Anda di halaman 1dari 8

ME-MUHAMMADIYAHKAN KEBUDAYAAN

Oleh : Ahmad Ashim Muttaqin


dari IMM Renaissance FISIP UMM
masaqin@gmail.com

Salah satu hal yang menarik dikaji ditengah arus demokratisasi global adalah hubungan antara
agama dengan kebudayaan. Keduanya melambangkan dua kutub yang berbeda, yakni antara
Tuhan dan manusia. Jika agama bersumber dari wahyu Tuhan yang difirmankan, maka
sebaliknya kebudayaan berasal dari hasil olah pikir manusia. Dalam kaidah, sebenarnya agama
dan kebudayaan mempunyai kedudukan masing-masing dan tidak dapat disatukan, karena
agamalah yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada kebudayaan. Meski begitu, agama
dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya, selaras menciptakan
dan kemudian menegasikannya.

Sejatinya kedua hal ini tidaklah menimbulkan masalah yang begitu mendalam. Hanya saja belum
ada penjelasan yang jelas dan proporsional mengenai kedudukan dan batas-batas yang menjadi
jurang pemisah antara agama dan budaya. Perdebatan mengenai posisi dan fungsi agama dan
kebudayaaan dalam kehidupan manusia terus menerus berkembang sejalan dengan
perkembangan kemampuan intelektual. Walau demikian, perlu disadari bahwa agama dan
kebudayaan secara sendiri atau keseluruhan berhubungan dengan aktivitas kehidupan manusia.1

Secara terminologis, pengertian kebudayaan menurut para ahli berbeda-beda meskipun secara
garis besar sama. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem,
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan cara belajar.2 Sementara Clifford Geertz berpendapat bahwa sebuah
sistem berupa konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik sehingga dengan cara
ini manusia mampu berkomunikasi, melestarikan, mengembangkan pengetahuan serta sikapnya
terhadapkehidupan.3 Secara umum dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah hasil konstruksi
manusia baik berupa material maupun buah pikiran dan menjadi ciri khas.

Sementara pengertian agama secara terminologis, Emile Durkheim menyatakan bahwa agama
adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci.4 Dan sebagaimana diriwayatkan dalam hadits ketika Nabi Muhammad
ditanya mengenai apa itu Islam, Rasulullah bersabda bahwa engkau mengakui tidak ada Tuhan
selain Allah dan mengakui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan sholat,
mengeluarkan zakat, berpuasa dan berhaji apabila mampu. Secara garis besar agama berasal dari
kekuatan yang lebih tinggi dan suci serta dan menyangkut kepercayaan.

1 Abdul Munir Mulkhan, 2007, Manusia Al-Quran (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 177
2 Bachtiar Alam, Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan, Antropologi Indonesia 54
(1998)
3 Yusri Mohamad Ramli, Agama dalam Tentukur Antropologi Simbolik Clifford Greetz, International Journal of
Islamic Thought (2012)
4 Laode Monto Bauto, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia, Jurnal
Pendidikan ilmu Sosial 23, (2014)
Dalam masyarakat awam, keberadaan budaya seringkali dikaitkan dengan mitos. Penyebutan
tentang sesuatu sebagai mitos akan mengisyaratkan perendahan nilainya sehingga tidak perlu
dipertahankan. Dalam pengertian ini, mitos adalah semakna dengan takhayul. Agama islam
dalam tinjauan dan pembahasan para ahli terbukti merupakan agama yang paling terbebaskan
dari mitos dan mitologi.5

Persinggungan Islam, Muhammadiyah dan Kebudayaan

Sejak awal perkembangannya, agama-agama di Indonesia telah menerima akomodasi budaya.


Sebagaimana agama Islam sebagai agama faktual banyak memberikan norma-norma atau aturan
tentang kehidupan dibandingkan agama lain. Jika dilihat dari kaitan Islam dengan budaya, maka
akan terbagi menjadi konsepsi sosial budaya atau great tradition dan realitas budaya atau lokal
tradition.6 Dalam pemaknaan tradisi lokal, didalamnya tercakup unsur-unsur berupa kandungan
yang terdapat dalam pengertian budaya seperti konsep atau norma, aktivitas serta tindakan
manusia dan karya-karya yang dihasilkan masyarakat.

Semangat hidup dan istilah-istilah lokal dari Jawa jika dipahami secara mendalam ternyata
memiliki nafas yang sama dengan spirit keislaman. Hal ini tentu mempermudah proses dakwah
kedalam masyarakat kultural Jawa yang kental. Seperti istilah memayu hayuning bawono
ambrasta dur hangkoro yang memiliki pemaknaan sama dengan amar ma’ruf nahi munkar. Ada
juga istilah sangkan paraning dumadi yang jika diartikan sama dengan makna innalilahi
wainnailaihi roji’un. Lalu ada pula filsafat urip iku urup yang ternyata memiliki semangat yang
sama dengan khairunnas anfa’uhum linnas.

Hadirnya Islam tidak serta merta membuat budaya menjadi hilang. Budaya-budaya lokal ini
sebagian terus dikembangkan dengan mendapatkan warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan akulturasi budaya, antara budaya Islam dan budaya lokal. Dan sudah
menjadi keniscayaan bahwa terjadi keberagaman budaya di setiap daerah, hal inilah yang
menjadi alat pengontrol yang kuat dengan masuknya nafas agama Islam.

Begitu pula bagi Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia dan
terus berjuang menjunjung cita-cita untuk membangun “masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya”. Secara historis, Muhammadiyah selalu setia dan mendapatkan inspirasi dari tiga etos
Al-Quran dalam mencapai tujuan untuk membangun masyarakat islam yang sesungguhnya yakni
etos rahmat (welas asih), Al-Ma’un dan Al-Ashr. Etos tersebut selalu terbentuk pada pendekatan
interpersonal integratif antara interpretasi Al-Quran, hati suci dan penemuan teknologi dan Sains,
dan pengalaman universal umat manusia.7

Terlahir di Kauman yang merupakan bagian dari lingkungan Keraton Yogyakarta dan
dihegemoni oleh para kaum priyayi, Muhammadiyah tentu tidak bisa dilepaskan dengan adat
istiadat atau kultur Jawa pada saat itu. Bahkan bisa dikatakan bahwa Yogyakarta adalah
mikrokosmos masyarakat Jawa. Yogyakarta juga tempat dimana seni dan adat Jawa dilestarikan
dan ditempa. Karena itu, fakta bahwa Muhammadiyah lahir di jantung peradaban Jawa tak pelak
5 Nurcholis Madjid, 1995, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina), 174
6 Ibid
7 Zakiyudin Baidhowi, Muhammadiyah dan Spirit Islam Berkemajuan dalam Sinaran Etos Al-Quran, Jurnal
Afkaruna 13 (2017)
berarti bahwa gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari budaya Jawa. Terlebih lagi KH. Ahmad
Dahlan dan tujuh dari sembilan pemimpin generasi awal Muhammadiyah adalah abdi dalem
keraton.

Berangkat dari ayahanda Ahmad Dahlan yakni KH Abu Bakar bin Kiai Mas Sulaiman, Ahmad
Dahlan kemudian ditunjuk sebagai seorang ketib, dengan gelar ketib amin atau tibamin, setelah
kematian ayahnya pada 1896. Sudah menjadi adat di kalangan priayi keraton bahwa posisi tua
diwarisi oleh anaknya setelah ia meninggal. Karena itu, mengikuti tradisi ini, Dahlan
memperoleh posisi resmi di Keraton sebagai penghormatan pada posisi ayahnya sebagai ketib.
Salah satu tugasnya adalah memimpin garebek (upacara kerajaan) seperti Garebek Mulud
(peringatan kelahiran Nabi Muhammad) dan garebek besar (peringatan kelahiran raja). 8 Tugas ini
menjadi bagian dari tanggung jawabnya untuk memimpin urusan agama kerajaan. Peran ini
membukakan jalan baginya untuk dapat menjalin hubungan baik dengan Sultan Yogyakarta.

Salah satu kejadian penting yang terkait erat dengan posisi Dahlan sebagai ulama dan seorang
abdi dalem adalah ketika ia berpendapat bahwa arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta tidaklah
tepat, sehingga menyarankan dibuatnya arah kiblat baru. Pandangannya berbenturan dengan
pandangin lain yang sudah mengakar, yang mengusik para ulama “mapan, termasuk para
penghulu keraton. Reaksi terhadap pandangan baru ini luar biasa, ia diasingkan dan puncaknya
langgarnya dibongkar.9 Sehubungan dengan kejadian inilah Sultan Yogyakarta
“mengamankannya” dengan mengirimnya ke Makkah lagi pada tahun 1903.

Dalam menghadapai praktik ibadah yang tercampur TBC, Ahmad Dahlan menggunakan metode
positive action (dengan mengedepankan amar ma’ruf) dan tidak secara frontal menyerangnya
(nahi munkar). Seperti dicontohkan didalam artikel Ahmad Dahlan yang dimuat Suwara
Muhammadiyah Tahun 1, Nomor 2, 1915 perihal sholat sunnah, ia menyebutkan bahwa
keberuntungan itu semata-mata kehendak Tuhan, dan sholat sunnah adalah salah satu jalan
meraihnya.10 Secara tidak langsung ia mengajarkan demitologisasi akan kepercayaan kekuatan
lain dari kuburan keramat, tuyul maupun jimat. Rupanya ia sadar betul bahwa cita-cita kemajuan
yang waktu itu sedang populer akan mendapatan tempat, sehingga tahayyul diberantas dan
dengan sendirinya akan hilang.

Selain itu Ahmad Dahlan juga melakukan pendekatan melalui jalur kekeluargaan dan pemberian
contoh amalan-amalan nyata. Hal ini terutama dalam usahanya mereformasi upacara-upacara
adat yang ada di masyarakat seperti tahlilan, sholawatan, samrohan, selamatan, mitoni, berjanjen
dan tedak sinten.11 Meski begitu, Ahmad Dahlan tetap berusaha melestarikan alat musik yang
biasanya digunakan sebagai pengiring dalam upacara adat tersebut. Disaat yang sama beliau juga
memperkenalkan alat musik Barat kepada masyarakat seperti piano, acordion dan orgel.

Salah satu tokoh Muhammadiyah juga menggagas ditulisnya tafsir Al-Quran menggunakan
bahasa Jawa. Orang tersebut adalah H. Bakri Syahid yang menulis Tafsir Al-Huda sebagai media
yang mempermudah masyarakat dalam memahami nilai-nilai dan kandungan Al-Quran.
8 Ahmad Najib Burhani, 2010, Muhammadiyah Jawa, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah), 48
9 Abdul Munir Mulkhan, 2010, Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (Jakarta: Kompas
Media)
10 Abdul Munir Mulkhan, 2000, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta: Bentang Budaya) hal xv
11 Ahmad Adaby Darban, 1990, Sejarah Kauman (Yogyakarta: Penerbit Tarawang), 94
Terutama bagi masyarakat Jawa yang tidak mengerti bahasa Arab dan bahasa Latin.12

Tidak hanya dari Muhammadiyah, ibu-ibu Aisyiyah pun juga ikut melestarikan kebudayaan
melalui seni songket yang indah dan rumit. 13 Dapat dicatat bahwa para pelaku yang mengerjakan
seni songket sesungguhnya sedang menjalankan tiga peran sekaligus. Pertama, peran agama
sebagai penutup aurot. Kedua, peran budaya sebagai penorehan keindahan hidup. Dan yang
ketiga, peran ekonomi sebagai penggerak roda ekonomi produksi.

Pendiri gerakan ini begitu terbuka berdialog dan berkomunikasi dengan semua pusat unggulan
pada masanya terlepas dari apakah ia dari pemerintah kolonial, kerajaan, priayi Jawa ataupun
pendeta dan pastor hingga elite kejawen. Doktrin sosial terpenting pada masa awal gerakan ini
ialah “jadilah guru sekaligus murid” bagi dan dari siapa saja. Di satu sisi, gerakan ini memakai
kekuatan sufi sebagai etos spiritual dan disisi lain ia menjadikan etika syariat sebagai dasar
pengembangan sistem dan manajemen gerakan dari pengalaman kaum Kristiani atau peradaban
sekuler kaum kolonial.

Oleh karena itu, Ahmad Dahan terbuka berhubungan dengan Ahmadiyah dari India hingga kaum
sosialis atau Marxis, selain dengan priayi Jawa dan para pangeran dan pendeta atau pastor.
Gerakan ini begitu peduli pada rakyat kebanyakan seperti tampak pada pemberdayaan para
jompo, korban perang dan anak yatim.14 Orientasi pragmatis tersebut cenderung berubah ketika
Muhammadiyah mengalami ideologisasi sejak tahun 1930-an dengan dibentuknya lembaga
fatwa (tarjih) yang justru menghambat gerak dinamis dan mempersempit ruang gerak sosial-
politik dan ekonominya. Masuknya ideologi Wahabi juga membuat Muhammadiyah kurang
toleran terhadap tradisi masyarakat lokal. Begitu pula keterlibatan orang-orang Padang dalam
menentukan sikap organisasi kepada kebudayaan.15

Interaksi Muhammadiyah dengan pluralitas budaya dan lebih khusus seni budaya dan
komunitasnya, telah melahirkan sejumlah ketegangan, baik ketegangan destruktif maupun
kreatif. Ketegangan tersebut bersumber pada realitas historis-sosiologis, nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya kadangkali juga bertentangan dengan norma Islam. Disamping itu,
ketegangan juga disebabkan oleh kerigidan pemahaman budaya dengan tidak memberi ruang
kepada pluralitas budaya dan pemahaman keagamaan.16

Seperti yang terjadi dalam dakwah Muhammadiyah di Lamongan, yang dilakukan secara kultural
dan frontal.17 Hasilnya dakwah tersebut ditolak dan mendapatkan perlawanan dari masyarakat
Lamongan yang notabene merupakan kalangan agraris dan abangan. Kondisi ini membuat para
mubaligh mengembangkan cara lain yakni dengan dakwah bi al-hal. Pembangunan dan
pengembangan amal usaha disana ternyata disambut baik oleh masyarakat sehingga muncul

12 Widyaastuti dkk, 2018, Percik Pemikiran Tokoh Muhammadiyah Untuk Indonesia Berkemajuan, (Yogyakarta:
MPI PP Muhammadiyah), 136
13 Din Syamsuddin, 2014, Muhammadiyah Untuk Semua, (Yogayakarta: Suara Muhammadiyah), 162
14 Abdul Munir Mulkhan, 2007 Manusia Al-Quran (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 83
15 Ahmad Najib Burhani, 2016, Muhammadiyah Berkemajuan (Bandung: Mizan Pustaka), 92
16 Syamsul Hidayat, Dakwah Kultural dan Seni Budaya dalam Gerakan Muhammadiyah, Jurnal Tajdida, Vol 2 No 2
(2004), hal. 186
17 Asykuri Ibn Chamim dkk, Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, (Surakarta: Penerbit Pusat
Studi Budaya dan Sosial UMS), hal 23
ruang negosiasi untuk berdakwah. Hal ini kemudian disebut sebagai transformasi budaya
“masyarakat pertanian” menuju ke budaya “masyarakat pasca-pertanian”.

Mendefinisikan dakwah kebudayaan dalam arti lain juga bisa bermakna melakukan pembebasan
dan pemberdayaan mereka dari belenggu struktur kemiskinan. Tahap dimana para pembebas dan
yang dibebaskan akan saling percaya dan berada dalam satu komunikasi akan mempermudah
proses tabligh yang dilakukan oleh muballigh. Oleh karena itu sangat penting sekali untuk
memahami kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik suatu daerah sebelum proses
pendakwahan dilakukan.

Dalam penelitian yang dilkakukan Hyung Jun Kim di sebuah dusun di Yogyakarta, ia
menyimpulkan bahwa orang Muhammadiyah dalam memandang kebudayaan terbagi menjadi
dua kelompok, pertama kelompok Puritan, yakni orang-orang yang tidak menyetujui semua hal
yang tidak ada dalam Al Quran Sunnah. Sementara yang kedua adalah kelompok akomodatif,
yakni orang-orang yang menafsirkan dan menkontekstualisasikan makna tradisi dalam perspektif
Islam.18

Jalan Tuhan dan Kebudayaan

Di kalangan masyarakat, Muhammadiyah memang dikenal sebagai organisasi yang kurang


akomodatif terhadap kultur atau adat istiadat. Selain disebabkan oleh gencarnya gerakan
purifikasi dan tajdid, jamaah Muhammadiyah pada umumnya adalah masyarakat perkotaan yang
mulai “jauh” dari hal-hal yang berbau tradisi. Jikalau terdapat jamaah yang berada di pedesaan,
itu pun bisa dikatakan tidak terlalu banyak, bahkan tipologi jamaahnya berbeda-beda
berdasarkan hasil disertasi Abdul Munir Mulkhan.19

Kelompok pertama disebut sebagai variasi Islam murni, yakni orang-orang yang konsisten dan
fundamentalis dalam mengamalkan ajaran Islam menurut syariah dan keputusan
Muhammadiyah. Bahkan hampir seluruh kegiatan hidupnya dipasrahkan hanya kepada tuntunan
Islam. Dalam bahasa lain kelompok ini disebut juga sebagai puritan fanatik atau puritan
skriptural. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok substansial, yakni orang-orang yang
menjalankan ibadahnya sesuai putusan Tarjih dan ikut secara pasif dalam praktik-praktik TBC.
Kelompok ini keadaan ekonominya relatif lebih baik daripada kelompok pertama.

Kelompok ketiga adalah neotradisionalis, yakni orang-orang yang beribadah sesuai syariat tapi
ikut secara aktif dalam praktik-praktik TBC. Bahkan berperan dalam melestarikannya.
Kelompok ini berpikiran bahwa Tuhan lebih kompromis dan masih percaya akan peran “orang
saleh” dalam berhubungan dengan Tuhan. Kelompok keempat disebut sebagai kelompok
neosinkretis, yakni orang-orang yang memiliki pemahaman bahwa Tuhan Maha Pemaaf,
sehingga mereka kurang menaati aturan syariah dan ikut terlibat dalam praktik upacara sinkretik
serta TBC.

Isu kebudayaan ini kembali mencuat pada Tanwir Muhammadiyah di Bali (2002) dengan

18 Hyung Jun Kim, 2017, Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta, (Yogyakarta: Penerbit Suara
Muhammadiyah), 205
19 Abdul Munir Mulkhan, 2010, Marhaenis Muhammadiyah, (Yogyakarta: Penerbit Galangpress), 218
memunculkan gerakan baru yang bernama dakwah kultural sebagai respon akan kurang
disentuhnya bagian tersebut. 20 Secara singkat Haedar Nashir mendefinisikan bahwa dakwah
kultural merupakan dakwah yang dilakukan secara dialogis memerhatikan potensi manusia
sebagai makhluk budaya yang berkebudayaan sehingga mereka dapat diubah atau
ditransformasikan menjadi kondisi masyarakat baru yang lebih islami. Momen tersebut
memunculkan kembali ide-ide berdakwah melalui kebudayaan, seperti yang digagas oleh Abdul
Munir Mulkhan mengenai kebudayaan sebagai jalan menuju Tuhan.

Ditengah berlarutnya perdebatan mengenai kedudukan agama dan kebudayaan, perlu disadari
bahwa tanpa kebudayaan hampir mustahil ajaran agama Islam diamalkan. Kitab Al-Quran hanya
bisa dibaca jika ia berwujud kebudayaan. Suatu tradisi atau budaya yang ditolak oleh Islam
bukanlah karena ia datang dari suatu tempat, tetapi apakah ia sunnah, bid’ah atau alatul malahi.
Asas manfaat berdasarkan doktrin Rahmatan Lil Alamin diperlukan dalam pengembangan
kebudayaan. Dari sini disusun strategi kebudayaan sebagai jalan menuju Tuhan itu sendiri.

Kurang disadari bahwa kebudayaan memperjelas wujud Tuhan dan membuat kehadiran-Nya
dikenal manusia dalam sejarah. Akibatnya gerakan Islam sulit peduli terhadap penderitaan
seorang muslim yang saleh di luar peta kebudayaan. Kebudayaan ditempatkan sebagai antitesis
kesalehan walaupun mayoritas penduduk di dunia yang miskin adalah muslim yang taat. Lebih
parahnya lagi Muhammadiyah terperangkap dalam birokratisasi, institusionalisasi dan
pelembagaan keagamaan dengan menjadikan tarjih sebagai “ideoelogi” dan ruh gerakan,
sehingga cenderung anti kebudayaan dan anti keberagaman.

Kebudayaan adalah bentuk dan pola tindakan yang mencerminkan proses dinamis penyadaran
atas realitas. Jika di puncak realitas itu diyakini Tuhan berada, maka kebudayaan adalah proses
penyadaran tentang keberadaan Tuhan itu sendiri. Kebudayaan adalah media utama untuk
menyadari dan mencapai Tuhan. Tuhan berhubungan dengan manusia melalui wahyu-Nya yang
tertuang dalam bentuk kebudayaan berupa bahasa.

Perlu disadari pula bahwa rasa seni merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah dan harus
diperlihara serta disalurkan dengan baik sesuai ketentuan yang diatur oleh Allah. Allah itu Maha
Indah dan mencintai keindahan. Islam adalah agama yang fitrah, yakni mengandung ajaran-
ajaran yang tidak berlawanan dengan fitrah manusia, bahkan justu menyalurkan dan menuntun
fitrah tersebut, termasuk didalamnya adalah fitrah seni.

Kebudayaan harus diletakkan dalam fungsi penerobos batas-batas realitas sehingga Tuhan dan
manusia terhubung, manusia bisa mendekati Tuhan penciptanya dan Tuhan menyapa hambanya-
Nya. Kebudayaan merupakan jalan panjang tanpa titik final pencarian dan penghampiran
manusia pada Tuhan. Aksi bahkan revolusi kebudayaan sebenarnya telah dilakukan oleh Ahmad
Dahlan yang menafsirkan secara pragmatis Al Quran kedalam berbagai bentuk tindakan sosial.
Dengan ijtihad dan aksi kebudayaan, beliau melawan takdir tentang kemelaratan, kebodohan dan
keterjajahan umat.

Gerakan sosial merupakan tahapan objektif etos pembaruan sesudah tahap teoritis penyadaran
budaya. Ide kreatif Ahmad Dahlan yang melahirkan berbagai kegiatan sosial dengan pendidikan

20 Abdul Pirol, Strategi Dakwah Kultural Muhamadiyah (2009)


modern sebagai garda depan, bersumber revolusi budaya keharusan penerjemahan fungsional
ajaran Islam bagi pemecahan berbagai masalah yang dihadapi umat. Setidaknya ada dua fungsi
dakwah Islam dalam konteks proses transformasi budaya, pertama, ikut menciptakan kondisi
yang subur bagi kelanjutan sintesa-budaya Islam. Kedua, ikut memberikan makna dan format
spiritual bagi proses transformasi budaya.21

Semakin pesatnya perkembangan zaman, sejalan dengan semakin terbentuknya pemikiran bahwa
kebudayaan bukan lagi keniscayaan, melainkan sebuah pilihan. Pilihan akan kebudayaan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah usia. Generasi tua akan dominan pada
kebudayaan tradisional, sedangkan generasi muda, akan lebih memilih kebudayaan yang
berkonotasi modern. Kuntowijoyo juga menyatakan bahwa pilihan kebudayaan adalah soal
sosialisasi, sehingga tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar karena kandungan
kepribadian banyak terkandung dalam kebudayaan.22

Kesempatan inilah yang seharusnya diambil sebagai langkah strategis Muhammadiyah untuk
mengembangkan sayap dakwahnya. Dengan jaringan yang tersebar luas di seluruh penjuru
Indonesia, terbuka sekali ruang sosialisasi kepada masyarakat lokal. Metode dakwah kultural
yang sudah dirumuskan diharapkan mampu membentuk kepribadian muslim di masyarakat
sekaligus mempertahankan kebudayaan yang ada. Ketika kepribadian dan kebudayaan selaras,
maka inilah yang disebut sebagai puncak kebudayaan.

Dengan harapan Islam hadir bukan sebagai ritual yang sibuk memuja Tuhan, tetapi sebagai
agama yang benar-benar membebaskan manusia dari segala penderitaan dan segala macam
pemberhalaan.

DAFTAR PUSTAKA

.
1. Mulkhan, Abdul Munir, Manusia Al-Qur’an, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007
2. Mulkhan, Abdul Munir, Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan,
Jakarta: Kompas Media, 2010
3. Mulkhan, Abdul Munir, Marhaenis Muhammadiyah, Yogyakarta:Galangpress, 2010
4. Mulkhan, Abdul Munir, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2007
5. Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni Dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2000
6. Burhani, Ahmad Najib, Muhammadiyah Jawa, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010
7. Burhani, Ahmad Najib, Muhammadiyah Berkemajuan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016
8. Darban, Ahmad Adaby, Sejarah Kauman, Yogyakarta: Penerbit Tarawa, 1990
9. Syamsudin, Din, Muhammadiyah Untuk Semua, Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2014
10. Alam, Bachtiar, Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan,
Antropologi Indonesia, 1998, 54
11. Kim, Hyung-Jun, Revolusi Perilaku Keagamaan di Pedesaan Yogyakarta, Yogyakarta:
Penerbit Suara Muhammadiyah, 2017

21 Umar Khayam, 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Penerbit PLP2M), hal 83
22 Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Penerbit Mizan), 153
12. Madjid, Nurcohlis, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995
13. Hidayat, Syamsul, Dakwah Kultural dan Seni Budaya dalam Gerakan Muhammadiyah,
Jurnal Tajdida, 2004, 02
14. Chamim, Ibn Asykuri, dkk. Purifikasi & Reproduksi Budaya Di Pantai Utara Jawa,
Surakarta: Penerbit Pusat Studi Budaya dan Sosial UMS
15. Widyaastuti, dkk, Percik Pemikiran Tokoh Muhammadiyah Untuk Indonesia Berkemajuan,
Yogyakarta: MPI PP Muhammadiyah
16. Kuntowjioyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1997
17. Bauto, Laode Monto, Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia, Jurnal Pendidikan ilmu Sosial, 2014, 23
18. Ramli, Yusri Mohamad,Agama dalam Tentukur Antropologi Simbolik Clifford Greetz,
International Journal of Islamic Thought, 2012
19. Baidhowi, Zainuddin, Muhammadiyah dan Spirit Islam Berkemajuan dalam Sinaran Etos Al-
Quran, Jurnal Afkaruna, 2017, 13
20. Pirol, Abdul, Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah, 2009

Anda mungkin juga menyukai