Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
MANAJEMEN FISIOTERAPI
PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
Disusun oleh :
Sri Widiatmi J 130 205 126
2
koordinasi, penurunan massa otot dengan perubahan fenotipik, fungsional dan perubahan
morfologi otot diafragma dan adanya gangguan lidah pada malam hari. (Bordoni &
Simonelli, 2020)
Pola hidup yang kurang baik dampaknya tidak akan terasa saat masih muda, tetapi
akan terasa saat menginjak usia tua. Kebiasaan merokok sebagai salah satu penyebab
PPOK, merupakan kegiatan yang merugikan diri sendiri dan bersifat boros. Merokok
merupakan kebiasaan yang dapat merusak kesehatan, bahkan dalam setiap bungkusnya
sudah tertulis “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan
gangguan kehamilan dan janin”. Sesuai dengan kutipan dibungkus rokok, maka merokok
dianggap sebagai tindakan atau kebiasaan yang tidak baik dilakukan bagi manusia.
B. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah,
dan dapat ditangani, dengan karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan
aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada
perjalanan dan perburukan PPOK antara lain: (1) faktor genetik, (2) usia dan jenis kelamin,
(3) pertumbuhan dan perkembangan paru, (4) pajanan terhadap partikel gas berbahaya, (5)
faktor sosial ekonomi, (6) asma dan hipereaktivitas saluran napas, (7) bronkitis kronis, (8)
infeksi berulang di saluran napas. (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,
2020).
Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau
gabungan keduanya. Pada PPOK, seringkali ditemukan bronkitis kronis dan emfisema
bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Bronkitis kronis adalah
kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak
selama minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut dan
tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai dengan
kerusakan dinding alveolus. Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan
tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan
3
napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2020)
C. FAKTOR RESIKO
PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi akut
yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan yang mendadak
dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan ditandai
dengan suatu manifestasi klinis yang memberat. Secara umum resiko terjadinya PPOK
terkait dengan jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya serta
berbagai faktor dalam individu itu sendiri (Reddy et al., 2019).
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang berbahaya, asap rokok merupakan salah satu
penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama akan terjadinya
PPOK. Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak
lama telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis
kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan
penurunan volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver
ekspirasi paksa (FEV1) dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok,
yang ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok
yang dihisap perhari dikalikan dengan jumlah total tahun merokok).Walaupun
hubungan sebab akibat antara merokok dan perkembangan PPOK telah benar-benar
terbukti, namun reaksi dari merokok ini masih sangat bervariasi. Merokok merupakan
prediktor signifikan yang paling besar pada FEV1, hanya 15% dari variasi FEV1 yang
dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun. Temuan ini mendukung bahwa
terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik sebagai kontributor terhadap dampak
merokok pada perkembangan obstruksi jalan nafas.
2. Paparan Pekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala gangguan respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan pekerjaan yang khas
4
termasuk penambangan batu bara, panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah
diketahui sebagai faktor risiko obstruksi aliran udara kronis.
3. Polusi Udara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang
yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di
daerah pedesaan, yang berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat
perkotaan. Pada wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi
udara di dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan
sebagai kontributor yang potensial.
4. Infeksi Berulang Saluran Pernapasan
Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial dalam
perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa, terutama infeksi saluran
nafas bawah berulang. Infeksi saluran respirasi pada masa anak-anak juga telah
dinyatakan sebagai faktor predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.
5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai
stimulus eksogen, termasuk methakolin dan histamin, adalah salah satu ciri-ciri dari
asma. Bagaimanapun juga, banyak pasien PPOK juga memiliki ciri-ciri jalan nafas yang
hiperesponsif. Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan
PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal
mengarahkan kepada perumusan hipotesis Dutchyang menegaskan bahwa asma,
bronkitis kronis, dan emfisema merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang
dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis
yang nyata.
6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik terjadinya PPOK.
Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT,
pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap
kecenderungan untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang
5
diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk
secara alami oleh bakteri, leukosit PMN, dan monosit.
D. PATOFISIOLOGI
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi
utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses
peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan
normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang,
sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel
dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus
PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran
pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya
pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel
mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi
hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu
siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi
adalah batuk kronis yang produktif. Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat
berupa rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang
kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal
large air space. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran
pernafasan yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya
kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran
pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul
juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan
obstruksi ireversibel dari saluran nafas (dr. Mohammad AfienMukti, 2017).
6
Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi hipertrofi
otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara. Pada
bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet,
inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis
emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-
asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses
penuaan serta pengurangan luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan
terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap rokok
(Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2020).
E. GEJALA KLINIS
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak napas
biasanya menjadi komplain ketika FEV1<60% prediksi. Selain sesak nafas gejala lainnya
yang muncul adalah batuk kronis atau produksi sputum, dan/atau riwayat pajanan akan
faktor resiko. Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, paparan terhadap partikel
berbahaya, usia, asma, status sosiol ekonomi, dan infeksi. Gejala tambahan pada penyakit
PPOKdengan derajat berat seperti kelelahan, kehilangan berat badan, dan anoreksia
merupakan gejala yang umum terjadi pada pasien PPOK dengan derajat keparahan yang
tinggi dan sangat berat (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2020).
F. PEMERIKSAAN
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Dalam mengidentifikasi
kondisi PPOK untuk pemberian tindakan fisioterapi diperlukan beberapa pemeriksaan
meliputi:
1. Pemeriksaan Subyektif/Anamnesis
Cara yang baik untuk memulai sebuah program latihan fisik pada subyek dengan
PPOK adalah dengan memastikan subyek telah menjalani tes kapasitas fisik yang
7
memadai dan mencari tahu penyebab utama limitasi latihan fisik dari masing-masing
subyek. Informasi ini bisa didapat melalui anamnesis . Informasi yang didapatkan
nantinya akan membantu merancang sebuah program rehabilitasi fisik untuk masing-
masing subyek (dr. Mohammad AfienMukti, 2017).
Pemeriksaan ini didasarkan pada pertanyaaan yang diajukan kepada pasien.
Pertanyaan yang diajukan dapat berupa:
a. Keluhan utama
b. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
c. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
d. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
e. Gejala yang dirasakan (sesak/dyspnoe, batuk, sputum/haemoptysis, wheeze, chest
pain)
f. Durasi
g. Deskripsi (Severity/ moderate/mild)
h. Pattern (onset)
i. Factor pemberat/peringan
2. Pemeriksaan Obyektif
a. Vital Sign
1) Tekanan darah
2) Denyut nadi
3) Frekuensi nafas
4) Temperatur
5) Tinggi badan
6) Berat badan
b. Inspeksi
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
2) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertropi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
8
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
7) Penampilan pink puffer atau blue bloater
c. Palpasi
1) Pada emfisema fremitus melemah
2) Sela iga melebar
d. Perkusi
1) Pada emfisema hipersonor akibat batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah.
2) Diaphragmatic Excursion: pada kasus PPOK gerakan diafragma menurun
e. Auskultasi
1) Suara napas vesikuler normal, atau melemah
2) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
3) Ekspirasi memanjang
4) Bunyi jantung terdengar jauh
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hb, Ht, Tr, Lekosit
b. Analisis Gas Darah
4. Pemeriksaan Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran : hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye
drop appearance) (Lareau & Blackstock, 2018).
5. Pemeriksaan Spesifik Fisioterapi
a. Pemeriksaan Mobilitas Torak (Reddy et al., 2019)
Tujuan : untuk mengetahui ada tidaknya gangguan mobilitas thorak ke
arah inspirasi.
Peralatan yang : pita ukur, blangko pemeriksaan.
dibutuhkan
9
Luaran : mobilitas thorak dikatakan normal bila hasil pengukuranya
berkisar antara 3,5-5 cm.
Pelaksanaan : 1. Jelaskan tujuan tes dan prosedur tes
2. Jika pasien menggunakan pakaian tebal, misalnya jaket,
dimohon untuk dilepas
3. Posisi pasien dapat duduk tegak atau berdiri
4. Letakkan pita ukur pada tempat yang telah ditentukan. Ada
3 tempat pengukuran yaitu: axial, Inter Costa 4 dan
processus xypoideus. Usahakan pita tersebut pada posisi
ketinggian yang sama.
5. Pengukuran dapat dimulai dari inspirasi maksimal diikuti
ekspirasi maksimal atau sebaliknya. Pasien diminta untuk
menarik napas sedalam mungkin kemudian
mengeluarkannya sampai maksimal. Catat hasil
pengukuran saat inspirasi maksimal dan ekspirasi
maksimal. Idealnya tes ini dilakukan sebanyak 3 kali dan
hasil terbaik yang akan digunakan untuk interpretasi.
b. Pemeriksaan Panjang Otot (Rekha K. et al., 2016)
Tujuan : adanya masalah pada panjang otot, selain dapat mempengaruhi
mobilitas thorak juga dapat menyebabkan penurunan kinerja
otot-otot pernapasan.
Peralatan yang : bed pemeriksaan
dibutuhkan
Pelaksanaan : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Posisi pasien tidur terlentang, berdiri (menyesuaikan
dengan otot yang diperiksa)
a. M. Pectoralis Major
1) Pasien diminta untuk mengangkat kedua lengannya
ke atas sampai maksimal.
10
2) Scoring: m. pectoralis major dikatakan memendek
apabila jika salah satu atau kedua lengan pasien tidak
dapat menyentuh bed, hati-hati dengan kompensasi
yang dilakukan pasien, dimana lengan pasien
menyentuh bed tetapi disertai dengan kompensasi
ekstensi trunk.
b. M. Pectoralis Minor
1) Pasien tidur terlentang
2) Scoring: otot ini dikatakan memendek apabila posisi
kedua bahu tidak menempel pada alas/bed (posisi
bahu protraksi)
c. M. Sternocleidomastoideus
1) Pasien tidur terlentang dengan kepala pada ujung bed
disangga oleh kedua tangan terapis
2) Terapis menggerakkan leher pasien kearah gerakan
ekstensi, rotasi homolateral, sedikit sidefleksi
heterolateral
3) Scoring: otot ini dikatakan memendek apabila pasien
merasakan nyeri saat dilakukan stretching.
d. M. Upper Trapeius
1) Pasien tidur terlentang dengan kepala disangga oleh
terapis lalu terapis menggerakkan kearah lateral
fleksi dengan memberikan counter fiksasi pada
bahu.
2) Scoring: otot ini dikatakan memendek apabila
terdapat ketegangan dan keterbatasan ROM side
fleksi dan pasien merasakan nyeri
c. Pemeriksaan Kekuatan Otot Bantu Pernapasan (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2020)
11
Tujuan : mengukur tekanan dalam rongga mulut untuk mengukur
kekuatan otot bantu pernapasan secara tidak langsung
Peralatan yang : hand- held manometer
dibutuhkan
Luaran : (P I max) dan (PE max)
Pelaksanaan : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Pasien dianjurkan tidak dalam kondisi makan kenyang,
dan tidak berpakaian ketat
3. Pasien duduk tegak atau berdiri
4. Mouthpiece diletakkan sedemikian rupa sehingga dagu
sedikit terelevasi dan leher sedikit ekstensi
5. Pasang clip hidung, untuk mengukur PI max pasien
diminta untuk menarik napas sekuat mungkin, kemudian
mempertahankannya beberapa saat (2-3 detik).
Mengukur PE max pasien diminta meniup sekuat
mungkin dan dipertahankan 2-3 detik
6. Scoring: kekuatan otot inspirasi dikatakan normal bila
nilai PI max menunjukkan nilai negative 50-80 mmHg.
Kekuatan otot ekspirasi dikatakan normal bila nilai PE
max positif 100 mmHg.
d. Pemeriksaan Fungsi Paru (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2020)
Tujuan : untuk menilai derajat beratnya penyakit dan disability,
memonitor progresivitas penyakit, mengevaluasi hasil terapi
Peralatan yang : spirometry
dibutuhkan
Luaran : nilai FEV1, FVC
Pelaksanaan : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Pasien dianjurkan bebas rokok minimal 2 jam, tidak
makan kenyang, tidak berpakaian ketat
12
3. Posisi berdiri atau duduk tegak, mouthpiece diletakkan
sedemikian rupa sehingga dagu sedikit terelevasi dan leher
sedikit ekstensi
4. Pasang klip hidung, pasien diminta untuk menarik napas
sedalam mungkin, kemudian menghembuskannya secepat
mungkin, sekuat mungkin dan selama mungkin
5. Idealnya tes ini dilakukan sebanyak 3 kali dan hasil terbaik
yang akan digunakan untuk interpretasi hasil.
6. Scoring:
GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% nilai prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% nilai prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50% nilai prediksi
GOLD 4 Sangat berat FEV1< 30% nilai prediksi
e. Pengukuran Toleransi Aktivitas (Dal Corso et al., 2013)
1) Incremental cycle ergometry
Tujuan : mengetahui peak oxygen uptake (VO2 peak) yang
merupakan indikasi dari kapasitas latihan maksimal yang
artinya seberapa banyak jumlah oksigen yang diambil
selama latihan berlangsung dan intensitas endurance
training
Peralatan yang : ergocycle, pulse oxymeter
dibutuhkan
Luaran : derajat beratnya aktivitas dan derajat sesak dengan skala
BORG, dyspnoe, HR, BP, RR dan saturasi oksigen
Pelaksanaan : 1. Secara umum tes ini dapat diselesaikan selama 8-12
menit
2. Fase istirahat selama 3 menit diikuti dengan mengayuh
pedal selama 3 menit
3. Tes ini dimulai dari dasar (baseline) yaitu mengayuh
pedal dengan beban 0 W
13
4. Beban ditingkatkan secara bertahap yaitu setiap menit
dengan beban 5-25 W sampai pasien tampak kelelahan.
5. Alternatif yang lain menyatakan bahwa penambahan
beban dapat ditingkatkan setiap beberapa detik.
2) Six minute walking test (6MWT)
Tujuan : untuk mengukur kapasitas fungsional dan toleransi aktivitas
Peralatan yang : trak sepanjang 25 meter, oksimetri, oksigen, tensimeter,
dibutuhkan blanko untuk dokumentasi
Luaran : derajat beratnya aktivitas dan derajat sesak dengan skala
BORG, dyspnoe, HR, BP, RR dan saturasi oksigen
Pelaksanaan : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Sebelum tes, lakukan pengukuran BP, HR, RR, saturasi
oksigen
3. Tes dilakukan pada waktu yang sama dan dilakukan 2
jam setelah makan
4. Pasien diminta untuk berjalan (tidak boleh berlari) dari
ujung ke ujung trak, selama 6 menit. Suhu ruangan harus
dicatat.
5. Tes dilakukan sebanyak 3 kali dengan istirahat diantara
tes selama minimal 15 menit.
6. Jika diperlukan, boleh berhenti untuk istirahat sejenak
sampai siap untuk jalan lagi.
7. Pengukuran pulse oksimetri dilakukan selama tes, pasien
yang memerlukan oksigen tetap menggunakan oksigen,
untuk pasien tanpa oksigen jika hasil saturasi oksigen
menjadi 85% maka tes harus segera di stop dan tes tidak
dilajutkan.
8. Pasien tetap diberitahukan waktu yang telah dilalui (2, 4,
6 menit)
14
9. Jarak yang terpanjang dari ketiga tes yang dilakukan dan
lamanya waktu istirahat juga harus dicatat
10.Setelah tes selesai segera pasien dilakukan pemeriksaan
HR, RR, BP, saturasi oksigen dan sesak nafas dengan
skala BORG. Pasien juga diminta untuk menjelaskan
keluhan apa yang dirasakan. Constant work rate test
merupakan salah satu tes yang dapat digunakan untuk
menilai efektivitas intervensi dan toleransi latihan.
Toleransi latihan dapat dinilai dengan kuisioner,
aktivitas monitoring, exercise testing.
3) Sit to stand Test
Tujuan : untuk mengetahui toleransi aktivitas.
Peralatan yang : 1 buah kursi tanpa sandaran, blangko pemeriksaan, pulse
dibutuhkan oksimeter
Luaran : skala BORG, dyspnoe, HR, RR, BP dan saturasi oksigen,
jumlah repetisi/60 detik
Pelaksanaan : 1. Jelaskan mekanisme dan tujuan tes
2. Pastikan kondisi kursi aman dan suhu ruangan terukur
3. Ukur HR, RR, BP dan saturasi oksigen sebelum tes
4. Minta pasien untuk melakukan gerakan duduk lalu
berdiri dengan knee fleksi 90° dan knee full extension
selama 1 menit. Catat hasil pengulangan yang dapat
ditempuh. Saat berdiri pasien dilarang untuk
berpegangan dengan benda disekitar.
5. Tes dilakukan sebanyak 3 kali, hasil pengulangan yang
paling banyak yang dipakai kemudian catat hasil
pengulangan/menit, ukur HR, RR, BP dan saturasi
oksigen.
15
Incremental cycle ergometry, six minute walking test, sit to stand test
Dapat digunakan untuk mengukur toleransi aktivitas pada pasien PPOK.
Ketiganya bersifat submaximal-test (Simone, 2013), six minute walking test dan
latihan yang bersifat self-paced, sedangkan incremental cycle ergometry adalah
tes yang menggunakan 75% dari beban tetap, artinya penghentian tes/latihan
pada ICE terjadi oleh karena ketidakmampuan pasien mempertahankan beban
konstan dari luar tubuh pasien, dan ICE akan memberikan gambaran secara
menyeluruh tentang status kesehatan pasien dibandingkan dengan six minute
walking test (Vasileios, 2014).
Sedangkan sit to stand test merupakan alternative-test dari six minute walking
test untuk mengukur toleransi aktivitas pada pasien PPOK dan tidak ditemukan
variasi dyspnoea yang signifikan antara kedua kelompok (Marc, 2015).
Skala sesak napas dengan mMRC Dyspnoe scale (modified Medical Research
Council) (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2020)
16
Indikator mMRC Dyspnoe scale Nilai
Sesak saat berjalan bergegas atau sedikit mendaki 0
Sesak saat berjalan bergegas atau sedikit mendaki 1
Berjalan lebih lambat dibanding orang seumur oleh karena sesak 2
atau harus berhenti untuk bernafas saat berjalan biasa
Berhenti untuk bernafas setelah berjalan 100 meter 3
Atau setelah berjalan beberapa menit
Terlampau sesak nafas saat keluar rumah atau sesak saat melepas 4
baju
G. DIAGNOSIS FISIOTERAPI
1) Impairment (Body Structure & Body Function)
✓ Abnormal breathing pattern
✓ Penurunan ekspansi sangkar thoraks
✓ Disfungsi otot-otot pernapasan
17
✓ Penurunan kapasitas paru
2) Functional Limitation
✓ Penurunan kemampuan fungsional akibat gangguan pada paru-paru
✓ Kesulitan untuk melakukan aktivitas seperti berjalan
✓ Keterbatasan ketika berjalan jauh lebih dari 6 menit dan saat naik turun tangga.
3) Participation Restriction
Keterbatasan beribadah, bersosialisasi, berolahraga, bekerja, dan melakukan kegiatan
rekreasi/hobi.
H. TUJUAN FISIOTERAPI
1. Tujuan jangka panjang
Mengembalikan aktivitas fungsional pasien sesuai dengan kapasitas paru-paru dan
meningkatkan ADL
2. Tujuan jangka pendek
a. Memperkecil pelebaran kerusakan otot
b. Memberikan semangat kejiwaan melalui latihan-latihan
c. Meningkatkan toleransi dalam aktivitas
d. Mengembalikan pasien ke pekerjaan semula dan kehidupan yang normal
e. Mengembalikan keyakinan pasien dalam kehidupan normal
I. INTERVENSI FISIOTERAPI
Latihan yang diberikan pada subyek dengan PPOK akan berbeda dengan subyek
sehat (tanpa PPOK) karena faktor-faktor penentu keterbatasan latihan bersifat
muktifaktorial seperti, pertukaran gas yang abnormal, hiperinflasi dinamis paru-paru,
berkurangnya energi ke bagian perifer tubuh dan otot-otot pernapasan, serat otot diafragma
dan berkurangnya kapasitas metabolik fungsional (Gupta et al., 2014).
a. Breathing retraining (Breathing Exercise)
Teknik breathing exercise pada pasien PPOK dapat berupa pursed-lip breathing,
diaphragmatic breathing and expiratory muscle strengthening atau segmental costal
deep breathing exercise. Beberapa literatur menyatakan teknik breathing dapat
18
memperbaiki pola napas, ventilasi, volume paru, mengurangi dyspnoea, serta
meningkatkan functional performance dan activities in daily living (Martín-Salvador et
al., 2016).
1) Pursed-Lip Breathing (Roberts et al., 2017)
Pengertian : latihan pernapasan yang menekankan pada proses ekspirasi
dengan tujuan mempermudah proses pengeluaran udara yang
terjebak oleh saluran napas yang floppy. Kombinasi pulsed lip
breathing pada saat latihan six minute walking test
menunjukan adanya peningkatan saturasi oksigen dan
menurunkan dyspnoea.
Tujuan : untuk memperbaiki pola napas seperti shortness of breath atau
breathlessness
Prosedur : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur terapi serta mintakan
pelaksanaan informed concern
2. Posisikan pasien half lying
3. Mintalah pasien utuk mengeluarkan udara pernapasan
melalui mulut dengan mengatupkan kedua bibir.
4. Kesalahan “meminta pasien untuk ekspirasi lewat mulut
dengan mulut mencucu
5. Pada saat ekspirasi Tidak Boleh pakai tenaga dan tidak ada
kontraksi dari abdominal muscle
2) Diafragmatic Breathing Exercise (Martín-Salvador et al., 2016)
Pengertian : latihan pernapasan yang menekankan pada pernapasan normal
FRC dan norml Vt, sehingga otot-otot bantu pernapasan tidak
terlibat pada pernapasan ini yang akan berakibat pada
penurunan kerja pernapasan. Latihan ini diberikan sebelum
melakukan latihan endurance berupa cycle ergometri terbukti
adanya peningkatan oxygen uptake
Tujuan : untuk menurunkan kerja pernapasan.
19
Prosedur : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur terapi, serta mintakan
pelaksanaan informed consent
2. Posisi pasien half lying
3. Usahakan otot-otot bantu pernapasan dalam keadaan rileks
dengan cara memberikan ganjal tipis di bawah kepalanya.
4. Longgarkan hal-hal yang dapat mengganggu
perkembangan dari rongga perut
5. Letakkan satu tangan pasien di atas dada dan satu tangan
yang lainnya di atas perut yang bertujuan untuk mengontrol
gerakan
6. Pasien diminta untuk melakukan napas tenang/biasa
dengan membesarkan perut saat inspirasi dan
mengempiskan perut saat ekspirasi. Usahakan gerakan
minimal pada rongga dadanya. Lakukan latihan ini
berulang kali, jika sudah menguasai teknik maka latihan
dapat ditingkatkan kesulitannya.
3) Costal Deep Breathing Exercise (Expiratory Muscle Strengthening) (Martín-
Salvador et al., 2016)
Pengertian : Teknik ini merupakan kombinasi latihan napas dalam,
pengaturan posisi, pemberian rangsangan sentuhan, aba-aba
verbal dan tahanan untuk mengoptimalkan pengembangan
lokal pada bagian paru yang spesifik.
Tujuan : memberikan rangsangan sentuhan dan penguluran akan
memberikan stimulasi pada otot-otot pernapasan dan otot
bantu pernapsan untuk berkontraksi lebih kuat selama
inspirasi sehingga akan menambah pengembangan sangkar
thorak yang akan berakibat terjadinya peningkatan volume
paru, stretch reflek yang diberikan tidak boleh lebih dari 1 kali
20
4) Forced Expiration Technique (FET) (Lee et al., 2017)
Pengertian : teknik untuk membersihkan jalan napas yang merupakan
kombinasi dari: postural drainage, breathing exercise
(Sustained Maximal Inspiration), dan huffing. Salah satu
bagian penting dari FET adalah periode istirahat yang diisi
dengan breathing control yang bertujuan untuk mencegah
obstruksi jalan napas lebih lanjut. Lamanya istirahat
tergantung dengan kondisi dan toleransi pasien
Tujuan : untuk membantu mengeluarkan dahak
Prosedur : 1. Jelaskan tujuan dan prosedur latihan
pelaksanaan 2. Pasien diposisikan pada posisi postural drainage pada
segmen yang kan dibersihkan.
3. Pasien diberikan aba-aba untuk inspirasi maksimal
selama 2-3 detik, lakukan penahanan pada akhir
inspirasi maksimal (stretch reflek).
4. Lakukan 3-5 kali pengulangan. Berikan istirahat dengan
menganjurkan pasien untuk bernapas normal. Kemudian
diikuti dengan memberikan huffing sebanyak 1-2 kali
pengulangan. Sebagai catatan huffing adalah maneuver
ekspirasi paksa yang dilakukan dengan glottis terbuka.
b. Endurance Exercise dan Strengthening Exercise
Contoh endurance training adalah dengan cycle ergometry dan walking endurance
exercise. Endurance training bertujuan untuk melatih toleransi aktivitas. Sedangkan
strengthening exercise bertujuan untuk melatih kekuatan otot ekstemitas bawah dan
kapasitas jantung paru secara tidak langsung. Intensitas latihan dapat bersifat intermitten
atau continous tergantung dari derajat PPOK yang di derita (Gupta et al., 2014). Adapun
dosis latihan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
21
c. Evaluasi
Secara keseluruhan bertujuan untuk mengukur sejauh mana korelasi antara
pemeriksaan dengan intervensi yang telah dilakukan serta efektivitas dari modalitas
yang telah diberikan. Evaluasi berupa: exercise test (sudah tercantum diatas),
pengukuran kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah, symptoms (breathlessness and
fatigue dengan skala BORG), toleransi aktivitas dan kemampuan fungsional.
22
DAFTAR PUSTAKA
Bordoni, B., & Simonelli, M. (2020). Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Proprioception
Exercises as an Addition to the Rehabilitation Process. Cureus, 12(5).
https://doi.org/10.7759/cureus.8084
Dal Corso, S., De Camargo, A. A., Izbicki, M., Malaguti, C., & Nery, L. E. (2013). A
symptom-limited incremental step test determines maximum physiological responses in
patients with chronic obstructive pulmonary disease. Respiratory Medicine, 107(12),
1993–1999. https://doi.org/10.1016/j.rmed.2013.06.013
dr. Mohammad AfienMukti. (2017). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia, 1302006137, 32.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
Gao, H., Gao, Y., Sun, P., Shen, J., Yao, H., Fu, S., & Meng, C. (2019). Effect of physical
therapy for chronic obstructive pulmonary disease. Medicine, 98(38), e17241.
https://doi.org/10.1097/md.0000000000017241
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2020). GOLD Report 2020. Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 141. https://goldcopd.org/wp-
content/uploads/2019/12/GOLD-2020-FINAL-ver1.2-03Dec19_WMV.pdf
Gupta, N., Pinto, L. M., Morogan, A., & Bourbeau, J. (2014). The COPD assessment test: A
systematic review. European Respiratory Journal, 44(4), 873–884.
https://doi.org/10.1183/09031936.00025214
K., R., S., R., V., A., & D., S. S. D. (2016). Effect of stretching respiratory accessory muscles
in chronic obstructive pulmonary disease. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical
Research, 9, 105–108.
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=export&id=L6115
97232
Lareau, S. C., & Blackstock, F. C. (2018). Functional status measures for the COPD patient:
A practical categorization. Chronic Respiratory Disease, 16.
https://doi.org/10.1177/1479973118816464
Lee, A. L., Button, B. M., & Tannenbaum, E.-L. (2017). Airway-Clearance Techniques in
Children and Adolescents with Chronic Suppurative Lung Disease and Bronchiectasis.
Frontiers in Pediatrics, 5(January), 1–8. https://doi.org/10.3389/fped.2017.00002
Martín-Salvador, A., Colodro-Amores, G., Torres-Sánchez, I., Moreno-Ramírez, M. P.,
Cabrera-Martos, I., & Valenza, M. C. (2016). Physical therapy intervention during
hospitalization in patients with acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary
disease and pneumonia: A randomized clinical trial. Medicina Clínica (English Edition),
146(7), 301–304. https://doi.org/10.1016/j.medcle.2016.05.040
Reddy, R. S., Alahmari, K. A., Silvian, P. S., Ahmad, I. A., Kakarparthi, V. N., &
23
Rengaramanujam, K. (2019). Reliability of chest wall mobility and its correlation with
lung functions in healthy nonsmokers, healthy smokers, and patients with COPD.
Canadian Respiratory Journal, 2019. https://doi.org/10.1155/2019/5175949
Roberts, S. E., Schreuder, F. M., Watson, T., & Stern, M. (2017). Do COPD patients taught
pursed lips breathing (PLB) for dyspnoea management continue to use the technique
long-term? A mixed methodological study. Physiotherapy (United Kingdom), 103(4),
465–470. https://doi.org/10.1016/j.physio.2016.05.006
24