Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus dan Ulkus Kaki Diabetik

2.1.1 Definisi

2.1.1.1 Diabetes melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika

pankreas tidak memproduksi cukup insulin, atau ketika tubuh tidak dapat

menggunakan insulin secara efektif dengan peningkatan kadar gula darah yang

dapat menyebabkan kerusakan jantung, pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf

(World Health Organization, 2016).

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA) diabetes melitus

diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yaitu DM tipe 1 (kerusakan sel β pankreas

sehingga terjadi kekurangan produksi insulin absolut), DM tipe 2 (gangguan

sekresi insulin dengan resistensi insulin), DM gestasional (DM terjadi selama

kehamilan trisemester ke-2 atau ke-3), dan DM tipe khusus karena penyebab lain

(sindrom diabetes monogenik seperti diabetes neonatus dan maturity-onset

diabetes of the young), penyakit pankreas eksokrin seperti fibrosis kistik, akibat

obat atau zat kimia seperti penggunaan glukokortikoid dalam pengobatan

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ (American Diabetes Association,

2016).

8
9

2.1.1.2 Ulkus kaki diabetik

Ulkus kaki diabetik (UKD) berdasarkan World Health Organization

(WHO) dan International Working Group on the Diabetic Foot (IWGDF)

didefinisikan sebagai kaki penderita diabetes dengan ulserasi, infeksi, dan atau

kerusakan jaringan yang berkaitan dengan abnormalitas neurologi dan penyakit

vaskular perifer di ekstremitas bawah (Katsilambros, et al., 2007).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Melitus dan Ulkus Kaki Diabetik

DM tipe 2 merupakan jenis DM yang paling banyak sekitar 90% dari

seluruh jenis DM (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014). WHO

memperkirakan terdapat 422 juta orang di dunia dengan usia lebih dari 18 tahun

menderita DM pada tahun 2014, dengan prevalensi sebanyak 8,5% (World Health

Organization, 2016). Di Indonesia berdasarkan laporan Riskesdas 2007 dan 2013

terdapat kenaikan prevalensi penderita DM dengan usia lebih dari 15 tahun yaitu

5,7% dan 6,9% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI, 2008; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Ulkus kaki diabetik adalah satu konsekuensi kronis dari DM yang

merupakan penyebab terbanyak dari amputasi nontrauma di anggota gerak bawah

(Silva, et al., 2007). Diperkirakan 15-25% dari populasi DM akan mengalami

ulkus kaki diabetik dengan angka morbiditas tinggi, yang mana 40-80% penderita

mempunyai risiko infeksi (SPILF, 2007) dan 10-20% penderita memerlukan

amputasi (World Health Organization, 2016).


10

Di Eropa, tingkat amputasi tahunan untuk pasien dengan DM adalah

sebesar 0,5-0,8% dan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa sekitar 85% dari

amputasi ekstremitas bawah pada DM diakibatkan karena adanya UKD (Wounds

International, 2013). Ditemukan bahwa 85% amputasi seharusnya dapat dihindari

jika tatalaksana efektif dijalankan, namun sayangnya sampai saat ini belum

banyak dilaksanakan (Wounds International, 2013).

Hiperglikemia kronis pada DM tipe 2 berhubungan dengan kerusakan,

disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan

pembuluh darah. Berbagai proses patogenesis dikembangkan pada DM,

kerusakan autoimun sel beta pankreas dengan konsekuensi difisiensi insulin dan

kerja insulin abnormal pada resistensi insulin (American Diabetes Association,

2016).

Prevalensi UKD di negara maju sekitar 4-10%, dengan insiden tahunan

pada populasi DM 1,7-3,3% pada usia muda dan 5-10% pada usia tua

(Katsilambros, et al., 2007). Pada gambar 2.1 terdapat hasil pengumpulan data

persentase komplikasi DM di RSCM Jakarta tahun 2011, UKD menempati urutan

ke-5 tertinggi setelah neuropati, retinopati diabetik, proteinuria, dan PAD

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Di RSUP Sanglah Denpasar, proporsi UKD sekitar 74,6% Wagner 3-4 dan

25,4% Wagner 1-2, dengan semakin tinggi keparahan ulkus kaki diabetik maka

semakin besar risiko amputasi (Mulyawan, et al., 2007; Yasa, 2014). Operasi

debridemen di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2014 sebanyak 256 orang dan 92
11

orang dilakukan amputasi, serta sekitar 95% penderita dirawat dengan UKD

Wagner 3-5 (Semadi, 2016).

%
60 54
50

40 33,4
30 26,5

20
10,9 8,7
10 7,4 5,3 5,3
2,7 1,3 0,5
0

Gambar 2.1
Persentase Komplikasi DM di RSCM tahun 2011 (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014)

2.1.3 Faktor Risiko Diabetes Melitus dan Ulkus Kaki Diabetik

Risiko terjadinya DM dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan

metabolik, seperti suku, riwayat keluarga diabetes, riwayat terkena DM

gestasional, berat badan lebih dan obesitas, diet tidak sehat, kurangnya aktivitas

fisik, dan merokok (World Health Organization, 2016). DM biasanya lebih

banyak terjadi pada perempuan dengan DM gestasional, penderita hipertensi,

dislipidemia, dan pada kelompok suku/ras seperti African American, Native

American, Hispanic/Latino, dan Asian American (American Diabetes Association,


12

2016). Adanya kelebihan lemak badan, diet yang tidak sehat, dan kurangnya

aktivitas menjadi risiko tinggi terjadinya DM. Beberapa diet yang dapat

meningkatkan risiko DM adalah makanan dengan asam lemak jenuh

tinggi/makanan berlemak, kekurangan serat, dan makanan/minuman dengan kadar

gula tinggi. Pada perokok aktif khususnya perokok berat dapat meningkatkan

risiko terjadinya DM lebih tinggi 10 kali dibanding perokok ringan (World Health

Organization, 2016).

Ulkus kaki diabetik lebih banyak terjadi pada pasien dengan faktor risiko

neuropati dengan insiden tahunan 5-7%, yang dipengaruhi oleh faktor genetik,

pola diet, dan kebiasaan merokok. Diperkirakan 5% pasien DM memiliki riwayat

UKD (Katsilambros, et al., 2007). Sifat multifaktor dari ulkus kaki diabetik pada

gambar 2.2 telah dipaparkan oleh beberapa penelitian observasional, antara lain

neuropati perifer, gangguan vaskular seperti peripheral arterial disease (PAD),

limitasi mobilitas sendi, deformitas kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma

minor, riwayat ulkus atau amputasi, dan gangguan dari ketajaman penglihatan

(Frykberg, et al., 2006).

Pada studi multisenter di Jerman, Tanzania, dan India didapatkan faktor

risiko terjadinya ulkus kaki diabetik paling sering adalah neuropati perifer

(prevalensi 79%, 84%, dan 80%, berurutan), diikuti dengan penyakit vaskular

perifer lebih sering di Jerman (48%) dibandingkan di Tanzania (14%) dan India

(13%) (Katsilambros, et al., 2007).


13

Gambar 2.2
Faktor Risiko Ulkus Kaki Diabetik (Frykberg, et al., 2006)

2.1.4 Etiologi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh triad klasik dari neuropati, iskemia,

dan infeksi (Singh, et al., 2013). Selain itu ada yang menyebutkan penyebab UKD

dikelompokkan menjadi neuropati, iskemia, dan neuroiskemia (Frykberg, et al.,

2006; Katsilambros, et al., 2007; Wounds International, 2013). Sekitar 20%

penderita akibat iskemia, 50% akibat neuropati, dan 30% akibat kombinasi

keduanya (Margolis, et al., 2002).

Neuropati perifer menyebabkan gangguan pada saraf sensorik, motorik,

dan otonomik. Penderita dengan gangguan saraf sensorik berisiko 7 kali menderita

UKD karena penderita kurang peka terhadap nyeri, ulkus, dan infeksi. Pada
14

penderita DM risiko terjadi PAD 2 kali dibanding penderita tidak DM, yang

merupakan awal mula terjadinya UKD dan amputasi ekstremitas bawah (Wounds

International, 2013). Selain itu dengan adanya gangguan aliran arteri

menyebabkan gangguan perfusi sehingga proses penyembuhan UKD yang lama

dan meningkatkan infeksi karena kekurangan oksigenasi perifer dan kesulitan

antibiotik ke lokasi infeksi (Frykberg, et al., 2006; Wounds International, 2013).

2.1.5 Patofisiologi Ulkus Kaki Diabetik

Pada gambar 2.3 patofisiologi terjadinya UKD sesuai dengan faktor risiko

dan etiologi yang ada bersifat multifaktor (Frykberg, et al., 2006).

Gambar 2.3
Patofisologi Ulkus Kaki Diabetik (Frykberg, et al., 2006)
15

Diabetik neuropati merupakan penyebab umum terjadinya UKD.

Kerusakan saraf motorik menyebabkan kelemahan otot, atrofi, dan paresis.

Kerusakan saraf sensorik menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan, dan

panas (Alexiadou dan Doupis, 2012). Sedangkan pada kerusakan saraf otonomik

menyebabkan gangguan simpatik dan parasimpatik meliputi takikardi saat

istirahat, hipotensi ortostatik, konstipasi, diare, gastroparesis, disfungsi ereksi,

anhidrosis, dan insufisiensi mikrovaskular. Adanya anhidrosis dan insufisiensi

mikrovaskular akan mengakibatkan hilangnya integritas kulit dan rentan terjadi

infeksi mikroba (Vinik, et al., 2003; Alexiadou dan Doupis, 2012). Paling sering

UKD karena neuropati, iskemia, dan neuroiskemia yang memiliki karakteristik

tertentu pada tabel 2.1 (Wounds International, 2013).

Tabel 2.1
Karakteristik Ulkus Kaki Diabetik berdasar Etiologi (Wounds International, 2013)
Karakteristik Neuropati Iskemia Neuroiskemia
Sensasi Hilangnya sensori Nyeri Derajat hilangnya
sensori
Kalus/nekrosis Ada kalus dan sering Sering nekrosis Kalus minimal
tebal dan rentan
nekrosis
Dasar luka Merah muda dan Pucat dan slough Granulasi buruk
granulasi, dikelilingi dengan granulasi
kalus buruk
Suhu kaki dan Hangat dengan Dingin dengan Dingin dengan
pulsasi pulsasi bounding tidak ada pulsasi tidak ada pulsasi
Lokasi Area menahan beban Ujung jempol kaki, Tepi kaki dan jari
di kaki, seperti kepala tepi kuku, dan kaki
metatarsal, tumit, dan antara jari kaki dan
dorsal clawed toes batas lateral kaki
Lainnya Kulit kering dan Penyembuhan Risiko tinggi
pecah-pecah terlambat infeksi
16

Hilangnya sensasi pada kaki menimbulkan trauma minor berulang, baik

dari faktor internal (kalus, kuku, dan deformitas kaki) dan faktor eksternal (sepatu,

luka bakar, dan benda asing) yang tidak diketahui oleh penderita. Kondisi ini akan

lebih jelek jika terjadi pada penderita dengan PAD. Pada penderita DM dengan

PAD jika terjadi trauma minor di kaki, membutuhkan peningkatan aliran darah

tetapi aliran darah tidak cukup baik. Hal ini mengakibatkan ulkus kaki meluas dan

dalam yang dapat mengarah amputasi ekstremitas (Alexiadou dan Doupis, 2012).

Kurangnya aliran darah ke perifer akan mempengaruhi proses penyembuhan luka

yang lama, kurangnya oksigenasi, dan gangguan pengangkutan antibiotik ke area

infeksi (Frykberg, et al., 2006; Wounds International, 2013).

Keterbatasan gerakan sendi kaki menjadi potensi terjadinya UKD melalui

proses glikosilasi kolagen. Hal ini menyebabkan kekakuan struktur kapsular dan

ligamen (cheiroarthropathy). Perubahan jaringan lunak kaki dapat berperan

menimbulkan ulserasi karena mengubah distribusi pola penekanan telapak kaki.

Beberapa perubahan seperti penebalan fascia plantar berkaitan keterbatasan

dorsofleksi haluks, penurunan ketebalan jaringan lunak plantar,

kekakuan/kekerasan kulit, dan akhirnya dapat terbentuk kalus (Frykberg, et al.,

2006).

Pada kondisi tekanan yang bersifat rendah namun berlangsung lama pada

daerah penonjolan tulang (gambar 2.4), menyebabkan luka pada daerah medial,

lateral, dan dorsal kaki distal, serta berkaitan dengan sepatu yang tidak pas atau

terlalu sempit. Trauma akibat sepatu, hilangnya sensasi, dan terjadinya deformitas

pada kaki menjadi pemicu utama terjadinya ulkus pada pasien dengan DM.
17

Hilangnya sensori kulit yang bersifat protektif dan adanya fokus tekanan yang

abnormal menyebabkan timbunya kalus, kulit melepuh, dan ulkus. Kondisi

tekanan sedang yang lama dan berulang menyebabkan ulkus di plantar kaki dan

berkaitan dengan kepala metatarsal menonjol, bantalan lemak atrofi, deformitas

ekstremitas bawah, dan ulkus bertahan lama (Frykberg, et al., 2006).

Gambar 2.4
Area Kaki yang Berisiko Ulkus Kaki Diabetik (Wounds International, 2013)

Infeksi sering terjadi pada penderita DM dan sering ditemukan lebih parah

daripada penderita tidak DM dan memiliki risiko lebih tinggi untuk menjadi

osteomielitis (Frykberg, et al., 2006). Sekitar 56% UKD menjadi terinfeksi dan
18

20% dari yang terinfeksi menjalani amputasi ekstremitas bawah (Wounds

International, 2013).

Terdapat banyak penelitian yang menemukan bahwa infeksi pada ulkus

kaki diabetik disebabkan oleh kuman polimikrobial pada gambar 2.5 (Frykberg, et

al., 2006). Bakteri kokus gram positif aerob merupakan mikroorganisme

predominan yang berkoloni dan menginfeksi akut pada kulit. Bakteri kokus gram

positif aerob seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus β-hemolitik (grup

A, C, dan G, terutama grup B) merupakan patogen yang paling banyak ditemukan.

Pada luka kronik ditemukan koloni enterokokus, Enterobacteriaceae, anaerob

obligat, Pseudomonas aeruginosa, dan batang gram negatif nonfermentatif

(Lipsky, et al., 2004).

Gambar 2.5
Infeksi Ulkus Kaki Diabetik (Frykberg, et al., 2006)
19

Keadaan hiperglikemia, gangguan respon imunologi, neuropati, dan PAD

merupakan faktor predisposisi mayor yang menyebabkan ancaman serius pada

tungkai. DM yang tidak terkontrol menyebabkan gangguan dari leukosit untuk

melawan bakteri patogen, dan adanya iskemia juga mempengaruhi kemampuan

melawan infeksi karena gangguan pengantaran antibiotik ke lokasi infeksi.

Akibatnya, infeksi dapat terjadi menyebar secara cepat dan menghasilkan

kerusakan jaringan yang signifikan dan ireversibel (Frykberg, et al., 2006).

2.1.6 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik dievaluasi dan dikelompokkan untuk membantu dalam

rencana tatalaksana, ulkus yang ada dideskripsikan termasuk karakteristik ulkus,

seperti ukuran, kedalaman, penampilan luka, dan lokasi (Clayton dan Elasy,

2009). Berbagai sistem klasifikasi sudah dikembangkan untuk menggambarkan

ulkus berdasarkan pemeriksaan fisik.

Salah satu sistem klasifikasi yang paling sering digunakan adalah sistem

klasifikasi Wagner-Meggitt pada tabel 2.2 dan gambar 2.6, berdasarkan

kedalaman luka dan perluasan jaringan nekrosis (Frykberg, et al., 2006;

Katsilambros, et al., 2007; Clayton dan Elasy, 2009).

Pada klasifikasi Wagner tidak dapat menilai adanya infeksi dan iskemia,

oleh karena itu dibuat sistem klasifikasi University of Texas pada tabel 2.3, untuk

menilai kedalaman ulkus dengan adanya infeksi dan iskemia. Luka dengan kelas

dan stadium yang lebih tinggi akan susah sembuh jika tidak dilakukan amputasi
20

atau perbaikan vaskular (Frykberg, et al., 2006; Katsilambros, et al., 2007;

Clayton dan Elasy, 2009).

Tabel 2.2
Sistem Klasifikasi Wagner-Meggitt (Katsilambros, et al., 2007)
Kelas 0 Tidak ada ulkus
Kelas 1 Ulkus superfisial terlokalisir sampai dermis, tidak meluas ke
subkutis
Kelas 2 Ulkus meluas ke subkutis yang mengenai tendon atau tulang
dan tanpa terbentuk osteomielitis atau abses
Kelas 3 Ulkus dalam dengan terbentuk osteomielitis atau abses
Kelas 4 Gangren terlokalisasi di jari kaki atau kaki bagian distal
Kelas 5 Gangren seluruh kaki

Gambar 2.6
Ilustrasi Sistem Klasifikasi Wagner-Meggitt (Pinzur, et al., 2016)
21

Tabel 2.3
Sistem Klasifikasi University of Texas (Frykberg, et al., 2006)
Kelas
Stadium
0 1 2 3
A Lesi pre- atau Luka superfisial, Luka Luka
post- ulserasi tidak melibatkan melibatkan melibatkan
dengan epitelisasi tendon, kapsul, atau tendon atau tulang atau
sempurna tulang kapsul sendi
B Ada infeksi Ada infeksi Ada infeksi Ada infeksi
C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
D Ada infeksi dan Ada infeksi dan Ada infeksi Ada infeksi
iskemia iskemia dan iskemia dan iskemia

Kedua sistem klasifikasi yang ada kurang menggambarkan UKD dengan

obyektif maka IWGDF memuat sistem klasifikasi PEDIS (Perfusion, Extent,

Depth, Infection, and Sensation) pada tabel 2.4, yang mengevaluasi 5 karakteristik

dasar, seperti perfusi, perluasan/ukuran, kedalaman/kehilangan jaringan, infeksi,

dan sensasi (Frykberg, et al., 2006; Chuan, et al., 2015).

Tabel 2.4
Sistem Klasifikasi PEDIS (Chuan, et al., 2015)
Kelas Perfusi Perluasan Kedalaman Infeksi Sensasi Skor
1 Tidak Kulit Kulit intak Tidak ada Tidak 0
PAD intak hilang
2 PAD, <1 cm2 Superfisial Permukaan Hilang 1
tidak CLI kulit
3 CLI 1-3 cm2 Fascia, otot, Abses, fasitis, 2
tendon artritis septik
4 >3 cm2 Tulang / SIRS 3
sendi
CLI: Critical Limb Ischemia, SIRS: Systemic Inflammatory Response Syndrome
22

Tabel 2.5
Sistem Klasifikasi Diabetic Foot Infection (Lipsky, et al., 2012)
Keparahan
Manisfestasi klinis infeksi
Infeksi IDSA
Tidak ada gejala/tanda infeksi lokal. Tidak terinfeksi
Adanya infeksi lokal, jika ada ≥2 dari:
• Bengkak/indurasi
• Eritema
• Nyeri
• Hangat
• Keluar nanah purulen (kental, sekret opak putih
hingga sanguinus)
Infeksi lokal di jaringan kulit dan subkutan, tanpa keterlibatan Ringan
jaringan lebih dalam dan tidak ada tanda respon inflamasi
sistemik. Jika ada eritema, ukuran 0,5-2 cm sekitar ulkus.
Eksklusi penyebab lain renspon inflamasi di kulit seperti
trauma, gout, Charcot neuro-osteoartropati akut, fraktur,
trombosis, dan vena stasis.
Infeksi lokal dengan eritema >2 cm atau adanya keterlibatan Sedang
struktur jaringan lebih dalam seperti abses, osteomielitis,
artritis septik, dan fasitis.
Tidak ada tanda respon inflamasi sistemik.
Infeksi lokal dengan tanda respon inflamasi sistemik (SIRS), Berat
jika ada ≥2 dari:
• Suhu >38oC atau <36oC
• Denyut jantung >90 kali/menit
• Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
• Jumlah leukosit >12.000 atau <4.000 sel/µL atau
>10% bentuk imatur (batang)

Pada konsesus yang dilakukan oleh IDSA (Infectious Diseases Society of

America) untuk menilai tingkat keparahan infeksi pada ulkus kaki diabetik, maka

dirumuskan sistem klasifikasi DFI (Diabetic Foot Infection) pada tabel 2.5

(Lipsky, et al., 2004; Frykberg, et al., 2006; Lipsky, et al., 2012).


23

2.1.7 Diagnosis Ulkus Kaki Diabetik

Penilaian UKD memerlukan pengetahuan dan pengalaman multidisiplin

untuk meningkatkan hasil terapi dan menurunkan risiko amputasi. Evaluasi ulkus

kaki diabetik merupakan kombinasi dari anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnostik (Frykberg, et al., 2006). Pada tabel

2.6 merupakan hal yang perlu diketahui pada anamnesis riwayat penyakit yang

dapat dikelompokkan sebagai keadaan pasien secara umum dan khusus untuk

penyakit pada kaki.

Pemeriksaan fisik memerlukan evaluasi menyeluruh dan sistematis

terutama pemeriksaan ektremitas bawah agar tidak ada bagian yang terlewat,

termasuk tanda vital. Pada tabel 2.7 merupakan pemeriksaan ekstremitas bawah

pada kaki diabetik yang dibagi menjadi pemeriksaan vaskular, neurologik,

dermatologik, muskuloskeletal, dan alas kaki (Frykberg, et al., 2006).

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk mengetahui kondisi

klinis penderita DM dengan ulkus kaki diabetik berupa gula darah puasa, gula

darah acak, HbA1c, darah lengkap, laju endap darah, kimia darah, C-reactive

protein, fosfatase alkaline, kultur darah dan luka, dan urinalisis (Frykberg, et al.,

2006).
24

Tabel 2.6
Anamnesis Riwayat Penyakit (Frykberg, et al., 2006)
Riwayat Khusus Penyakit pada Kaki
Riwayat Umum
Umum Riwayat Luka/Ulkus
• Durasi diabetes • Aktivitas harian, • Lokasi
• Tatalaksana/kontrol termasuk bekerja • Durasi
glikemia • Alas kaki • Kejadian pemicu/trauma
• Evaluasi • Paparan kimia • Rekurensi
kardiovaskular, • Pembentukan kalus • Infeksi
ginjal, optalmik • Deformitas kaki • Perawatan di rumah sakit
• Komorbid lainnya • Infeksi • Perawatan luka
• Pengobatan dokter kaki/operasi • Teknik offloading
• Status nutrisi sebelumnya • Respon luka
• Kebiasaan sosial: • Gejala neuropatik • Kepatuhan penderita
alkohol, rokok, obat • Klaudikasio/nyeri • Gangguan dalam
• Obat saat ini saat istirahat perawatan luka (masalah
• Alergi keluarga/sosial)
• Perawatan di rumah • Trauma/operasi kaki
sakit/operasi sebelumnya
sebelumnya • Adanya edema
unilateral/bilateral
• Kaki Charcot saat
ini/sebelumnya
• Terapi Charcot

Pada pemeriksaan pencitraan radiografik polos untuk mengetahui

osteomielitis, osteolisis, fraktur, dislokasi, gas di jaringan lunak, dan deformitas

struktur kaki. Jika pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan kecurigaan

adanya iskemia maka dilakukan pemeriksaan analisis tekanan dan gelombang

arteri Doppler Ultrasound, arteriografi, tekanan darah kaki, ankle-brachial index

(ABI), transcutaneous oxygen pressure (TcPO2), dan toe pressure (Frykberg, et

al., 2006).
25

Tabel 2.7
Pemeriksaan Ekstremitas Bawah (Frykberg, et al., 2006)
Pemeriksaan Vaskular Pemeriksaan Neurologik
• Palpasi pulsasi arteri femoral komunis, • Persepsi vibrasi dengan garpu tala
poplitea, dorsalis pedis, dan tibialis 128, diukur ambang persepsi vibrasi
posterior dengan biotesiometer
• Pemeriksaan Doppler • Tekanan ringan dengan monofilamen
• Perubahan warna kulit/ekstremitas Semmes-Weinstein 10 gram
seperti sianosis, eritema, palor, dan • Sentuhan ringan dengan kapas
rubor • Diskriminasi dua titik
• Adanya edema • Nyeri dengan pinprick jarum steril
• Suhu pada ekstremitas ipsilateral dan • Persepsi suhu panas dan dingin
kontralateral • Refleks tendon dalam yaitu tendon
• Termometri dermal patella dan Achilles
• Perubahan integumentari seperti kulit • Pemeriksaan klonus
atropi (tipis, halus, dan parchment-like • Pemeriksaan Babinski
skin), keriput, tidak ada rambut, dan • Pemeriksaan Romberg
onikodistrofi
• Perawatan di rumah sakit/operasi
sebelumnya
Pemeriksaan Dermatologik Pemeriksaan Muskuloskeletal
• Gambaran kulit seperti warna, tekstur, • Abnormalitas biomekanik
turgor, kualitas, dan kulit kering • Deformitas struktural seperti
• Kalus pucat/perdarahan subkalus hammertoe, bunion, tailor’s bunion,
• Fisura terutama di tumit posterior hallux limitus/rigidus, kaki flat/high-
• Gambaran kuku seperti onikomikosis, arch, deformitas Charcot, dan
onikodistrofi, onikogrifotik, atrofi, deformitas setelah operasi/amputasi
hipertrofi, dan paronikia • Amputasi sebeumnya
• Pertumbuhan rambut • Kontraktur/ekuins tendon Achilles
• Ulserasi, gangren, infeksi (lokasi, • Evaluasi cara berjalan
ukuran, kedalaman, dan status infeksi) • Uji kekuatan otot aktif/pasif, non-
• Lesi interdigital weightbearing/weightbearing, kaki
• Tinea pedis jatuh/foot drop, dan atrofi otot
• Tanda diabetes seperti shin instrinsik
spot/dermopati diabetik, necrobiosis • Penilaian tekanan plantar dengan alat
lipoidica diabeticorum, bullosis digital atau Harris ink mat
diabeticorum, granuloma annulare,
dan acanthosis nigricans
Pemeriksaan Alas Kaki
• Jenis sepatu
• Kecocokan dengan kaki
• Kedalaman tempat jari kaki
• Jenis sepatu
• Lapisan sepatu
• Benda asing
• Insoles/orthoses
26

2.1.8 Tatalaksana Ulkus Kaki Diabetik

Prinsip tujuan dari terapi UKD adalah penyembuhan luka. Komponen-

komponen utama dari terapi standar antara lain mengontrol gula darah,

penggunaan antibiotika, debridemen ulkus, perawatan luka, offloading (tidak ada

beban/tekanan), dan perbaikan aliran darah/revaskularisasi (Frykberg, et al., 2006;

Wounds International, 2013). Selain komponen utama terapi standar tersebut,

terdapat terapi adjuvan seperti TOH, terapi maggot, terapi faktor pertumbuhan,

produk kolagen, jaringan bioengineered, dan sel punca juga dimanfaatkan dalam

tatalaksana ulkus kaki diabetik (Kessler, et al., 2003; Frykberg, et al., 2006;

Waniczek, et al., 2013; Jeffcoate dan Game, 2014).

European Wound Management Association (EWMA) menyatakan bahwa

perawatan luka pada ulkus kaki diabetik harus merupakan debridemen yang

radikal dan berulang, kontrol bakteri dan inflamasi, dan perawatan kelembapan

untuk mencegah maserasi. Terdapat banyak metode untuk debridemen antara lain

dengan pembedahan, larva, autolitik, hydrosurgery maupun ultrasonik (Wounds

International, 2013).

Morbiditas serta mortalitas yang tinggi berhubungan dengan adanya

infeksi pada UKD, dan hal ini memerlukan tatalaksana yang agresif. Infeksi pada

ulkus diabetikum disebabkan oleh kuman polimikrobial. Terapi awal diberikan

antibiotik secara empiris dan memiliki spektrum luas (tabel 2.8). Terapi definitif

disesuaikan berdasarkan hasil biakan bakteri dan uji kepekaannya serta respon

klinis (Frykberg, et al., 2006).


27

Tabel 2.8
Antibiotik Empiris Infeksi Kaki Diabetik (Frykberg, et al., 2006)
Limb-Threatening
• Ampisillin / Sulbactam
• Ticarcillin / Clavulanate
• Piperacillin / Tazobactam
• Ceftazidime + Clindamycin
• Cefotaxime ± Clindamycin
• Fluoroquinolone + Clindamycin
• Vancomycin + Levofloxacin + Metronidazole
• Linezolid
• Imipenem / Cilastatin
• Ertapenem
• Tigecycline

Life-Threatening
• Ampisillin / Sulbactam + Aztreonam
• Piperacillin / Tazobactam + Aztreonam
• Vancomycin + Metronidazole + Ceftazidime
• Imipenem / Cilistatin
• Fluoroquinolone + Vancomycin + Metronidazole
• Ertapenem
• Tigecycline

Non Lim-Threatening
• Chephalosporin (Cephalexin, Cefadroxil, Cefdinir)
• Fluoroquinolone (Levoflxacin, Moxifloxacin, Gatifloxacin)
• Penicillins (Dicloxacillin, Amoxicillin / Clavulanate)
• Linezolid
• Trimethoprim / Sulfamethoxazole
• Doxycycline

Pada penderita dengan neuropati perifer, perlu mengurangi tekanan pada

kaki di area ulkus agar tekanan dapat didistribusikan ke area yang tidak ada ulkus.

Pada kondisi offloading yang tidak baik akan menimbulkan kerusakan jaringan

dan ulkus bertambah luas. Penderita dapat menumpu berat badannya dengan

menggunakan crutches, walkers, dan kursi roda (Wounds International, 2013).


28

2.2 Terapi Oksigen Hiperbarik

2.2.1 Definisi

Terapi oksigen hiperbarik menurut Undersea and Hyperbaric Medical

Society (UHMS) adalah suatu intervensi yang mana seseorang bernafas dengan

oksigen 100% secara intermiten di dalam ruang hiperbarik dengan tekanan lebih

besar dari tekanan permukaan air laut (1 ATA). Pada peningkatan 1 ATA setara

dengan kedalaman 10 meter. Keadaan terapeutik tercapai dengan tekanan minimal

1,4 ATA dan bernafas dengan oksigen 100% (Weaver, 2014).

2.2.2 Jenis Terapi Oksigen Hiperbarik

Ruang hiperbarik terdapat 2 jenis, yaitu ruang hiperbarik monoplace dan

multiplace (gambar 2.7). Ruang monoplace digunakan untuk terapi satu orang,

sehingga tidak menggunakan masker atau sungkup kepala (hood) karena oksigen

langsung dialirkan dan memenuhi ruangan monoplace. Pada ruang multiplace

dapat digunakan untuk beberapa orang pada saat bersamaan, sehingga setiap

orang memerlukan masker atau sungkup kepala (hood) untuk memberikan

oksigen (Bhutani dan Vishwanath, 2012; Weaver, 2014; Wibowo, 2015; Irawan

dan Kartika, 2016). Pada umumnya untuk terapi UKD menggunakan 100%

oksigen bertekanan 2-3 ATA dalam ruangan hiperbarik selama 90 menit per hari

(Kessler, et al., 2003; Bhutani dan Vishwanath, 2012; Irawan dan Kartika, 2016).

Frekuensi TOH bervariasi mulai dari 3-5 kali untuk kasus akut (Bhutani dan

Vishwanath, 2012; Wibowo, 2015), 20 kali pada UKD (Kessler, et al., 2003), dan

50-60 kali untuk kasus kronik (Bhutani dan Vishwanath, 2012; Wibowo, 2015).
29

(A) (B)
Gambar 2.7
Ruang Hiperbarik Monoplace (A) dan Multiplace (B) (Irawan dan Kartika, 2016)

2.2.3 Cara Kerja Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik memiliki 2 mekanisme primer yaitu

hiperoksigenasi dan penurunan ukuran gelembung. Pada hiperoksigenasi

menerapkan hukum Henry yaitu peningkatan oksigen terlarut dalam plasma

sebagai akibat peningkatan tekanan parsial oksigen arteri (Bhutani dan

Vishwanath, 2012; Irawan dan Kartika, 2016).

Pada kondisi bernafas di lingkungan biasa, tekanan parsial oksigen arteri

100 mmHg, Hb 95% tersaturasi, sehingga 100 ml darah membawa 19 ml oksigen

terikat Hb dan 0,32 ml oksigen terlarut plasma. Jika kondisi bernafas dengan

oksigen 100%, maka Hb 100% tersaturasi, oksigen yang terikat Hb dapat

mencapai batas maksimal 20 ml, dan oksigen terlarut plasma mencapai 2,09 ml.
30

Pada TOH dengan Hb 100% tersaturasi akan terjadi peningkatan oksigen terlarut

plasma 4,4 ml% pada tekanan 2 ATA dan 6,8 ml% pada tekanan 3 ATA (tabel

2.9) (Sahni, et al., 2003; Bhutani dan Vishwanath, 2012). Kondisi hiperoksigenasi

baik untuk kondisi crush injury, sindrom kompartemen, flap, dan anemia akibat

kehilangan darah (Bhutani dan Vishwanath, 2012).

Tabel 2.9
Efek Tekanan Oksigen Arteri (Sahni, et al., 2003)
Tekanan Total Jumlah Oksigen yang Terlarut Plasma (vol %)
ATA mmHg Bernafas di udara biasa Oksigen 100%
1 760 0,32 2,09
1,5 1140 0,61 3,26
2 1520 0,81 4,44
2,5 1900 1,06 5,62
3 2280 1,31 6,8
4 3040 1,80 Oksigen tidak
5 3800 2,30 dilarutkan pada
6 4560 2,80 tekanan lebih dari
3 ATA

Penurunan ukuran gelembung menerapkan hukum Boyle yaitu volume

gelembung menurun akibat peningkatan tekanan dan hal ini berperan penting

dalam penanganan gangguan dekompresi dan emboli gas arteri (Bhutani dan

Vishwanath, 2012; Irawan dan Kartika, 2016).

Mekanisme sekunder dari penggunaan TOH adalah stimulasi imunitas,

angiogenesis dan neovaskularisasi, peningkatan proliferasi fibroblas, peningkatan

kolagen, peningkatan fagositik leukosit, menurunkan sitokin inflamasi,

penghambat toksin, efek bakteriosida, mengurangi edema, dan efek

vasokonstriksi. Pada hiperoksia jaringan normal, vasokonstriksi terjadi untuk


31

mengurangi edema jaringan setelah trauma, yang berperan dalam terapi crush

injury, sindrom kompartemen, dan luka bakar. Kondisi vasokonstriksi ini tidak

akan menyebabkan hipoksia tetapi merupakan kompensasi dari peningkatan

oksigen plasma dan aliran darah mikrovaskular. Peningkatan dan perbaikan aliran

darah mikrovaskular akan meningkatkan densitas kapiler sehingga akan terjadi

reperfusi pada daerah iskemia (Sahni, et al., 2003; Flood, 2007; Bhutani dan

Vishwanath, 2012; Wibowo, 2015; Irawan dan Kartika, 2016).

Oksigen berperan dalam hidroksilasi lisin dan prolin selama sintesis

kolagen dan maturasi kolagen untuk penyembuhan luka. Kondisi hipoksia akan

menurunkan produksi kolagen matur dan akan menstimulasi angiogenesis, tetapi

terbentuknya jaringan kapiler yang baik memerlukan konsentasi oksigen jaringan

yang cukup. Terapi oksigen hiperbarik akan meningkatkan gradien oksigen antara

luka sentral dan perifer sehingga menstimulasi angiogenik kuat dengan

meningkatkan growth factor terutama vascular endothelial growth factor (VEGF)

dan merangsang proliferasi fibroblas dengan peningkatan nikotinamid adenin

dinukleotida hidrogen (NADH) pada siklus Krebs. Hal ini akan terjadi

peningkatan neovaskularisasi jaringan dan peningkatan penyembuhan luka

(Bhutani dan Vishwanath, 2012; Wibowo, 2015; Irawan dan Kartika, 2016).

Pada pemberian TOH, derivat oksigen seperti reactive oxygen species

(ROS) dapat menstimulasi penyembuhan luka dan meningkatkan aktivitas enzim

antioksidan jaringan (Flood, 2007; Irawan dan Kartika, 2016). Pada jaringan, ROS

memiliki peran sebagai respon fisiologis dan patofisiologis. Konsentrasi ROS

tinggi akan menyebabkan apoptosis, hipertensi, gagal jantung, aterosklerosis, dan


32

diabetes (Irawan dan Kartika, 2016). Pada konsentrasi rendah ROS berperan

dalam cellular messenger yang meregulasi penyembuhan luka, seperti growth

factor, proliferasi dan migrasi sel, angiogenesis, adhesi sel endotel, dan sintesis

matriks ekstraseluler (Flood, 2007; Irawan dan Kartika, 2016).

Terapi oksigen hiperbarik juga meningkatkan pembentukan radikal bebas

oksigen, yang akan mengoksidasi protein dan membran lipid, merusak DNA

(deoxyribonucleic acid), dan menghambat fungsi metabolik bakteri. Pada suatu

penelitian didapatkan terjadi peningkatan efek bakteriosida polimorfonukleosit

dan makrofag saat tekanan oksigen di jaringan yang terinfeksi tinggi. Hiperoksia

selama TOH akan menghambat produksi toksin klostridium dan meningkatkan

potensi antibiotik seperti fluorokuinolon, amfoterisin B, dan aminoglikosida, yang

menggunakan oksigen untuk transpor melewati membran sel (Mathieu dan

Wattel, 2006; Bhutani dan Vishwanath, 2012; Wibowo, 2015; Irawan dan Kartika,

2016).

Pada studi in vitro didapatkan efek letal pemberian TOH pada bakteri

anaerob, seperti Clostridium, Pseudomonas, Peptococcus, Bacteroides,

Enterobacteria, Enterococcus, Proteus, dan Escherichia. Pada paparan oksigen

100% dengan tekanan 3 ATA selama 24 jam didapatkan efek bakteriosida

terhadap Pseudonomas aeruginosa, Proteus vulgaris, dan Salmonella

typhi. Efek bakteriostatik terjadi pada Enterobacteria, Pseudonomas aeruginosa,

dan Enterococcus faecalis setelah paparan oksigen 100% dengan tekanan antara

1,5 ATA sampai 3 ATA. Pada studi eksperimen in vivo didapatkan efek baik TOH

untuk pengobatan gangren, abses intrahepatik, dan peritonitis dikombinasikan


33

dengan operasi dan antibiotik dalam membunuh bakteri anaerob (Mathieu dan

Wattel, 2006).

Pada suatu studi penderita kaki diabetik yang mendapat TOH terjadi

penurunan kadar glikemia (HbA1c dan gula darah puasa) dan penurunan jumlah

leukosit sebagai marker inflamasi. Penurunan tersebut sangat bermakna saat

dibandingkan nilai dasar sebelum terapi dengan sesi TOH ke-10, sesi TOH ke-10

dengan ke-20, dan sesi TOH ke-20 dengan ke-30. Penurunan kadar gula darah

pada studi ini 24,7% dan hal ini menyerupai penelitian terdahulu 23%

(Karadurmus, et al., 2010).

Pada studi TOH untuk penderita tidak diabetes dan diabetes memiliki

penurunan kadar gula darah yang bermakna, hal ini dapat diakibatkan oleh

peningkatan penggunaan dan katabolisme glukosa. Pada referensi lain didapatkan

penurunan asam amino glukogenik, peningkatan asam amino ketogenik,

penurunan glukosa darah, dan penurunan protein glikosilasi selama TOH. Hasil

observasi ini dapat mengindikasikan suatu harapan pengobatan yang efektif untuk

penderita DM dan dapat mengurangi komplikasinya (Gupta dan Sharma, 2000).

Suatu studi dengan tikus percobaan dengan model gagal ginjal akut, pada

kelompok yang diberikan TOH memiliki penurunan kadar ureum dan kreatinin

plasma lebih tinggi dan bermakna dibandingkan kelompok tanpa TOH. Selain itu

pemeriksaan histopatologi menunjukan pada kelompok TOH terjadi penurunan sel

nekrosis, penurunan pembentukan silinder/cast, dan penurunan sel apoptosis

(Ayvaz, et al., 2012). Studi lain menunjukan terjadi perbaikan laju filtrasi

glomerular pada kelompok ginjal sehat yang mendapat TOH, pada ginjal yang
34

iskemia tanpa TOH terjadi penurunan laju filtrasi glomerular 94% dibandingkan

ginjal sehat, dan pada ginjal iskemia dengan TOH terjadi penurunan laju filtrasi

glomerular 68% dibandingkan ginjal sehat. Pada studi ini TOH meningkatkan

vasodilatasi ginjal yang berkaitan dengan peningkatan aliran darah ke ginjal

sehingga meningkatkan perfusi korteks ginjal (Rubinstein, et al., 2009).

2.2.4 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik sudah digunakan sejak tahun 1930 dan sudah

dipelajari di berbagai pusat pendidikan di dunia, agar TOH aman untuk

pengobatan para penyelam yang mengalami gangguan dekompresi dan emboli gas

arteri. Pada tahun 1940, TOH merupakan terapi standar di angkatan laut Amerika

Serikat. Berbagai penelitian telah dilakukan tentang toksisitas oksigen untuk

menetapkan batas aman, keselamatan, dan aspek medis dan fisiologis dari ruangan

tekanan tinggi. Adanya pengawasan untuk aplikasi klinis dari HBO maka UHMS

mendirikan komite TOH pada tahun 1976. Komite ini bertanggung jawab untuk

menganalisis dan mengkaji data penelitian dan uji klinis baik in vitro, in vivo, dan

hewan percobaan untuk mengetahui manfaat dan keamanan dari TOH. Berbagai

indikasi TOH yang sudah ditetapkan oleh UHMS terdapat pada tabel 2.10

(Weaver, 2014).

Berdasarkan konsensus European Committee for Hyperbaric Medicine

(ECHM), penggunaan TOH untuk UKD merupakan rekomendasi tipe 2 dan

tingkat evidence B. Hal ini menunjukkan TOH direkomendasikan karena memiliki

pengaruh baik pada hasil akhir terapi dan sudah dilakukan uji double-blind
35

terkontrol/penelitian randomisasi tetapi metodologi masih lemah dengan jumlah

sampel kecil/penelitian tunggal (Mathieu, 2004).

Tabel 2.10
Indikasi TOH berdasarkan UHMS (Weaver, 2014)
1. Emboli gas atau udara 8. Kerusakan radiasi (nekrosis tulang
2. Insufisiensi arteri dan jaringan lunak)
a. Oklusi arteri retina sentral 9. Kehilangan pendengaran
b. Peningkatan kesembuhan pada
sensorineural mendadak idiopatik
luka
3. Keracunan karbon monoksida 10. Abses intrakranial
4. Mionekrosis klostridia (gas gangren) 11. Infeksi jaringan lunak nekrotisasi
5. Graft dan flap 12. Osteomielitis refraktori
6. Crush injuries dan sindrom 13. Anemia berat
kompartemen otot skeletal 14. Luka bakar termal
7. Gangguan dekompresi

2.2.5 Komplikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Pada penggunaan protokol standar TOH dengan tekanan tidak melebihi 3

ATA dan durasi terapi kurang dari 120 menit, tidak ada bahaya pada TOH. Efek

samping yang paling sering terjadi adalah nyeri pada telinga (barotrauma aural)

karena ketidakmampuan menyeimbangkan tekanan membran timpani akibat tuba

eustasius tersumbat. Pneumothorak dan emboli udara merupakan komplikasi

berbahaya akibat adanya robekan vaskular paru akibat tekanan tinggi, dengan

kejadian yang sangat jarang. Kondisi lain seperti toksisitas oksigen, katarak,

fibroplasia retrolental, miopia reversibel, dan hipersensitif oksigen jarang terjadi.

Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan kombinasi pemberian 5 menit udara

biasa dan 30 menit oksigen. Pasien klaustrofobia akan tidak nyaman berada di
36

ruang TOH. Kebakaran dapat dicegah dengan prosedur yang aman (Sahni, et al.,

2003).

Walaupun telah banyak penelitian-penelitian dilakukan, TOH masih tetap

memiliki banyak keterbatasan yang harus didalami lebih lanjut. Penelitian-

penelitan tambahan diperlukan untuk mengevaluasi secara holistik kemampuan

TOH pada pasien dengan luka kronis seperti luka kaki diabetik dengan kekuatan

yang cukup dan desain penelitian yang mampu meminimalkan bias yang ada.

Anda mungkin juga menyukai