Anda di halaman 1dari 503

TUGAS RESUME

OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

Pembimbing :
Dr. Moch. Ma’roef Sp.OG

Oleh :
Era Anggoro Kusuma N NIM 201520401011094
Erdiyan Pranidana Hariyanto NIM 201520401011114
Laksita Anindhita Putri NIM 201520401011123
Vonny Riska Rahmawati NIM 201520401011132
Aulia Nur Cahyani NIM 201520401011140
M Jathy Oktariansyah NIM 201520401011155
Putri Dewi Kretany NIM 201520401011161

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017
BAKTERIAL VAGNOSIS

1.1 Latar belakang

Bakterial vaginosis (BV) merupakan infeksi pada vagina yang sering

terjadi pada usia produktif. Diperkirakan bahwa sekitar 16% dari wanita hamil di

Amerika Serikat mungkin memiliki BV pada waktu tertentu. Angka kejadian sulit

ditentukan karena tingginya prevalensi infeksi asimptomatik dan keterbatasan

metode skrining. Faktor resiko dari BV termasuk berhubungan seksual pada usia

dini, berganti-ganti pasangan seksual, dan pemakaian pencuci vagina. Beberapa

penelitian menunjukkan peningkatan prevalensi terjadi pada wanita yang

berhubungan dengan sesama jenis. Wanita yang tidak pernah behubungan seksual

jarang sekali terkena. 1

1.2 Definisi

Bakterial vaginosis (BV), sebelumnya dikenal sebagai vaginitis

nonspesifik, disebut bakterial vaginosis karena bakteri adalah agen etiologi infeksi

ini. Bakterial Vaginosis (BV) atau nonspesifik vaginitis, merupakan Banyak

penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis dengan bakteri

lainnya dalam menyebabkan BV, seperti Lactobacillus, Prevotella, dan bakteri

anaerob, termasuk Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium,

Veillonella, dan Eubacterium. Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum,

viridans Streptococcus, dan Atopobium vaginae juga telah dikaitkan dengan BV. 2

1.3 Epidemiologi

Sebuah studi menunjukkan bahwa bakterial vaginosis mengenai sepertiga

dari wanita dewasa di United States, yang mempresentasikan sekitar 21 juta

wanita. Setiap tahun lebih dari 10 juta wanita berobat karena vaginal discharge.
Peningkatan prevalensi berhubungan dengan merokok, obesitas, kehamilan

sebelumnya, dan riwayat abortus induksi. Gardnerella vaginalis telah dilaporkan

terdapat pada 100% wanita dengan tanda dan gejala BV, dan 70% wanita tanpa

tanda dan gejala BV. Angka kejadian BV pada klinik obstetri dapat mencapai 10-

25 %. 2

Beberapa studi menunjukkan bahwa bakterial vaginosis lebih sering terjadi

pada wanita Afrika-Amerika dibandingkan wanita kulit putih non-Hispanic.

Predominan kolonisasi dan infeksi G vaginalis  terjadi pada wanita. Pada pria, G

vaginalis jarang menimbulkan infeksi, akan tetapi uretra pria yang pasangan

seksualnya memiliki gejala BV biasanya akan terjadi kolonisasi strain yang sama.

Infeksi G vaginalis biasanya terjadi pada wanita usia reproduksi. 2

1.4 Etiologi

BV merupakan polymicrobial syndrome yang terjadi ketika ada

ketidaseimbangan flora normal bakkteri pada vagina. Beberapa bakteri yang

memnyebabkan BV adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp., M. hominis, bakteri

anaerob gram negatif seperti Prevotella, Porphyromonas, dan Bacteroides, dan

Peptostreptococcus sp. 1

1.5 Patofisiologi

BV adalah penyebab paling umum dari vaginitis dan infeksi paling umum

yang ditemui pada klinik ginekologi. Peningkatan cairan vagina dan bau tak sedap

vagina yang disebabkan oleh perubahan flora vagina merupakan ciri dari BV.

Pada BV, flora vagina menjadi berubah melalui berbagai mekanisme yang masih

belum diketahui pasti, dan menyebabkan peningkatan pH lokal. Hal ini mungkin

disebabkan oleh reduksi hidrogen peroksida yang diproduksi Lactobacilli.


Lactobacilli merupakan organisme yang berbentuk batang, yang membantu

menjaga pH asam dari vagina yang sehat dan menghambat mikroorganisme

anaerob lain melalui elaborasi hidrogen peroksida. Biasanya, lactobacilli

ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada vagina yang sehat. Di BV, populasi

lactobacilli sangat sedikit, sementara populasi bakteri lainnya meningkat. 2

Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis

dengan bakteri lainnya dalam menyebabkan BV. G vaginalis membentuk biofilm

pada vagina, dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa biofilm tersebut dapat

menyebabkan resistensi terhadap terapi. Pada penelitian, dominan G vaginalis

biofilm ini telah menunjukkan bertahan dalam hidrogen peroksida (H2 O2), asam

laktat, dan tingkat tinggi antibiotik. 2

Walaupun BV tidak termasuk dalam penyakit menular seksual, aktivitas

seksual telah dikaitkan dengan perkembangan infeksi ini. Beberapa studi yang

mendukung adalah: (1) kejadian BV meningkat dengan peningkatan jumlah

pasangan seksual, (2) pasangan seks baru dapat terkena BV, dan (3) pasangan

laki-laki dari perempuan dengan BV mungkin memiliki kolonisasi uretra oleh

organisme yang sama, tapi asimptomatis pada laki-laki. 2

1.6 Diagnosis

Diagnosis klinis BV bergantung pada anamnesis, pemeriksaan klinis, dan

pemeriksaan penunjang. 2

Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan 5-10 % wanita mengeluhkan keputihan yang

berlebih, sekret encer keabu-abuan, berbau amis, dan memberat saat berhubungan

seksual. Perlu ditanyakan juga mengenai faktor presisposisi pada pasien seperti
penggunaan antibiotik baru-baru ini, penggunaan IUD, sabun cuci vagina, dan

aktivitas seksual 2.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan : 1,2

- Sekret keabu-abuan, tipis, dan homogen

- Sekret melekat pada mukosa vagina

- Dapat terlihat adanya gelembung kecil pada sekret

- Labia, introitus, serviks, dan cairan serviks tampak normal.

- Iritasi pada vulva biasanya didapatkan

Pemeriksaan Penunjang

Menurut kriteria Amstel dalam mendiagnosa BV, tiga dari empat kriteria

harus ada, yaitu: 1

a. Vaginal discharge yang tipis, dan homogen

b. Whiff tes positif, yang melibatkan produksi bau amis saat pencampuran

cairan vagina dengan 10% kalium hidroksida

c. pH vagina lebih dari 4.5

d. Didapatkannya Clue cell pada pemeriksaan mikroskopis, yang merupakan

indikator BV.

1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari bakterial vaginosis antara lain: 2

a. Kandidiasis vagina

b. Servisitis

c. Infeksi klamidia genitourinari

d. Gonore
e. Trikomoniasis

1.8 Penatalaksanaan 1

Manfaat yang diambil dari terapi BV pada wanita yang tidak hamil adalah

untuk: (1) meredakan gejala vagina dan tanda-tanda infeksi dan (2) mengurangi

risiko komplikasi infeksi. Pada wanita hamil, pengobatan BV juga mengurangi

risiko infeksi portpartum, serta risiko persalinan prematur. 1

Gambar 2.1 Terapi BV 1

1.9 Komplikasi 1

BV telah terbukti menjadi faktor risiko untuk persalinan prematur dan

kelahiran prematur pada kehamilan. BV juga dikaitkan sebagai faktor risiko untuk

transmisi HIV. Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa BV dikaitkan

dengan resiko tinggi terkena bertentangan neoplasia intraepitel serviks. Beberapa

penelitian telah menghubungkan BV demam postpartum, endometritis


postpartum, dan infeksi postpartum; namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk

menyelidiki hubungan lebih lanjut dan gejala sisa. 1

1.10 Prognosis

BV memiliki prognosis yang baik dengan penatalaksanaan yang tepat.

Beberapa infeksi dapat membaik tanpa terapi. Sebagian besar infeksi tidk

menunjukkan gejala dan jarang terjadi kmplikasi. Telah dilaporkan bnyak

kejadian infeksi berulang, dan regimen pengobatan yang lebih lama dapat

dibenarkan dalam kasus tersebut. 1


DAFTAR PUSTAKA

1. Rosen T. 2012. Gonorrhea, Mycoplasma, and Vaginosis (Chapter 205), In:

Fitzpatrick’s 8th Edition. United States: McGraw-Hill Education, LLC. p 2514-

2526

2. Girerd P.H. 2016. Bacterial Vaginosis. (10/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/254342-overview#showall
VULVITIS

1.    Definisi

Vulvitis adalah peradangan vulva (organ kelamin luar wanita).

Gambar 1. Vulvitis

2.     Etiologi

1. Infeksi

a. Bakteri (misalnya klamidia, gonokokus)

b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes, wanita

hamil dan pemakaian antibiotik

c. Protozoa (misalnya Trichomonas vaginalis)

d. Virus (misalnya virus papiloma manusia dan virus herpes).

2. Zat atau benda yang bersifat iritatif

a. Spermisida, pelumas, kondom

b. Sabun cuci dan pelembut pakaian

c. Deodoran
d. Zat di dalam air mandi

e. Pembilas vagina

f. Pakaian dalam yang terlalu ketat, tidak berpori-pori dan tidak

menyerap keringat

g. Tinja

3. Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya

4. Terapi penyinaran

5. Obat-obatan

6. Perubahan hormonal.

3. Klasifikasi

a. Infeksi kulit berambut

- Terjadi perubahan warna.

- Membengkak.

- Terasa nyeri.

- Kadang-kadang tampak bernanah.

- Menimbulkan kesukaran bergerak.

b. Infeksi Kelenjar Bartolini

- Terletak dibagian bawah kulit.

- Warna kulit berubah.

- Membengkak.

- Terjadi timbunan nanah didalam kelenjar.

- Penderita sukar berjalan/duduk karena sakit.


4.     Faktor Resiko

1. Setiap wanita dari segala usia dapat terserang vulvitis.

2. Wanita yang belum mencapai pubertas atau wanita pasca-menopause

kemungkinan berada pada risiko yang lebih tinggi terserang vulvitis,

yang disebabkan oleh tingkat estrogen yang lebih rendah sehingga

jaringan vulva lebih tipis dan rentan terserang vulvitis.

5.   Tanda dan Gejala

 Perasaan panas dan nyeri terutama waktu kencing.

 Leukorea yang sering disertai perasaan gatal hingga terjadi iritasi oleh

gerakan.

 Gangguan koitus.

 Introitus dan labia menjadi merah dan bengkak, sering tertutup oleh

secret.

6.   Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Keluhan

Rasa gatal dan perih di kemaluan, serta keluarnya cairan kental dari

kemaluan yang berbau.

Gejala Klinis:

a. Rasa terbakar di daerah kemaluan

b. Gatal

c. Kemerahan dan iritasi

d. Keputihan
2. Pemeriksaan Fisik

Dari inspeksi daerah genital didapati:

a. Kulit vulva yang menebal dan kemerahan, dapat ditemukan juga

lesi di sekita vulva.

b. Adanya cairan kental dan berbau yang keluar dari vagina.

3. Pemeriksaan Penunjang : -

4. Diagnosis Klinis

Ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik

5. Diagnosis Banding

Dermatitis Alergika

6. Komplikasi

a. Infertilitas

b. Infeksi sekunder karena sering digaruk

c. Vulva distrofi

7.   Penatalaksanaan

1. Infeksi Bakterial

Diberikan antibiotika candidiasis seperti:

- Nistatin              : 100.000 2 kali per hari selama 7 – 10 hari.

- Mikonazol         : 7 gram 1 – 2 kali per hari selama 3,5 – 7 hari.

- Klotrimazol        : 100 gram tablet atau 7 gram krim 1 – 2 kali per

hari selama 3,5 – 7 hari.

- Asam borat       : 600 mg 2 kali per hari selama 7 – 10 hari.


2. Infeksi dengan Trichomonas

- Metronidazol     : 2 gram dalam dosis tunggal, juga terapi pasangan

seksual laki-lakinya. (Tahap I).

- Metronidazol     : 500 mg 2 kali per hari selama 7 hari, terapi

seksual pasangan laki-lakinya. (Tahap rekurens).

Selain obat-obatan penderita juga sebaiknya memakai pakaian dalam yang

tidak terlalu ketat dan menyerap keringat sehingga sirkulasi udara tetap terjaga

(misalnya terbuat dari katun) serta menjaga kebersihan vulva (sebaiknya gunakan

sebum gliserin).

- Untuk mengurangi nyeri dan gatal-gatal bisa dibantu dengan kompres

dingin pada vulva atau berendam dalam air dingin.

- Untuk mengurangi gatal-gatal yang bukan disebabkan oleh infeksi bisa

dioleskan krim atau salep kortikosteroid dan antihistamin per-oral

(tablet).

- Krim atau tablet acyclovir diberikan untuk mengurangi gejala dan

memperpendek lamanya infeksi herpes.

- Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri.


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

2. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

3. Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit

Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta

: EGC

4. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta : EGC


VAGINITIS

Definisi

Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang menyebabkan adanya

discharge, gatal, dan nyeri.

Etiologi

1. Infeksi.

2. Infeksi yang paling sering menyebabkan vaginitis adalah infeksi bakteri

yaitu bakteri Gardnerella Vaginalis, infeksi jamur yaitu Candida Albicans,

infeksi protozoa yaitu Trichomonas Vaginalis. Infeksi juga dapat

disebabkan oleh kuman gonokokus dan klamidia trakomatis.

3. Zat atau benda yang bersifat iritatif, misalnya spermisida, pelumas,

kondom, diafragma, sabun cuci dan pelembut pakaian, zat di dalam air

mandi, pembilas vagina, pakaian dalam yang terlalu ketat dan tidak

menyerap keringat.

4. Pengaruh hormonal, penurunan kadar estogen pada wanita post menopause

atau post partum dinilai dapat menyebabkan vaginitis khususnya atrofi

vaginitis.

Gejala Klinis

Gejala yang pling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari vagina.

Dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak, baunya menyengat atau

disertai gatal- gatal dan nyeri. Cairan yang abnormal sering tampak lebih kental

dan warnanya bermacam- macam. Misalnya bisa berwarna seperti keju, kuning
kehijaun atau kemerahan. Gejala yang timbul biasanya berbeda- beda tergantung

penyebab vaginitis.

Penatalaksanaan

Cairan vagina yang keluar akibat vaginitis perlu diobati secara khusus sesuai

dengan penyebabnya.

1. Infeksi jamur dapat diberikan terapi berupa miconazole, clotrimazole,

butoconazole atau terconazole (bisa dalam bentuk krim, tablet vagina atau

suppositoria). Fluconazole atau ketoconazole dalam bentuk tablet.

2. Infeksi bakteri biasanya diberikan metronidazole atau clindamycin (tablet

vagina) atau metronidazole tablet. Jika penyebabnya gonokokus biasanya

diberikan suntikan seftriakson dan tablet doksisiklin. Untuk infeksi

klamidia dapat diberikan Doxycylin atau azitromicin ( tablet ). Untuk

infeksi trikomonas dapat diberikan metronidazole tablet.


DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

2. Prawirohardjo, S. 2010. Ilmu Kebidanan . Jakarta : PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

3. Manuwaba, Ida Bagus Gde. 2010 . Ilmu kebidanan Penyakit

Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta

: EGC
SALPINGITIS

1. Definisi

Salpingitis adalah infeksi dan peradangan di saluran tuba.

2. Epidemiologi

Salpingitis banyak di temukan pada masyarakat sosial ekonomi rendah.

Namun hal ini dianggap sebagai efek dari riwayat seks sebelumnya, gonta - ganti

pasangan dan kurangnya pengetahuan kesehatan yang baik merupakan faktor

resiko independen untuk salpingitis. Sebagai akibat peningkatan resiko akibat

berganti – ganti pasangan, maka prevalensi tertinggi salpingitis adalah remaja (15-

24 tahun).

Kurangnya kesadaran dini dan kurangnya kemauan untuk menggunakan

alat kontrasepsi umumnya juga menjadi faktor meningkatnya salpingitis.

3. Etiologi

Infeksi ini jarang terjadi sebelum siklus menstruasi pertama, setelah

menopause maupun selama kehamilan. Penularan yang utama terjadi melalui

hubungan seksual, tetapi bakteri juga bisa masuk ke dalam tubuh setelah prosedur

kebidanan/kandungan (misalnya pemasangan IUD, persalinan, keguguran, aborsi

dan biopsi endometrium).

Penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi adalah:

 Aktinomikosis (infeksi bakteri)

 Skistosomiasis (infeksi parasit)

 Tuberkulosis.

Beberapa bakteri yang paling umum bertanggung jawab untuk salpingitis

meliputi:
 Klamidia

 Gonococcus (yang menyebabkan gonore)

 Mycoplasma

 Staphylococcus

 Streptococcus.

4. Patofisiologi

Kebanyakan kasus salpingitis terjadi dalam 2 tahap. Pertama melibatkan

akuisisi infeksi vagina atau leher rahim. Yang kedua melibatkan peningkatan

saluran kelamin bagian atas. Meskipun mekanisme yang tepat untuk peningkatan

tidak diketahui, siklus menstruasi mundur dan pembukaan leher rahim selama

menstruasi tapi hal tersebut merupakan faktor yang dapat meningkatkan infeksi.

Proses pembedahan seperti biopsi endometrium, kuret dan hysteroscopies,

merupakan predisposisi wanita untuk infeksi ini. Perubahan dalam lingkungan

mikro cervicovaginal dihasilkan dari terapi antibiotik, ovulasi, menstruasi atau

penyakit menular seksual (PMS) dapat mengganggu keseimbangan flora endogen,

nonpatogenik biasanya menyebabkan organisme untuk berkembang biak sangat

cepat dan akan naik ke saluran bagian atas.

5. Diagnosis

Gambaran klinis

a. Salpingitis akut

Salpingitis akut, saluran tuba menjadi merah dan bengkak, dan mengeluarkan

cairan tambahan sehingga dinding-dinding bagian dalam tabung sering tetap

bersatu. Tabung mungkin juga tetap berpegang pada struktur terdekat seperti usus.

Kadang-kadang, sebuah tabung tuba bisa mengisi dan mengasapi dengan nanah.
Dalam kasus yang jarang terjadi, tabung pecah dan menyebabkan infeksi yang

berbahaya dalam rongga perut (peritonitis).

Gambar 5.1 Salpingitis Akut

b. Salpingitis Kronis

Salpingitis kronis biasanya mengikuti suatu serangan akut. Infeksi ini lebih

ringan, lebih tahan lama dan mungkin tidak menghasilkan banyak terlihat gejala.

Gambar 5.2 Salpingitis Kronik


Dalam kasus ringan, salpingitis mungkin tidak memiliki gejala. Ini berarti saluran

tuba bisa menjadi rusak tanpa wanita bahkan menyadari bahwa ia memiliki

infeksi. Gejala salpingitis dapat mencakup:

 Vagina abnormal, seperti warna atau bau yang tidak biasa

 Bercak antara periode

 Dismenorea (menyakitkan periode)

 Sakit saat ovulasi

 Tidak nyaman atau sakit saat hubungan seksual

 Demam

 Sakit perut di kedua sisi

 Nyeri punggung bawah

 Sering buang air kecil

 Mual dan muntah

 Gejalanya biasanya muncul setelah periode menstruasi

6. Penatalaksanaan

Tujuan pengelolaan secara efisien salpingitis adalah untuk mengobati

infeksi akut, sehingga menjaga kesuburan dan mencegah kehamilan ektopik, serta

mengurangi risiko jangka panjang inflamasi sequelae.

Wanita dengan PID atau salpingitis dapat berobat jalan maupun di rawat

inap. Menurut Pelvic Inflammatory Disease Evaluation and Clinical Health

(PEACH) trial, 831 wanita dengan gejala PID ringan biasanya menerima pasien

rawat inap dengan pengobatan melalui intravena (IV) : cefoxitin dan doxycycline,

sedangkan untuk pesien rawat jalan diberi intramuskular (IM) cefoxitin dan

pemberian peroral untuk doxycycline.


Jika tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik, mungkin perlu

dilakukan pembedahan. Pasangan seksual penderita sebaiknya juga menjalani

pengobatan secara bersamaan dan selama menjalani pengobatan jika melakukan

hubungan seksual, pasangan penderita sebaiknya menggunakan kondom.

7. Komplikasi

Tanpa perawatan, salpingitis dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk:

 Infeksi lebih lanjut

Infeksi dapat menyebar ke struktur terdekat, seperti indung telur atau

rahim.

 Infeksi mitra seks

Wanita pasangan atau mitra dapat kontrak bakteri dan terinfeksi juga.

 Tubo-ovarium abses

Sekitar 15 persen wanita dengan mengembangkan salpingitis abses, yang

memerlukan rawat inap.

 Kehamilan Ektopik

Tabung tuba yang diblokir mencegah telur yang telah dibuahi memasuki

rahim, sehingga embrio kemudian tumbuh diluar tabung tuba. Resiko

kehamilan ektopik untuk wanita dengan salpingitis atau penyakit radang

panggul (PID) adalah sekitar 1 – 20 persen.

 Infertility

Tabung tuba cacat atau terdapat luka sehingga telur dan sperma tidak dapat

bertemu. Setelah seseorang terkena salpingitis atau PID, seorang wanita

memiliki resiko infertilitas sekitar 15 persen.


8. Prognosis

 Prognosis untuk salpingitis sangat bagus jika penyakit ini didiagnosis dan

diobati dini, meskipun sebagian kecil pasien akan menjadi tidak subur

meskipun perawatan dini.

 Prognosis buruk pada pasien dengan episode berulang penyakit

DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga

Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

2. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

3. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.

4. Robin, Cotran, Humar. 1999. Buku Saku Robbins, Dasar Patologi

Penyakit. Jakarta: EGC.


SERVISITIS

1. Definisi

Servisitis adalah peradangan jaringan serviks. Hampir semua kasus

servisitis disebabkan oleh penyakit menular seksual dan, bisa juga karena cedera

pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir yang berkurang seperti diafragma dan

bahkan kanker.

2. Etiologi

Sebagaimana disebutkan di atas servisitis akut disebabkan karena infeksi

seperti herpes gonore dan klamidia. Penyebab servisitis kronis termasuk infeksi

bakteri yang juga sering menyebabkan servisitis akut. Ketika episode akut

servisitis tidak diobati, maka akan berkembang menjadi servisitis kronis. Risiko

servisitis meningkat saat seorang wanita menderita diabetes, vaginitis akut dan

servisitis berulang atau memiliki banyak pasangan seksual. Servisitis disebabkan

oleh kuman-kuman seperti: trikomonas vaginalis, kandida dan mikoplasma atau

mikroorganisme aerob dan anaerob endogen vagina seperti streptococcus,

enterococus, e.coli, dan stapilococus. kuman-kuman ini menyebabkan deskuamasi

pada epitel gepeng dan perubahan inflamasi kronik dalam jaringan serviks yang

mengalami trauma.
Gambar 2.1 Gambaran sitologi servisitis kronis.

Gambar diatas merupakan gambaran servisitis kronis pada mukosa

squamos-kolumnar leher rahim. Terlihat limfosit kecil yang bulat di submukosa

dan terlihat juga adanya perdarahan. Servisitis dapat juga disebabkan oleh robekan

serviks terutama yang menyebabkan ectropion, robekan serviks tersebut dapat

terjadi akibat alat kontrasepsi, tindakan intrauterine seperti dilatasi, dan lain-lain.

Servisitis sering disebabkan oleh infeksi melalui aktivitas seksual.

Penyebab cervicitis sangat bervariasi, paling sering disebabkan oleh:

 Infeksi Chlamydia trachomatis

 Infeksi trichomonas vaginalis

 Trikomoniasis asosiasi dengan Kandidiasis

 Gonorrheae Neisseria (Gonore)

 Herpes simplex virus

 Human papilloma virus (HPV)

 Penyebab kurang umum lainnya adalah: mikosis, sifilis , tuberkulosis ,

Mycoplasma.
Beberapa kasus servisitis disebabkan oleh: Penggunaan kondom wanita

(cervical cap dan diafragma), penyangga uterus (Pessarium), alergi spermisida pada

kondom pria, paparan terhadap bahan kimia, infeksi vagina-serviks, trauma

obstetrik-terjadi selama kelahiran (trauma leher rahim), trauma lokal sekunder

untuk kontak seksual, penggunaan buffer internal, intrauterine device (IUD), cacat

ektopik bawaan (epitel kelenjar pada saluran serviks), lokal manuver seperti

kuretase, histeroskopi.

Servisitis sering terjadi dan mengenai hampir 50% wanita dewasa dengan

faktor resiko:

 Perilaku seksual bebas resiko tinggi

 Riwayat IMS

 Memiliki pasangan seksual lebih dari satu

 Aktivitas seksual pada usia dini

 Pasangan seksual dengan kemungkinan menderita IMS

 Servisitis juga dapat disebabkan oleh bakteri (stafilokokus dan

streptokokus) atau akibat pertumbuhan berlebihan bakteri normal flora

vagina (vaginosis bakterial).


Gambar 2.2 Serviks normal dan servisitis.

3. Diagnosis

Servisitis dapat dicurigai setelah dilakukan pemeriksaan klinis dengan melihat

adanya perubahan inflamasi, lesi ulseratif, cacat atau sekret dari leher

rahim. Diagnosis servisitis selanjutnya ditentukan oleh pemeriksaan kolposkopi

dan Pap smear. Pemeriksaan sitologi bakteri berguna untuk mendeteksi etiologi

infeksi serviks.

Gejala klinis servisitis berupa:

a) Flour hebat, biasanya berlangsung lama, warna putih keabu-abuan atau kuning

yang kental atau purulent dan biasanya berbau.

b) Sering menimbulkan erusio (erythroplaki) pada portio yang tampak seperti

daerah merah menyala.


c) Pada pemeriksaan inspekulo kadang-kadang dapat dilihat flour yang purulent

keluar dari kanalis servikalis. Kalau portio normal tidak ada ectropion, maka

harus diingat kemungkinan gonorhoe.

d) Sekunder dapat terjadi kolpitis dan vulvitis.

e) Pada servisitis kroniks kadang dapat dilihat bintik putih dalam daerah selaput

lendir yang merah karena infeksi.

f) Gejala-gejala non spesifik seperti dispareuni (nyeri saat senggama), nyeri

punggung, rasa berat di panggul dan gangguan kemih.

g) Perdarahan uterus abnormal:

 Pasca sanggama

 Pasca menopause

 Diantara haid

Pada pemeriksaan panggul dalam dapat memperlihatkan adanya:

 Keputihan

 Servik kemerahan

 Edema (inflamasi) dinding vagina

4. Klasifikasi

A. Servisitis Akut

Infeksi yang diawali di endoserviks dan ditemukan pada gonorroe, infeksi

postabortum, postpartum, yang disebakan oleh streptococcus, sthapilococus, dan

lain-lain. Dalam hal ini streptococcus merah dan membengkak dan mengeluarkan

cairan mukopurulent, akan tetapi gejala-gejala pada serviks biasanya tidak


seberapa tampak ditengah-tengah gejala lain dari infeksi yang bersangkutan.

Pengobatan diberikan dalam rangka pengobatan infeksi tersebut. Penyakitnya

dapat sembuh tanpa bekas atau dapat menjadi kronika.

B. Servisitis Kronik

Penyakit ini dijumpai pada sebagian wanita yang pernah melahirkan. Luka-luka

kecil atau besar pada servik karena partus atau abortus memudahkan masuknya

kuman-kuman kedalam endoserviks serta kelenjar-kelenjarnya sehingga

menyebabkan infeksi menahun.

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan pertama kali yang dilakukan adalah dengan spekulum. Pada pasien-

pasien dengan flour albus dapat dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan inspeksi

keputihan dengan mikroskop (dapat terlihat candidiasis, trichomoniasis, atau

bacterial vaginosis), tes gonorrhea atau chlamydia.

Metode pemeriksaan lain yang digunakan untuk menyelidiki penyakit

leher rahim adalah:

 Pemeriksaan klinis: ujian vagina, dimana dokter mencatat perubahan

patologis dan mungkin sekresi serviks.

 Pemeriksaan bakteriologis dari sekresi serviks, dan uji budidaya dan

kepekaan terhadap antibiotik diperlukan untuk menentukan etiologi infeksi

dengan sediaan apus.

 Pap smear: untuk melihat adanya perubahan sitologis (seluler) serviks.


 Kolposkopi: metode pemeriksaan leher rahim yang menggunakan sebuah

alat optik yang meningkatkan citra, yang disebut colposcope, selama

kolposkopi tes Lugol juga dilakukan (solusi diterapkan pada mukosa serviks).

 Pemeriksaan patologi anatomi: yaitu sepotong mukosa yang diambil untuk

biopsi dengan conization atau kuretase endoserviks (kuretase di dalam kanal

leher rahim).

6. Penatalaksanaan

1. Medika mentosa

Pengobatan medika mentosa bertujuan untuk membasmi infeksi, tergantung

pada agen etiologi dan kepekaan agen etiologi yang ditemukan, dengan

memberikan antibiotik spesifik dan jika perlu diberikan pengobatan dengan

antibiotik atau anti jamur oral. Untuk servisitis yang disebabkan oleh infeksi

bakteri (Chlamydia, Gonorrhoea) diberikan antibiotika. Pada infeksi herpes

dapat diberikan antiviral. Terapi hormonal (dengan estrogen atau

progesterone) dapat diberikan pada pasien menopause.

2. Pembedahan

Pembedahan dilakukan pada hari-hari pertama setelah menstruasi, agar dapat

memberikan waktu penyembuhan untuk bekas luka setelah pembedahan

sampai haid berikutnya sehingga dapat mencegah infeksi. Sebelum melakukan

pembedahan terlebih dahulu dibutuhkan pemeriksaan ginekologi. Prosedur ini

tidak boleh dilakukan pada keadaan peradangan akut serviks, pada keadaan ini

prosedur pembedahan harus ditunda, karena beresiko memperparah

peradangan.
Metode pembedahan yang dilakukan tergantung pada usia, kedalaman dan

keadaan permukaan lesi, munculnya perubahan kolposkopi dan sitologi,

pembedahan dapat dilakukan dengan salah satu prosedur berikut:

 Electrocauterization

 Cryotherapy adalah metode yang dilakukan dengan

menghancurkan jaringan patologis sampai kedalaman 3-4 mm,

dengan pembekuan, dengan menggunakan karbon dioksida,

nitrogen cair dan freon.

 Terapi laser: metode modern dengan menguapkan sel-sel, tanpa

menyebabkan nekrosis jaringan, tidak ada luka dan karena itu tidak

ada sekresi berikutnya seperti dalam kasus electrocauterization

 Loop eksisi menggunakan arus eletric, daerah lesi dipotong untuk

dilakukan biopsi.

 Conization: sebagian mukosa serviks dipotong. Metode ini

digunakan untuk luka infeksi yang lama, luka berulang dan

displastik.

 Pemotongan serviks: operasi pengangkatan leher rahim, dalam

kasus displasia serviks yang terkait dengan hipertrofi.


Gambar 6. Pembedahan dengan metode loop eksisi.

7. Prognosis

Prognosis servisitis biasanya baik, namun penyakit ini dapat kambuh.

Servisitis ringan dengan etiologi jelas biasanya memberi respon baik terhadap

terapi. Semua wanita dengan servisitis perlu pemeriksaan teratur sampai

kondisinya benar-benar sembuh karena servisitis biasanya akan sembuh ketika

masa pengobatan selesai. Pad m ,m/

a kasus yang berat, servisitis dapat berlangsung selama beberapa bulan. Jika

servisitis itu disebabkan oleh penyakit menular seksual, kedua pasangan harus

diobati dengan obat.

8. Komplikasi

Cervicitis dapat berlanjut selama bertahun-tahun, dengan flour albus yang

sedikit atau banyak, biasanya tanpa rasa sakit, demam, gangguan haid atau

terganggunya kehidupan seksual.


DAFTAR PUSTAKA

1. David, Ovedoff. 1995. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Bina Pura

Aksara.

2. Taber, Benzion. 1995. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan

Gynekologi. Jakarta: EGC.

3. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga

Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

4. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

5. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.

6. Robin, Cotran, Humar. 1999. Buku Saku Robbins, Dasar Patologi

Penyakit. Jakarta: EGC.

7. Biggs WS, Williams RM. Common gynecologic infections. Prim Care.

2009;36:33-51. [PubMed]

8. Diseases characterized by urethritis and cervicitis. Sexually transmitted

diseases treatment guidelines 2006. Update to CDC's sexually transmitted

diseases treatment guidelines. 2006: fluoroquinolones no longer

recommended for treatment of gonococcal infections. Available at

www.guidelines.gov. Accessed January 25, 2010.

9. http://obginround.blogspot.com/2011/05/servisitis.html.
ABSES TUBO OVARIUM

1.1 DEFINISI

Tubo-ovarian abscess (TOA) adalah pembengkakan yang terjadi pada tuba-

ovarium yang ditandai dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba-ovarium,

maupun keduanya (Granberg, 2009). TOA Merupakan komplikasi termasuk efek

jangka panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul dengan infeksi

berulang atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa.

1.2 GEJALA KLINIS

Pada semua kasus TOA, termasuk yang disebabkan oleh Pneumococcus,

menunjukkan gejala-gejala berikut: nyeri (88%), demam (35%), massa adneksa

(35%), diare (24%), mual dan muntah (18%), haid tidak teratur (12%).

Pada pemeriksaan touching : nyeri goyang portio, nyeri kiri dan kanan

uterus atau salah satunya, kadang-kadang terdapat penebalan tuba (tuba yang

normal, tidak teraba), seta nyeri pada ovarium karena meradang.

Gejala dapat sangat bervariasi dari asimptomatis sampai terjadinya akut

abdomen sampai syok septik. Karateristik pasien biasanya yang muda serta

paritasnya rendah dengan riwayat infeksi pelvis. Durasi dari gejala pada wanita

biasanya kurang lebih 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu atau lebih

setelah siklus menstruasi.

1.3 ETIOLOGI

TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti

Escherichia coli, Hemolytic streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan

Peptococcus (Seshadri et al., 2004). Pada beberapa kasus, Hemophilus influenzae,


Salmonella, actinomyces, dan Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi

penyebab TOA. Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci.

1.4 PATOFISIOLOGI

Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau

parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini bisa

terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi

sebelumnya. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka

mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis,

ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat

ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai

tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja,

dapat pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau

adneksa yang lain. Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon

pengobatan, keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan

fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi

pecahnya abses.

1.5 PEMERIKSAAN

a. Pemeriksaan laboratorium: Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari

laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari

leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis memperlihatkan adanya

pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta

nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah

diagnosa TOA.
b. USG

Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya

progressi. regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah

modalitas pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA.

USG menawarkan akurasi, siap ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya

radiasi pengion. Namun, tetap memerlukan keahlian teknis untuk

mencapai potensi diagnostik yang akurat. Ini dapat dilakukan baik

transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal

memberikan gambaran lebih detail, dimana transduser berada di dalam

dekat dengan daerah pemeriksaan, sedangkan pencitraan pelvis yang

transabdominal menawarkan keuntungan imaging dalam satu tampilan

organ besar seperti rahim. Habitus tubuh besar dan adanya loop dari usus

di pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam pencitraan dengan US

transabdominal.

c. CT (computed tomography)

Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari

US dan MRI, peran terbatas dalam evaluasi radiologi dari PID. Kinerja CT

dengan penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan

metode dari akurasi diagnostik karena karakterisasi jaringan yang lebih

baik. Sejumlah kecil cairan dalam cul de sac bisa dideteksi oleh CT. Suatu

abses Tubo-ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan

dengan komponen padat dan kistik, dengan peningkatan semua atau bagian

dari komponen padat.

d. Kuldosentesis
Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur

memperlihatkan gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis

akut. Apabila terjadi ruptur TOA maka akan ditemukan cairan yang

purulen.

1.6 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan

dapat disertai adanya :

- Riwayat infeksi pelvis

- Adanya massa adnexa, biasanya lunak

- Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

Diagnosa banding :

a. TOA utuh dan belum memberikan keluhan

- Kistoma ovari, tumor ovari

- KET

- Abses peri, apendikuler

- Mioma uteri

- Hidrosalping

b. TOA utuh dengan keluhan

- Perforasi apendik

- Perforasi divertikel/abses divertikel

- Perforasi ulkus peptikum

- Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal

- Kista ovari terinfeksi atau terpuntir


1.7 KOMPLIKASI

a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari,

infertilitas

b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal, abses subkronik,

abses paru/otak.

1.8 PENATALAKSANAAN

a. Curiga TOA utuh tanpa gejala

- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan :

doksiklin 2x / 100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x

500 mg / hari, selama 1 minggu.

- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau

mungkin membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut

dengan kemungkinan untuk laparatomi

b. TOA utuh dengan gejala

- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi

ketat tanda vital dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika

perlu pasang infuse P2 - Antibiotika massif (bila mungkin gol beta

lactar) minimal 48-72 jam Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama /

hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi

dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x /

hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari

metronidazol atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan

metronidazol 2 x1 gr selama 5-7 hari

- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi


- Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan

seluruh organ genetalia interna.

c. TOA yang pecah

TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang

drain kultur nanah. Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin

generasi III dan metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu).

1.9 PROGNOSIS

a. TOA yang utuh

Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis

tidak ada perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya

lebih baik dikerjakan laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah

yang mungkin perlu tindakan lebih luas. Kemampuan fertilitas jelas

menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi

pembedahan tak dikerjakan

b. TOA yang pecah

Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dan

tindakan pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.


DAFTAR PUSTAKA
1. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga

Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

2. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

3. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.


PENYAKIT RADANG PANGGUL

1.1 Definisi

Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi

pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur

penunjang pelvis.

1.2 Epidemiologi

PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID

terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang dikeluarkan

melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan

rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44 tahun. 4

Diperkirakan 100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.

1.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah

aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan

aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka

pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.

1.4 Etiologi

PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit

menular seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. Mikroorganisme

endogen yang ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia

wanita dengan PID. Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti

prevotella dan peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama


dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak barier

mukosa serviks.

1.5 Patofisiologi

PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke

traktus genital atas dari vagina dan serviks. Mekanisme pasti yang bertanggung

jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis

dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh.

Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan

akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang

menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh penyebaran

asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks. Mukosa serviks

menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari

barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul

selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul

akibat terapi antibiotik dan penyakit menular seksual yang dapat mengganggu

keseimbangan flora endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh

secara berlebihan dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi

dangan aliran menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden

dari mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden

akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama

sperma menuju uterus dan tuba.

1.6 Jenis-jenis

Salpingitis
Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalag N.

Gonorhea dan C. trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki

pasangan seksual multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala meliputi

nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang akut. Nyeri dapat menjalar ke kaki. Dapat

timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa mual, muntah, dan nyeri kepala.

Abses Tuba Ovarian

Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat

infeksi adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan

septic shock. Onset ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis

dan abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan

nyeri. Leukosit dapat rendah, normal, atau sangat meningkat.

1.7 Diagnosis

Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat

mengeluhkan gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus

menstruasi atau pada saat akhir menstruasi. Nyeri abdomen bagian bawah

dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :

1. Nyeri tekan perut bagian bawah

2. Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri

pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang

bilateral
3. Mungkin ditemukan adanya massa adnexa

Beberapa tanda tambahan adalah :

 Suhu oral lebih dari 38ºC

Pemeriksaan Laboratorium

1. Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000

pada 50% kasus. Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau

menurun, dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.

2. Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu

diagnose namun tetap tidak spesifik.

3. Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.

4. Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk

mengkonfirmasi PID.

Pemeriksaan Radiologi

1. Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa,

uterus, termasuk ovaroium. Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak

dengan adanya ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa

inkomplit dalam tuba, cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel.

Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat pada USG.

2. CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID

adalah servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan

adanya abses atau kumpulan cairan pelvis. Penemuan CT scan tidak

spesifik pada kasus PID dimana tidak bukati abses.


3. MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat

penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas

atau kompleks tubaovarian.

1.8 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah :

1. tumor adnexa

2. appendicitis

3. servisitis

4. kista ovarium

5. torsio ovarium

6. aborsi spontan

7. infeksi saluran kemih

8. kehamilan ektopik

9. endometriosis

1.9 Penatalaksanaan

Terapi pasien rawatan inap

Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam

ditambah doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini

selama 24 jam setelah pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai doxisiklin

100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari. Jika terdapat abses tubaovarian,

gunakan metronoidazole atau klindamisin untuk menutupi bakteri anaerob.

Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2 mg/kg

BB dosis awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam. Terapi iv
dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per oral 100

mg doxisiklin dilanjutkan hingga 14 hari.

Terapi pasien rawatan jalan

Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100

mg oral 2 kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2

kali sehari selama 14 hari.

Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral

dosis tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin

100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazole 500 mg

oral 2 kali sehari selama 14 hari.

Terapi Pembedahan

Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus

dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan.

Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang

tidak respon terhadap pengobatan, drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula

berupa salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral salpingooforektomi.

Idealnya, pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi telah membaik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal

4 Februari 2010]

2. Reyes, Iris. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/796092-print [diperbaharui tanggal

10 September 2010]

3. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &

Novak’s Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William &

Wilkins.

4. Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson &

Pernoll’s handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA :

McGrawhill Companies.

5. Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecology dalam

Dewhurst’s Textbook of Obstetric and Gynaecology 7th edition. London :

Blackwell Publishing.

6. Mudgil, Shikha. 2009. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian

Abscess. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/404537-

print [diperbaharui tanggal 10 Agustus 2009]


KORIOAMNIOSITIS

Definisi

Korioamnionitis adalah infeksi pada korion dan amnion.Korioamnionitis

adalah infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion yang terjadi

sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah

1 – 5% dari kehamilam term dan sekitar 25% dari partus preterm.

Korioamnionitis merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput

ketuban yang merupakan manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU). Seringkali

berhubungan dengan pecahnya selabut ketuban yang lama dan persalinan yang

lama. Hal ini dapat dilihat dengan menjadi keruhnya (seperti awan) selaput

membrane. Selain itu bau busuk dapat tercium, tergantung jenis dan konsentrasi

bakteri. Ketika mono dan leukosit polimononuklear (PMN) menginfiltrasi korion,

dalam penemuan mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis. Sel-sel

tersbut berasal dari ibu. Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion

(amnionitis) atau selaput plasenta (funisitis), sel-sel ini berasal dari fetus.

Epidemologi

Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas fetus meningkat secara

substansif. Alexander dan kolega (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat

lahir sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland. Sejumlah 7 %

dilahirkan oleh wanita dengan korioamnionitis, dan hasil akhir dibandingkan


dengan bayi baru lahir tanpa infeksi secara klinis. Para bayi yang baru lahir

dengan grup terinfeksi mempunyai insidensi yang lebih tinggi menderita sepsis,

respiratory distress syndrome, kejang dengan onset awal, perdaraham

intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular.

Para peneliti mengkonklusi bahwa bayi-bayi dengan berat badan sangat

rendah tersebut rentan terhadap perlukaan neurologis karena korioamnionitis.

Pada penelitian lain (Yoon dan kolega, 2000) menemukan bahwa infeksi intra

amnion pada bayi preterm berhubungan dengan meningkatnya resiko cerebral

palsy pada usia 3 tahun. Petroya dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta

kelahiran hidup dari 1995 hingga 1997 yang terdaftar pada National Center for

Health Statistics linked birth-infant death cohort. Selama persalinan, 1,6 % wanita

yang mengalami demam berhubungan secara erat denga infeksi yang

menyebabkan kematian baik bayi term maupu preterm.

Patofisiologi

Jalur bakteri memasuki cairan amnion yang intak masih belum jelas

diketahui. Gyr dan kolega (1994) telah menunjukkan bahwa Escherichia coli dapat

mempenetrasi membrane tang hidup; sehingga, membran bukan barier yang

absolut untuk infeksi ascending. Jalur lain inisiasi bakteri pada persalinan preterm

mungkin tidak membutuhkan cairan amnion. Cox dan rekan kerja (1993)

menemukan bahwa sitokin dan sel-sel mediasi imunitas dapat teraktivasi di dalam

jaringan desidual yang membatasi membrane fetalis. Pada peristiwa ini, produk

bakteri seperti endotoksin menstimulasi monosit desidual untuk memproduksi


sitokin, yang kemudian menstimulasi asam arakidonat dan produksi prostaglandin.

Prostaglandin E2 dan F2 bekerja pada parakrin untuk menstimulasi miometrium

sehingga berkontraksi

Etiologi

Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh

mikroorganisme yang bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis

transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa

manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak (Cox dan rekan

kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan (Reddy and

colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang

dilakukan pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak,

Hauth dan rekan kerja (1998) mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion

meningkat secara signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses

penyembuhan dari bakter patogen juga berhubungan secara terbalik dengan usia

kehamilan.

Faktor predisposisi

1. Persalinan prematur

2. Persalinan lama

3. Ketuban pecah lama

4. Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang


5. Adanya bakteri patogen pada traktus genitalia (IMS, BV)

6. Alkohol

7. Rokok

Gambaran Klinis

Ruptur membrane yang memanjang berhubungan dengan morbiditas

infeksi yang meningkat (Ho dan kolega, 2003). Jika korioamnionitis terdiagnosis,

usaha untuk mempengaruhi persalinan, pervaginam yang disarankan, segera

dimulai. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan:

 Demam, suhu di atas 38°C (100.4°F) atau lebih tinggi disertai ruptur

membrane menandakan adanya infeksi. 

 Leukositosis pada ibu tersendiri ridak ditemukan berhubungan secara

signifikan oleh para peneliti.

 Takikardia ibu dan takikardia fetus

 Uterine tenderness

 Vaginal discharge yang berbau.

Diagnosis

1. Anamnesis

Para peneliti menemukan bahwa reaksi inflamasi dapat bersifat tidak

spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi infeksi pada ibu. Sebagai contoh,

Yamada dan kolega (2000) menemukan bahwa cairan yang terwarna

mekonium merupaka penarik kimiawi bagi leukosit. Sebaliknya, Benirschke


dan Kaufmann (2000) mempercayai bahwa korioamnionitis secara

mikroskopik selalu disebabkan infeksi. Korioamnionitis sering berhubungan

dengan rupture membran, kelahiran preterm, ataupun keduanya. Sering kali

sulit dibedakan apakah infeksi terlebih dahulu atau ruptur membran terlebih

dahulu yang terjadi. Gambaran khasnya adalah selaput ketuban yang terlihat

seperti susu dan berkabut (akibat adanya lekosit polimorfonuklear dan

eksudat) disertai infiltrasi leukosit perivaskular pada tali pusat clan pembuluh

darah janin (omfalitis). Peradangan vilus fokal merupakan manifestasi lanjut.

2. Pemeriksaan Fisis

3. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya 

tidak dilakukan. 

 Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada preterm labour yang 

refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau 

tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan). 

 Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari diagnosis 

diferensial dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, 

memprediksi lung maturity

Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan bila ditemukan demam

>380C dengan 2 atau lebih tanda berikut ini:

 leukositosis >15.000 sel/mm3

 denyut jantung janin >160 kali/menit


 frekuensi nadi ibu >100 kali/menit

 nyeri tekan fundus saat tidak berkontraksi

 cairan amnion berbau

Penatalaksanaan

 Rujuk pasien ke rumah sakit.

 Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g IV tiap 6 jam ditambah gentamisin 5

mg/kgBB IV setiap 24 jam.

 Terminasi kehamilan. Nilai serviks untuk menentukan cara persalinan:

o Jika serviks matang: lakukan induksi persalinan dengan oksitosin

o Jika serviks belum matang: matangkan dengan prostaglandin dan infus

oksitosin, atau lakukan seksio sesarea

 Jika persalinan dilakukan pervaginam, hentikan antibiotika setelah persalinan.

Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika dan

tambahkan metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam sampai bebas demam selama

48 jam.

 Jika terdapat metritis (demam, cairan vagina berbau), berikan antibiotika

 Jika bayi mengalami sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan

beri antibiotika yang sesuai selama 7-10 hari.


Referensi

1. Duff P. Maternal and perinatal infection. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson

JL, eds. Obstetrics: normal and problem pregnancies, 4th ed. Philadelphia, PA:

Churchill Livingston; 2002:1301-3

2. WHO country office for Indonesia. Korioamniositis. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/6-4-11-korioamnionitis/
HEPATITIS B PADA KEHAMILAN

Definisi

Hepatitis B merupakan infeksi menular serius pada hati yang

disebabkan oleh virus hepatitis B. Infeksi akut dapat terjadi pada saat tubuh

terinfeksi untuk pertama kalinya. Infeksi akut ini dapat berubah menjadi kronis

setelah beberapa bulan sejak infeksi pertama kali.

Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong

berbahaya di dunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), suatu

anggota famili Hepadnavirus pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi

sirosis hati atau kanker hati yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan

hati akut atau menahun. Seperti halnya Hepatitis C, kedua penyakit ini dapat

menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati.

       Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan

paparan berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine,

chloroform, = arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam

industri modern, bisa menyebabkan Hepatitis. Zat-zat kimia ini mungkin saja

tertelan, terhirup atau diserap melalui kulitpenderita. Menetralkan suatu racun

yang beredar di dalam darah adalah pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia

beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi

menetralkan racun-racun lain.


       Di daerah Timur dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang menjadi

hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati. Mula-mula dikenal sebagai serum

hepatitis dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika. Hepatitis B

telah menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai Negara Asia.

Faktor Predisposisi

• Kontak lesi atau sekret dengan penderita Hepatitis B

• Transfusi darah

• Belum mendapat vaksinasi Hepatitis B

Mekanisme penularan

a. Kebocoran pada plasenta.

b. Tertelannya cairan amnion yang infeksius.

c. Adanya abrasi kulit selama proses persalinan.

d. Tertelannya darah ibu selama persalinan.

e. Penularan mel selaput lendir.

  Proses penularan Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau

kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi Hepatitis B. Penularannya tidak

semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk


darah. Hepatitis B dapat menyerang siapa saja, tetapi umumnya bagi mereka yang

berusia produktif akan lebih berisiko terkena penyakit.

Proses penularan penyakit Hepatitis B dibedakan menjadi dua:

 Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus

Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera

setelah persalinan.

 Secara horizontal, terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik

telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi

secara bersama-sama (jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi

berdarah) atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan

penderita atau mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual).

Tanda dan Gejala

Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah

demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih / sklera).

Penderita hepatitis B kronik cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut,

sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih berisiko.

Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut berupa

selera makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam

ringan, kadang-kadang disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas.

Setelah satu minggu akan timbul gejala utama seperti bagian putih pada mata

tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak kuning dan air seni berwarna seperti

teh.
Diagnosis:

Adanya infeksi kronik Hepatitis B ditentukan dengan hasil pemeriksaan skrining

HbsAg yang (+)

Penatalaksanaan

a. Tatalaksana Umum

 Setiap ibu hamil perlu dilakukan pemeriksaan HbsAg pada trimester

pertama kehamilannya.

b. Tatalaksana Khusus

 Bila ibu dengan HbsAg positif maka bayi diberikan suntikan HBIG 0,5

ml IM pada lengan atas segera setelah lahir (dalam 12 jam kelahiran)

dan vaksin hepatitis B dengan dosis 0,5 ml (5 µg) IM pada lengan atas

sisi lain pada saat yang sama kemudian pada usia 1 bulan dan 6 bulan.

 Bila ibu dengan HbsAg negatif maka bayi hanya diberikan vaksin

hepatitis B 0,5 ml (5 µg) pada usia ke-0, 1 bulan, dan 6 bulan.

 Tidak ada perbedaan pemberian HBIG dan vaksinasi hepatitis B pada bayi

prematur namun pemberian vaksinasi hepatitis B diberikan dalam empat

kali pemberian yaitu pada bulan ke-0, 1, 6, dan 8 bulan.

 Tidak ada larangan pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan ibu

HbsAg positif terutama bila bayi telah divaksinasi dan diberi HBIG setelah

lahir.
Pencegahan

Pencegahan infeksi VHB perinatal :

1. Melakukan pemeriksaan secar rutin HBs Ag pada semua ibu hamil.

2. Imunisasi segera setelah bayi lahir.

3. Ibu hamil dengan HBs Ag (+), periksa HBe Ag, bila (+), beri HBIG dan

vaksin setelah lahir.

4. Ibu hamil dengan HBs Ag (+)/(-), HBe Ag (-), lakukan imunisasi aktif.

Pencegahan infeksi VHB pada neonatus saat persalinan

HBIG diberikan selambatnya 24 jam pasca persalinan 0,5 ml (IM), diulang

setiap bulan 0,16 cc/kg sampai 6 bulan, vaksin diberikan selambatnya 7 hari

pasca persalinan (dianjurkan diberikan segera setelah lahir pada sisi berlawanan

untuk mempercepat efektivitasnya), diulang pada bulan 1 dan 6.


INFEKSI TORCH

Pengertian

TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat

jenis penyakit infeksi yang menyebabkan kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma,

Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-

sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.

Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang

spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap

adanya benda asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin

M (IgM) dan Imunoglobulin G (IgG).

Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai

keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa,

baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan

kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka

ragam.

a.         Toxoplasma

Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang

dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang

dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii yaitu suatu

parasit intraselluler yang menginfeksi pada manusia dan hewan.

Tboxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia),


pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di

Afrika Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun

1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali oleh

Castellan

b.         Rubella

Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili

Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya

kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada wanita hamil penularan

ke janin secara intrauterin. Masa inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode

prodromal dapattanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa

lemah,demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini

agak berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin.

Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang menimbulkan

demam ringan dengan ruam yang menyebar dan kadang-kadang mirip

dengan campak. Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat

menimbulkan kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital terjadi

pada 90% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama

trimester pertama kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-

kira 10-20% pada minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena

infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.

c.         Cyto Megalo Virus (CMV)

Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili

betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya lewat paparan


jaringan, sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine, ludah, air

susu ibu, cairan vagina, dan lainlain). Masa inkubasi penyakit ini antara 3-

8 minggu. Pada kehamilan infeksi pada janin terjadi secara intrauterin.

Pada bayi, infeksi yang didapat saat kelahiran akan menampakkan

gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua belas; jika didapat pada masa

perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat.

Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat;

sebagian besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan

tidak mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila seorang wanita baru

terinfeksi pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan

menyebabkan manifestasi gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai

berikut: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis,

khorioretinitis dan optic atrophy, mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis

dan jaundice, infiltrasi pulmonal dengan berbagai tingkatan, dan kalsifikasi

intrakranial. Jika bayi dapat bertahan hidup akan disertai retardasi

psikomotor maupun kehilangan pendengaran..

d.        Herpes Simplek

Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2

tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2. Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan

hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak dengan lesi genital yang

infektif; sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular

lewat hubungan seksual. HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara

imunologi. Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari.


Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada

kulit dan membran mukosa juga pada mata.

Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir,

laten dan adanya kecenderungan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus

yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya

menimbulkan gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya.

Dapat menyerang alat-alat genital atau mukosa mulut.

Cara Penularan

Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama,

secara aktif (didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan secara

aktif disebabkan antara lain sebagai berikut :

a. Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi

(mengandung sista), misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau, babi,

ayam, kelinci dan lainnya. Kemungkinan terbesar penularan TORCH ke

manusia adalah melalui jalur ini, yaitu melalui masakan sati yang setengah

matang atau masakan lain yang dagingnya diamsak tidak semnpurna, termasuk

otak, hati dan lainnya.


b. Makan makanan yang tercemar oosista dari feses (kotoran) kucing yang

menderita TORCH. Feses kucing yang mengandung oosista akan mencemari

tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber penularan baik pada manusia

maupun hewan. Tingginya resiko infeksi TORCH melalui tanah yang

tercemar, disebabkan karena oosista bisa bertahan di tanah sampai beberapa

bulan

c. Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan

(trozoid, sista), kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH

masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka.

d. Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan menularnya

TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit TORCH

kemudian melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita (padahal sang

wanita sebelumnya belum terjangkit) maka ada kemungkinan wanita tersebut

nantinya akan terkena penyakit TORCH sebagaimana yang pernah diderita

oleh lawan jenisnya.

e. Ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH ketika

mengandung maka ada kemungkinan juga anak yang dikandungnya terkena

penyakit TORCH melalui plasenta.

f. Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH.

Hal ini bisa terjadi seandainya sang ibu yang menyusui kebetulan terjangkit

salah satu penyakit TORCH maka ketika menyusui penyakit tersebut bisa

menular kepada sang bayi yang sedang disusuinya.

g. Keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel di kulit

juga bisa menjadi penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini bisa terjadi
apabila seorang yang kebetulan kulitnya menmpel atau pun lewat baju yang

baru saja dipakai si penderita penyakit TORCH.

h. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada manusia,

antara lain adalah kebiasaan makan sayuran mentah dan buah - buahan segar

yang dicuci kurang bersih, makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu,

mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan tanpa ditutup, sehingga

kemungkinan terkontaminasi oosista lebih besar.

i. Air liur juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Cara

penularannya juga hampir sama dengan penularan pada hubungan seksual.

Berdasarkan kenyataan di atas, penyakit TORCH ini sifatnya menular.

Oleh karena itu dalam satu keluarga biasanya kalau salah satu anggota keluarga

terkena penyakit tersebut maka yang lainnya pun juga bisa terkena. Malah ada

beberapa kasus dalam satu keluarga seluruh anggota keluarganya mulai dari kakek

- nenek, kakak - adik, bapak - ibu, anak - anak semuanya terkena penyakit

TORCH.

Gejala klinis

a.         Toxoplasma

Gejala yang diderita biasanya dengan mirip gejala influenza, bisa

timbul rasa lelah, malaise, demam disertai hepatomegali, dan umumnya

tidak menimbulkan masalah,


b.         Herpes Simpleks

Penderita biasanya mengalami demam, salivasi, mudah terangsang

dan menolak untuk makan,. Dengan dilakukan pemeriksaan menunjukan

adanya ulkus dangkal multiple yang nyeri pada mukusa lidah, gusi, dan

bukal denganvesikel pada bibir dan sekitarnya.

c.         Cyto Megalo Virus (CMV)

-          Demam,

-          Penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia)

-          Letih

-          Lesu

-          Kulit berwarna kuning,

-          Pembesaran hati dan limpa,

-          Kerusakan atau hambatan pembentukan organ tubuh seperti mata,

otak, gangguan mental, dan lain-lain tergantung organ janin mana

yang diserang

-          Umumnya janin yang terinfeksi cmv lahir prematur dan berat badan

lahir rendah

d.        Rubella

Tanda dan gejala yang muncul biasanya bertahan dalam dua hingga

tiga hari dan mungkin melibatkan:


-          Demam ringan 38,9 derajat Celcius atau lebih rendah,

-          Sakit kepala

-          Hidung tersumbat atau pilek

-          Peradangan, mata merah

-          Pembesaran, pelunakan kelenjar getah bening di dasar tengkorak,

leher bagian belakang dan di belakang telinga

-          Muncul ruam warna merah muda/pink di wajah dan dengan cepat

menyebar ke pundak, lengan, kaki sebelum menghilang di sekuens

yang sama.

-          Nyeri pada persendian, khususnya pada perempuan muda.

Diagnosis

Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk menangani

suatu penyakit. Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan gejala klinis sering sukar

dilaksanakan, maka dilakukan diagnosa laboratorik dengan memeriksa serum

darah, untuk mengukur titer-titer antibodi IgM atau IgG-nya.

Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik,

bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum keluhan yang

dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo, migran, penglihatan kabur,

pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah

lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan keluhan lainnya.


Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi tidak

lengkap, cacat fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh kembang anak,

dan ketidaksempurnaan lainnya.

Namun begitu, gejala diatas tentu belum membuktikan adanya penyakit

TORCH sebelum dibuktikan dengan uji laboratorik.

Penatalaksanaan

Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah.

Biasanya ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu Imunoglobulin G

(IgG) dan Imunoglobulin M (IgM). Normalnya keduanya negatif.

Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau

dan tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu diobati.

Namun, jika IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan harus

diobati. Selama pengobatan tidak dianjurkan untuk hamil karena ada

kemungkinan infeksi ditularkan ke janin. Kehamilan ditunda sampai 1 bulan

setelah pengobatan selesai (umumnya pengobatan memerlukan waktu 1 bulan).

Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG

Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya

rendah maka perlu pengobatan seperti di atas dan tunda kehamilan. Pada infeksi

Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi kehamilan, teruskan kehamilan dan

lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan CMV, jika terjadi

kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan dengan

konsultasi kondisi kehamilan bersama dokter kandungan anda.


Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan

obat-obatan seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan,

acyclovir, azithromisin, klindamisin, alancicovir, dan lainnya. Namun tentu

pengobatannya membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup

lama. Selain itu, terdapat pula cara pengobatan alternatif yang mampu

menyembuhkan penyakit TORCH ini, dengan tingkat kesembuhan mencapai 90

%.

Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat

spiramisin (spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan untuk

menurunkan dampak (resiko) infeksi yang timbul pada janin. Namun sayangnya

obat-obatan tersebut seringkali menimbulkan efek mual, muntah dan nyeri perut.

Sehingga perlu disiasati dengan meminum obat-obatan tersebut sesudah atau pada

waktu makan.

Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan TORCH

untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya saja yang positif

sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati. Sebaliknya apabila IgM nya

positif (IgG bisa positif atau negative), maka pasien baru perlu mendapatkan

pengobatan.

INFEKSI MALARIA

Definisi
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh

protozoa genus Plasmodium, ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.

Faktor Predisposisi

 Faktor lingkungan (endemis)

 Kontak dengan vektor malaria

Tanda dan gejala malaria tanpa komplikasi:

 Demam

 Menggigil/kedinginan/kaku

 Sakit kepala

 Nyeri otot/persendian

 Kehilangan selera makan

 Mual dan muntah

 Diare

 Mulas seperti his palsu (kontraksi uterus)

 Pembesaran limpa

 Pembesaran hati

Tanda dan gejala malaria berat:


 Penurunan kesadaran dalam berbagai derajat, dengan manifestasi seperti:

kebingungan, mengantuk, sampai penurunan kesadaran yang dalam

 Tidak dapat makan dan minum

 Pucat di bagian dalam kelopak mata, bagian dalam mulut, lidah

dan telapak tangan

 Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)

 Demam sangat tinggi >400C

 Ikterik

 Oliguria

 Urin berwarna coklat kehitaman (black water fever)

Diagnosis

 Diagnosis ditegakkan bila ditemukan parasit pada pemeriksaan apus darah

tepi dengan mikroskop atau hasil positif pada pemeriksaan rapid

diagnostic test (RDT).

 Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:

o Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit

o Hitung jumlah leukosit dan trombosit

o Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT,

alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan

kalium, analisis gas darah, laktat)

o Urinalisis
Tatalaksana

Terapi malaria tanpa komplikasi

Malaria falsiparum

 Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3×2 tablet selama 7 hari atau

3x10mg/kgBB selama 7 hari ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau

2x10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap

6 jam bila demam.

 Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP

(dihidroartemisininpiperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) / 1×4 tablet (BB

≥60 kg) selama 3 hari ATAU artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4

tablet selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6 jam

bila demam.

Malaria vivaks

 Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3 x 2 tablet selama 7

hari atau 3 x 10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol

1 tablet tiap 6 jam bila demam.

 Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP 1 x 3 tablet (BB 41-59 kg) /

1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3 hariATAU artesunat 1 x 4 tablet

dan amodiakuin 1 x 4 tablet selama 3 hari. Dapat DITAMBAH

parasetamol 1 tablet tiap 6 jam bila demam.

Anjuran untuk malaria tanpa komplikasi


 Minum obat sesudah makan atau perut tidak dalam keadaan kosong.

 Apabila memungkinkan awasi pasien secara langsung pada waktu

minum obat.

 Anjurkan pasien untuk meneruskan minum tablet zat besi dan asam folat

serta mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi.

 Anjurkan pasien untuk menggunakan kelambu setiap malam di rumah atau

di kebun.

 Pastikan semua obat yang diberikan dihabiskan, meskipun ibu hamil sudah

merasa mulai membaik.

 Catat informasi dalam kartu pelayanan antenatal dan rekam medis.

 Informasikan kepada pasien untuk kembali ke Puskesmas, Pustu,

atau Polindes segera jika dia merasa tidak lebih baik setelah

menyelesaikan pengobatan.

 Informasikan kepada pasien dan keluarganya untuk kembali

ke Puskesmas, Pustu, atau Polindes segara bila ada 1 atau lebih tanda-

tanda bahaya selama pengobatan, yaitu:

o Tidak dapat makan/minum

o Tidak sadar

o Kejang

o Muntah berulang

o Sangat lemah (tidak dapat duduk atau berdiri)

Tatalaksana malaria berat:


 Lakukan stabilisasi dan rujuk ibu segera jika menunjukkan gejala

malaria berat.

 Tentukan usia kehamilan ibu dan periksa tanda-tanda vital (suhu, tekanan

darah, pernapasan, nadi).

 Segera cari pertolongan tenaga kesehatan lain dan jangan biarkan

ibu sendirian.

 Lindungi ibu dari cedera, tetapi jangan secara aktif mengekangnya.

 Jika ibu tidak sadarkan diri, periksa jalan napasnya dan posisikan ibu

dalam keadaan miring kiri dengan 2 bantal menyangga

bagian punggungnya.

 Periksa adanya kaku kuduk.

 Jika ibu kejang, baringkan ibu dalam posisi miring untuk

mengurangi risiko aspirasi apabila ibu muntah dan untuk memastikan

bahwa jalan napas terbuka. Pastikan bahwa kejang tidak disebabkan oleh

eklampsia. Lakukan pemeriksaan berikut untuk menentukan penyebab

kejang.
 Bila menemukan ibu hamil dengan gejala malaria berat, maka

lakukan pemeriksaan laboratorium malaria (dengan mikroskop). Bila

terbukti hasilnya positif malaria, yang perlu dilakukan adalah :

o Rujuk ibu ke rumah sakit/fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

o Sebelum merujuk, berikan satu dosis artemeter IM (untuk

ibu hamil trimester II – III) atau kina hidroklorida IM (untuk ibu

hamil trimester I).

o Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB secara IM.

Jika tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter, maka untuk

ibu dengan berat badan sekitar 50 kg berikan suntikan IM

sejumlah 2 ampul.

o Kina hidroklorida IM diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.

 Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan

dengan pemberian dosis lengkap artemeter IM.

 Pengobatan malaria berat di RS:

 Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan:

o Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb IV sebanyak 3

kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB IV setiap

24 jam sampai penderita mampu minum obat.

Pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-

piperakuin (ACT lainnya) + primakuin, ATAU

o Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB IM,

dilanjutkan pada hari berikutnya 1,6 mg/kgBB IM satu kali sehari

sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat


minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen

dihydroartemisininpiperakuin ( ACT lainnya) + primakuin.

 Untuk kehamilan trimester pertama, berikan:

o Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500

ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam

pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan

dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan

dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 %

atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan

cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan dosis

rumatan seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per oral.

Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan

kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam.

Kina oral diberikan bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang

dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7

hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertama

Referensi

1. Ferdiananto, Achmad,dkk.2011.Asuhan Kebidanan Patologis.Jakarta:Salemba

Medika

2. Holmes, Debbie,dkk.2011.Buku Ajar Ilmu Kebidanan.Jakarta:EGC

3. WHO country office for Indonesia. Hepatitis B. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/7-5-5-hepatitis-b/
4. WHO country office for Indonesia. Malaria. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/7-5-4-malaria/
ABORTUS

1. Pendahuluan

Aborsi di dunia dan di Indonesia khususnya tetap menimbulkan banyak

persepsi dan bermacam interpretasi, tidak saja dari sudut pandang kesehatan,

tetapi juga dari sudut pandang hukum dan agama. Aborsi merupakan masalah

kesehatan masyarakat karena memberi dampak pada kesakitan dan kematian ibu.

Sebagaimana diketahui penyebab kematian ibu yang utama adalah perdarahan,

infeksi dan eklampsia.(9,10)

Diperkirakan diseluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kasus aborsi tidak

aman, 70 ribu perempuan meninggal akibat aborsi tidak aman dan 1 dari 8

kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. 95% (19 dari 20 kasus aborsi

tidak aman) dintaranya bahkan terjadi di negara berkembang. (9,10)

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi kurang lebih 2 juta kasus aborsi,

artinya 43 kasus/100 kelahiran hidup (sensus 2000). Angka tersebut memberikan

gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar (Wijono 2000).

Suatu hal yang dapat kita tengarai, kematian akibat infeksi aborsi ini justru banyak

terjadi di negara-negara dimana aborsi dilarang keras oleh undang-undang. (9,10)

2. Definisi

Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin berkembang

sepenuhnya dan dapat hidup di luar kandungan dan sebagai ukuran digunakan

kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.1,3,4,5

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu menurut terjadinya abortus dan

menurut gambaran klinis. Menurut terjadinya dibedakan atas abortus spontan


yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja dan tanpa

menggunakan tindakan apa-apa sedangkan abortus provokatus adalah abortus

yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat.6

Abortus provokatus dibagikan lagi menjadi abortus medisinalis atau abortus

therapeutica dan abortus kriminalis. Pada abortus medisinalis, abortus yang terjadi

adalah karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan,

dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Abortus kriminalis

adalah abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau

tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-

sembunyi oleh tenaga tradisional.6

Menurut gambaran klinis abortus dapat dibedakan kepada:

a) Abortus imminens yaitu abortus tingkat permulaan (threatened abortion)

dimana terjadi perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan

hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.5

b) Abortus insipiens (inevitable abortion) yaitu abortus yang sedang

mengancam dimana serviks telah mendatar dan ostium uteri telah

membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri.5

c) Abortus inkomplit (incomplete abortion) yaitu jika hanya sebagian hasil

konsepsi yang dikeluarkan, yang tertinggal adalah desidua atau plasenta.5

d) Abortus komplit (complete abortion) artinya seluruh hasil konsepsi telah

keluar (desidua atau fetus), sehingga rongga rahim kosong.5

e) Missed abortion adalah abortus dimana fetus atau embrio telah meninggal

dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil


konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu

atau lebih.5

f) Abortus habitualis (recurrent abortion) adalah keadaan terjadinya abortus

tiga kali berturut-turut atau lebih.5

g) Abortus infeksius (infectious abortion) adalah abortus yang disertai infeksi

genital.5

h) Abortus septik (septic abortion) adalah abortus yang disertai infeksi berat

dengan penyebaran kuman ataupun toksinnya kedalam peredaran darah

atau peritonium.5

3. Etiologi

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya abortus yaitu :

a. Faktor genetik

Ada banyak sebab genetik yang berhubungan dengan abortus. Sebagian besar

abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip dari embrio. 3Data ini

berdasarkan pada 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan

kelainan sitogenetik yang berupa aneuploidi yang bisa disebabkan oleh kejadian

nondisjuction meiosis atau poliploidi dari fertilas abnormal dan separuh dari

abortus kerana kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi

autosom.3

Triplodi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana terjadi fertilisasi ovum

normal oleh 2 sperma (dispermi).3 Insiden trisomi meningkat dengan

bertambahnya usia. Trisomi (30% dari seluruh trisomi) adalah penyebab

terbanyak abortus spontan diikuti dengan sindroma Turner (20-25%) dan


Sindroma Down atau trisomi 21 yang sepertiganya bisa bertahan sehingga lahir. 3

Selain kelainan sitogenetik, kelainan lain seperti fertilisasi abnormal iaitu dalam

bentuk tetraploidi dan triploid dapat dihubungkan dengan abortus absolut.3

Kelainan dari struktur kromosom juga adalah salah satu penyebab kelainan

sitogenetik yang berakibat aborsi dan kelainan ini sering diturunkan oleh ibu

memandangkan kelainan struktur kromoson pada pria berdampak pada rendahnya

konsentrasi sperma, infertelitas dan faktor lainnya yang bisa mengurangi peluang

kehamilan.3

Selain itu, gen yang abnormal akibat mutasi gen bisa mengganggu proses

impantasi dan mengakibatkan abortus seperti mytotic dystrophy yg berakibat pada

kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. 3 Gangguan genetik

seperti Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, hemosistenuri dan

pseusoxantoma elasticum merupakan gangguan jaringan ikat yang bisa berakibat

abortus.3 Kelainan hematologik seperti pada penderita sickle cell anemia,

disfibronogemi, defisiensi faktor XIII mengakibatkan abortus dengan

mengakibatkan mikroinfak pada plasenta.3

b. Faktor anatomi

Defek anatomi diketahui dapat menjadi penyebab komplikasi obstetrik

terutamanya abortus. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali

uterus pada 27% pasien.3 Penyebab terbanyak abortus kerana kelainan anatomik

uterus adalah septum uterus akibat daripada kelainan duktus Mulleri (40-80%),

dan uterus bicornis atau uterus unicornis (10-30%).3 Mioma uteri juga bisa

mengakibatkan abortus berulang dan infertilitas akibat dari gangguan passage dan

kontraktilitas uterus.3 Sindroma Asherman bisa mengakibatkan abortus dengan


mengganggu tempat impalntasi serta pasokan darah pada permukaan

endometrium.3 Kelainan kogenital arteri uterina yang membahayakan aliran darah

endometrium dapat juga berpengaruh.3 Selain itu, kelainan yang didapat misalnya

adhesi intrauterin (synechia), leimioma, dan endometriosis mengakibatkan

komplikasi anomali pada uterus dan dapat mengakibatkan abortus.6

Selain kelainan yang disebut di atas, serviks inkompeten juga telah terbukti dapat

meyebabkan abortus terutama pada kasus abortus spontan.1 Pada kelainan ini,

dilatasi serviks yang “silent” dapat terjadi antara minggu gestasi 16-28 minggu. 1

Wanita dengan serviks inkompeten selalu memiliki dilatasi serviks yang

signifikan yaitu 2cm atau lebih dengan memperlihatkan gejala yang minimal. 1

Apabila dilatasi mencapai 4 cm atau lebih, maka kontraksi uterus yang aktif dan

pecahnya membran amnion akan terjadi dan mengakibatkan ekspulsi konsepsi

dalam rahim.1 faktor-faktor yang mengakibatkan serviks inkompeten adalah

kehamilan berulang, operasi serviks sebelumnya, riwayat cedera serviks, pajanan

pada dietilstilbestrol, dan abnormalitas anatomi pada serviks.1

Sebelum kehamilan atau pada kehamilan trimester pertama, tidak ada

metoda yang bisa digunakan untuk mengetahui bila serviks akan inkompeten

namun, setelah 14-16 minggu, USG baru dapat digunakan untuk menilai anatomi

segmen uterus bahagian bawah dan serviks untuk melihat pendataran dan

pemendekan abnormal serviks yang sesuai dengan inkompeten serviks.1

c. Faktor endokrin

Ovulasi, implantasi dan kehamilan dini sangat bergantung pada koordinasi

sistem pengaturan hormonal martenal yang baik. Perhatian langsung pada sistem
humoral secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi

terutamanya kadar progesteron sangat penting dalam mengantisipasi abortus.3

Pada diabetes mellitus, perempuan dengan kadar HbA1c yang tinggi pada

trimester yang pertama akan berisiko untuk mengalami abortus dan malformasi

janin. IDDM dengan kontrol yang tidak adekuat berisiko 2-3 kali lipat untuk

abortus.3

Kadar progesteron yang rendah juga mempengaruhi resptivitas endometrium

terhadap implantasi embrio. Kadar progenteron yang rendah diketahui dapat

mengakibatkan abortus terutamanya pada kehamilan 7 minggu di mana trofoblast

harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan

korpus luteum pada usia 7 minggu akan berakibat abortus dan jika diberikan

progesteron pada pada pasien ini, maka kehamilan dapat diselamatkan.3

Penelitian pada perempuan yang mengalami abortus berulang, didapatkan 17%

kejadian defek luteal iaitu kurangnya progesteron pada fase luteal. Namum pada

saat ini, masih blum ada metode yang bisa terpercaya untuk mendiagnosa kelainan

ini.3

Faktor humoral terhadap imunitas desidua juga berperan pada kelangsungan

kehamilan. Perubahan endometrium menjadi desidua mengubah semua sel pada

mukosa uterus.3 Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses

implantasi, proses migrasi trofoblas, dan mencegah invasi yang berlebihan pada

jaringan ibu.3 Di sini interaksi antara trofoblas ekstravillus dan infiltrasi leukosit

pada mukosa uterus berperan penting di mana sebahagian besar leukosit adalah

large granular cell, dan makrofag dengan sedikit sel T dan sel B.3 Sel NK dijumpai

dalam jumlah yang banyak terutama pada endometrium yang terpapar


progesteron.3 Perannya adalah pada trimester 1 adalah akan terjadi peningkatan sel

NK untuk membunuh sel target dengan sedikit atau tiada ekspresi HLA. 3

Trofoblast ekstravillous tidak bisa dihancurkan oleh sel NK kerana sifatnya yang

cepat menghasilkan HLA1 sehingga terjadinya invasi optimal untuk plasentasi

yang optimal oleh trofoblas extravillous.3 Maka, gangguan pada sistem ini akan

berpengaruh pada kelangsungan kehamilan.

Selain itu, hipotiroidisme, hipoprolaktinemia, dan sindrom polikistik ovarium

dapat merupakan faktor kontribusi pada keguguran dengan menggangu balans

humoral yang penting pada kelangsungan kehamilan.6

d. Faktor infeksi

Ada pelbagai teori untuk menjelaskan keterkaitan infeksi dengan kejadian

abortus. Antaranya adalah adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, dan

sitokin yang berdampak langsung pada janin dan unit fetoplasenta.3 Infeksi janin

yang bisa berakibat kematian janin dan cacat berat sehingga janin sulit untuk

bertahan hidup.3

Infeksi plasenta akan berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut

kematian janin.3 Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genetalia

bawah yang bisa mengganggu proses implantasi. Amnionitis oleh kuman gram

positif dan gram negatif juga bisa mengakibatkan abortus.3 Infeki virus pada

kehamilan awal dapat mengakibatkan perubahan genetik dan anatomik embrio

misalnya pada infeksi rubela, parvovirus, CMV, HSV, koksakie virus, dan

varisella zoster.3
Di sini adalah beberapa jenis organisme yang bisa berdampak pada kejadian

abortus

- Bakteria: listeria monositogenes, klamidia trakomatis, ureaplasma

urealitikum, mikoplasma hominis, bakterial vaginosis.3

- Virus: CMV, HSV, HIV dan parvovirus.3

- Parasit: toksoplasma gondii, plasmodium falsifarum.3

- Spirokaeta: treponema pallidum.3

e. Faktor imunologi

Beberapa penyakit berhubungan erat dengan kejadian abortus. Antaranya

adalah SLE dan Antiphospholipid Antibodies (aPA). 3 ApA adalah antibodi

spesifik yang ditemukan pada ibu yang menderita SLE. 3 Peluang terjadinya

pengakhiran kehamilan pada trimester 2 dan 3 pada SLE adalah 75%. 3 Menurut

penelitian, sebagian besar abortus berhubungan dengan adanya aPA yang

merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari phosfolipid. 3

Selain SLE, antiphosfolipid syndrome (APS) dapat ditemukan pada

preemklamsia, IUGR, dan prematuritas. 3 Dari international consensus workshop

pada tahun 1998, klasifikasi APS adalah:3

- trombosis vaskular (satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau

kapiler yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, dan histopatologi)3

- komplikasi kehamilan (3 atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas,

tanpa kelainan anatomik, genetik atau hurmonal/ satu atau lebih kematian

janin di mana gambaran sonografi normal/ satu atau lebih persalinan

prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan

preeklamsia berat,atau insufisiensi plasenta yang berat)3


- kriteria laboratorium (IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau

tinggi pada 2 kali atau lebih dengan pemeriksaan jarak lebih dari 1 atau

sama dengan 6 minggu)3

- antobodi fosfolipid (pemanjangan koagulasi fospholipid, aPTT, PT, dan

CT, kegagalan untuk memperbaikinya dengan pertambahan dengan plasma

platlet normal dan adanya perbaikan nilai tes dengan pertambahan

fosfolipid)3

aPA ditemukan 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari

33% pada perempuan yang mengalami SLE. Pada kejadian abotus berulang,

ditemukan infark plasenta yang luas akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular.3

f. Faktor trauma

Trauma abdominal yang berat dapat menyebabkan terjadinya abortus yang

yang diakibatkan karena adanya perdarahan, gangguan sirkulasi

maternoplasental, dan infeksi.1 Namun secara statistik, hanya sedikit insiden

abortus yang disebabkan karena trauma .1

g. Faktor nutrisi dan lingkungan

Diperkirakan 1-10% malformasi janin adalah akibat dari paparan obat,

bahan kimia atau radiasi yang umumnya akan berakhir dengan abortus.6 faktor-

faktor yang terbukti berhubungan dengan peningkatan insiden abortus adalah

merokok, alkohol dan kafein.

Merokok telah dipastikan dapat meningkatkan risiko abortus euploid. 1

Pada wanita yang merokok lebih dari 14 batang per hari, risiko abortus adalah 2

kali lipat dari risiko pada wanita yang tidak merokok.1 Rokok mengandung ratusan

unsur toksik antara lain nikotin yang mempunyai sifat vasoaktif sehingga
menghambat sirkulasi uteroplasenta.6 Karbon monoksida juga menurukan pasokan

oksigen ibu dan janin dan dapat mamacu neurotoksin.6 Meminum alkohol pada 8

minggu pertama kehamilan dapat meningkatkan risiko abortus spontan dan

anomali fetus.1 Kadar abortus meningkat 2 kali lipat pada wanita yang

mengkonsumsi alkohol 2 kali seminggu dan 3 kali lipat pada konsumsi tiap-tiap

hari dibandingkan dengan wanita yang tidak minum.1

Mengkonsumsi kafein sekurangnya 5 gelas kopi perhari atau 500mg

caffiene satu hari dapat sedikit menambah risiko abortus dan pada mereka yang

meminum lebih dari ini, risikonya meningkat secara linier dengan tiap jumlah

tambahan gelas kopi.1 Pada penelitian lain, wanita hamil yang mempunyai level

paraxantine (metabolit kafine), risiko abortus spontan adalah 2 kali lipat daripada

kontrol.1

h. Faktor kontrasepsi berencana

Kontrasepsi oral atau agen spermicidal yang digunakan pada salep dan jeli

kontrasepsi tidak berhubungan dengan risiko abortus. 1 Namun, jika pada

kontrasepsi yang menggunakan IUD, intrauterine device gagal untuk mencegah

kehamilan, risiko aborsi khususnya aborsi septik akan meningkat dengan

signifikan.1

4. Patogenesis

Abortus dimulai dari perdarahan ke dalam decidua basalis yang diikuti dengan

nekrosis jaringan disekitar perdarahan.1 Jika terjadi lebih awal, maka ovum akan

tertinggal dan mengakibatkan kontraksi uterin yang akan berakir dengan ekpulsi
karena dianggap sebagai benda asing oleh tubuh.1 Apabila kandung gestasi dibuka,

biasanya ditemukan fetus maserasi yang kecil atau tidak adanya fetus sama sekali

dan hal ini disebut blighted ovum.1

Pada abortus yang terjadi lama, beberapa kemungkinan boleh terjadi. Jika

fetus yang tertinggal mengalami maserasi, yang mana tulang kranial kolaps,

abdomen dipenuhi dengan cairan yang mengandung darah, dan degenarasi organ

internal.1 Kulit akan tertanggal di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat

minimal.1 Bisa juga apabila cairan amniotik diserap, fetus akan dikompress dan

mengalami desikasi, yang akan membentuk fetus compressus. 1 Kadang-kadang,

fetus boleh juga menjadi sangat kering dan dikompres sehingga menyerupai kertas

yang disebut fetus papyraceous.1

Pada kehamilan di bawah 8 minggu, hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya,

karena vili korialis belum menembus desidua terlalu dalam; sedangkan pada

kehamilan 8-14 minggu, vili korialis telah masuk agak dalam, sehingga sebagian

keluar dan sebagian lagi akan tertinggal.6 Perdarahan yang banyak terjadi karena

hilangnya kontraksi yang dihasilkan dari aktivitas kontraksi dan retraksi

miometrium.6

5. Gambaran klinis

Gejala abortus berupa amenorea, sakit perut kram, dan mules-mules. 1,2,3,4

Perdarahan pervaginam bisa sedikit atau banyak dilihat dari pads atau tampon

yang telah dipakai, dan biasanya berupa darah beku tanpa atau desertai dengan

keluarnya fetus atau jaringan.6 Ini penting untuk melihat progress abortus. 6 Pada

abortus yang sudah lama terjadi atau pada abortus provokatus sering terjadi infeksi
yang dilihat dari demam, nadi cepat, perdarahan, berbau, uterus membesar dan

lembek, nyeri tekan,dan luekositosis.6 Pada pemeriksaan dalam untuk abortus yang

baru saja terjadi didapati serviks terbuka, kadang-kadang dapat diraba sisa-sisa

jaringan dalam kanalis servikalis atau kavum uteri, serta uterus berukuran kecil

dari seharusnya.6 Pada pemeriksaan USG, ditemukan kantung gestasional yang

tidak utuh lagi dan tiada tanda-tanda kehidupan dari janin.6

6. Diagnosis

Diagnosis abortus ditegakkan berdasarkan :

6.1 Anamnesis

3 gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut bagian

bawah terutamanya di bagian suprapubik yang bisa menjalar ke punggung,bokong

dan perineum, perdarahan pervaginam dan demam yang tidak tinggi. 7 Gejala ini

terutamanya khas pada abortus dengan hasil konsepsi yang masih tertingal di

dalam rahim.7 Selain itu, ditanyakan adanya amenore pada masa reproduksi

kurang 20 minggu dari HPHT.6 Perdarahan pervaginam dapat tanpa atau disertai

jaringan hasil konsepsi. Bentuk jaringan yang keluar juga ditanya apakah berupa

jaringan yang lengkap seperti janin atau tidak atau seperti anggur. Rasa sakit atau

keram bawah perut biasanya di daerah atas simpisis.6

Riwayat penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak terkontrol, tekanan darah

tinggi yang tidak terkontrol, trauma, merokok, mengambil alkohol dan riwayat

infeksi traktus genitalis harus diperhatikan. 6 Riwayat kepergian ke tempat endemik

malaria dan pengambilan narkoba malalui jarum suntik dan seks bebas dapat

menambah curiga abortus akibat infeksi.7

6.2 Pemeriksaan Fisis


Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit.4 Palpasi abdomen

dapat memberikan idea keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan

pemeriksaan bimanual. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai usia gestasi,

dan konsistensinya.4 Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan spekulum

keadaan serviks dapat dinilai samaada terbuka atau tertutup , ditemukan atau tidak

sisa hasil konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di

liang vagina.4

Pemeriksaan fisik pada kehamilan muda dapat dilihat dari table di bawah ini:4

Perdarahan Serviks Uterus Gejala dan Diagnosis

tanda
Bercak Tertutup Sesuai Kram perut Abortus

sedikit dengan usia bawah, uterus immines

hingga gestasi lunak


Tertutup/terbuka Lebih kecil Sedikit/tanpa Abortus
sedang
dari usia nyeri perut komplit

gestasi bawah,riwayat

ekspulsi hasil

konsepsi
Sedang Terbuka Sesuai Kram atau Abortus

sehingga dengan usia nyeri perut insipien

masif kehamilan bawah, belum

terjadi ekspulsi

hasil konsepsi
Kram atau Abortus

nyeri perut incomplit

bawah,
ekspulsi

sebahagian

hasil konsepsi
Terbuka Lunak dan Mual/muntah, Abortus

lebih besar kram perut mola

dari usia bawah,

gestasi sindroma mirip

PEB, tidak ada

janin, keluar

jaringan seperti

anggur

6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu

bekuan, waktu perdarahan, trombosit, dan GDS. Pada pemeriksaan USG

ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil konsepsi dalam uterus.6

7. Diagnosis banding.2

- kehamilan ektopik tertanggu

- perdarahan anovular pada wanita yang tidak hamil

- abortus mola hidatidosa

- polip endoserviks

- karsinoma serviks

8. Penatalaksanaan

8.1 Abortus Imminens.4


Pada abortus imminens, tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total

dan pasien dilarang dari melakukan aktivitas fisik berlebihan ataupun hubungan

seksual. Jika terjadi perdarahan berhenti, asuhan antenatal diteruskan seperti biasa

dan penilaian lanjutan dilakukan jika perdarahan terjadi lagi. Pada kasus yang

perdarahan terus berlansung, kondisi janin dinilai dan konfirmasi kemungkinan

adanya penyebab lain dilakukan dengan segera. Pada perdarahan berlanjut

khususnya pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, harus dicurigai

kehamilan ganda atau mola.

8.2 Abortus insipiens.4

Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi uterus dilakukan dengan

aspirasi vakum manual. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan maka,

Ergometrin 0,2 mg IM atau Misopristol 400mcg per oral dapat diberikan.

Kemudian persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus dilakukan

dengan segera.

Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, ekpulsi spontan hasil konsepsi

ditunggu, kemudian sisa-sisa hasil konsepsi dievakuasi. Jika perlu, infus 20 unit

oxytoxin dalam 500cc cairan IV (garam fisiologik atau larutan Ringer Laktat)

dengan kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk membantu ekspulsi hasil

konsepsi. Setelah penanganan, kondisi ibu tetap dipantau.

8.3 Abortus inkomplit.4

Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16

minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk

mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan

berhenti, Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per oral diberikan.


Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung, dan usia kehamilan kurang

dari 16 minggu, hasil konsepsi dievakuasi dengan aspirasi vakum manual.

Evakuasi vakum tajam hanya digunakan jika tidak tersedia aspirasi vakum manual

(AVM). Jika evakuasi belum dapat dilakukan dengan segera, Ergometrin 0,2mg

IM atau Misoprostol 400mcg per oral dapat diberikan.

Jika kehamilan lebih dari 16 minggu, infus oksitosin 20 unit diberikan

dalam 500ml cairan IV (garam fisiologik atau RL) dengan kecepatan 40 tetes per

menit sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg

pervaginam diberikan setiap 4 jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Hasil

konsepsi yang tertinggal dalam uterus segera dievakuasi.

8.4 Abortus komplit.4

Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi. Observasi untuk

melihat adanya perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan kondisi ibu setelah

penanganan tetap dibuat. Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas ferrosus

600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat diberikan transfusi

darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan pascakeguguran dan

pemantauan lanjut jika perlu.

8.5 Abortus septik/infeksius.3

Pengelolaan pasien pada abortus septik harus mempertimbangkan

keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang mencukupi

sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan

cairan flour yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan

Penisillin 4x 1juta unit atau ampicillin 4x 1gram ditambah gentamisin 2x80mg


dan metronidazol 2x1gram. Selanjutnya, antibiotik dilanjutkan dengan hasil

kultur.

Tindakan kuretase dilaksanakan bila tubuh dalam keadaan membaik

minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat telah diberikan. Pada saat tindakan,

uterus harus dilindungi dengan uterotonik untuk mengelakkan komplikasi.

Antibiotik harus dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2

hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang

lebih sesuai dah kuat. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, injeksi ATS harus

diberikan dan irigasi kanalis vagina/uterus dibuat dengan larutan peroksida H2O2.

Histerektomi harus dibuat secepatnya jika indikasi.

8.6 Pemantauan pascaabortus.4

Sebelum ibu diperbolehkan pulang, diberitahu bahwa abortus spontan hal yang

biasa terjadi dan terjadi pada paling sedikit 15% dari seluruh kehamilan yang

diketahui secara klinis. Kemungkinan keberhasilan untuk kehamilan berikutnya

adalah cerah kecuali jika terdapat sepsis atau adanya penyebab abortus yang dapat

mempunyai efek samping pada kehamilan berikut.

Semua pasien abortus disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya

setelah tindakan kuretase pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali

bila ada komplikasi seperti perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat

atau infeksi. Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan

kembali ke dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri

setelah perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat.13 Tujuan

perawatan untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase

keluarga terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan.


9. Komplikasi

9.1 Perdarahan.6

Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil

konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan

dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan. Perdarahan yang berlebihan

sewaktu atau sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni uterus, laserasi cervikal,

perforasi uterus, kehamilan serviks, dan juga koagulopati.

9.2 Perforasi.6

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi

hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus

kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi

harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan

apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien biasanya datang dengan syok

hemoragik.

9.3 Syok.6

Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena

infeksi berat. Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis sevikalis

sewaktu dilatasi juga boleh terjadi namum pasien sembuh dengan segera.

9.4 Infeksi.6

Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang

merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci,

streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T.

paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada

lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium


sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi

terbatas padsa desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi dan infeksi

menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium.

Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi

paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci anaerob,

Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium perfringens.

Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae, Pneumococcus

dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial berbahaya oleh karena

dapat membentuk gas.

9.5 Efek anesthesia.7

Pada penggunaan general anestesia, komplikasi atoni uterus bisa terjadi yang

berakibatkan perdarahan. Pada kasus therapeutic abortus, paracervical blok sering

digunakan sebagai metode anestesia. Sering suntikan intravaskular yang tidak

disengaja pada paraservikal blok akan mengakibatkan komplikasi fatal seperti

konvulsi, cardiopulmonary arrest dan kematian.

9.6 Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC).7

Pasien dengan postabortus yang berat terutamanya setelah midtrimester perlu

curiga DIC. Insidens adalah lebih dari 200 kasus per 100,000 aborsi.

10. Prognosis.6

Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan

sebelumnya. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang

rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. Pada wanita keguguran

dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan


sekitar 40-80 %. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas

jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih

aborsi spontan yang tidak jelas.

DAFTAR PUSTAKA

1. F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William

Obstetrics, 22nd edition. Mc-Graw Hill, 2005

2. McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis

and treatment, 2009 edition, Mc Graw Hill, 2008

3. Sarwono prawiroharhdjo.Perdarahan pada kehamilan muda dalam Ilmu

Kandungan, edisi 2008

4. Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan

Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,2006 Hal M9-M17

5. Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina

Etaham, 2008, ms 33-35

6. Abortus Incomplete. Available at

http://www.jevuska.com/2007/04/11/abortus-inkomplit , accessed on

OCTOBER 29, 2016

7. Gaufberg F, Abortion Treatened, Available at

http://emedicine.medscape.com/article/795359-overview , accessed on

OCTOBER 29, 2016


8. Gaufberg F, Abortion Septic, Available at

http://emedicine.medscape.com/article/795439-overview , accessed on

OCTOBER 29, 2016

9. Kontroversi Seputar Aborsi, available at http :

//www.kesrepro.info.gendervaw/Mei/ 2003/gendervaw 02. htm, accessed

on OCTOBER 29, 2016

10. Aborsi dan Hak Atas Pelayanan Kesehatan, available at http :

//www.theceli.com/opik/Aborsi.htm, accessed on OCTOBER 29, 2016


BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.11 Latar Belakang

Mual dan muntah mempengaruhi hingga > 50% kehamilan. Kebanyakan

perempuan mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet,


1
dan simptom akan teratasi hingga akhir trimester pertama . Hiperemesis

gravidarum merupakan bentuk yang paling berat dari mual dan muntah dalam

kehamilan 2.

1.12 Definisi

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal kehamilan


1
sampai umur kehamilan 20 minggu . Hiperemesis gravidarum dapat

dikarakteristikan sebagau mual dan muntah yang persisten dan berhubungan

dengan penurunan berat badan dan ketosis 2. Kondisi ini dapat menyebabkan

kekurangan cairan, elektrolit dan ketidakseimbangan asam basa, defisiensi nutrisi,

hingga kematian 2.

1.13 Epidemiologi

Beberapa penelitian memperkirakan bahawa mual dan muntah terjadi pada

50-90% kehamilan. Mual muntah pada kehamilan biasanya dimulai dari usia

kehamilan 9-10 minggu, memuncak pada minggu ke 11-13, dan pada sebagian

kasus menurun pada minggu ke 12-14 kehamilan. Pada 1-10% kehamilan, gejala

dapat berlanjut hingga melebihi 20-22 minggu 2.

1.14 Etiologi

100
Penyebab penyakit ini masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan

erat hubungannya dengan endokrin, biokimiawi dan psikologis 1.

1.15 Patofisiologi

Penyebab hiperemesis gravidarum masih belum diketahui secara pasti.

Hoperemesis gravidarum muncul disebabkan oleh interaksi kompleks dari biologi,

psikologi, dan faktor sosiokultural. Beberapa teori terjadinya hiperemesis

gravidarum, yaitu: 2

a. Perubahan hormonal

Wanita dengan hiperemesis gravidarum sering memiliki kadar hCG yang

menyebabkan hipertiroidisme sementara. Secara fisiologis, hCG dapat

menstimulasi reseptor thyroid stimulating hormone (TSH) pada kelenjar

tiroid. Beberapa wanita dengan hiperemesis gravidarum tampaknya

memiliki hipertiroidisme klinis. TSH secara transien ditekan dan indeks

tiroksin bebas (T4) meningkat (40-73%) tanpa adanya tanda-tanda klinis

hipertiroidisme. Pada hipertiroidisme transien hiperemesis gravidarum,

fungsi tiroid akan kembali normal pada pertengahan trimester kedua tanpa

pengobatan antitiroid. Korelasi positif antara peningkatan kadar hCG dan

kadar T4 telah ditemukan, dan keparahan mual berhubungan dengan

tingkat stimulasi tiroid.

b. Disfungsi gastrointestinal

Gastrointestinal memiliki kontraksi peristaltik yang ritmis, aktivitas

myoelektrik abnormal dapat menyebabkan variasi disritmia gaster, dan hal

ini dikaitkan dengan morning sickness. Mekanisme yang menyebabkan

disritmia gaster meliputi peningkatan kadar esterogen atau progesteron,

101
gangguan tiroid, abnormalitas vagal dan simpatik, dan sekresi vasopresin

dalam menanggapi volume gangguan intravaskular. Banyak faktor-faktor

ini hadir pada awal kehamilan.

c. Gangguan metabolik

Gangguan metabolik mungkin memiliki peran dalam patogenesis

hiperemesis gravidarum. Ergin et al mencatat bahwa perempuan yang

memiliki kekurangan dalam native thiol dan total thiol, berkorelasi dengan

keparahan penyakit. Mereka mencatat bahwa homeostatis serum dinamis

tiol-disulfida bergeser ke sisi oksidatif.

d. Perubahan lipid

Jarnfelt-Samsioe et al menemukan bahwa kadar trigliserida, kolesterol

total dan fosfolipid pada wanita dengan hiperemesis gravidarum

meningkat dibanding dengan yang tidak. Hal ini berhubungan dengan

fungsi hepar yang abnormal pada wanita hamil.

e. Sistem penciuman

Hiperakuitas pada sistem penciuman dapat menjadi faktor yang

berkontribusi terhadap mual dan muntah selama kehamilan. Banyak

dilaporkan bahwa bau dari makanan, terutama daging, sebagai pemicu

mual.

f. Genetik

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hiperemesis gravidarum dapat

dipengaruhi oleh genetik. Sebuah studi dilakukan pada 544.087 wanita

hamil di Norway, dimana wanita yang lahir dari kehamilan dengan

hiperemesis gravidarum menunjukkan 3% resiko mengalami hiperemesis

102
pada saat kehamilan dan wanita yang lahir tanpa adanya hiperemesis saat

kehamilan memiliki resiko 1,1%.

g. Psikologis

Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan berinteraksi

dengan nilai-nilai negara dan budaya psikologis setiap wanita. Respon

psikologis dapat memperburuk fisiologi mual dan muntah selama

kehamilan. Dalam kasus yang sangat tidak biasa, kasus hiperemesis

gravidarum dapat mewakili penyakit jiwa, termasuk konversi atau

gangguan somatisasi atau depresi berat

1.16 Klasifikasi

Secara klinis dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1

 Tingkat I

Mual terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman,

berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertamakeluar makanan,

lendir dan sedikit cairan empedu. Nadi meningkat sampai 100x/menit dan

tekanan darah sistolik menurun. Mata cekung, lidah kering, dan turgor kulit

berkurang, serta urin sedikit tetapi maish normal

 Tingkat II

Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus

hebat, subfebril, nadi cepat > 100-140 x/menit, tekanan darah sistolik < 80

mmHg, apatis, kulit pucat, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat

menurun

 Tingkat III

103
Sangat jarang terjadi. Ditandai dengan gangguan kesadaran (delirium-koma),

muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi sianosis, gangguan

jantung, bilirubin dan proteiuria dalam urin.

1.17 Diagnosis

1.17.1 Anamnesis 1

Mulai terjadi pada trimester pertama, keluhan yang sering adalah mual,

muntah, dan penurunan berat badan, kadang disertai dengan pekerjaan

sehari-hari terganggu.

1.17.2 Pemeriksaan Fisik 1

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:

- Fungsi vital: nadi meningkat 100x/menit, tekanan darah menurun pada

keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma)

- Fisik: dehidrasi, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun,

pada vaginal toucher uterus besar sesuai dengan kehamilan,

konsistensi lunak, pada pemeriksaan inspekulo serviks berwarna biru

(livide)

1.17.3 Pemeriksaan Penunjang 1,2

- Pemeriksaan USG: untuk mengetahui kondisi kehamilan juga untuk

mengetahui kemungkinan adanya kehamilan kembar ataupun

kehamilan molahidatidosa

- Pemeriksaan Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan

hematokrit, shift to the left, benda keton, dan proteinuria

1.18 Penatalaksanaan 1

 Untuk keluhan hiperemesis yang berat, dianjurkan bedrest

104
 Stop makanan per oral 24-48 jam

 Infus glukosa 10% atau 5% : RL= 2:1, 40 tetes per menit

 Obat

- Vitamin B1, B2, dan B6 masing-masing 50-100 mg/hari/infus

- Vitamin B12 200µg/hari/infus, vitamin C 200 mg/hari/infus

- Antiemetik: tidak dijumpai adanya teratogenitas dengan menggunakan

dopamin antagonis (metoklopramid, domperidon), fenotiazin

(klorpromazin, proklorperazin), antihistamin ( prometazin, siklizin).

Prometazin dapat diberikan 2-3 kali 25 mg/hari per oral, atau

proklorperazin 3x3mg/hari per oral

- Antasida: dapat diberikan 3 x 1 tablet/hari per oral

 Diet sebaikanya meminta saran dari ahli gizi

- Diet hiperemesis I : diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanna

hanya berupa roti kering dna buah-buahan. Cairan tidak diberikan

bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Maknana ini hanya

diberikan selama beberapa hari saja karena kurang mengandung zat

gizi.

- Diet hiperemesis II : diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.

Secara bertahap mulai diberikan bahan makanan bergizi tinggi,

minuman tidak diberikan bersama makanan. Makanna ini rendah

dalam semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D

- Diet hiperemesis III : diberikan kepada penderita dengan hiperemesis

ringan. Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan

105
bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua gizi, kecuali

kalsium.

1.19 Komplikasi 1

Maternal

Akibat defisiensi tiamin (B1) akan menyebabkan terjadinya diplopia, palsi nervus

ke-6, nistagmus, ataksia, dna kejang. Jika tidak segera ditangani, akan terjadi

psikosis Korsakoff (amnesia, menurunnya kemampuan untuk beraktivitas),

ataupun kematian. Oleh karena itu, untuk hiperemesis tingkat III perlu

dipertimbangkan terminasi kehamilan

Fetal

Penurunan berat badan yang kronis akan meningktakan kejadian gangguan

pertumbuhan janin dalam rahim (IUGR)

106
DAFTAR PUSTAKA

3. Siddik D. 2014. Kelainan Gastrointestinal, dalam: Sarwono Prawirohardjo,

Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. h 814-818

4. Ogunyemi D.A. 2017. Hyperemesis Gravidarum. (10/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#showall

107
PREEKLAMPSIA

A. Definisi

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik

yangspesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia

jugadidapati pada kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola

komplit).Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa

tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan

bahwapathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase

keduainvasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada

kehamilannormal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri

spiralis.Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta

makinmeningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta,

arterispiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang

makinmeningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara

klinissebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu

ditinjaukembali.

Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi

klasik  preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan

sebagaisuatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang

sebelumnyanormotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein

urine > 300mg/24 jam atau ≥ +1pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus

urinarius), danonset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus

terakhir dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria

diagnosis.

108
B. Epidemiologi

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari

ibuhamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia

berkisar antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan

preeklampsia beratterjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10%

kehamilan umurnyakurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat

pada wanita dengan riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan

penyakit ginjal. Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih

sering menderita preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor

predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun,

mola hidatidosa, polihidramnion dan diabetes.Walaupun belum ada teori yang

pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa

penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya

preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:

a Usia

Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.

Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat.

Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi

yang menetap.

b. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida

tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.

c. Faktor Genetik

109
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor

risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive

trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa

preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih

sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau

mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.

d. Diet/gizi

Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).

Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian

yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang

obese/overweight.

e. Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun

merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan

janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau

istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi

kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.

f. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

g. Mola hidatidosa

Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia.

Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia

110
kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga

sesuai dengan pada preeklampsia.

h. Obesitas

Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya

preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada

wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada

wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.

i. Kehamilan multiple

Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan

ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu

kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan

sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung

Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus

preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan

pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari

satu.

C. Etiologi

Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum

diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari

penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori

yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia

meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan

mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab

bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan,

111
penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam

kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,

proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli

yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit

teori”. Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori

sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia

plasenta”. Teori ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan

dengan penyakit ini.

Adapun teori-teori tersebut adalah:

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial

plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.

Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi

generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini

menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan

penurunan volume plasma.

2. Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada

kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen

plasenta tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak

menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia

terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti

dengan terjadinya pembentukan proteinuria.

112
3. Peran Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat

diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan

peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:

a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi PreeklampsiaEklampsia

pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

4. Iskemik dari uterus.

Sperof menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik

uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang

meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.

Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi

penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL),

akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk

mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar

paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan

kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang

yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium

intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga

terjadi peningkatan tekanan darah.

Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua

dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan

merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran

darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter,

113
menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat

dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi

uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang

mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan

kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin,

aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh

karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen

dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai

hipoksia dan kematian janin.

5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam

pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel

yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah

wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai

pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai

dengan kemajuan kehamilan.

Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress

hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan

hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut

disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi

vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga

menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema

dan proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel

114
akan diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1

(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan

kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang

diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai

peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena

itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.

Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum

mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga

mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,

sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi

dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1

dan 2 atau fibrin monomer.

D. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler

Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang

menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan

vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja

sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan

hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada

preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya

thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga

peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.

2. Hipovolemia Intravaskuler

115
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai

45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga

mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma

menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya

perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)

sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan

oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta

mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan

janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan

kematian janin intrauterin.

3. Vasokonstriksi pembuluh darah

Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun

cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada

kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap

bahanbahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam

tubuh dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi

menyeluruh pada sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada

hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya

hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan

hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan

anatomis memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh

sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di

banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat nekrosis berbagai

organ.Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang

116
kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada

kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan

akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh

darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan

terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan

gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan,

angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan

lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem

pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah

termasuk platelet dan fibrinogen.

Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada

fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas

efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung

secara simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis

terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan

metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin

terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.

E. Manifestasi Klinis

Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak

berfungsi. Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan

penguat endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah

merah keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan

117
petekie atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang

belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.

Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien

hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien

preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam

batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.
(2)
Perubahan Kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada

preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan

dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang

secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia

kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau

kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang

ektravaskular terutama paru.(4)

Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau

menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.

Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang

berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.

Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler

dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina

ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan

15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan

yang dikemukakan oleh Cunningham.

118
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan

gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh

perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam

retina.

Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia

dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh

kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada

beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan

cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan

tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai

pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.

Hati

Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas

hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar

aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali

serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.

Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk , dengan menggunakan sonografi

Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.

Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan

besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada

lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul

hepar dan membentuk hematom subkapsular.

119
Ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus

meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan

filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,

glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular

yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam

urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.

Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya

volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat

dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada

beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin

plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau

berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan

intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh

Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).

Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan

retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan

bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin

karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat

reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.

Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan

filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam

dan juga retensi air.

120
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat

proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita

mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994)

menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka

mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan

minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya,

proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya

34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat

prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.

Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas

terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi

Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun,

bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria.

Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel

normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria

dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.

Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,

globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh

glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya

proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi

kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.

Darah

Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang

normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan

121
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut

Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan

yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan

pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien

preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level

fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan

terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).

Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan

terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,

peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak

jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi

peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke

normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa

menetap selama seminggu.

Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron

meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke

kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,

sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses

penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam

darah.

Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida

natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan

meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada

122
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya

resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum

diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang

intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan

hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan

berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran

darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan

berkurang dan terjadi hipoksia.

Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak

dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat

mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya

penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal

tidak mengalami perubahan.

Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada

hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat

kurangnya oksigenisasi untuk janin.

Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering

terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus

prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua

masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat

mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang

123
pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis

arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi

malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari

lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh

darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.

F. Klasifikasi

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan

Preeklampsia Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of

Obstetricians and Gynecologists, yaitu:

1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

• Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,

atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan

dengan riwayat tekanan darah normal.

• Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau

2+ pada urine kateter atau midstream.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

• Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

• Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.

• Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5

cc/kgBB/jam.

• Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di

epigastrium.

• Terdapat edema paru dan sianosis

124
• Hemolisis mikroangiopatik

• Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)

• Gangguan fungsi hati.

• Pertumbuhan janin terhambat.

• Sindrom HELLP.

G. Diagnosis

Gejala subjektif

Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,

penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntahmuntah. Gejala-

gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan

petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan darah

pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg

dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90 mmHg pada

preeklampsia ringan dan ≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu

kita juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan

kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda pendarahan

otak.

Penemuan Laboratorium

Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita

preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia

ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau

125
secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada

preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara

kualitatif ≥ +3.

Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat

hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi

benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat

diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada

preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat

dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan

elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal,

H. Penatalaksanaan

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya

preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin

dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta

mencegah gangguan fungsi organ vital.

1.Preeklampsia Ringan

Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan

preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan

aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena

pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut

juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi

kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan

darah dan kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan

meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan

126
sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas

kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung

akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta,

dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.

Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi

ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda,

berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet

yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah

cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi

pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila

komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi

cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,

rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak

diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan

pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi

ginjal.Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan

konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun

janin masih prematur.

Rawat inap

Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di

rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria

selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia

berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan

127
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan

amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi

dengan bagian mata, jantung dan lain lain.

Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu

sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah

mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.

Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu

sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi

persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara

spontan, bila perlu memperpendek kala II.

2.Preeklampsia Berat

Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat

untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut

sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan

kehamilan.

Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada

neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi

plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress

baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap

penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan

sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :

128
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat

badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran

proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan USG dan NST.

Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan

preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap

penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap

terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri

(terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.

Medikamentosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk

rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan

yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena

penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk

terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut

belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan

oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan

gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh

karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output

cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan

pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan

dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan

tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose

atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5%

129
yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500

cc.

Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria

terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.

Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak

kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.

Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

Pemberian obat antikejang

MgSO4

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding

fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan

897 penderita eklampsia.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.

Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian

magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran

rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan

ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat

kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan

pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4

- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO 4: intravena, (40 % dalam 10 cc)

selama 15 menit

130
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam;

atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4

gram im tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium

glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit

- Refleks patella (+) kuat

- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl

- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl

- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah

24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian

magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %

dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau

fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin

sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan

otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin

sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian

intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.

Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

131
Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paruparu,

payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah

furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat

hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan

hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat

janin.

Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas

(cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort

mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126

mmHg.

Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian

antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan

diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu

penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan

mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan

sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni

pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin

(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada

arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,

sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah

labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat

132
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin

(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan

dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama

- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120

mg dalam 24 jam

Antihipertensi lini kedua

- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg

iv/kg/5 menit.

- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

Kortikosteroid

Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik

(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non

kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis

preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan

ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga

diberikan pada sindrom HELLP.

Sikap terhadap kehamilannya

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap

terhadap kehamilannya dibagi menjadi:

1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan

pemberian medikamentosa.

133
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan

dengan pemberian medikamentosa.

Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu

tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.

Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada

pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap

kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,

kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai

tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.

Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai

kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh

dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda

preeklampsia ringan.

Perawatan aktif

Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah

ini, yaitu:

Ibu

1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu

2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia

3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan

laboratorik memburuk

4. Diduga terjadi solusio plasenta

5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

134
Janin

1. Adanya tanda-tanda fetal distress

2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction

3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

4. Terjadinya oligohidramnion

Laboratorium

1.Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit

dengan cepat

Referensi

1. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.

Universitas Sriwijaya. 2002

2. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.

Sumatera Utara. FK USU. 2009

3. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas

Jendral Sudirman. 2011

4. Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi

Preeklampsia. Maluku. Universitas Pattimura. 2009

5. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta.

Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005

6. Anonim. Hipertensi Dalam Kehamilan. (Cited at may, 17 2012)(update on

2005). Available From http://www.scribd.com

7. Universitas Sumatra Utara. Peeklampsia. Sumatera Utara. FK USU. 2007

135
8. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam

Kehamilan. Jakarta. PT Bina Pustaka. 2012. Hal : 542-50\

9. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra

Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil

Preterm BelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009

136
EKLAMPSIA

A. Definisi

Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu :

tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema

tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik, karena edema juga dijumpai pada

kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam,

tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.

Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik

klonik yang bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita

pre eklampsia juga disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi

diagnosis tersebut pada wanita yang mengalami kejang dan kematian pada kasus

tanpa kejang yang berhubungan dengan pre eklampsia berat. Mattar dan Sibai

(2000) melaporkan komplikasi – komplikasi yang terjadi pada kasus persalinan

dengan eklampsia antara tahun 1978 – 1998 di sebuah rumah sakit di Memphis,

adalah solutio plasentae (10 %), defisit neurologis (7 %), pneumonia aspirasi

(7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan

kematian maternal (1 %)

B. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini

masih belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah

sebabnya penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini

hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia

adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana

137
jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan

invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua.

Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna

dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi

stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan

penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.

Eklampsia biasanya terjadi akibat oedema otak yang luas, yang terjadi

akibat peningkatan tekanan darah yang mendadak dan tinggi yang

akan menyebabkan kegagalan autoregulasi aliran darah. Secara teoritis terdapat 2

penyebab terjadinya udem serebri fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi

yang kuat. Teori vasospasme menganggap bahwa overregulasi serebrovaskuler

akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang berlebihan yang

menyebabkan iskemia lokal.Akibat iskemia akan menimbulkan gangguan

metabolisme energi pada membrane sel sehingga akan terjadi kegagalan ATP-

dependent Na/K pump yang akan menyebabkan udem sitotoksik Apabila proses

ini terus berlanjut dapat terjadi rupture membrane sel yang menimbuklan lesi

infark yang bersifat irreversible.Teori force dilatation mengungkapkan bahwa

akibat peningkatan tekanan darah yang ekstrem pada eklamsia menimbulkan

kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga terjadi vasodilatasi yang

berlebihan dan peningkatan perfusi darah serebral yang menyebabkan rusaknya

barier otak dengan terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah.

Keadaan ini akan menimbulkan terjadinya udem vasogenik.

Udem vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang

dapat menimbulkan kejang pada eklamsia.Perluasan udem serebri yang difus

138
hanya terjadi pada 6% saja, dan 30%-nya dapat berkembang menjadi herniasi

transtentorial.Akibat efek penekanan vaskuler akibat perluasan udem vasogenik

ini dapat memperparah kondisi iskemiknya yang menimbulkan infark dan

perdarahan perikapiler sehingga akan memperburuk prognosis. Kondisi ini akan

sangat mempengaruhi pengelolaan pasien dan harus lebih hati-hati dalam

mengontrol tekanan darah.

C. Faktor Predisposisi

Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial

kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah

menderita preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita

preeklampsia atau eklamsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia

dan eklampsia.

D. Manifestasi Klinis

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia

digolongkan menjadi kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung

saat kejadiannya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan.

Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari

daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat kemudian

seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh, fase ini dapat

berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang akan terbuka

dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,

otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan

relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang

139
begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat

tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot –

otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara

berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya

penderita tidak bergerak.

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama

beberapa detik penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun

kemudian penderita bernafas panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali

normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti

dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan

sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat.

Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi

jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.

Namun pada kasus – kasus yang berat, keadaan koma berlangsung lama, bahkan

penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada

kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan

koma yang lama bahkan kematian.

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan

dapat mencapai 50 kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai

asidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat

ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi,

140
apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan

saraf pusat.

E. Penatalaksanaan

Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di

Parkland Hospital dan rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun

1984 Pritchard dkk melaporkan hasil penelitiannya dengan rejimen terapi

eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip – prinsip dasar pengelolaan

eklampsia adalah sebagai berikut :

1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita

2. Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing,

Circulation

3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena,

selanjutnya dapat diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4

intramuskuler secara loading dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara

periodik.

4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk

menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap

berbahaya. Batasan yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang

mengatakan 100 mmHg, 105 mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110

mmHg.

5. Koreksi hipoksemia dan asidosis

141
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena

kecuali pada kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun

diare yang berlebihan. Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.

7. Terminasi kehamilan

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan

eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam

Kehamilan di Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.

Pengobatan Medisinal

1. MgSO4 :

Initial dose :

- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan

sekurang - kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah

diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium

Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.

- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena

2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik> 110 mmHg. Dapat

diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah

masih tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral

dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan

tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah diastolik jangan

142
kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%.

Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah

didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar

2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

4. Perawatan pada serangan kejang :

 Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.

 Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.

 Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.

 Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup

longgar guna menghindari fraktur.

 Pemberian oksigen.

 Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).

5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma

memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “.

Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.

Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT

= Naso Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).

6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :

143
- Edema paru

- Gagal jantung kongestif

- Edema anasarka

7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.

8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio

sesarea.

Catatan:

Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

 Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium

Glukonas 10%, diberikan iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda

intoksikasi MgSO4.

 Refleks patella (+)

 Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

 Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/

jam ). Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan

diurese

Pengobatan Obstetrik :

1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur

kehamilan dan keadaan janin.

2. Terminasi kehamilan

144
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan

metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

 Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.

 Setelah kejang terakhir.

 Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.

 Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.

Perawatan Pasca Persalinan

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan

sebagaimana lazimnya.Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam

persalinan.Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.

F. Komplikasi

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan

kadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.

Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda awal

perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu

beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila keadaan hipertensi

menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskuler

kronis.

Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi

karena pneumonia aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas

yang disebabkan penderita muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena

145
penderita mengalami dekompensasio kordis, sebagai akibat hipertensi berat dan

pemberian cairan yang berlebihan.

Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi

bersamaan atau beberapa saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang

masiv. Apabila perdarahan otak tersebut tidak fatal maka penderita dapat

mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih sering didapatkan pada wanita usia

lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus yang jarang perdarahan

otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous

malformation.

Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan

kebutaan dengan variasi tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre

eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah terlepasnya perlekatan retina atau

terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis. Prognosis penderita untuk

dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan pulih dalam

waktu 1 minggu.

Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran

yang berat bahkan koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat

edema serebri yang luas. Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula

terjadi akibat herniasi uncus trans tentorial.

Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis,

penderita berubah menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari

sampai sampai 2 minggu namun prognosis penderita untuk kembali normal baik

asalkan tidak terdapat kelainan psikosis sebelumnya. Pemberian obat – obat

146
antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan secara bertahap terbukti

efektif dalam mengatasi masalah ini.

G. Prognosis

Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah

satu keadaan paling berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di

Amerika Serikat kematian akibat eklampsia mempunyai kecenderungan menurun

dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase 10 % - 15 %. Antara tahun 1991 –

1997 kira – kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika Serikat adalah akibat

eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini mengindikasikan

bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai keadaan

yang mengancam jiwa ibu hamil.

Referensi

1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders

in Pregnancy. In : William Obstetrics. 22th ed. Conecticut : Appleton and

Lange, 2007 : 443 – 452.

2. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia :

Current Concept. AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 – 75.

3. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In

Wayne R. Cohen

4. Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams dan

Wilkins, 2006 : 207 -26.

147
5. Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem

pregnancies. 5th edition, Churchill Livingstone USA, 2007 : 573-96.

6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working

Group on High Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2008 ;

183 : S1 – S22.

7. Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di

Indonesia. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI

148
JANIN TUMBUH LAMBAT

1. Definisi

IUGR (intrauterine growth retardation), yaitu gangguan

pertumbuhan pada janin dan bayi baru lahir yang meliputi semua parameter

(lingkar kepala, berat badan, panjang badan). Bayi yang beratnya dibawah 10

persentil untuk usia gestasionalnya. Bayi-bayi antara persentil 10 dan 90

diklasifikasikan sebagai kelompok dengan berat sesuai usia gestasional.

2. Faktor Resiko

Ada beberapa penyebab dari terjadinya IUGR. Beberapa bayi lahir

kecil karena adanya faktor genetik, tetapi kebanyakan bayi dengan IUGR

desebabkan oleh beberapa hal:

 Tingginya tekanan darah ibu (Eklampsi, Preeklampsi)

 Diabetes

 Penyakit ginjal pada ibu

149
 Infeksi

 Malnutrisi atau gangguan pola makan

 Anemia

 Rokok,obat,alkohol

 Kelainan plasenta dan tali pusat

 Multiple gestation

 Malformasi janin.

3. Klasifikasi.

Retardasi pertumbuhan janin dibagi menjadi 2 tipe klinis: tipe I atau

tipe simetris dan tipe II atau tipe asimetris. Kedua tipe ini kemungkinan

terjadi akibat perbedaan saat mula timbul dan lama kejadian yang

menyebabkan pertumbuhan tersebut mengalami retardasi. Winick (1971)

mengemukakan tiga fase pertumbuhan seluler dalam plasenta dan janin. Fase

pertama terdiri dari peningkatan jumlah sel (hiperplasi), fase kedua adalah

peningkatan jumlah dan ukuran sel (hiperplasia dan hipertrofi) dan fase ketiga

hipertofi lebih lanjut.

Tipe I (simetris)

Retardasi pertumbhan yag simetris, kemungkinan terjadi akibat

cedera toksik yang sangat dini, yaitu pada saat pertumbuhan janin terutama

berasal dari hipoplasia. Karakteristik dari tipe simetris ini adanya

pertumbuhan kepala, badan dan ekstremitas yang tidak adekuat, dan biasanya

terjadi pada 25% kasus IUGR. Paling sering disebabkan kelainan struktur dan

kromosom atau infeksi kongenital dini seperti Rubella.

150
Tipe II (Asimetris)

Retardasi pertumbuhan yang asimetris, atau tipe II,paling sering

terjadi akibat efek yang merugikan pada fase hipertrofi seluler yaitu fase yang

terdapat kemudian dalam kehamilan. Jadi, mayoritas janin dengan retardasi

pertumbuhan yang asimetris akan mempunyai jumlah sel yang sesuai tetapi

berukuran lebih kecil dari normalnya. Cedera janin pada saat ini diperkirakan

akan menimbulkan kerusakan yang sama beratnya seperti gangguan yang

terjadi dini pada kehamilan, dan keadaan ini benar-benar terlihat secara klinis.

Penyebab retardasi pertumbuhan yang asimetris tidak dapat

dijelaskan hanya dengan penguragan ukuran sel; keadaan ini kemungkinan

pula merupakan penyebab dari penyelamatan sel-sel tertentu, misalnya sel-sel

pada sistem saraf pusat. Proses patologis yang paling sering mengakibatkan

retardasi pertumbuhan asimetris adalah penyakit maternal yang bersifat

ekstrinsikbagi janin. Penyakit-penyakit ini dapat mengubah ukuran janin

dengan mengurangi airan darah uteroplasenta sebagaimana pada penyakit

hipertensi, atau dengan membatasi pengangkutan oksigen serta nutrien

sebagaimana mungkin terjadi pada pemyakit sel sabit, atau dengan

berkurangnya ukuran plasenta pada keadaan infark. Kombinasi semua

kejadian tersebu dapat terlihat pada janin kembar ketika suplai darah dan

ukuran plasenta kedua-duanya berkurang setelah kehamilan mencapai stadium

lanjut akibat ”penggunaan bersama”.

151
Semua perubahan dalam aliran darah uteroplasenta danpengangkutan

oksigen serta nutrien berlangsung dalam suatu periode yang panjang, yang

memungkinkan janin untuk beradaptasi dengan mengarahkan kembali aliran

darahnya ke dalam otak untuk mengurangi aliran darah ke organ-organ

visceral seperti hati serta ginjal. Mekanisme kompensatorik ini dapat

menghasilkan pertumbuhan kepala yang normal atau penyelamatan otak;

tetapi, hati dan organ-organ viseral lainnya termasuk intestinum, suplai

darahnya berkurang sehingga tedapat hati dan lingkaran abdomen yang lebih

kecil akibat bekurangnya simpanan glikogen dalam hati. Berkurangnya

alirandarah intestinal juga dapat menjadi faktor yang turut menyebabkan

terjadinya enterokolitis nekrotikan.

152
Tipe intermediate (Kombinasi simetrik dan asimetrik)

Tipe retardasi pertumbuhan kombinasi sering merupakan akibat dari

kombinasi efek maternal dan fetal di samping saat mula timbul dan lama

cedera.

a. Obat-obatan teratogenik

Contoh: tembakau, narkotika yang akan menurunkan masukan makanan

ibu dan jumlah sel janin, alcohol, antikonvulsan

b. Malnutrisi berat

4. Gejala klinik

Gejala klinik yang spesifik tidak ada. Biasanya IUGR diketahui

setelah diadakan pemeriksaan. Pada IUGR simetris terdapat pertumbuhan

kepala dan tubuh yang tidak cukup, rasio lingkar kepala dan lingkar perut

mungkin normal tapi laju pertumbuhan mutlak menurun.

Pada IUGR asimetris biasanya terjadi di akhir kehamilan. Otak akan

terhindar, sehingga ukuran kepala lebih besar daripada ukuran perut. Baik

IUGR simetris maupun asimetris mengakibatkan janin kecil untuk masa

kehamilan, biasanya plasenta kecil dan jumlah cairan amnion berkurang.

5. Diagnosa

Salah satu dari pemeriksaan yang paling efektif dalam mendiagnosis

IUGR adalah evaluasi sonografik pada parameter janin.

Penilaian sonografik yang lebih menyeluruh harus dilakukan bila:

153
a. tinggi fundus uteri berkurang lebih dari 2 cm dibanding umur gestasi yang

sudah ditegakkan dengan baik

b. ibu menghadapi keadaan yang beresiko tinggi seperti hipertensi kronis,

penyakit ginjal kronis, diabetes, preeklamsia/eklamsia, infeksi, kebiasaan

merokok atau minum minuman beralkohol, dan adanya kelainan

autoimmune.

Dan penilaian sonografik dilakukan terutama melalui serangkaian

penetapan enam parameter berikut :

a. diameter biparietal janin (DBP)

b. lingkar kepala

c. lingkar perut

d. rasio kepala terhadap tubuh

e. panjang femur

f. perhitungan berat janin

Pemeriksaan Klinis

1. Berat badan/tinggi badan ibu

2. Tekanan darah

3. Denyut nadi

4. Pemeriksaan sistemik

5. IPPA

6. Pengukuran tinggi fundus uteri dibanding estimasi umur janin

154
Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan gula darah → bila ada indikasi diabetes mellitus

2. Screening penyakit infeksi → waspada infeksi TORCH, Syphilis

3. Pengukuran kadar enzim transaminase → waspada Hepatitis B dan

Pemeriksaan Penunjang

1. USG, untuk mengetahui:

- Perbandingan perkembangan kepala dengan abdomen

- Perbandingan biparietal

2. Doppler untuk DJJ

6. Diagnosis banding

Janin kecil pada ibu yang ukuran tubuhnya kecil pula. Wanita yang

tubuhnya kecil secara khas akan memiliki bayi yang berukuran kecil pula. Jika

wanita itu memulai kehamilannya dengan berat badan kurang dari 100 pound.

Resiko melahirkan bayi yang kecil menurut usia gestasionalnya akan meningkat

paling tidak dengan sebanyak dua kali lipat (Eastman dan Jackson,1986;Simpson

dkk.,1975). Pada wanita yang kecil dengan ukuran panggul yang kecil, kelahiran

bayi yang kecil dengan berat lahir yang secara genetic dibawah berat lahir rata-

rata untuk masyarakat umum, tidak selalu merupakan kejadian yang tidak

dikehendaki.

Penatalaksanaan

155
Tatalaksana tergantung dari berat ringannya dari keterbelakangan

pertumbuhan dalam rahim(IUGR) dan seberapa cepat masalah ini dimulai pada

kehamilan. Pada umumnya, semakin cepat dan semakin berat dari

keterbelakangan pertumbuhan dalam rahim (IUGR) itu terjadi, maka resiko yang

dihadapi akan semakin besar pada janinnya. Monitoring yang teliti terhadap janin

dengan IUGR dan test yang terus menerus akan sangat dibutuhkan.

Di bawah ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya

masalah yang potensial pada IUGR :

 Fetal movement counting

o Melihat gerakan dan tendangan dari fetus. Perubahan jumlah atau

frekuensi dapat berarti bahwa fetus sedang berada dalam tekanan.

 Nonstress testing (NST) / Uji nonstress

o Melihat detik jantung dari fetus yang meningkat saat fetus

melakukan gerakan, yang merupakan gambaran dari kesehatan atau

kesejahteraan dari fetus.

 Biophysical profile / Profil biofisik

o Test yang merupakan kombinasi dari The nonstress test dan

Ultrasound, untuk mengevaluasi kesejahteraan atau kesehatan dari

fetus.

 Ultrasound

o Sebuah tekhnik diagnostic imaging dimana menggunakan

gelombang suara frekuensi tinggi dan computer untuk membuat

gambaran tentang pembuluh darah, jaringan, dan organ. Ultrasound

156
digunakan untuk melihat organ dalam sesuai fungsinya, dan untuk

menilai aliran darah melalui berbagai pembuluh darah. Ultrasound

juga digunakan untuk mengikuti dari pertumbuhan fetus.

o Serial ultrasound juga penting dilakukan untuk melihat

progresivitas dan berat atau ringannya dari IUGR.

 Doppler flow studies

o Salah satu type dari ultrasound yang menggunakan gelombang

suara untuk menilai rasio sistolik terhadap diastolic arteri

umbilicalis.

 Ocytocin Challenge Test (OCT) / Uji tantangan oxytocin

- Pada IUGR yang ringan, pengujian setiap minggu diindikasikan.

- Pada IUGR yang sedang, pengujian dua kali setiap minggu diindikasikan.

 Kalau NST reaktif atau OCT negative dan volume cairan amnion

memadai, kehamilan harus dibiarkan berlanjut, karena tidak ada data untuk

menyokong kelahiran dini dari bayi ini dengan tidak adanya bukti gawat

janin. Rangkaian penilaian ultrasonic untuk pertumbuhan janin harus

dilakukan tiga kali seminggu.

 Kalau NST menjadi nonreaktif disertai dengan OCT yang positif dan

terdapat paru-paru janin yang matang, penghentian kehamilan diperlukan.

7. Pengobatan

 Sebelum Kehamilan :

Yang paling penting adalah memperkirakan resiko yang dapat terjadi

sebelum wanita menjadi hamil.

157
Perbaikan nutrisi dan berhenti merokok adalah dua pendekatan yang

pasti memperbaiki pertumbuhan janin pada wanita yang terlalu kurus atau

yang merokok atau keduanya.

Aspirin dosis rendah (81 mg/hr) pada kehamilan dini dapat

mengurangi kemungkinan berulangnya IUGR pada wanita yang antibody

fosfolipidnya berhubungan dengan kelahiran dari bayi penderita IUGR

sebelumnya.

 Antepartum :

Karena tidak memungkinkan untuk meniadakan IUGR, maka ada beberapa

terapi yang dapat membantu untuk memperlambat progresivitas atau

meminimalkan efeknya.

Terapi spesifik untuk IUGR didasarkan pada :

1. Kehamilan, kesehatan secara keseluruhan, dan riwayat pengobatan

2. Tingkat dari penyakit

3. Toleransi terhadap pengobatan yang spesifik, prosedur atau terapi

4. Perjalanan penyakit

Yang termasuk dalam terapinya :

1. Nutrisi

Dengan meningkatkan nutrisi dari si ibu, maka akan meningkatkan

berat badan lahir dan pertumbuhan fetus

2. Merokok

158
Karena merokok mempengaruhi berat lahir pada setengah kehamilan,

maka penghentian merokok dapat mempunyai suatu dampak positif

3. Bed rest

Istirahat di rumah sakit atau di rumah pada posisi lateral kiri dapat

membantu memperbaiki sirkulasi dari fetus dengan meningkatkan

aliran darah rahim dan mempunyai potensi untuk memperbaiki

nutrisi janin yang menghadapi resiko

4. Persalinan

Jika IUGR membahayakan atau mengancam kesehatan dari fetus,

maka mempercepat kelahiran akan dibutuhkan

8. Prevensi

IUGR tetap dapat terjadi walaupun si ibu sedang dalam kondisi

kesehatan yang baik. Bagaimanapun, beberapa factor dapat meningkatkan

resiko dari IUGR, seperti merokok dan nutrisi maternal yang buruk. Dengan

menghindari gaya hidup yang buruk(membahayakan untuk kesehatan),

mengkonsumsi makanan yang sehat, dan mendapatkan pelayanan prenatal

dapat membantu menurunkan resiko dari IUGR. Deteksi dini juga dapat

membantu terapi dan hasilnya.

9. Prognosis

 Pada IUGR tipeI (simetris) → pertumbuhan bayi lambat sesudah kelahiran

 Pada IUGR tipe II (asimetris) → akan mengejar ketertinggalan pertumbuhan

sesudah kelahiran

159
 Untuk perkembangan kognitif dan neurology akan berjalan lebih baik

daripada perkembangan somatik

 Resiko berulangnya IUGR meningkat pada wanita dengan lingkungan

sosioekonomi yang rendah.

160
DAFTAR PUSTAKA

1. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis obstetric; obstetric fisiologi, obstetric

patologi edisi ke 2. Jakarta: EGC.

2. Wikojosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan Edisi ke2 Cetakan ke4.

Jakarta: YBB-SP

3. Cunningham, Gary. 1995. Obstetri Williams edisi ke 18. Jakarta: EGC

4. Anonymous,2007.http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?

id=&iddtl=398&idktg=19&idobat=&UID=20080222191500125.164.203.

26

161
ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA IBU HAMIL

1.1 DEFINISI

Kondisi ibu dengan kadar Hb di bawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar

Hb <10,5 gr% pada trimester II.

1.2 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi ibu hamil yang menderita anemia defisiensi besi sekitar 35-75% serta

semakin meningkat seiring dengan bertambah usia kehamilan. Menurut WHO

40% kematian ibu di Negara berkembang berkaitan dengan anemia pada

kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi

besi dan perdarahan akut.

1.3 ETIOLOGI

- Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah

- Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma

- Kurangnya zat besi dalam makanan

- Kebutuhan zat besi meningkat

- Gangguan pencernaan dan absorbs.

1.4 PATOFISIOLOGI

Pada kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu

peningkatan produksi eritropoietin. Akibatnya volume plasma bertambah dan sel

darah merah meningkat. Namun peningkatan volume plasma terjadi dalam

162
proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga

terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin akibat hemodilusi.

Kehilangan zat besi pada kehamilan terjadi akbiat pengalihan besi

maternal ke janin untuk eritopoiesis, kehilangan darah pada saat persalinan dan

laktasi yang jumlah keseluruhannya dapat mencapai 900 mg atau setara dengan 2

liter darah. Oleh karena sebagian besar perempuan mengawali kehamilan dengan

cadangan besi yang rendah, maka kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia

defisiensi besi.

1.5 GEJALA KLINIS

Gejala umum anemia : badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,

telinga berdenging, nafsu makan menurun, malaise, konsentrasi hilang, keluhan

mual muntah lebih hebat

Pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis, lidah luka, jaringan di bawah kuku

tampak pucat, pembesaran kelenjar limpa

Gejala khas : koilonychias, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi

mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica.

1.6 TATALAKSANA

Lakukan pemeriksaan hapusan darah tepi terlebih dahulu

Bila pemeriksaan hapusan darah tepi tidak tersedia, maka berikan suplementasi

tablet besi dan asam folat (60 mg besi elemental dan 250 µg asam folat) diberikan

3x sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian tablet

163
sampai 42 hari pasca salin. Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam

folat kadar Hb tidak meningkat, rujuk pasien.

Bila hasil hapusan darah tepi menunjukkan mikrositik hipokrom : cek kadar

ferritin. Kadar ferritin < 15ng/ml berikan terapi dosis setara 180 mg besi

elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal lakukan pemeriksaan SI dan

TBC.

DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsler, soenita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka :

jakarta

2. Fatimah, Hadju et al. 2011. Pola konsumsi dan kadar hemoglobin pada ibu

hamildi kabupaten maros Sulawesi selatan. Makalah kesehatan vol. 15 (1):31-36 :

Jakarta

3. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan

dasar dan rujukan. Kementerian kesehatan RI : Jakarta

164
4. Ojofeitimi EO, Ogunjuyigbe PO, Sanusi, et al. 2008. Poor Dietary Intake of

Energy and Retinol among pregnant women : implications for pregnancy

outcome in southwest Nigeria. Pak. J. Nutr : Nigeria

5. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. PT Bina pustaka sarwono

prawirohardjo : Jakarta.

6. Regina Tatiana Purba. 2007. Perbandingan efektivitas Terapi besi intravena

dan oral pada anemia defisiensi besi dalam kehamilan. Maj kedktr Indon.

Volum : 57 nomor : 4, april 2007. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Rumah sakit dr. cipto mangunkusumo : Jakarta

165
PERSALINAN PRETERM

Definisi

Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37

minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang

dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain

mengatakan PPI adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37

minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (ACOG 1995). Namun, batas

bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan PPI dengan abortus

spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di

Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah persalinan yang terjadi pada

usia kehamilan 22-37 minggu.

Menurut Wibowo (1997) yang mengutip pendapat Herron,dkk., persalinan

prematur adalah kontraksi uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan

sebelum 37 minggu , dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan

disertai dengan satu atau lebih tanda berikut:

(1) perubahan serviks yang progresif

(2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih

(3) penipisan serviks 80 persen atau lebih.

Firmansyah (2006) mengatakan  partus prematur adalah kelahiran bayi  pada

saat masa kehamilan kurang dari 259 hari dihitung dari hari terakhir haid ibu.

Menurut Mochtar (1998) partus prematurus yaitu persalinan pada kehamilan 28

sampai 37 minggu, berat badan lahir 1000 sampai 2500 gram.

166
Partus prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37

minggu atau berat badan lahir antara 500 sampai 2499 gram (Sastrawinata,

2003).Menurut Manuaba (1998) partus prematurus adalah persalinan yang terjadi

di bawah umur kehamilan 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari

2.500 gram. Menurut WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia

kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari pertama haid terakhir).

Dari beberapa pengertian partus prematurus diatas dapat disimpulkan bahwa

partus prematurus iminen adalah adanya suatu ancaman pada kehamilan dimana

akan timbul persalinan pada umur kehamilan yang belum aterm (28 sampai 37

minggu) atau berat badan lahir kurang dari 2500 gram.

Epidemiologi

Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas

indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea;

(2) PPI spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah

dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea.

Sekitar 30-35% dari PPI berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan

dengan selaput amnion utuh, dan 25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.

Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita

kulit putih lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh,

sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini

sebelumnya. PPI juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi

pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15%

terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada

usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia

167
kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan

angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah

kelahiran preterm atas indikasi.

Etiologi

Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai

dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:

1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),

2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau

polihidramnion),

3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),

4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),

5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau

trikomonas),

6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus

genitourinaria atau infeksi sistemik),

7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-

adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau

janin), dan

8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I,

penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).

Tabel 2.1 Etiologi dan alur PPI yang diakui secara umum

168
Faktor Risiko

Meskipun patofisiologi PPI kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak

faktor risiko yang diketahui berperan pada PPI, dan pengetahuan terhadap adanya

faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya PPI. Namun

sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko tersebut tidaklah mudah, karena

lebih dari setengah dari PPI terjadi pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko

yang jelas.

Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:

Faktor risiko mayor

1. Kehamilan multipel

2. Polihidramnion

3. Anomali uterus

4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu

5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua

6. Riwayat PPI sebelumnya

7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop

electrosurgical excision procedure)

8. Penggunaan cocaine atau amphetamine

9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu

10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

169
Faktor risiko minor

1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu

2. Riwayat pielonefritis

3. Merokok lebih dari 10 batang perhari

4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua

5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor;

atau dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.

Sedangkan menurut Manuaba (1998), faktor predisposisi partus prematurus

adalah sebagai berikut:

a.  Faktor ibu

Gizi saat hamil kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun, jarak

hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti; hipertensi,

jantung, ganguan pembuluh darah (perokok), faktor pekerjaan yang terlalu

berat.

b.  Faktor  kehamilan

Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum, komplikasi

hamil seperti pre eklampsi dan eklampsi, ketuban pecah dini.

c.  Faktor janin

Cacat bawaan, infeksi dalam rahim

Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan

adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status

sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan

lainnya (seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa,

170
kehamilan yang diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak

melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan PPI

adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan

asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

Patogenesis

Penyebab PPI multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu sama lain.

Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada PPI:

Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stres

Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang

mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan

mengakibatkan akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin

atau ibu. Stres semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk PPI. Beberapa

171
penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm

berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari

berbagai peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan

tubuh, dan proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan PPI terkait

stres. Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan

kelahiran preterm ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis

HPA. Proses ini dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH)

plasenta. Penelitian in vitro pada sel plasenta manusia menunjukan CRH

dilepaskan dari kultur sel plasenta manusia dalam dosis yang sesuai responnya

terhadap semua efektor biologi utama stres, termasuk kortisol, katekolamin,

oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-1). Dalam penelitian in vivo juga

ditemukan hubungan yang signifikan antara stres psikososial ibu dan kadar CRH,

ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa penelitian menghubungkan kadar awal

CRH plasma ibu dengan waktu persalinan. Hobel dkk. melakukan penilaian kadar

CRH serial selama kehamilan dan menemukan bahwa dibandingkan dengan

wanita yang melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm memiliki kadar

CRH yang meningkat secara signifikan, dengan mempercepat peningkatan kadar

CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa tingkat stres

psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara

172
Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada PPI

signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara

pertengahan kehamilan dan setelahnya.

Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan

prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta.

Pada persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis

HPA janin dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada PPI, aksis

HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya

penyebab PPI lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan efektor

biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi

173
CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin untuk

mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosteronesynthase(DHEA-S) (melalui

aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan

prostaglandin, sehingga mempercepat PPI.

Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian PPI di antara

orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir

yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan

infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam PPI, bayi lahir mati, dan

perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan

dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta

seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi

kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran

preterm.

Mekanisme Persalinan Prematur Akibat Infeksi

Data dari penelitian pada hewan, in vitro dan manusia seluruhnya

memberikan gambaran yang konsisten bagaimana infeksi bakteri menyebabkan

persalinan prematur spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua,

menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan

membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor

necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1ß, interleukin-6, interleukin-8, dan

granulocyte colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan

exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan juga mengawali

chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang kontraksi

uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang

174
menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam

serviks dan melembutkannya.

Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai

contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi

prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai

miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan

aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas prostaglandin

untuk mencapai miometrium.

Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan

janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-

releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang

kemudian meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang

tinggi menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu

ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu

untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen

maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.

175
Gambar 2.5 Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan persalinan

prematur

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)

Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari plasenta

biasanya dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta

dilaporkan 34% dari wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah

dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan

sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan

trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan

lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya

belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran utama.

Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease

multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan

otot halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos

176
longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro

mengenai trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in

vivo menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan

pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in

vitro dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai

peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta

PPI yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.

Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.

Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran

janin dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini.

Secara in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan

MMP-9 pada sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari

kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8

desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil.

Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai

infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini

mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan

desidua.

Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)

Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai

PPI yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan

makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu

oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi

ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling

177
penting dari PPI di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART

merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan

multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar.

Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI masih

belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi

protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi

protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin.

Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin

H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen

menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan

memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental pada hewan

mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada

manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.

Insufisiensi serviks

Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses

pada trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan

pada serviks berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan

variasi yang cukup luas, termasuk PPI. Insufisiensi serviks secara tradisi telah

diidentifikasi di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada

trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang

diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero

diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur

operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization;

(4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.

178
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan

cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan

kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan

pemendekan serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana

cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks

yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang

diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik

dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari

kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada

kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari

insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.

Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan

pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling

serviks prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin

memainkan peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur.

Lima puluh persen dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan

dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien

memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti

mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting

infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat

pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok

sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang

rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui.

179
Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat

dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah

uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan

janin dan PPI.

Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah

uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis

hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan

peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang

kemudian memacu sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis

anterior. ACTH pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol

dari korteks adrenal. Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2

(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH

prostaglandin dehydrogenase).

Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik

yang juga dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi

sitokin.

1. Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami PPI

Cara utama untuk mengurangi risiko PPI dapat dilakukan sejak awal,

sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang

berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap PPI serta

pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera

dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan antenatal,

padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat yang cukup besar

dalam meramalkan terjadinya PPI. Bila dijumpai seviks pendek (< 1 cm) disertai

180
dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi serviks,

maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya PPI 3-4 kali.

Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

wanita yang berisiko mengalami PPI:

Skoring risiko

Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh

Creasly dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam

faktor risiko, antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta

penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih

dianggap berisiko tinggi mengalami PPI. Meskipun Creasy dkk. serta Covington

dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program

pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik. Pada

prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini

sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak

sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan

lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.

Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring

Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada

wanita yang berisiko mengalami PPI. Metode ini melibatkan pencatatan

telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang

diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik

kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus akan dihantarkan

ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para praktisi

181
kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap pasien

tersebut melalui telepon.

Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan

aktivitas uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah PPI, baik pada

wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan

metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang

dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat

tokolisis profilaktik pada wanita hamil. Selain itu metode ini membutuhkan biaya

yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, metode ini tidak

direkomendasikan pada praktek klinis rutin.

Estriol saliva

Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan

konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan

melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan

peranan aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan

peningkatan produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan.

Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada PPI

akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi

perediktor dimulainya PPI. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan

dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang

mengalami PPI atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat

estriol dalam serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko PPI

dengan atau tanpa gejala.

182
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif

dalam memprediksi PPI dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat

positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan

kehamilan karena intervensi yang tidak perlu. Tingkat estriol saliva dapat diukur

secara akurat dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan

bahwa tingkat estriol saliva positif satu (≥ 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu

peningkatan risiko PPI 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun

tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan

peningkatan akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit

penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu

merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan,

dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum dimulainya

persalinan.1 Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta

pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat

estriol saliva ibu, dapat mempersulit interpretasi hasil. Masih dibutuhkan

penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada

wanita dengan peningkatan kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum

penggunaannya direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.

Skrining bacterial vaginosis (BV)

Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan PPI spontan, ketuban

pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-

Christense dkk. (1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis

bakterialis dapat mencetuskan PPI dengan suatu mekanisme yang serupa dengan

183
jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion. Banyak

penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan vaginosis

bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami PPI yang meningkat 2

kali lipat.1Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4

kriteria berikut ini:

1. pH vagina > 4,5

2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada

pewarnaan gram

3. adanya duh vagina homogen

4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.

Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil

yang ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan

riwayat PPI sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah

PPI pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak

perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan

kesimpulan yang pasti. Telah banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak

memberikan manfaat dari skrining vaginosis bakterialis yang bertujuan untuk

memprediksi PPI, terutama pada kelompok risiko rendah.

Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)

Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk

molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,

fibroblast, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam

konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan

peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam

184
mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin diukur dengan

menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya, fibronektin janin

terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada

kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih

dianggap sebagai hasil positif dan mengindikasikan risiko PPI.

Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin

pada sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu

pertanda adanya ancaman PPI.Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin

janin pada vagina, serviks dan cairan amnion memberikan indikasi adanya

gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.

Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada

kehamilan normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya

memperlihatkan remodeling stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996)

menemukan bahwa dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin

daripada untuk meramalkan kelahiran preterm. Namun demikan, banyak

penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko PPI, jika fFN positif pada

sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya terdapat

penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.

Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi PPI dalam 1 dan 2

minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi PPI dalam 3 minggu

kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya PPI

dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.

Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi

peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal

185
tersebut, Jackson dkk. (1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro

menghasilkan fibronektin janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang

dicurigai mengawali PPI akibat infeksi.

Pengukuran panjang serviks

Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks

mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine

sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari

isi uterus untuk melintasinya selama proses persalinan. Kompetensi serviks

tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari serviks.

Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau dimulainya persalinan

ialah terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap penilaian panjang

serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor PPI muncul setelah Iams

dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur

kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa panjang

serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat

meningkatkan risiko PPI. Suatu penelitian prospektif yang melibatkan 2.915

wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks secara serial

menunjukan suatu risiko relatif terhadap PPI ialah 9.57, 13.88, dan 24,94 untuk

panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm, pada usia kehamilan

28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan penilaian panjang

serviks sebagai prediktor PPI tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi yang

luas pada nilai prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang

melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam

sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini

186
tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang serviks

dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam

memprediksi PPI sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada

kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.

Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks

Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret

vaginoserviks pada wanita yang berisiko tinggi mengalami PPI mungkin

bermanfaat. Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya PPI spontan pada

wanita yang memiliki riwayat PPI sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65%

jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN negatif,

risiko PPI hanya sebesar 25%. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah,

risiko terulangnya PPI pada wanita dengan panjang serviks > 35 mm dan fFN

negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi penilaian panjang serviks

dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu memprediksi

terulangnya PPI pada wanita risiko tinggi.

Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam

memprediksi risiko terulangnya PPI

Risiko terulangnya PPI


Panjang serviks
fFN positif fFN negative
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%

Diagnosis

Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI.

Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan

187
sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat

menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan

sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak

sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam

penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm

mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang

mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:

1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,

2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya

setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,

3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,

rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),

4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,

5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,

atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

6. Selaput amnion seringkali telah pecah,

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The

American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis

PPI ialah sebagai berikut:

1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau

delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,

2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,

188
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis

PPI :

1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO,

faktor rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis, gas dan PH

darah janin.

2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, aktivitas

biofisik, cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta,volume cairan tuba

dan kelainan uterus

Penatalaksanaan

Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini

memang PPI. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin

yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi

pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan

keadaan janin/kelainan kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah

dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:

1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter

spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm,

atau berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.

2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.

3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma

gawat nafas.

189
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan

bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.

5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan

rencana perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan

tanda-tanda PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal

outcomes.

Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:

1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat

bilamana selaput ketuban sudah pecah.

2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai

4 cm.

3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan

makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila

TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.

a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,

mengingat prognosis relative baik.

b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan

fasilitas perawatan neonatus yang memadai.

4. Penyebab/komplikasi PPI.

5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah

morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:

190
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,

2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,

3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan

antibiotik.

Tokolisis

Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,

tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu

dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan

serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:

1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur

2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan

paru janin

3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap

4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:

1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan

tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya

hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi

berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.

2. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol

dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.

Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4

mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-

191
15 µg/menit, subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5

mg setiap 8 jam (maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:

hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema

paru.

3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara

bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat

ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada

ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi,

nyeri dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).

4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide

dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat

cyclooxygenases (COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin.

Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup kuat, namun

menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. Sulindac memiliki efek

samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan nimesulide saat

ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

5. Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi

obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik

terhadap obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan

kurangnya efek samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah

obat sintetik baru pada golongan obat ini dan telah mendapat izin

penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa. Atosiban menghasilkan efek

tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor oksitosin.

192
Dosis awal 6,75mg bolus dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam

per infus, kemudian 6mg/jam selama 45 jam.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu

membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan

intrauterine terbukti tidak baik, seperti:

i. Oligohidramnion

ii. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini

iii. Preeklamsia berat

iv. Hasil nonstrees test tidak reaktif

v. Hasil contraction stress test positif

vi. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan

pasien stabil dan kesejahteraan janin baik

vii. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

viii. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-

mimetik.

Akselerasi pematangan fungsi paru

Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan

paru janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome(RDS), mencegah

perdarahan intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang

akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana

usia kehamilan kurang dari 35 minggu.

193
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian

steroid ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian

siklus tunggal kortikosteroid ialah:

1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.

2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing

hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang

kemudian dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen

inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan

dalam pembentukan surfaktan.

Antibiotika

Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika

yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis

neonatorum.9 Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko

terjadinya infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang

dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah

ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain

seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko

necrotising enterocolitis.7

Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun

anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman.

Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak

ada kontra indikasi, diberi tokolisis.

194
Cara Persalinan

Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan

seperti: apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea

terutama pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian

forseps untuk melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan

episiotomi profilaksis yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin

presentasi kepala maka diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar

dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35 minggu.

Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi,

bahkan merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai

indikasi untuk melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas

indikasi obstetrik.

Indikasi seksio sesarea:

1. Janin sungsang

2. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)

3. Gawat janin

4. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,

oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.

5. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi

6. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan

sebagainya).

195
Komplikasi

Pada ibu, setelah PPI, infeksi endometrium lebih sering terjadi sehingga

mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi. Sedangkan

bagi bayi, PPI menyebabkan 70% kematian prenatal atau neonatal, serta

menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang. Morbiditas

jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan

intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-pulmoner,

sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang

meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure

disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi

neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.

196
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham M.D, et all. 2005. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics. 23 nd

ed.McGraw- Hill.

Goepfert A.R. 2001. Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology

Principle for Practise. McGraw-Hill.

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan

Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi

Indonesia.

Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5 th

ed.Saunders.

Jafferson Rompas. 2004.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145-

11Persalinanpreterm.pdf/145.30

Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn).

Yogyakarta : Nuha Medika.

Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.

Medlinux. 2007.http://medlinux.blogspot.com/2007/11/ruptur membran -

pre- persalinan.html 

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka

Cipta.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan

(Human Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta :

EGC.

197
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka,

Sarwono Prawirohardjo.

198
BAYI POST MATUR

1.20 Latar Belakang

Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari diitung dari

hari pertama haid terakhir (HPHT). Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara

38-42 minggu dan ini merupakan periode terjadinya persalinan normal. Namun,

sekitar 3,4-14 % atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung sampai 42 minggu

atau lebih. Kehamilan posterm terutama berpengaruh terhadap janin, meskipun hal

ini masih diperdebatkan. 1

1.21 Definisi

Kehamilan posterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat

waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy,

postdate atau poacamaturitas, adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42

minggu (294 hari) atau lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT). 1

1.22 Epidemiologi

Martin et all, 2007 menyebutkan bahwa insiden kehamilan postterm adalah

sekitar 7% dari seluruh kehamilan. Variasi prevalensi tergantung dari karakteristik

populasi. Karakteristik populasi yang mempengaruhi prevalensi adalah presentasi

primigravida pada populasi, presentasi obesitas, kehamilan postterm sebelumnya,

serta kecenderungan genetik. 2

1.23 Etiologi

Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas.

Beberapa kemungkinan penyebab adalah pengaruh progesteron, kurangnya

oksitosin, herediter. 1

 Pengaruh progesteron

199
Penurunan progesteron dalam