TINJAUAN TEORI
1.1 Definisi
Benigna Prostat hiperplasia adalah keadaan kondisi patologis yang paling umum
pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan untuk intervensi medis
pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya. A & Putri. Y, 2013). Benigna Prostat Hiperplasi
(BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hyperplasia
beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar ataun jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah
RSUD dr.Sutomo, 1994: 193). Benigna prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yabg
sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat. (Yuliana,
Elin, 2011). Benigna Prostat Hiperplasi adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan
(Price, 2006
Dari pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa benigna prostat
hyperplasia adalah pembesaran dari prostat yang biasanya terjadi pada orang berusia lebih
dari 50 tahun yang mendesak saluran perkemihan
1.2 Etiologi
Menurut Alam tahun 2004 penyebab pembesaran kelenjar prostat belum diketahui
secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap berhubungan dengan proses penuaan yang
mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Para ahli berpendapat
bahwa dihidrotestosteron yang mamacu pertumbuhan prostat seperti yang terjadi pada masa
pubertas adalah penyebab terjadinya pembesaran kelenjar prostat.
Hal lain yang dikaitkan dengan gangguan ini adalah stres kronis, pola makan
tinggi lemak, tidak aktif olahraga dan seksual. Selain itu testis menghasilkan beberapa
hormon seks pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup
testosteron, dihidrotestosteron, dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar
dikonversikan oleh enzim 5-alfa- reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara
fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi.
Tugas lain dari testosteron adalah pemicu libido, pertumbuhan otot dan mengatur
doposit kalsium di tulang. Penurunan kadar testosteron telah diketahui sebagai penyebab dari
penurunan libida, massa otot, melemahnya otot pada organ seksual dan kesulitan ereksi.
Selain itu kadar testosteron yang rendah juga dapat menyebabkan masalah lain yang tidak
segera terlihat, yaitu pembesaran kelenjar prostat. Dalam keadaan stres, tubuh memproduksi
lebih banyak steroidstres (karsitol) yang dapat menggeser produksi DHT
(dehidroepianandrosteron).
DHT berfungsi mempertahankan kadar hormon seks yang normal, termasuk
testosteron. Stres kronis menyebabkan penuaan dini dan penurunan fungsi testis pria.
Kolesterol tinggi juga dapat mengganggu keseimbangan hormonal dan menyebabkan
terjadinya pembesaran prostat. Faktor lain adalah nikotin dan konitin ( produk pemecahan
nikotin) yang meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan
penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin lingkungan (zat kimia yang banyak
digunakan sebagai pestisida, deterjen atau limbah pabrik) dapat merusak fungsi reproduksi
pria
1.4 Patofisiologi
Menurut Purnomo 2011 pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen
uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik
buli-buli berupahipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan
sebagai keluhkan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian bulibuli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan
ini jIka berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia
prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra
posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul
prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis
yang berasal dari nervus pudendus.
Menurut Mansjoer tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal
setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat
meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut,
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
1.5 Klasifikasi
Menurut Rumahorbo (2000) terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu
sebagai berikut:
1. Derajat rectal
dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat kea rah rectum. Rektal
toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastic, dapat digerakan, tidak
ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi
prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1cm dan berat prostat diatas 35
gram
2. Derajat klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai
selesai dan puas, kemudian dilakukan kateterisasi. Urin yang keluar dari kateter disebut
sisa urine atau residual urin. Residual urin dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut:
1) Norml sisa urin adalah nol
2) Derajat I sisa urine 0-50 ml
3) Derajat II sisa urine 50-100 ml
4) Derajat III sisa urine 100-150 ml
3. Derajat IV
Telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung kemih
telah penuh dan klienmerasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan
periodic, hal ini disebut over flow incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine
sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-
kadang terjadi hematuri.
4. Derajat intra vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rongen atau cystogram,
penendoscopy. Bila lobus medalis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada
stadium tiga derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine
sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, menggil dan nyeri didaerah pingguang serta kemungkinan telah
terjadi pylitis dan trabekulasi bertambah.
5. Derajat intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai
seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi
retensi urine total.
1.6 Manifestasi klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
1) Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau miksi)
2) Pancaran waktu miksi lemah
3) Intermitten (miksi terputus)
4) Miksi tidak puas
5) Distensi abdomen
6) Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.
7) Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.
2. Gejala di luar saluran kemih :
1) Sering buang air kecil dan tidak sanggup menahan buang iar kecil, sulit mengeluarkan
atau menghentikan urin. Mungkin juga urin yang keluar hanya merupakan tetesan
belaka.
2) Sering terbangun waktu tidur di malam hari, karena keinginan buang air kecil yang
berulang-ulang.
3) Pancaran atau lajunya urin lemah
4) Kandung kemih terasa penuh dan ingin buang iar kecil lagi
5) Pada beberapa kasus, timbul rasa nyeri berat pada perut akibat tertahannya urin atau
menahan buang air kecil (Alam, 2004).
2.8 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan Keluhan ringan, sedang,
sedang dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi
(misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan
supresor androgen.
2. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
2) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien
buang air kecil > 100 Ml.
3) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem perkemihan seperti
retensi urine atau oliguria.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowcytometri menunjukkan pola obstruktif.
3. Prostatektomi Suprapubis
1) Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung kemih.
2) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter suprapubis setelah
operasi.
3) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
4) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
5) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4. Prostatektomi Perineal
1) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
2) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
3) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.
4) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan perut, enema, diet
rendah sisa dan antibiotik).
5) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase) diletakan pada
tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk. Pada TURP, prostatektomi
suprapubis dan retropubis, efek sampingnya dapat meliputi:
1) Inkotenensi urinarius temporer
2) Pengosongan urine yang keruh setelah hubungan intim dan
3) kemandulan sementara (jumlah sperma sedikit) disebabkan
4) oleh ejakulasi dini kedalam kandung kemih.
2.9 Pemeriksaan penunjang
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada
pasien dengan BPH adalah:
1. Laboratorium
1) Sedimen urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kumn terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
2) Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
3) Pencitraan
Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih tau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin yang merupakan yanda dari
retensi urin.
4) IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroreter atau
hidronefrosis memeprkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli
5) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rectal)
Untuk mengethaui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
6) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur oanjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rectum.
BAB 2
2.1 PENGKAJIAN
1. Sebelum Operasi
Data Subyektif:
Data Obyektif :
Data Subyektif:
Data Obyektif:
Intervensi:
3. Manajemen lingkungan :
kenyamanan
Intervensi :
- Batasi pengunjung
- Menyebutkan
keuntungan dari
mengikuti anjuran diet 2. Ajarkan : Diet
- Menyebutkan
2. Ajarkan : pengobatan
interakasi obat dengan
agen yang lainnya - Jelaskan klien utk mengenal
karakteristik obat
- Menyebutkan rute
pemberian obat yang - Informasikan nama generik dan
tepat nama dagang
- Jelaskan tujuan dan kerja obat
Muttaqin, Arif Dan Kumala Sari. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan System
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Long, B C, 1996. Erawatan Medical Bedah: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta,
Penerbit Buku Kedoteran EGC.
Nuratif dkk (2015) aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis medis dan nanda
nic_noc jilid 1. Jogjakarta:mediaction