukan Amandemen II
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mencantumkan Bab XIA tentang
Hak Asasi Manusia khususnya ketentuan Pasal 28A-28J9 dan Pasal 28, 29, 30, 31, 33,
34. 10 Substansi dari Amandemen II UUD NRI Tahun 1945 ini menjadi landasan
yuridis dalam upaya perlindungan dan pengakuan HAM baik di bidang hak sipil dan
politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. Meluasnya jaminan hak-hak asasi
manusia melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 hasil dari Amandemen II tersebut
merupakan kemajuan dalam membangun pondasi hukum bernegara untuk
memperkuat kontrak penguasa-rakyat dengan semangat konstitusionalisme
Indonesia.11

7
Jimly Asshidiqie, ’Lembaga Mahkamah Konstitusi di Negara Demokrasi Baru’, Makalah yang disampaikan
dalam sebuah ceramah di Australia tahun 2002, dapat diakses di
http://www.jimly.com/makalah/namafile/27/Ceramah_Australia_02.doc.
8
UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibentuk atas amanat
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
9
Hak Asasi Manusia secara garis besar dibagi kedalam dua kategori yaitu pertama Hak Sipil dan Politik (Sipol)
dan kedua adalah Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak Sipil dan Politik meliputi hak hidup, hak kebebasan
beragama (ps. 28E ayat (2) dan 28I ayat (1), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan hukum yang adil serta
pengakuan yang sama dihapadan hukum (28D ayat (41)), hak atas status kewarganegaraan dan berpindah tempat
(Pasal 28D ayat (4) dan 28E), hak berkomunikasi dan memperolah informasi (28F), hak untuk tidak diperbud ak
(28I), dll. Sementara, hak ekonomi sosial budaya meliputi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (27 ayat
(2), pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan (28C yat (1), hak atas pelayanan kesehatan (28H ayat (1)), hak atas
jaminan sosial (28H ayat (3), dll.
10
Hak-hak asasi manusia karena disebutkan secara tegas dalam konstitusi maka diakui sebagai hak konstitusional
rakyat. Lihat Ashidiqi, Jimly, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya, makalah
disampaikan pada acara Dialog Publik dan Konsultasi Nasional Komnas Perempuan “Perempuan dan Konstitusi di
Era Otonomi Daerah: Tantangan dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007. Dapat diakses melalui
http://jimly.com/makalah/namafile/8/HAK_KONSTITUSIONAL_PEREMPUAN.doc
11
Wiratraman, Hak-hak Konstitusional Warga Ngeara Setelah Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan
Dinamika Implementasi, Jurnal Hukum Panta Rei, Vol. 1 No.1 Desember 2007, Jakarta, Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Namun demikian sampai sekarang situasi perlindungan HAM masih lemah
terlihat dengan banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia baik dibidang hak sipil dan
politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Di bidang hak sipil misalnya
perlindungan hak kebebasan beragama dan beribadah masih banyak hambatan. Dalam
catatan KOMNASHAM sedikitnya sepanjang Januari hingga November 2007 tercatat
bahwa telah terjadi 135 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. 12
Laporan yang disampaikan oleh ELSAM mencacat bahwa selama tahun 2011 hak
kebebasan beragama dan berkeyakinan masih memburuk. ELSAM mencatat
setidaknya terdapat 63 kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau
berkeyakinan yang dilakukan dalam berbagai bentuk antara lain kebijakan
diskriminatif, pembakaran rumah ibadah, pembakaran rumah jemaat, penyerangan,
tindakan pembiaran oleh aparat, dll. Dari catatan tersebut, pelanggaran terhadap
kebebasan beragama atau berkeyakinan, justru paling sering dilakukan oleh
pemerintah daerah, sebagai institusi yang seharusnya memberikan perlindungan bagi
semua warganya, tanpa kecuali. Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya, Mengapa
disaat upaya perlindungan hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia mengalami
kemajuan, isu mengenai pelanggaran HAM kembali mencuat dan hangat
diperbincangkan?.
Dengan demikian adalah sebuah keniscayaan, pemerintah harus terus
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya perlindungan HAM juga
menjadi salah aspek penting dalam mendorong upaya pemerintah dalam
melaksanakan kewajiban tersebut. Oleh karena itu dalam memahami HAM perlu
kiranya mengetahui konsep dasar, prinsip-prinsip dasar serta regulasi HAM baik di
tingkat Internasional maupun nasional sehingga masyarakat mampu mengawal
sekaligus mendesakan pemenuhan HAM oleh Negara secara cepat dan tepat, sehingga
praktek-praktek pelanggaran HAM atau pengabaian HAM serta pembiaran terhadap
praktek-praktek pelanggaran HAM di Indonesia semakin berkurang. Hasilnya timbul
rasa aman bagi setiap individu yang tinggal di seluruh wilayah Republik Indonesia.

12
Lihat Laporan Tahunan 2007 KOMNASHAM, diakses oleh Penulis pada 11 Januari 2009 di
http://komnasham.or.id

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


B. Prinsip Dasar HAM

Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) muncul karena manusia yang satu
menindas, memperbudak manusia yang lain dan telah terjadi dari masa ke masa, sejak
manusia berada di permukaan bumi, padahal sejak keberadaannya manusia
mempunyai kedudukan, harkat dan martabat yang sama. Perhatian terhadap masalah
HAM sebenarnya telah dilakukan ribuan tahun yang silam oleh bangsa -bangsa seperti
Jahudi, Yunani, Babylonia, Romawi dan Inggris,’ dituangkan dalam Al-Quran,
Alkitab, bahkan telah dilakukan dalam masyarakat-masyarakat adat. Perlawanan
terhadap eksploitasi manusia satu sama lain, sebenarnya telah dilakukan bersamaan
dengan keberadaan manusia itu sendiri, tetapi hal itu dipahami sebagai bagian dari
gerakan moral, dan agama, bukan sebagai masalah yuridis. Perlawanan secara yuridis
diawali dengan lahirnya Magna Charta di Inggris 15 Juni 1215. Kelahiran Magna
Charta diikuti dengan pernyataan-pernyataan tentang HAM seperti : Hobeas Corpus
Act, 1679; Bill Of Rights, 1689; Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 juli 1776
yang kemudian dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Amerika Serikat,
17 September 1787, Declaration Des Droits De L’Homme et du Cytoyen, 1789 dan
pernyataan-pernyataan lainnya.
Secara Internasional, perkembangan HAM semakin pesat setelah munculnya
kesadaran bersama masyarakat internasional setelah mengalami kehancuran luar biasa
akibat dari PD II. Kesadaran akan pentingnya HAM menjadi dasar dan tujuan
dibentuknya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 1945. Dalam United Charter
secara eksplisit disebutkan bahwa tujuan didirikannya PBB salah satunya adalah
dalam rangka untuk mendorong penghormatan terhadap HAM secara internasional.
Tonggak sejarah pengaturan HAM yang bersifat internasional baru dihasilkan
tepatnya setelah Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi Universal HAM
(Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi
ini merupakan dokumen internasional pertama yang di dalamnya berisikan “katalog”
HAM yang dibuat berdasarkan suatu kesepakatan internasional. Deklarasi tersebut
tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme dan
sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim-rezim
fasis dan nasionalis-nasionalis tahun dua puluh sampai empat puluhan. Sementara itu
elit nasional bangsa-bangsa yang dijajah mempergunakan paham hak asasi, terutama
“hak untuk menentukan dirinya sendiri”, sebagai senjata ampuh dalam usaha untuk

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


meligitimasikan perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan. Kemudian, pada
tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty) yang di dalamnya terdapat
mekanisme pengawasan dan perlindungan HAM, yaitu Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Poitik (International Covenant on Civil and Political Rights) serta
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights). Ketiganya dikenal dengan istilah “the International Bill of
Human Rights”. Jika kita menelaah secara mendalam muatan materi the Internasional
Bill of Rights tersebut, terdapat prinsip-prinsip pokok yang harus dipahami dalam
upaya mewudjudkan perlindungan HAM sebagaimana akan dijabarkan dalam bagian
berikut ini. Sedangkan muatan materi regulasi HAM di tingkat Internasional yang
terdapat dalam the International Bill of Rights akan dijabarkan pada bagian
berikutnya.

Prinsip indivisible, interrelated dan interdependent

Hak Asasi Manusia (Human Rights) diartikan sebagai hak-hak kodrat yang
bersifat melekat (inherent in dignity)13 sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa.14
Pengertian tersebut dapat memberikan gambaran tentang pertanyaan -pertanyaan
misalnya, sejak kapankah manusia memiliki HAM?, Apakah HAM itu pemberian atau
belas kasihan Negara? Apakah HAM bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Negara?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah bahwa HAM dimiliki manusia
karena HAM bersifat melekat pada diri manusia karena kodratnya sebagai manusia.
Oleh karena HAM bukanlah pemberian atau warisan atau belas kasihan dari Negara,
sehingga negara tidak dibenarkan mencabutnya (inalienable) 15 dan tidak dapat
membatasi HAM secara sewenang-wenang (indivisible).16

Setiap hak asasi manusia tidak dapat dibagi-bagi baik itu hak sipil dan politik
seperti hak untuk hidup, hak untuk diperlakukan secara adil dihadapan hukum, hak
untuk berekspresi maupun hak ekonomi, social dan budaya seperti hak untuk bekerja,

13
Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya yang diterima oleh Majelis Umum PBB 2200 A
(SSI) 16 Desember 1966 pada Mukadimah Alenia II menyatakan bahwa: “Negara-negara pihak dalam Kovenan ini
mengakui bahwa hak hak ini berasal dari martabat yang melekat pada manusia”
14
Lihat juga Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
15
Lihat juga Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Dalam Resolusi Majelis Umum PBB 10 Desember 1948
Nomor 217 A (III) Pada Mukadima Alenia I menyatakan bahwa:”pengakuan atas hak-hak alamiah dan hak-hak
yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia...”.
16
Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil
dihadapan hukum, hak memeluk dan memilih agama, adalah hak yang bersifat non-derogable right (tidak dapat
dikurang-kurangi dalam keadaan apapun). Lihat Pasal 3 sd 9 DUHAM, Pasal 6,7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan
18 Kovenan Internasional Hak Sipil Politik 1966, Pasal 28 I Ayat 1 dan 2 UUD NRI Tahun 1945, Pasal

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


hak untuk mendapatkan pendidikan, hak atas pembangunan, dll karena HAM bersifat
tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan dan saling ketergantungan antara satu
dengan yang lain. Artinya peningkatan fasilitas pada salah satu hak akan
meningkatkan pemenuhan pada hak yang lainnya. Begitu juga sebaliknya,
pengurangan fasilitas pada salah satu hak akan mempengaruhi penurunan pada hak
yang lainnya.

Prinsip Universal dan Inalienable


Prinsip universal (umum) artinya adalah bahwa Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia 1948 merupakan pernyataan kehendak yang secara umum telah dirujuk
sebagai pedoman dalam menyusun berbagai Perjanjian Internasional, resolusi, dan
deklarasi di bidang HAM. Contohnya pada tahun 1993 diadakan Konferensi Dunia di
Vienna tentang HAM yang menyepakati bahwa kewajiban Negara di bidang HAM
adalah kewajiban untuk mempromosikan, melindungi seluruh HAM dan kebebasan
dasar tanpa memandang system politik, ekonomi dan budayanya. Semua Negara
anggota telah meratifikasi kesepakatan ini setidaknya sekali, dan 80% lainnya
meratifikasi empat kali atau lebih perjanjian HAM Internasional, dan menggambarkan
bahwa Negara-negara menaruh perhatian untuk mengikatkan diri terhadap kewajiban
dan hal ini menunjukan sifat universalitas dari HAM. Sedangkan prinsip inalienable
artinya bahwa Negara-negara tidak diperbolehkan untuk mencabut HAM setiap
individu kecuali dalam situasi yang sangat khusus dan berdasarkan prosedur yang
adil. Contohnya, seseorang dapat dicegah hak untuk bebas bergerak jika seseorang itu
telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan hakim. Jimly
Asshidiqie merefleksikan hak asasi manusia (HAM) sebagai hak-hak yang melekat
pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia.
Dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki berkat kodrat
kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi
kekuasaan manapun termasuk negara. Dikatakan ‘melekat’ itu pulalah maka pada
dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.

Prinsip Equal and non-discriminatory

Diskriminasi dapat diartikan sebagai suatu pembedaan perlakuan pada kondisi


yang sama dimana pembedaan perlakukan tersebut didasarkan pada perbedaan suku,
agama, ras, warna kulit, tingkat ekonomi, jenis kelamin sehingga menimbulkan

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


prilaku yang tidak setara atau tidak adil. Menurut Theodorson & Theodorson,
diskriminasi diartikan sebagai perlakukan yang tidak seimbang terhadap perorangan,
atau kelompok, berdasarkan sesuatu biasanya bersifat kategorikal atau atribut-atribut
khas, seperti berdasarkan ras, suku kebangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas
sosial.17 Prinsip non-diskriminasi ini adalah prinsip yang sangat penting dan menjadi
prinsip yang diadobsi dalam hampir semua perjanijan internasional tentang HAM
misalnya termaktub dalam the International Convention on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial)18 and the Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Prinsip ini berlaku bagi setiap orang dan
larangan bagi setiap orang untuk mendiskriminasi atas dasar jenis kelamin, ras, warna
kulit, agama, dll. Pinsip non-diskriminasi terkait dengan prinsip kesetaraan (equality)
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 DUHAM: “All human beings are born free
and equal in dignity and rights.” (Setiap manusia dilahirkan bebas dan setara dalam
martabat dan hak-hak nya). Penggunaan istilah “all human beings” berarti bahwa
“everyone (setiap orang)” memiliki hak yang sama atau dengan kata lain “ no one
(tidak seorangpun)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda
berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik yang dianut, kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau
status yang lainnya. Penggunaan istilah yang menunjukkan prinsip universalitas ini
juga ditemui di beberapa Konvensi HAM lainnya seperti CCPR (International
Covenant on Civil and Political Rights) menggunakan kata “every human beings” di
PAsal 6, kata “every on” di Pasal 9 ayat (1), 12 (1), (2), Pasal 14 (2), (3) dan (5),
Pasal 16, Pasal 17 (2), PAsal 18 (1), Pasal 19, dan Pasal 22. Sedangkan istilah “all
person” dipakai di Pasal 10 (1), 14 (1), 26, “anyone” di Pasal 6 (4), Pasal 9 (2-5)
serta kata “no one” di Pasal 6,7,11,15, dan 17 (1). Begitu pula yang disebutkan
dalam CESCR Pasal 2 : “…..Everyone is entitled to all rights and freedoms set forth
in this declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,

17
Fulthoni, dkk, 2009. Buku Saku untuk Kebebasan Beragama: Memahami Diskriminasi, Jakarta:
ILRC, Halaman3.
18
Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia sejak25 Mei 1999 dengan ratifikasi melalui UU Nomor
29 Tahun 1999 dan pada tahun 2008 Indonesia mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskiminasi Ras dan Etnis.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


language, religion, political, or other opinion, national, or social origion, property,
birth or other status”.

Prinsip non-diskriminasi juga diakui dalam berbagai instrument HAM di tingkat


regional. Di Konvensi HAM Amerika (American Convention on Human Rights 1969)
juga dijumpai di hamper setiap pasal yang secara keseluruhan berjumlah 43 pasal
penggunaan istilah ”every person”, ”no one”, ”every one”, “any one” secara
bergantian. Lebih menarik dalam salah satu ketentuan yaitu Pasal 19 secara khusus
disebut istilah “every minor child”19 yang menunjukkan bahwa secara eksplisit dan
tegas hak anak kecil diperhatikan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat dan
Negara Amerika Serikat dalam Konvensi HAM Amerika ini. Sedangkan dalam
African Charter on Human Rights and People’s Rights di beberapa Pasal yang
berjumlah 51 pasal menggunakan istilah yang sedikit berbeda yaitu “every
individual” dan “all peoples”. Begitu pula di region Eropa melalui European Social
Charter (Undang-Undang Sosial Eropa) yang disahkan di Turin pada 18 Oktober
1961 dan berlaku efektif sejak 26 Februari 1965 pada Alenia III dinyatakan bahwa :20

“The Governments signatory hereto, being Members of the Council of


Europe,…..Considering that the enjoyment of social rights should be secured
withouth discrimination on the grounds of race, colour, sex, religion, political
opinion, national extraction or social origion.

Meskipun menurut UU HAM Eropa tidak secara tegas menyebut kata “Human
Rights” melainkan memakai istilah yang lebih sempit yaitu “Social Rights”, namun
jelas bahwa pelarangan diskriminasi karena alasan tertentu tidak dibenarkan dalam
UU ini. Artinya bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama oleh Pemerintah
yang menandatangai UU ini dan menjadi anggota dari Komisi Eropa ini.

Sementara itu menurut African Charter on Human Rights and People’s Rights (UU
Afrika tentang HAM dan Hak-hak Manusia) pada bagian Pembukaan Alenia III
dinyatakan bahwa dengan memperhatikan pentingnya persatuan di Afrika maka
kebebasan, persamaan, keadilan, peangkuan adalah tujuan yang terpenting dalam
rangka mencapai legitimasi dari aspirasi seluruh rakyat Afrika. Jadi pengakuan

19
Article 19: “every nimor child has the right to the measures of protection requaried by his condition
as a minor, on the part of his family, society and the State.”
20
Ibid, page. 215

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


prinsip equality dalam perlindungan HAM di Afrika juga dianggap sangat penting
guna menuju persatuan rakyat Afrika yang lebih solid.

“Considering the Charter of the Organization of Africa Unity, which dispute


that ‘freedom, equality, justice and dignity are essential objectives for
achievement of the legitimate aspiration of the African peoples”.

Lalu bagaimana dengan Negara Islam seperti Arab Saudi, apakah HAM
menampakkan wajah yang berbeda dalam pengakuan terhadap prinsip equality?
Menurut The Arab Charter of Human Rights yang disahkan pada tanggal 15
September 1994, pada Pembukaan Alenia II dinyatakan bahwa: “Having
achievement the everlasting principles established by the Islamic Shari’a and the
other divine religions enshrined in brotherhood and equality v amongst human
beings”.

Meskipun Konvensi HAM di Arab ini baru disahkan pada tahun 1994, namun dalam
hal pengakuan terhadap prinsip equality setiap manusia diakui dalam Konvensi ini
sebagai bagian dari upaya tanpa henti dalam mencapai prinsip yang telah ada dalam
Hukum Islam (Islamic Shari’a) termasuk hidup berdampingin dengan beda agama.
Sedangkan prinsip “tanpa diskriminasi” secara tegas dinyatakan dalam Bagian Kedua
Pasal 2 bahkan secara eksplisit pelarangan diskriminasi terhadap pria dan wanita
dinyatakan sebagai berkut:

“…that every individual located within its territory and subject to its
jurisdiction, shall have the right to enjoy all rights and freedoms recognized in
this (Charter), withouth distinction on th basis of race, colour, sex, age,
religion, political, opinion, national or social orihion, wealth, birth, or other
status, and without any discrimination between men and women.”

Di negara Islam lainnya juga telah menerima dan menerapkan prinsip demokrasi yang
salah satunya terdapat pengakuan dan penghormatan terhadap HAM, sebagaimana
dikutip oleh Naoh Feldman, yang menyebutkan bahwa: ‘Currently, the constitution of
Iraq and Afganistan do guarantee equality for men and women’.21 Dari uraian di atas
menunjukan bahwa baik di negara-negara dimana Islam sebagai minoritas seperti
Amerika Serikat dan Eropa, hak-hak mereka dijamin didalam UU HAM yang berlaku

21
Noah Feldman, ‘The fall and Rise of The Islamic State, American Muslims For Constructive
Engagement, Alison Lake (ed), 2008.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


di negara tersebut, begitu pula di negara-negara dimana Islam sebagai mayoritas,
sebab berdasarkan Pasal 1 DUHAM, HAM tidak memandang perbedaan baik itu
agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, politik yang dianut, kebangsaan, atau
asal usul, tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya.
Lalu bagaimana prinsip non diskriminasi diakui di Indonesia? Prinsip non
diskriminasi juga menjadi prinsip penting dalam perlindungan HAM di Indonesia
sebagaimana diatur dala Pasal 28I ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa:”Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang
diskriminatif”. Secara lebih khusus mengenai pelarangan diskriminasi di Indonesia
diatur secara khusus melalui UU Nomor 29 Tahun 1999 dan pada tahun 2008
Indonesia mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskiminasi Ras dan Etnis. Dijelaskan dalam UU tersebut bahwa tindakan
diskriminasi dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dan diancam hukuman yang
cukup berat. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih banyak praktek atau
tindakan diskriminasi yang terjadi di Indonesia baik diskriminasi didasarkan pada ras,
etnis, agama, tingkat ekonomi, atau lainnya. Oleh karena itu masih diperlukan adanya
peningkatan kesadaran masyarakat untuk menghargai perbedaan dan mendorong
pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang memberikan peluang pada setiap
orang untuk diperlakukan setara dan penegakan hukum yang tegas bagi mereka yang
melanggarnya.

Prinsip State Obligation (Kewajiban Negara)

Tomuschat dalam bukunya “Human Rights: Between Idealism and Realism” 22


menggambarkan bahwa sejarah Hak Asasi Manusia tentunya tidak dapat dilepaskan
dengan kemunculan sejarah terbentuknya Negara modern itu sendiri. Beberapa alasan
yang mendasarinya adalah bahwa pertama, Negara dalam bentuknya yang modern
tersebut telah diterima sebagai sebuah bentuk organisasi yang cocok untuk
mempromosikan HAM untuk kepentingan rakyatnya sebagai sumber pergaulan dalam
menghadapi perang yang tiada akhir diantara masyarakat yang majemuk. Dimana
perang juga disebut sebagai sebuah senjata yang mengancam kehidupan dan
peradaban warga Negara tersebut. Olehkarenanya, HAM telah memerankan fungsinya
22
Tomuschat, Christian, Human Rights: Between Idealism and Realism, volume XIII/1, Oxford University Press,
2003, Halaman 7.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


dalam mendialogkan perbedaan tersebut. Kedua, Negara juga diakui sebagai penjamin
dari HAM yang secara institusional diberikan kekuasaan untuk mengamankan
keberadaan, kebebasan dan kekayaan warga negaranya. Meskipun pada saat yang
sama dalam sejarah telah menggambarkan bahwa aktor-aktor Negara yang memiliki
kekuasaan itulah yang melanggar hak-hak warga Negara tersebut.
Lalu jika HAM dimiliki oleh manusia karena kodratnya dia sebagai manusia,
bagaimana dengan Negara-negara yang tidak memberikan pengakuan HAM dalam
sistem hukum yang berlaku di Negara tersebut? Apakah HAM itu baru ada jika ada
hukum yang mengatur dan menjamin tentang HAM? Jika iya, apakah berarti HAM
adalah pemberian hukum?
Marek Piechowaik memberikan pengertian bahwa HAM merupakan hak yang
dimiliki oleh setiap individu karena kodratnya sebagai manusia, jadi bukan berasal
dari hukum. Jadi keberadaan HAM itu dapat dijelaskan secara sederhana bahwa HAM
ada karena setiap orang baik laki-laki atau perempuan adalah manusia.

In the most general sense human rights are understood as rights which belong
to any individual as a consequences of being human, independently of acts of
law. In stating the existence of human rights, we state that every human being,
simply because he or she is a human being.

Pengurangan atau pembatasan hak asasi manusia hanya diperbolehkan pada


hak-hak tertentu dan dalam keadaan tertentu seperti keadaaan darurat umum, dengan
langkah-langkah tertentu, harus sudah dinyatakan secara tegas dalam undang-undang,
serta tidak bermaksud untuk mendiskriminasikan pihak lain. 23 Dengan demikian
keberadaan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HAM
bukan sebagai bukti bahwa HAM adalah pemberian negara atau belas kasihan negara
kepada warga negaranya, 24 melainkan hanya sebatas menegaskan atau menguatkan
bahwa HAM memang nyata adanya. Oleh karena itu konstitusi Indonesia secara tegas
menyatakan bahwa jaminan HAM tersebut adalah sebuah tanggungjawab yang harus
dan wajib dilakukan oleh negara.25 Jika negara atau aparaturnya bertindak sewenang-

23
Thomas Buergental, Menghormati dan Menjamin: Kewajiban Negara dan Pengurangan Hak Yang
Diizinkan”, dalam Ifdal Kasim (eds.), 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku 1, Penerbit ELSAM:
Jakarta, ISBN: 979-8981-20-0. Halaman 315-353.
24
Yosep Adi Prasetyo, 2012. Hak Ekosob Dan Kewajiban Negara, Makalah Memperkuat Pemahaman HAM
Hakim Seluruh Indonesia, Diselenggarakan Oleh Komisi Nasional HAM RI, Hotel Holiday-Lombok, 28-31 Mei
2012. Dapat diakses http://pusham.uii.ac.id
25
Pasal 28 I ayat 5 menyatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


wenang serta mengabaikan pentingnya penghormatan nilai-nilai HAM warga
negaranya atau membiarkan perbuatan diskirminasi, kekerasan dari pihak tertentu
yang melanggar HAM warga negaranya berarti negara gagal melaksanakan kewajiban
untuk menghormati (obligation to respect). Jika negara atau lembaga pembentuk
hukum tidak menjamin HAM warga negaranya atau justru peraturan yang dibuat atau
kebijakan yang dibuat bertujuan mengurangi atau membatas-batasi atau meniadakan
HAM warga negaranya, maka negara dapat dikatakan tidak menjalankan
kewajibannya untuk melindungi HAM warga negaranya (obligation to protect).
Sedangkan apabila negara memberikan kekebalan hukum (impunity) kepada pihak
tertentu yang melanggar HAM atau mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM
atau tidak memenuhi hak-hak warga negara yang seharusnya segera dipenuhi maka
negara berarti telah gagal melaksanakan kewajiban untuk memenuhi HAM warga
negaranya (obligation to fulfil). HAM menekankan soal hak dan kewajiban.
Negaralah yang dibebani kewajiban berdasarkan Hukum Internasional untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) HAM
setiap warga negaranya. Kewajiban menghormati artinya Negara harus menahan diri
dari mengganggu atau membatasi penikmatan hak asasi manusia. Kewajiban untuk
melindungi membutuhkan tindakan Negara untuk melindungi individu dan kelompok
terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban untuk memenuhi berarti bahwa
Negara harus mengambil tindakan positif untuk memfasilitasi pemenuhan hak-hak
dasar manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat 4 UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah”.
Pada tingkat individu, kita juga harus menghormati hak asasi orang lain.

C. Regulasi HAM di Tingkat Internasional dan di Indonesia


The Universal Declaration of Human Rights

The Universal Declaration of Human Rights/ Deklarasi Umum Hak Asasi


Manusia (selanjutnya disingkat dengan DUHAM) ditetapkan oleh Majelis Umum
dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948. DUHAM diadobsi oleh 48
negara menyatakan setuju, 8 negara abstain (Belarusia, Cekoslovakia, Polandia, Arab
Saudi, Afrika Selatan, Ukarina, Unisoviet, dan Yugoslavia), serta tidak ada satupun
Negara yang menolak. Namun secara bertahap dua tahun setelah deklarasi ini di buat

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


semua Negara telah mengadopsinya.26 DUHAM berisi 30 Pasal. Secara operasional,
DUHAM bisa dibagi dalam 3 kelompok pasal yaitu:

• Pasal 1-2, 28 dan 29 merupakan pasal yang berisi tentang dasar filosofis
pentingnya perlindungan HAM (Pasal 1), prinsip equal dan non-
diskriminasi (Pasal 2), konsep tentang kewajiban Negara (pasal 28) dan
kewajiban individu (29 (1)), pembatasan-pembatasan yang diijinkan (Pasal
29 (2)) serta larangan bagi siapapun melanggar atau menghancurkan hak-
hak dan kebebasan yang dijamin dalam deklarasi ini (Pasal 30).
• Pasal 4-21 mengatur tentang pentingnya perlindungan hak sipil dan politik
• Pasal 22-27 mengatur tentang pentingnya perlindungan hak ekonomi,
social dan budaya.

Pasal 1 DUHAM, yaitu “all human beings are born free and equal in dignity
and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one
another in a spirit of brotherhood”. (Semua manusia dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani
dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan). Pasal 1
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang menyebutkan: “…recognition of the
inherent dignity and of equal and inalienable rights…is foundation of freedom”.
Ketentuan Pasal 1 ini mengajarkan tentang semangat kekeluargaan, dimana manusia
adalah bagian dari anggota masyarakat yang saling berhubungan antara satu dengan
yang lain bukan saling bertanding dan membahayakan satu dengan yang lain.

Pasal ini merupakan dasar filosofi mendefinisikan asumsi dasar Deklarasi:


bahwa hak untuk kebebasan dan persamaan merupakan hak yang diperoleh
manusia sejak lahir dan tidak dapat dicabut darinya; dan karena manusia
merupakan makhluk rasional dan bermoral, ia berbeda dengan makhluk
lainnya di bumi, dan karenanya berhak untuk mendapatkan hak dan kebebasan
tertentu yang tidak dinikmati makhluk lain.27

Pasal 2 DUHAM, merupakan prinsip dasar dari persamaan dan non-


diskriminasi, yaitu :

26
Krzysztof Drzewicki, The United Nations Charter and The Universal Declaration of Human Rights”,
dalam buku Raija Hanski dan Markku Suksi, An Introduction of International Protection of Human
Rights, Abo Akademik University, Finland, 2004. Halaman 71.
27
http://www.komnasham.go.id/ Lembar fakta Ham, edisi 3,.h. 15.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


“Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this
Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex,
language, religion, political or other opinion, national or sosial origin,
property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on
the basis of the political, jurisdictional or international status of the country
or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-
self-governing or under any other limitation of sovereignty. (Setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini
tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, keyakinan politik atau keyakinan lainnya, asal usul
kebangsaan dan sosial, hak milik, kelahiran atau status lainnya. Selanjutnya,
pembedaan tidak dapat dilakukan atas dasar status politik, hukum atau status
internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari
negara merdeka, wilayah perwalian, wilayah tanpa pemerintahan sendiri, atau
wilayah yang berada di bawah batas kedaulatan lainnya).

Pasal 3 DUHAM, yaitu “Everyone has the right to life, liberty and security of

person”. (Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan pribadi).

Pasal ini merupakan tonggak pertama Deklarasi menyatakan hak untuk hidup,

kebebasan dan keamanan seseorang suatu hak yang esensial untuk pemenuhan hak-

hak lainnya.28

Pasal 4 – 21 DUHAM merupakan prinsip dan jaminan atas hak – hak sipil dan
politik, yang selanjutnya dijabarkan dalam International Couvenant on Civil and
Political Rights (Kovenan hak sipil dan politik). Adapun isi dari Pasal 4 – 21
DUHAM adalah :
1. kebebasan dari perbudakan dan perhambaan (Pasal 4 ).
2. kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang keji, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat(Pasal 5).
3. hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di manapun (Pasal
6,7).
4. hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif melalui peradilan
(Pasal 8).
5. kebebasan dari penangkapan, penahanan atau pengasingan sewenang-
wenang (Pasal 9).
6. hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan peradilan yang
terbuka oleh pengadilan yang independen dan tidak berpihak (Pasal 10).
7. hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya
(Pasal 11 ).

28
http://komnasham.go.id/ Lembar fakta Ham, edisi 3,.h. 16.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


8. kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas kebebasan
pribadi, keluarga, rumah atau surat menyurat (Pasal 12 ).
9. kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal (Pasal 13 ).
10. hak atas suaka (Pasal 14).
11. hak atas kewarganegaraan (Pasal 15).
12. hak untuk menikah dan mendirikan keluarga (Pasal 16 ).
13. hak untuk memiliki harta benda (Pasal 17).
14. kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama (Pasal 18).
15. kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat (Pasal 19).
16. hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai (Pasal 20).
17. hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya dan mendapatkan
akses yang sama ke pelayanan publik di negaranya (Pasal 21).

Selanjutnya ketentuan Pasal 22 - 27 DUHAM merupakan jaminan atas hak –


hak sosial ekonomi dan budaya, yang selanjutnya dijabarkan dalam International
Couvenant on Sosial, Economic and Cultural Rights (Kovenan hak sosial, ekonomi
dan budaya). Adapun isi dari Pasal 22 - 27 DUHAM, adalah :
1. hak atas jaminan sosial (Pasal 22).
2. hak untuk bekerja (Pasal 23).
3. hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk pekerjaan yang sama
(Pasal 23).
4. hak untuk beristirahat dan bertamasya (Pasal 24).
5. hak atas standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kehidupan
(Pasal 25 ).
6. hak atas pendidikan (Pasal 26).
7. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya suatu masyarakat (Pasal
27).

Selanjutnya Pasal 28 – 30 DUHAM merupakan rumusan hak dan kewajiban


masyarakat internasional, yaitu :
Pasal 28 DUHAM, yaitu : Everyone is entitled to a sosial and international
order in which the rights and freedoms set forth in this Declaration can be fully
realized. (Setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional, di mana hak
dan kebebasan yang diatur dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya).
Pasal 29 DUHAM, yaitu :
(1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full
development of his personality is possible. (Setiap orang mempunyai
kewajiban kepada masyarakat tempat satu-satunya di mana ia
dimungkinkan untuk mengembangkan pribadinya secara bebas dan penuh).
(2) In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to
such limitations as are determined by law solely for the purpose of
securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others
and of meeting the just requirements of morality, public order and the
general welfare in a democratic society. (Dalam pelaksanaan hak dan

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang
ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi
persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum
yang adil dalam masyarakat yang demokratis).
(3) These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the
purposes and principles of the United Nations. (Hak dan kebebasan ini
dengan jalan apapun tidak dapat dilaksanakan apabila bertentangan dengan
tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa- Bangsa).

Pasal 30 DUHAM, yaitu : Nothing in this Declaration may be interpreted as


implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to
perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth
herein. (Tidak ada satu ketentuan pun dalam Deklarasi ini yang dapat ditafsirkan
sebagai memberikan hak pada suatu Negara, kelompok atau orang, untuk terlibat
dalam aktivitas atau melakukan suatu tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan
hak dan kebebasan apapun yang diatur di dalam Deklarasi ini).
Pasal 28 – 30 DUHAM merupakan rumusan hak dan kewajiban masyarakat
internasional, untuk menjaga ketertiban umum dengan pelaksanaan hak dan
kebebasan yang sesuai dengan hukum.

2. International Covenant on Civil and Political Rights.


International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan internasional
tentang hak sipil dan politik) ditetapkan dan dinyatakan terbuka untuk ditandatangani,
diratifikasi dan disetujui oleh resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) pada 16
Desember 1966. Kovenan ini diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang RI No.
12. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik) LN Tahun 2005 No. LN
Tahun 2005 No. 119 TLN No. 4558. Kovenan internasional tentang hak sipil dan
politik berisi 53 Pasal. Dari 52 Pasal tersebut dapat dibagi kedalam 6 bagian yaitu:
• Bagian I – III (Pasal 1-27) pelarangan diskriminasi, kesetaraan gender, dan
pembatasan-pembatasan dan mengatur hak-hak seperti hak hidup (Ps.6),
pelarangan penyiksaan dan penghukuman yang tidak manusiawi (Ps. 7 & 10),
pelarangan perbudakan (Ps. 8), hak kebebasan dan keamanan termasuk
pelarangan penahanan akibat tidak mampu membayar hutang (Ps. 9 dan 11),
hak bebas bergerak (Ps. 12 dan 13), hak untuk proses peradilan yang fair
termasuk pelarangan terhadap pemberlakukan UU secara surut (Ps. 14 dan

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


15), pengakuan kedudukan hukum seseorang (Ps. 16 dan 17), hak kebebasan
berfikir, memilih agama dan kepercayaan (Ps; 18), bebas berpendapat dan
berekspresi termasuk pelarangan propaganda dan penghasutan (Ps. 19 dan 20),
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berdagang (Ps. 21 dan 22), Hak
menikah, membentuk keluarga dan memiliki keturunan (Ps. 23 dan 24). Hak
berpolitik (ps. 25), kesetaraan (Ps. 26), dan hak sebagai kelompok minoritas
(Ps. 27).
• Bagian IV – V (Pasal 28-53) berisi tentang mekanisme monitoring, prinsip-
prinsip dalam interprestasi

Bahwa dari pengaturan hak sipil dan politik sebagaimana tersebut di atas, yang

termasuk dalam hal yang bersifat absolute adalah pelarangan penyiksaan, perbudakan

dan penerapan UU secara surut. Sedangkan hak-hak lainnya memungkinkan untuk

dilakukan reservasi, pembatasan atau pengurangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 Kovenan Sipol.

3. International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights.


International Covenant on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan
internasional tentang hak sosial, ekonomi dan budaya) ditetapkan dan dinyatakan
terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan disetujui oleh resolusi Majelis Umum
2200 A (XXI) pada 16 Desember 1966. Kovenan ini diratifikasi Indonesia melalui
Undang-Undang RI No. 11. Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant
on Sosial, economic and cultural Rights (Kovenan internasional tentang hak sosial,
ekonomi dan budaya) LN Tahun 2005 No. 119 TLN No. 4557. Kovenan
internasional tentang hak sipil dan politik berisi 31 Pasal. Adapun yang berkaitan
dengan rumusan hak sipil dan politik terdapat dalam Pasal 6 – Pasal 15, yaitu :
1. hak untuk bekerja (Pasal 6);
2. hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik (Pasal 7);
3. hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi perburuhan (Pasal 8);
4. hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial khususnya para ibu,
anak dan orang muda (Pasal 9, 10);
5. hak untuk mendapat kehidupan yang layak (Pasal11);
6. hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi
(Pasal 12);
7. hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14);
8. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15).

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Pengaturan hak asasi manusia di dalam DUHAM, dijabarkan dalam Kovenan
Hak Sipil dan Politik dan Kovenan sosial, ekonomi dan budaya. Adapun peletakan
Pasal dalam masing-masing aturan hukum, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 1. Penjabaran Hak Asasi Manusia Dalam DUHAM, Kovenan Sipol dan Kovenan Ekosob

No Jenis Hak DUHAM Kovenan Sipol Kovenan


(Pasal) (Pasal) Ekosob
(Pasal)
1 perlakuan non diskriminasi 2 20,27
2 hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keamanan 3 6, 9
pribadi
3 kebebasan dari perbudakan dan perhambaan 4 8
4 kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan atau 5 7
hukuman yang keji, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat
5 hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum di 6,7 16, 26
manapun
6 hak untuk mendapatkan upaya pemulihan yang efektif 8 9
melalui peradilan
7 kebebasan dari penangkapan, penahanan atau 9 9, 10
pengasingan sewenang-wenang
8 hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil dan 10 14
peradilan yang terbuka oleh pengadilan yang
independen dan tidak berpihak
9 hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan 11 15
kesalahannya

10 kebebasan dari intervensi yang sewenang-wenang atas 12 17


kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau surat
menyurat
11 kebebasan untuk bergerak dan bertempat tinggal; 13 12
12 hak atas suaka 14 13
13 hak atas kewarganegaraan 15 13, 24
14 hak untuk menikah dan mendirikan keluarga 16 23, 24
15 hak untuk memiliki harta benda 17 11
16 kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama 18 18
17 kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat 19 19
18 hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai 20 21, 22 8
19 hak untuk ikut serta dalam pemerintahan negaranya 21 25
dan mendapatkan akses yang sama ke pelayanan
publik di negaranya
20 hak atas jaminan sosial; 22 9, 10
21 hak untuk bekerja; 23 6
22 hak untuk mendapatkan pendapatan yang sama untuk 23 7
pekerjaan yang sama;
23 hak untuk beristirahat dan bertamasya; 24 10
24 hak atas standar kehidupan yang memadai untuk 25 11, 12
kesehatan dan kehidupan;
25 hak atas pendidikan; 26 13, 14
26 hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya 27 15
suatu masyarakat

DUHAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan hak sosial, ekonomi
dan budaya selanjutnya menjadi dasar pengembangan pemikiran rumusan hak asasi
manusia. Termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


dalam UU No. 12 Tahun 2005 dan telah meratifikasi Kovenan hak sosial, ekonomi
dan budaya ke dalam UU No. 11 Tahun 2005. Merupakan kewajiban bagi pemerintah
Indonesia untuk segera mewujudkannya dalam peraturan perundang-undangan karena
akibat hokum ratifikasi suatu perjanjian internasional adalah menjadi bagian dari
hokum nasional yang harus ditaati. Kenyataan masih banyak peraturan perundang-
undangan yang belum sesuai bahkan bertentangan dengan materi Piagam PBB,
Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan hak sosial, ekonomi dan budaya,
contohnya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.
Jimly Asshiddiqie yang membedakan perkembangan konsep hak asasi
manusia dalam lima generasi. Jimly Asshiddiqie menyebut Generasi I dan II sebagai
generasi II, sedangkan generasi I mulai ditandatanganinya Piagam PBB sampai
dengan tahun 1966.
Generasi Pertama, dimulai dari persitiwa penandatanganan naskah Universal
Declaration of Human oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah
sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-
naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta
dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di
Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam
konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu
mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip
kebebasan sipil dan politik.

Generasi Kedua, dimulai dari persitiwa penandatanganan International


Couvenant on Civil and Political Rights dan International Couvenant on Eco-
nomic, Sosial and Cultural Rights (Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum
2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966)

Generasi Ketiga, tahun 1986, muncul konsepsi baru hak asasi manusia yaitu
mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to
development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak
atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak
setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk
atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut,
menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan,
pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain
sebagainya.

Generasi I, II, dan III pada pokoknya mempunyai karakteristik dalam konteks
hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam
suatu negara. Setiap pelanggaran selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa
dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian
political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Sasaran perjuangan hak asasi
manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya.

Generasi Keempat, mempunyai sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi yang


bersifat horizontal. Hal ini dipengaruhi adanya fenomena :
Pertama, fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam
suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations
(MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations (TNC’s) dimana-mana di
dunia. Hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah antara
produsen dan konsumen.
Kedua, memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang
tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar
dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia
(Iran), Irak, dan Bosnia.
Ketiga, fenomena berkembangnya suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap
masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional,
yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens, dikalangan
diplomat dan pekerja atau pengusaha asing. Sebagai contoh, di setiap negara,
terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang secara
khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja.
Keempat, fenomena berkembangnya corporate federalism sebagai sistem yang
mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras
tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok
English speaking community dan French speaking community di Kanada,
kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia,
dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di
Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-
kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum
tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu
berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen.

Generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai
struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang
memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan
sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan
sewenang-wenang dan tidak adil.29

Regulasi HAM di Indonesia


Pemerintah Indonesia menaruh perhatian terhadap masalah HAM di akhir
masa penguasaan Orde Baru dengan didirikannya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) Tahun 1993. Kemudian pemerintah Orde Reformasi
mempunyai perhatian yang besar dan serius terhadap masalah HAM dan diwujudkan
melalui dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
XVII/MPR/1998, Tentang Hak Asasi Manusia, yang telah dijabarkan dalam Undang-

29
http://www.jimly.com/makalah/namafile/2/ Demokrasi dan hak asasi manusia.doc.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UndangUndang
Nomor 26 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Meluasnya jaminan hak-hak asasi
manusia melalui pasal-pasal di dalam UUD 1945 khususnya hasil dari Amandemen II,
merupakan kemajuan dalam membangun pondasai hukum bernegara untuk
memperkuat kontrak penguasa-rakyat dengan semangat konstitusionalisme
Indonesia.30
Selain itu, dengan diratifikasinya berbagai konvensi internasional di bidang
HAM seperti ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui
UU Nomor 12 Tahun 2005 kemudian ICESCR (The International Covenant on
Economical, Social and Cultural Rights 1966) melalui UU Nomor 11 tahun 2005,
serta berbagai konvensi Internasional HAM lainnya, menunjukan bahwa HAM
dipandang sebagai hak yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara dan dijadikan
parameter bagi pembuat kebijakan untuk senantiasa memenuhinya. Keberadaan
perangkat HAM tersebut juga semakin menguatkan kedudukan warga negara dalam
hubungannya dengan negara. Namun demikian, sudahkah Hukum HAM tersebut
tersosialisasikan dan dipahami oleh pemangku kewajiban serta masyarakat luas
dengan baik? Jawaban yang bisa dikemukakan adalah, hal ini masih perlu secara
terus-menerus dilakukan kepada kedua belah pihak.

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya


(Ekosob) yang secara jelas mengungkap kewajiban Indonesia sebagai negara pihak
yang meratifikasi untuk melakukan pemenuhan hak Ekosob. Prinsip Limburg semakin
memperjelas dan menegaskan dimana negara harus bertanggungjawab baik terhadap
masyarakat internasional maupun rakyatnya sendiri dalam pemenuhan syarat
kewajiban menurut kovenan. Upaya terpadu secara nasional untuk mendorong
partisipasi penuh semua sektor masyarakat adalah penting untuk mencapai kemajuan
dalam realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Serangkaian kewajiban negara
setelah meratifikasi ini meliputi penyusunan laporan awal perihal implementasi semua
ketentuan dalam kovenan, penyusunan rencana aksi, serta menjamin pencapaian
tindakan dan hasil, yang secara jelas menuntut kewajiban negara terhadap hasil
pencapaian pembangunan, seperti tingkat pendidikan masyarakat, kualitas kesehatan
masyarakat, kondisi pemukiman masyarakat, ketersediaan lapangan pekerjaan bagi

30
Wiratraman, Hak-hak Konstitusional Warga Ngeara Setelah Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan
Dinamika Implementasi, Jurnal Hukum Panta Rei, Vol. 1 No.1 Desember 2007, Jakarta, Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


masyarakat, misalnya. Dan menuntut negara dalam implementasi tindakan yang
melihat bagaimana strategi, kebijakan dan proses yang dilakukan pemerintah dalam
membangun sistem pemenuhan hak-hak Ekosob.

Kewajiban untuk “mencapai realisasi penuh hak-hak secara progresif”


sebagaimana disyaratkan dalam prinsip tersebut mensyaratkan Indonesia untuk
bergerak secepat dan seefisien mungkin menuju realisasi hak-hak tersebut. Negara
pihak memiliki kewajiban untuk segera mulai mengambil langkah-langkah untuk
memenuhi kewajiban mereka menurut kovenan. Pencapaian secara progresif
menuntut tindakan aktif negara dengan penggunaan sumber dayanta secara efektif
dengan melihat apakah hak-hak tersebut sudah dipenuhi atau tidak. Kewajiban
pencapaian ini progresif tidak dipengaruhi oleh peningkatan sumberdaya, bahkan
tanpa memperhatikan tingkat pembangunan ekonomi suatu negara, jadi tanpa alasan
apapun, negara harus memprioritaskan untuk memastikan pemenuhan hak pokok
minimum bagi semua rakyat.

The International Covenant on Economical and Social Rights (untuk


selanjutnya disingkat CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari
Hukum HAM Internasional (The International Bill of Rights)31dengan maksud tidak
lain adalah untuk melindungi hak-hak asasi manusia sehingga manusia dapat hidup
sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan hidup sehat. Hak untuk
hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai kecuali semua
hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja,
makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequatelay) dan
tersedia (available) bagi setiap orang. 32 Selaras dengan tujuan fundamental inilah,
maka dibentuklah instrumen HAM Internasional memberikan perlindungan baik
kepada individu atau kelompok tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya yang
tertuang dalam CESCR 1966. CESCR 33 secara garis besar memberikan pengakuan
terhadap hak untuk bekerja, hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk kehidupan
yang layak, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas pengembangan budaya, dsb. Hak

31
Hukum HAM Internasional (atau lebih dikenal dengan The International Bill of Rights) meliputi The Universal
Declaration of Human Rights, 1948, The International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) 1966 dan
The International Covenant on Economical, Social and Cultural Rights 1966 (CESCR)
32
United Nations. 2001. Fact Sheet No. 16 (Rev.1). The Committee on Economic, Social, and Cultural Rights,
Centre for Human Rights United Nations, Geneva.
33
CESCR terdiri dari 31 pasal

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


atas penghidupan yang layak yang akan ditelaah dalam tulisan ini akan difokuskan
pada hak atas rumah dan air bersih.
Dibandingkan dengan hak sipil dan politik termuat dalam CCPR, seringkali
hak ekonomi, sosial dan budaya dipandang sebagai hak generasi kedua dimana
pemenuhannya tidak dapat dipaksakan (unforceable), tidak dapat dituntut di muka
pengadilan (non-justiciable), dan hanya dapat dipenuhi oleh negara secara bertahap
(to be fulfilled progresively). Namun demikian, seiring dengan diakuinya sistem
Hukum HAM secara global yang ditandai dengan penerimaan DUHAM 1948, maka
negara-negara di dunia secara berulang-ulang menegaskan melalui Konferensi Dunia
tentang HAM Tahun 1993 dengan menyatakan bahwa kedua bidang HAM yaitu
CCPR dan CESCR tersebut memiliki kedudukan yang sama penting. Resolusi Majelis
Umum PBB Nomor 32/130 pada Desember 1977 menyatakan bahwa:

“(a) All human rights and fundamental freedoms are invisilbe and
interdependent; equal attention and urgent consideration should be given to
the implementation, promotion, and protection of both civil and political, and
economical, social and cultural rights; (b) The full realization of civil and
political rights without the enjoyment of economic, social and cultural rights
is impossible; the achievement of lasting progress in the implementation of
human rights is dependent upon sound and effective national and international
policies of economica and social development, as recognized by the
Proclamation of Teheran of 1968”.34

Pada Tahun 2002 Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya


(the Committee on Economic, Social and Cultural Rights) dalam Komentar
Umum (General Comment) No. 15, secara tegas memberikan penafsiran tentang
pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), bahwa
hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia
lainnya. Dalam argumentasinya, Komite ini menunjukkan bahwa banyak hak asasi
manusia lainnya tidak dapat didapatkan oleh manusia jika sebelumnya tidak dikenal
adanya hak atas air. Hak Hidup (the right to life) , hak untuk mendapatkan makanan
(the right to food), hak-hak dalam upaya memenuhi hak untuk mempertahankan
kesehatan (the right to maintain health level) – sebagai prasyaratnya.

34
United Nations. 2001. Fact Sheet No. 16 (Rev.1). ibid. hal.5.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Dengan demikian, jelas bahwa baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi,
sosial, budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena memiliki sifat saling
ketergantungan dan keduanya memerlukan perhatian yang sama dari negara baik
dalam hal penerapannya, sosialisasinya maupun perlindungannya. Hal ini mengingat
bahwa pemenuhan hak sipil dan politik saja tanpa pemenuhan hak ekonomi, sosial
dan budaya seseorang sangatlah tidak mungkin. Oleh karena itu untuk mewujudkan
terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya dibutuhkan dukungan baik dari
kebijakan nasional atau internasional. Dengan demikian, segala bentuk penyangkalan
terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya yang didukung oleh pendapat yang masih
menempatkan hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak yang tidak nyata, hak yang
tidak membutuhkan keterlibatan negara, atau hak yang dapat dipenuhi secara
bertahap, hanyalah sebagai pandangan yang tidak relevan lagi. Terlebih ketika
CESCR telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2200 A (XXI) pada
Desember 1966 dan telah entry into force sejak 3 January 1976. Bahkan saat ini
karena jumlah penerimaan CESCR oleh negara-negara sudah sangat besar yaitu 143
negara meratifikasi, maka CESCR sudah mengalami perubahan karakter yang semula
hanya merupakan perjanjian multirateral berubah menjadi hukum kebiasaan
internasional (international customary law), artinya ia mengikat setiap negara dengan
atau tanpa ratifikasi.35

Situasi kekinian perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada


tahun 2012 menurut pernyataan Kelompok Kerja Majelis Tinggi HAM PBB (United
Nations Human Rights Council) pada Universal Periodic Review (UPR) sesi ke-13 di
Genewa pada 21 Mei sd 4 Juni 2012 Nomor A/HRC/WG.6/13/IDN/1 menunjukan
bahwa pemenuhan HAM masih dinilai lemah oleh Majelis Tinggi HAM PBB. Oleh
karena itu pada tahun 2012-2013 36 Indonesia bersedia untuk menerima peninjau
khusus (special rapportour) khususnya soal pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas
perumahan dan hak kebebasan berekspresi, serta berkomitmen menjamin hak

35
Ifdal Kasim. 2007. Implementasi Hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya: Kerangka Normatif dan Standar
Internasional. Makalah Seminar Nasional dengan tema ”Menuju Perlindungan dan Pemantauan Yang Efektif Hak
Ekonomi, Sodial dan Budaya di Indoensia, kerjasama PUSAHM UII dan Norwegian Centre for Human Rights,
Oslo. Lihat juga Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
Alumni, Bandung, 2000.
36
Lihat UN Human Rights Council: Statement for the 2012 Universal Periodic Review of Indonesia, diakses dari
Human Rights Wacth website di http://www.hrw.org/news/2012/09/19/un-human-rights-council-statement-2012-
universal-periodic-review-indonesia, lihat juga Human Rights Council Working Group on the Universal Periodic
Review Thirteenth session Geneva, 21 May–4 June 2012 di http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G12/116/38/PDF/G1211638.pdf?OpenElement

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


kebebasan beragama. Berbeda dengan Laporan Kelompok Kerja UPR Tahun 200837
(empat tahun sebelumnya) dimana dunia internasional menyoroti berbagai kelemahan
dalam perlindungan HAM di Indonesia. Misalnya, lemahnya pemahanan HAM
pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal (local regulation) menyebabkan pada
tahun 2002 terdapat ratusan Perda yang dibatalkan karena tidak sesuai dengan nilai-
nilai penghormatan HAM. 38 Oleh karena itu perlu segera dilakukan harmonisasi baik
di bidang legislasi, administrasi, kebijakan, dan pelaksanaannya. Dari Laporan
Periodik Umum Kelompok Kerja di atas baik pada tahun 2008 dan 2012 tersebut
menggambarkan bahwa persoalan transformasi norma hukum HAM Internasional ke
dalam regulasi baik di tingkat pusat (national regulation) maupun di tingkat daerah
(local regulation) menjadi isu penting yang harus diperhatikan oleh Pemerintah
Indonesia. Kedua, tanggungjawab Indonesia untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi HAM warga negara merupakan bagian dari komitmen Indonesia terhadap
berbagai perjanjian Internasional tentang HAM yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai Organisasi
Internasional. Komitmen Indonesia untuk melindungi (to protect) HAM diperkuat
dengan ratifikasi Indonesia atas berbagai perjanjian-perjanjian internasional di bidang
HAM antara lain 1) Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau
Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Manusia,39 2) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,40 3)
Konvensi tentang Penghapusan Segala Macam Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan,41 4) Konvensi tentang Hak-hak Anak,42 5) Konvensi Hak Kaum Disable/
the Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) diratifikasi
Indonesia pada November 2011, 6) Konvensi Perlindungan Hak-hak Buruh Migran
dan Keluarganya atau the International Convention on the Rights of All Migrant
Workers and Members of Their Families (ICRMW) yang diratifikasi oleh Indonesia
pada Mei 2012. Di level regional, Indonesia yang sudah 14 tahun menjadi anggota

37
Lihat UNIVERSAL PERIODIC REVIEW, Report of the Working Group on the Universal Periodic
Review –Indonesia, A/HRC/8/23, 14 May 2008, General Asembly of United Nation. HUMAN RIGHTS
COUNCIL Eighth sessions Agenda item 6, dapat diakses melalui http://www.geneva-
academy.ch/RULAC/pdf_state/UPR-Outcome-of-the-Working-Group.pdf
38
UPR Indonesia, 2008, Ibid. Point 10 Halaman 4.
39
Konvensi ini disebut CAT, diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 39/46 tanggal 10 Desember 1984.
Indonesia meratifikasinya melalui UU No. 5 Tahun 1998.
40
CERD diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 2106 (XX) 21 Desember 1965. Indonesia meratifikasi
CERD melalui UU No. 29 Tahun 1999.
41
Konvensi ini dikenal dengan nama CEDAW dan diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984.
42
CRC diratifikasi oleh Indonesia mellui Keppres 36 Tahun 1990.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


ASEAN, dan pada 2011 dipercaya sebagai ketua dari organisasi ASEAN dan
Indonesia menunjukan peran yang cukup penting dalam pembentukan Deklarasi
HAM ASEAN.
Di ranah kebijakan pada tahun 2011, pemerintah akhirnya menerbitkan
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) periode 2011-2014. Kelima,
keberadaan lembaga-lembaga penegakan HAM di Indonesia seperti (Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia/ KOMNAS HAM) dan Pengadilan HAM serta berbagai NGO
yang bergerak dibidang Hak Asasi Manusia menjadi bagian yang tidak terpisahkan
bagi upaya menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Selama ini, Indonesia sebagai pemegang kewajiban (duty holders) masih sebatas
melaksanakan 1 (satu) kewajiban yaitu kewajiban untuk melindungi HAM (obligation
to protect). Namun komitmen Indonesia dalam melaksanakan (dua) kewajiban lainnya
yaitu menghormati (obligation to respect) dan memenuhi (obligation to fulfil) HAM
bagi setiap warga negara belum maksimal. Kewajiban untuk menghormati menuntut
negara, termasuk organ-organnya untuk tidak melakukan apapun yang melanggar
hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar individu, misalnya menghalang-halangi
kebebasan warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Kewajiban
untuk melindungi menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan (baik di bidang leglislatif, yudikatif, eksekutif) guna melindungi hak-hak
dan kebebasan warga negara yang ada di wilayahnya. Misalnya membuat Undang-
undang atau berbagai kebijakan publik yang memberikan jaminan perlindungan
terhadap hak-hak dan kebebasan warga di wilayahnya. Dan kewajiban ketiga
menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah guna memenuhi hak-hak dan
kebebasan dasar manusia misalnya pemenuhan hak atas kesehatan, hak atas
penghidupan yang layak, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dll. Kiranya
kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) dengan membuat berbagai produk
regulasi di bidang HAM sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk sebagian
saja yaitu pada level Konstitusi (grundmorm/ norma dasar) meskipun dalam catatan
Penulis masih terkesan setengah hati dan tidak konsisten karena faktanya berbagai
regulasi yang dibuat baik di tingkat Undang-undang (UU), atau Peraturan Daerah
(Perda) atau kebijakan publik lainnya justru mereduksi jaminan perlindungan HAM
yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 serta bertentangan dengan konvensi
Internasional tentang HAM yang telah diratifikasi.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


D. Penutup
Bahwa kesadaran akan pentingnya memajukan dan menghormati Hak Asasi
Manusia harus dipahami oleh setiap komponen bangsa dan masyarakat tidak hanya
sekedar bentuk komitmen Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional
yang terikat pada perjanjian internasional semata. Negara menyadari posisinya
sebagai pemegang kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM.
Namun lebih dari itu penghormatan HAM merupakan bagian dari upaya bangsa untuk
menegakan prinsip rule of law, dan mencapai tujuan negara melindungi segenap
bangsa berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, juga semakin mengukuhkan
pelaksanaan prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
serta mewujudkan Negara hukum yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki
para founding fathers yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu penting kiranya memahami
prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia serta berbagai regulasi HAM baik di tingkat
Internasional maupun nasional secara tepat dan komprehensip.

Daftar Pustaka
Ashidiqi, Jimly, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya,
paper on Public Dialog and Consulation with National Commission of
Woman “Perempuan dan Konstitusi di Era Otonomi Daerah: Tantangan
dan Penyikapan Bersama”. Jakarta, 27 Nopember 2007.
http://jimly.com/makalah/namafile/8/HAK_KONSTITUSIONAL_PEREMP
UAN.doc

Brownlie, I.. Principles of International Law. 5th Edition, Oxford, 1998. Chapter 2

Buergental, Thomas. Menghormati dan Menjamin: Kewajiban Negara dan


Pengurangan Hak Yang Diizinkan. dalam Ifdal Kasim (eds.), Hak Sipil
dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku 1, Penerbit ELSAM, ISBN: 979-8981-
20-0. Jakarta, 2001

Davies, Peter. Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai. ed. A.Rahman.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Drzewicki, Krzysztof . The United Nations Charter and The Universal Declaration of
Human Rights”, dalam buku Raija Hanski dan Markku Suksi, An Introduction of
International Protection of Human Rights, Abo Akademik University, Finland,
2004. Halaman 71.

Fadjat, A.Muktie. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Fulthoni, dkk, 2009. Buku Saku untuk Kebebasan Beragama: Memahami Diskriminasi.
Jakarta: ILRC,

Harjono. Politik Hukum Perjanjian Internasional. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1999.

Ihza, Yusril. Tak Ada Dasar Hukum Yang Jelas SKB Ahmadiyah.

Kasim, Ifdal. Reduksi Perlindungan HAM Dalam Peratutan Daerah. Jurnal


HUMANITAS, Volume II, November 2011.

Lindholm, Tore, Durham, W. Cole, Jr. Lie, Bahia G. Tahzib. Kebebasan Beragama
atau Berkeyakinan; Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-
Prinsip dan Praktek, Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Mahfud. Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen


Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, held by Indonesian Conference on
Religion and Peace (ICRP). Jakarta, 2009.

Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global. Bandung: Alumni Bandung, 2000.

Mayer, Ann Elizabeth. Universal versus Islamic Human Rights: A Clash of Culture
or a Clash with a Construct?. Michigan: Journal of International Law,
Vol.15 No.2 Winter 1994.

Nowak, Manfred. The International Covenant On Civil and Political Rights, Raija
Hanski and Markku Suksi, An Introduction to the International Protection
of Human Rights, A Textbook, Second revised edition, Institute for Human
Rights, Abo Akademi University, 2004.

Parsch, Karl Josef. Kebebasan Beragama , Berekspresi dan Kebebasan Berpolitik,


ed. Ifdal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-esai Pilihan. Jakarta: ELSAM,
2002.

Prasetyo , Yosep Adi. 2012. Hak Ekosob Dan Kewajiban Negara, Makalah
Memperkuat Pemahaman HAM Hakim Seluruh Indonesia, Diselenggarakan
Oleh Komisi Nasional HAM RI, Hotel Holiday-Lombok, 28-31 Mei 2012.
Dapat diakses http://pusham.uii.ac.id

Rasjidi, Lili. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Siraj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan, Figh Demokratik Kaum Santri. Jakarta:
Pustaka Ciganjur, 1992.

Tomuschat, Christian. Human Rights, Between Idealism and Realism. Oxford


University Press, 2003.

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096


Van Dijk, Mr.P., Flinterman, Prof.mr.C., Janssen, Dr.mr.P.E.L. International Law,
Human Rights. Fourth Revised Edition, Den Haag, Koninjklijke
Vermande, 2002.

Daftar Peraturan Perundnag-undangan, Kovensi Internasional dan dokumen


penting lainnya

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Tahun 1948

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Tahun 1966

Kovenan Internasional Hak ekonomi, Sosial dan Budaya Tahun 1966

Un dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM

Annual Report of Human Rights National Commission 2007: Indonesia. Released by


Human Rights National Commmission January 11, 2009 di
http://komnasham.or.id

General Comment No.22 (48) of the United Nations Human Rights Committee
provides normative substance to Article 18 of the ICCPR

UN Human Rights Council: Statement for the 2012 Universal Periodic Review of
Indonesia, http://www.hrw.org/news/2012/09/19/un-human-rights-council-
statement-2012-universal-periodic-review-indonesia,

Human Rights Council Working Group on the Universal Periodic Review Thirteenth
session Geneva, 21 May–4 June 2012 di http://daccess-dds-
ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G12/116/38/PDF/G1211638.pdf?OpenElement

UNIVERSAL PERIODIC REVIEW, Report of the Working Group on the Universal


Periodic Review –Indonesia, A/HRC/8/23, 14 May 2008, General Asembly
of United Nation. HUMAN RIGHTS COUNCIL Eighth sessions Agenda
item 6, dapat diakses melalui http://www.geneva-
academy.ch/RULAC/pdf_state/UPR-Outcome-of-the-Working-Group.pdf

Electronic copy available at: https://ssrn.com/abstract=3304096

Anda mungkin juga menyukai