Penyusunan laporan pendahuluan (LP) mampu menjabarkan etiologi, symptom, patofisiologi, pengkajian, diagnosa
keperawatan, lingkp intervensinya pre, intra dan post operasi serta daftar pustaka.
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Appendisitis adalah peradangan pada appendix. Appendix merupakan organ yang
menempel pada caecum (bagian pertama dari usus besar) yang berbentuk tabung dan
ujungnya tertutup menyerupai bentuk cacing, dan sering disebut dengan usus buntu
(Prihaningtyas, 2014).
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini menyerang semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun
dan merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer & Brenda,
2013).
Appendisitis adalah peradangan apendiks vermiform yang terjadi sebagian besar pada
remaja dan dewasa muda. Dapat terjadi pada semua usia tetapi jarang terjadi pada klien
yang kurang dari dua tahun dan mencapai insiden tertinggi pada usia 20-30 tahun. Tidak
umum terjadi pada lansia, namun, rupturnya apendiks lebih sering terjadi pada klien lansia
(Black & Jane, 2021).
b. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut secara normal
dicurahkan ke lumen dan selanjtnya mengalir menuju sekum. Adanya hambatan pada
aliran lendir di muara apendiks dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya
apendisitis. Di sepanjang saluran cerna terdapat imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Associates Lymphoid Tissue) yakni IgA. Imunoglobulin itu
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun apabila seseorang menjalani
prosedur apendektomi, maka tidak akan mempengaruhi imun tubuh, sebab jumlah
jaringan limf di area ini sangat kecil dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan seluruh tubuh (Sjamsuhidajat & Wim, 2014).
3. Etiologi
Menurut Prihaningtyas (2014), appendicitis terjadi karena adanya sumbatan pada appendix.
Sumbatan pada appendix dapat terjadi akibat beberapa penyebab berikut:
a. Infeksi pada saluran pencernaan sehingga menyebabkan pembesaran jaringan getah
bening di dinding appendix,
b. Cidera pada perut,
c. Tinja yang menyumbat appendix, dan
d. Pertumbuhan parasit yang menyumbat appendix.
4. Klasifikasi
Menurut Rukmono (2011), klasifikasi appendicitis terbagi menjadi dua terdiri dari:
a. Appendicitis akut
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Appendisitis akut dibagi menjadi :
1) Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen 9 appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal,
edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual,
muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.
2) Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.
3) Appendicitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu,
hijau 10 keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulent.
4) Appendicitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
5) Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal.
6) Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
b. Appendicitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik
antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut
apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya
pembentukan jaringan ikat.
5. Patofisiologi
Bila apendiks menjadi terobstruksi, tekanan intraluminal meningkat, menyebabkan
drainase vena menurun, trombosis, edema, dan invasi bakteri ke lumen. Jika proses terjadi,
dengan nekrosis dan invasi dinding usus. Jika proses terjadi secara lambat, infeksi akan
terlokalisasi membentuk dinding oleh struktur yang ada didekatnya, membentuk abses.
Perkembangan kerusakan vaskular yang cepat akan menyebabkan ruptur dan pembentukan
fistula di antara apendiks dan struktur didekatnya (kandung kemih, usus halus, sigmoid,
dan sekum) (Black & Jane, 2021).
Pathway
6. Komplikasi
Menurut Haryono (2012), komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks yang
dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi
terjadi 24 jam setelah gejala nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 0C atau
lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu. Komplikasi lain, yaitu:
a. Ganggren.
b. Perforasi dinding apendix.
c. Abses hepar multiple.
d. Sepsis.
e. Menjadi apendiksitis kronis.
7. Manifestasi klinis
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titi Mc. Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan
apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi
apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di
daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada
pemeriksaan rectal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rectum kanan dapat
terjadi. Tanda Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila
apendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat
ileus paralitik dan kondisi klien memburuk (Haryono, 2012)
8. Pemeriksaan penunjang
Menurut Haryono (2012), pemeriksaan penunjang pada appendicitis yaitu:
a. Laboratorium
1) Leukosit normal atau meningkat (bila lanjut umumnya leukositosis, >10.000/mm3)
2) Hitung jenis: Segmen lebih banyak.
3) LED meningkat (pada apendiksitis infiltrat)
b. Rongent: appendicogram yaitu hasil positif berupa: Non-filling, Partial Filling, Mouse
tail dan Cut off.
c. Rongent abdomen: tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis.
d. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat terjadi
inflamasi pada apendiks.
e. Pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
9. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer & Brenda (2014), penatalaksanaan apendiksitis sebegai berikut:
a. Penatalaksanaan Medis
1) Pembedahan (konvensional atau laparaskopi) apabila diagnosa apendisitis telah
ditegakan dan harus segera dilakukan untuk mengurangi risiko perforasi.
2) Berikan obat antibiotik dan cairan IV sampai tindakan pemebedahan dilakukan.
3) Agen analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakan.
4) Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakan yang harus dilakukan adalah
operasi membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi dengan cara
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks
dilakukan drainage.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri, mencegah defisit volume
cairan, mengatasi ansietas, mengurangi risiko infeksi yang disebabkan oleh gangguan
potensial atau aktual pada saluran gastrointestinal, mempertahankan integritas kulit
dan mencapai nutris yang optimal.
2) Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai jalur Intra Vena
berikan antibiotik, dan masukan selang nasogastrik (bila terbukti ada ileus paralitik),
jangan berikan laksatif.
3) Setelah operasi, posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgetik narkotik sesuai
program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi.
4) Jika drain terpasang di area insisi, pantau secara ketat adanya tandatanda obstruksi
usus halus, hemoragi sekunder atau abses sekunder.
c. Penatalaksaan Keperawatan
Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendiktomi. Keterlambatan
dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Teknik laparoskopi sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat
dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah. Akan tetapi terdapat peningkatan
kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu
dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada
wanita.
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
a. Riwayat keperawatan
Menurut Potter & Perry (2010), pengkajian keperawatan klien dengan post apendiktomi
yaitu:
1) Sistem pernapasan
Kaji patensi jalan napas, laju napas, irama ke dalam ventilasi, simetri gerakan
dinding dada, suara napas, dan warna mukosa.
2) Sirkulasi
Penderita beresiko mengalami komplikasi kardiovaskuler yang disebabkan oleh
hilangnya darah dari tempat pembedahan, efek samping dari anestesi. Pengkajian
yang telah diteliti terhadap denyut dan irama jantung, bersama dengan tekanan
darah, mengungkapkan status kardiovaskular penderita. Kaji sirkulasi kapiler
dengan mencatat pengisian kembali kapiler, denyut, serta warna kuku dan
temperatu kulit. Masalah umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah
dapat terjadi secara eksternal melalui saluran atau sayatan internal.
3) Sistem Persarafan
Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan kaki. Jika
penderita telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan
pengkajian neurologi secara lebih menyeluruh.
4) Sistem Perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung
kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis untuk
mengkaji distensi kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine, harus ada
aliran urine terus-menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati warna
dan bau urine, pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan
menyebabkan urine berdarah paling sedikit selama 12 sampai 24 jam, tergantung
pada jenis operasi.
5) Sistem Pencernaan
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas. Perawat
perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko menyebabkan aspirasi
atau adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya peristaltik setiap 4 sampai 8
jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal, 5-
30 bunyi keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak
peristaltik yang telah kembali. Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut
menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah penderita
membuang gas (flatus), ini merupakan tanda penting yang menunjukkan fungsi
usus normal.
b. Pemeriksaan fisik
Pasien apendisitis jarang memperlihatkan tanda toksisitas sistemik. Ia bisa berjalan
dalam cara agak membungkuk. Sikapnya di ranjang cenderung tak bergerak, sering
dengan tungkai kanan fleksi. Inspeksi langsung abdomen biasanya tak jelas serta
Auskultasi atau perkusi tidak sangat bermanfaat dalam pasien apendisitis. Palpasi
abdomen yang lembut kritis dalam membuat keputusan, apakah operasi diindikasikan
pada pasien yang dicurigai apendisitis. Palpasi seharusnya dimulai dalam kuadran kiri
bawah, yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran kanan atas dan diakhir dengan
pemeriksaan kuadran kanan bawah. Kadang-kadang pada apendiatis yang lanjut, dapat
dideteksi suatu massa. Adanya nyeri tekan kuadran kanan bawah dengan spasme otot
kuadran kanan bawah merupakan indikasi untuk operasi, kecuali ada sejumlah petunjuk
lam bahwa apendisitis mungkin bukan diagnosis primer (Smeltzer & Brenda, 2013).
Pemeriksaan rectum dan pelvis harus dilakukan dalam semua pagen apendisitis. Pada
apendisitis atipik, nyeri mungkin tidak terlokalisasi dari daerah periumbilicus, tetapi
nyeri tekan rectum kuadran kanan bawah dapat dibangkitkan. Adanya nyeri tekan atau
sekret servik pada wanita muda dengan nyeri kuadran kanan bawah membawa ke arah
diagnosis penyakit peradangan pelvis. Tanda Rovsing bisa positif dengan adanya
apendisitis supurativa. Tanda psoas dan obturator bisa juga ada dalam apendisitis, tetapi
ia kurang dapat diandalkan dibandingkan tanda Rovsing (Smeltzer & Brenda, 2013).
Intra Operasi
Diagnosa 3: (D.0074) gangguan rasa nyaman
a. Pengertian
Perasaan kurang senang, lega dan sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual,
lingkungan dan sosial.
b. Penyebab
1) Gejala penyakit
2) Kurang pengendalian situasional/lingkungan
3) Ketidakadekuatan sumber daya (mis, dukungan finansial, sosial, dan pengetahuan)
4) Kurangnya privasi
5) Gangguan stimulus lingkungan
6) Efek samping terapi (mis. Medikasi, radiasi, kemoterapi)
7) Gangguan adaptasi kehamilan
c. Gejala dan tanda mayor
1) Subjektif
a) Mengeluh tidak nyaman
2) Objektif
a) Gelisah
d. Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
a) Mengeluh sulit tidur
b) Tidak mampu rileks
c) Mengeluh kedinginan/kepanasan
d) Merasa gatal
e) Mengeluh mual
f) Mengeluh lelah
2) Objektif
a) Menunjukkan gejala distress
b) Tampak merintih/menangis
c) Pola eliminasi berubah
d) Postur tubuh berubah
e) Iritabilitas
3. Intervensi keperawatan
Diagnosa 1: (D.0077) nyeri akut
a. Tujuan dan kriteria hasil
Menurut PPNI (2018) kriteria hasil pada pasien dengan appendisitis diantaranya:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x5 jam diharapkan masalah keperawatan
nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1) (L.08066) tingkat nyeri
a) Keluhan nyeri, dari sedang (3) menjadi cukup meningkat (4).
b) Meringis, dari sedang (3) menjadi cukup meningkat (4).
c) Gelisah, dari sedang (3) menjadi cukup meningkat (4).
d) Kesulitan tidur, dari sedang (3) menjadi cukup meningkat (4).
e) Perasaan takut mengalami cedera berulang, dari sedang (3) menjadi cukup
meningkat (4).
f) Muntal, dari sedang (3) menjadi cukup meningkat (4).
g) Mual, dari sedang (3) menjadi cukup meningkat (4).
h) Frekuensi nadi, dari sedang (3) menjadi cukup membaik (4).
i) Pola napas, dari sedang (3) menjadi cukup membaik (4).
j) Tekanan darah, dari sedang (3) menjadi cukup membaik (4).
k) Nafsu makan, dari sedang (3) menjadi cukup membaik (4).
b. Intervensi keperawatan
Menurut PPNI (2019) tindakan keperawatan pada pasien dengan appendisitis
diantaranya:
1) (I.08238) manajemen nyeri
b) Observasi
(1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
(2) Identifikasi skala nyeri.
(3) Monitor efek samping penggunaan analgetik.
c) Terapeutik
(1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hipnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain).
(2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
(3) Fasilitasi istirahat dan tidur.
d) Edukasi
(1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
(2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
(3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
(4) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
e) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
2) (I.09326) terapi relaksasi
a) Observasi
(1) Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan berkonsentrasi, atau
gejala lain yang mampu mengganggu kemampuan kognitif.
(2) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan.
(3) Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu sebelum dan
sesudah latihan.
(4) Monitor respons terhadap terapi relaksasi.
b) Terapeutik
(1) Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan dan
suhu ruang nyaman, jika memungkinkan.
(2) Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama.
(3) Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan anlgetik atau tindakan
medis lain, jika sesuai.
c) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia (mis.
musik, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif).
(2) Anjurkan mengambil posisi nyaman.
(3) Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi.
(4) Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih.
(5) Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. napas dalam, peregangan,
atau imajinasi).
b. Intervensi keperawatan
Menurut PPNI (2019) tindakan keperawatan pada pasien dengan appendisitis
diantaranya:
1) (I.09314) reduksi ansietas
a) Observasi
(1) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
b) Terapeutik
(1) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan.
(2) Dengarkan dengan penuh perhatian
(3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
(4) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan.
c) Edukasi
(1) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
(2) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan.
(3) Latih teknik relaksasi napas dalam.
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu.
b. Intervensi keperawatan
Menurut PPNI (2019) tindakan keperawatan pada pasien dengan appendisitis
diantaranya:
1) (I.14507) manajemen hipotermia
a) Observasi
(1) Monitor suhu tubuh
(2) Identifikasi penyebab hipotermia
(3) Monitor tanda dan gejala akibat hipotermia
b) Terapeutik
(1) Sediakan lingkungan yang hangat
(2) Lakukan penghangatan pasif
(3) Lakukan penghangatan aktif
c) Edukasi
(1) Anjurkan makan/minum air hangat
b. Intervensi keperawatan
Menurut PPNI (2019) tindakan keperawatan pada pasien dengan appendisitis
diantaranya:
1) (I.03116) manajemen hipovolemia
a) Observasi
(1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit
meningkat, haus, lemah).
(2) Monitor intake dan output.
b) Terapeutik
(1) Hitung kebutuhan cairan.
(2) Berikan asupan cairan oral.
c) Edukasi
(1) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral.
(2) Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak.
d) Kolaborasi
(1) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl, RL).
2) (I.03121) pemantauan cairan
a) Observasi
(1) Monitor frekuensi dan kekuatan nadi.
(2) Monitor frekuensi napas.
(3) Monitor tekanan darah.
(4) Monitor berat badan.
(5) Monitor waktu pengisian kapiler.
(6) Monitor elastisitas atau turgor kulit.
(7) Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urine.
b) Terapeutik
(1) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien.
(2) Dokumentasi hasil pemantauan.
c) Edukasi
(1) Jelaskan tujuan prosedur dan pemantauan.
(2) Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
Nilai :
Hari/Tanggal: