Anda di halaman 1dari 6

Nama : Arivan Samuel Naibaho

NIM : B10018264

MK : Pengantar Filsafat Hukum (UAS)

Kelas : L

Aliran Hukum Alam

Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan
manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara
universal dan abadi.

Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat
diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam
dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu:

A. Irrasional

Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung.
Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua,
dan John Wyclife.

Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu :

1. Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala
hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.

2. Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.

3. Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia.

4. Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan
syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan
hukum positif buatan manusia.

Penulis lain, William Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Hukum Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari rasio alam.

2. Apa yang disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.

3. Hukum yang juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh penguasa.

Occam juga berpendapat bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez dari
Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya diatur oleh suatu peraturan umum
yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat
dan waktu. Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga manusia dapat membedakan
antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia
adalah sebagian saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
B. Rasional

Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia.
Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib
ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang
apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo
de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.

Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio manusia
dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai
satu-satunya sumber hukum.

Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan
dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der
reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der praktischen Vernunft yang terkait
dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant
tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and
feeling).

Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada
akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi
pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri
dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideal
berkepribadian humanistis.

Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika
Ajaran Hukum merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa
manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk
menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna
mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-
kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum
kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.

Kategori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di
dalam hukum terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah
terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif
ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh
Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.

Aliran Hukum Positif

Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang
memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.

A. Analitis

Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di
Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu
Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
1. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.

2. Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:

hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat
penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat
secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.

Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh:
ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.

Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban,
dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
hukum. 

B. Murni

Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda
dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan
dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan
menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans
Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan
adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.

Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan
nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau
tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata
urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak
ilmiah.

Sosilogy of Law

Pemikiran Sosiologi ditandai oleh karakter seperti, pertama bahwa pandangan hukum sebagai suatu metode kontrol
sosial. Kedua, di samping itu para ahli hukum sosiologis sangat skeptis dengan aturan-aturan yang ada dalam buku teks
hukum yang terkodifikasi, karena yang utama adalah hukum dalam kenyataan aktualnya. Ketiga adalah para ahli
hukum sosiologis pada umumya sepakat bahwa pentingnya memanfaatkan ilmu sosial, termasuk sosiologi.

Pada tataran teoritik terdapat istilah Sociology of Law sedangkan pada tataran filsafat dipergunakan istilah
Sociological Jurisprudence. Meskipun secara sepintas ada kesamaan antara Sociology of Law dengan Sociological
Jurisprudence, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan, tetapi keduanya harus dibedakan. Sociology of
Law adalah bagian atau cabang Ilmu Sosiologi (Ilmu-Ilmu Manusia) dengan obyek studinya tentang hukum,
sedangkan Sociological Jurisprudence termasuk cabang ilmu filsafat hukum yang mempelajari hubungan timbal balik
antara pengaruh hukum dan masyarakat. Kesamaan antara Sociology of Law dan Sociological Jurisprudence terletak
pada optik yang dipakai yaitu sama-sama menggunakan perpektif sosial dalam memahami hukum.

Sociological Jurisprudence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitikberatkan pada hukum dalam
kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan
hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-1964) merupakan salah satu eksponen dari aliran
ini. Sociology of law merupakan bagian dari disiplin ilmu sosiologi yang pada dasarnya merupakan salah satu ilmu
deskriptif dan tekniknya bersifat empiris tidak juridis, jadi melihat hukum dari luar tatanan ilmu hukum.

Erlich dalam bukunya yang berjudul Grundlegung der Sociological Rechts mengatakan bahwa masyrakat adalah ide
umum yang di gunakan untuk menandakan semua hubungan sosial seperti keluarga, desa, lembaga-lembaga sosial,
negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan sebagainya. Erlich memandang semua hukum sebagai
hukum sosial, tetapi dalam arti bahwa semua hubungan hukum ditandai oleh faktor–faktor sosial ekonomis. Sistem
ekonomis yang digunakan dalam produksi, distribusi, dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan hukum.
Dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk
memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah
dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum Pound menjelaskan tiga
langkah yang harus dilakukan :
1. menemukan hukum;
2. menafsirkan hukum; dan
3. menerapkan hukum.

Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-aspek yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk
diangkat dan diterapkan ke dalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprdence titik pusat perkembangan hukum tidak
terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam
proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat hukum adalah alat untuk memperbaharui
(merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya tersebut Pound
mengedepankan rasa keadilan yang ada di masyarakat. Pandangan aliran Sociological Jurisprudence, dapat
dirumuskan sebagai berikut “ …. Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan
masyarkat, tuntutan, permintaan dan pengharapan yang terlibat dalam kehidupan masyarakat….”. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup di masyarakat termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan yang ada harus
dikedepankan demi terwujudnya tatanan hukum.

Dilihat dari pengertian mengenai Sociological Jurisprudence & The Sociology of Law, meskipun dalam
penerapannya, Sociological Jurisprudence memiliki kelebihan yaitu berkembangnya penafsiran ilmu hukum sesuai
dengan pemikiran masyarakat sosial, namun juga memiliki kekurangan karena pada dasarnya, tidak terdapat acuan
mengenai hukum itu sendiri karena pengertian masyarakat terhadap ilmu hukum terus berubah seiring dengan
perkembangan pemikiran masyarakat dan perbedaan pendapat di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga terjadi suatu
ketidakpastian hukum.

Scandinavian Legal Realism

Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-tulisan Lundstedt,
meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi. Hagerstorm dipandang sebagai
bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa tokoh lain yang sangat berpengaruh dan terkenal yakni
Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran penting yang menjadi mainstream dari aliran
ini, antara lain:
1) Law as Fact
Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi, dan studi
tentang fakta ini — yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum — karenanya merupakan sebuah ilmu pengetahuan
sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada fakta dan kejadian dalam hubungan
sebab-akibat. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban,
keyakinan tentang hak properti dipisahkan dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan “perintah yang independen” yang termanifestasikan dalam bentuk perintah,
namun tidak seperti perintah yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan dalam “rasa” dari rangkaian
kalimat dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku
manusia. Lundstedt menambahkan bahwa aturan hukum hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu
(dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial). Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan
konklusi hukum. Dia mencontohkan bahwa hak atas properti sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik
properti untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right tidak muncul dari
das sollen, melainkan dari das Sein.

2) Theory of Law
Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang, dan kedua
kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat menentukan, sedangkan yang kedua
lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi
Ross, validitas hukum adalah serangkaian abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi
atas fenomena hukum dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia
menyatakan bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan petunjuk
kepada hakim.
Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait. Contoh, larangan
membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam berurusan dengan kasus-kasus
pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross, semakin efektif pemenuhan aturan oleh
masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas hukumnya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan
untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya
mengikat. Namun, pemikiran Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk
menyelidiki pemikiran hakim.

3) Prinsip-prinsip verifiabilitas
Bagi aliran realisme merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini, terdapat kemiripan
antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada satu dunia dan satu kognisi (kesadaran).
Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengetahuan hukum) hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh
dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan seluruh yang tidak sepenuhnya logis (matematis) selalu merujuk
kepada uji pengalaman. Studi hukum doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia juga
mengatakan bahwa makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat
diverifikasi maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini
bermasalah dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal dalam
kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam perkembangan berikutnya, aliran
ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa. MacCormak mengatakan bahwa keragaman fungsi
bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona
mengenai aturan hukum dan viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang
digunakan dalam aturan hukum indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona membedakan bahasa hukum
ke dalam 2 kategori technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4) Asal mula hukum
Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori dan faktual
tentang perkembangan “aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan dalam masyarakat kuno”.

5) Reductionism dan legal concept


Menurut Ross, konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau dapat
disubstitusikan.

6) Feature of law
Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif, misalnya negara
atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh sekumpulan orang yang berada dalam
sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan
sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.

7) Hukum dan moralitas


Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum menjadi faktor
utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk menggunakan kekuatan untuk
menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan, terutama jika dipertanyakan tentang mana yang
lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.

8) Ideologi hukum (method of Justice dan Social Welfare)


Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan menyandarkan diri pada
tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang aktual, sehingga menolak aspek metafisika, atau
penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter penilaian objektif, karena menurut aliran realis, sebuah
penilaian pastilah subjektif. Bagi Lundstedt, jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya
berdasarkan atas penilaian individual atau metafisika

Anda mungkin juga menyukai