Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION

SKENARIO 1
ENTERITIS HEMORAGIKA PADA ANJING

Disusun oleh:
Salsabila Tunjung Safitri
(17/409276/KH/09277)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
I. Judul Diskusi
Enteritis Hemoragika pada Anjing

II. Tujuan Pembelajaran


- Mahasiswa mengetahui penyakit gastrointestinal pada anjing beserta etiologi,
patogenesi, dan diferensial diagnosa.

III. Skema Pembelajaran

SGD
Semester 7

Ilmu Penyakit Organik


Hewan Kecil

Sinergi dan integrasi antar mata kuliah untuk membangun pemahaman secara lebih
dalam dan komprehensif untuk mencapai kompetensi

Memahami mengenai penyakit gastrointestinal pada anjing beserta etiologi,


patogenesi, dan diferensial diagnosa.

IV. Bahasan
Penyakit infeksi gastrointestinal pada anjing beserta etiologik dan patogenesisnya.
1. Canine Parvovirus
Parvo merupakan salah satu penyakit yang dapat mematikan jika
menginfeksi anjing muda. Penyakit parvovirus anjing (PPA) merupakan penyakit
menular bersifat akut dan mematikan pada anjing berumur muda, ditandai dengan
dehidrasi, muntah dan berak bercampur darah, gastroenteritis dan miokarditis.
Penyakit ini disebabkan oleh Canine Parvovirus dari family Parvoviridae. Infeksi
Canine Parvovirus (CPV), atau yang dikenal dengan penyakit muntaber pada
anjing, mulai mencuat sekitar tahun 1980-an di mana kasus muntah dan mencret
berdarah banyak dijumpai di kalangan praktisi dunia kedokteran hewan di
Indonesia. Penyakit ini ditemukan pertama kali tahun 1977 di Texas, Amerika
Serikat, kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Infeksi CPV tidak
hanya menyerang saluran pencernaan tetapi juga menyerang jantung yang dapat
berakibat kematian mendadak pada anak anjing.

(Sendow, 2003)
 Etiologi
Penyakit muntaber pada anjing disebabkan oleh virus canine parvovirus
(CPV). Virus ini termasuk dalam family Parvoviridae. Diameter virus CPV
berkisar 20 nm, termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya berbentuk
partikel ikosahedral serta tidak beramplop, dan perkembangbiakan virus ini sangat
tergantung pada selinang yang sedang aktif membelah. Dalam gradienCsCl, CPV
mempunyai kepadatan gradien 1,43 g/ml. CPV terdiri dari 3 protein virus yaitu
VP1, VP2, dan VP3 dengan berat molekul 82.500 sampai 63.500 (Sendow, 2003).

Gambar 1. Struktur parvovirus anjing.


(Sumber : http://www.bostonterrierhub.com/images/parvo-virus-1.jpg.)

Ada dua tipe Parvovirus yang menginfeksi anjing yaitu Canine


parvovirus  1 (CPV 1) dan Canine parvovirus 2 (CPV 2). Canine parvovirus-1
(CPV 1), juga dikenal sebagai “minute virus of canine”, yang relatif dikenal
sebagai virus nonpatogenik yang kadang dihubungkan dengan gastroenteritis,
pneumonitis, dan myokarditis di anak anjing yang sangat muda. Canine
parvovirus-2 (CPV-2) lebih dikenal sebagai enteritis klasik
dari parvovirus (Tabor, 2011).
 Patogenesis
Virus CPV dapat diekresikan melalui feses, air seni, air liur dan
kemungkinan melalui muntah. Virus CPV pada feses dapat terdeteksi selama 10–
14 hari. Transmisi penularan CPV dapat terjadi melalui makanan, piring, tempat
tidur dan kandang yang telah terkontaminasi virus CPV. Penularan secara vertikal
diduga dapat terjadi pada anjing yang sedang bunting.
Kasus CPV lebih banyak terjadi pada hewan muda. Hal ini disebabkan
karena sel yang sedang membelah umumnya terdapat pada hewan yang muda.
Derajat keparahan manifestasi klinis infeksi CPV sangat tergantung pada umur
anjing yang terinfeksi. Demikian pula dengan tipe CPV yang ditimbulkan. Makin
muda umur anjing yang terinfeksi, makin parah klinis yang dihasilkan.
Anjing berumur 3–4 minggu, selmiosit pada jantung sedang aktif
berkembang sehingga apabila pada umur tersebut anak anjing tersebut terinfeksi
virus CPV, umumnya menyerang jantung yang berakibat kematian mendadak
anjing tersebut yang disebabkan oleh miokarditis, sehingga tipe yang ditimbulkan
umumnya tipe miokarditis. Sedangkan apabila infeksi CPV terjadi pada umur
yang lebih tua derajat pembelahan sel miosit mulai menurun tetapi derajat
pembelahan sel mitotik pada kripta usus meningkat, terutama pada umur lebih dari
6 minggu, sehingga akibat infeksi ini diare dan muntah lebih banyak terlihat
disbanding gangguan jantung dan tipe ini sering disebut tipe enteritis.
Virus CPV telah berhasil diisolasi dari tonsil, retrofaringeal dan
Limfoglandula mesentericus, 1–2 hari setelah inokulasi pada anjing beagle
berumur 9 minggu. Infeksi epitel usus pertama kali terlihat 4 hari setelah inokulasi
oral dan anjing mengalami viraemia sebelum infeksi usus ditemukan. Sekresi
virus pada feses dapat ditemukan 4 hari setelah inokulasi dan lesi pada usus
menjadi makin parah antara hari ke 4 hingga 6 setelah inokulasi. Pada saat
imunisasi, gejala klinis, limfofenia dan eksresi virus tidak tampak, demikian juga
pada infeksi pada usus tidak terlihat pada uji FAT setelah imunisasi.
(Sendow, 2003)

 Diferensial diagnosa
Gambaran klinis kasus Canine parvovirus sering dikelirukan dengan
penyakit lainnya seperti canine distemper, infeksi bakteri penyebab enteritis,
infeksi parasit cacing, ancylostomiasis, coccidiosis, atau pankreatitis akut
(Sendow, 2003).

2. Toxocara sp.
 Etiologi
Merupakan nematoda paling besar, hidup di usus halus anjing. Ukuran
telur 85.75 µm berbentuk oval dengan permukaan bergerigi, coklat muda,
berdinding tebal. Cacing tersebut sangat sulit dihilangkan dari suatu daerah yang
tertular, dikarenakan kulit telur kedua (lapis luarnya) tebal. Telur tersebut dapat
tahan bertahun-tahun di feses anjing yang terinfeksi (Levine, 1994). Seekor cacing
betina dewasa dapat menghasilkan kurang lebih 200.000 telur per hari. Cacing
jantan panjang tubuhnya berkisar 4-10 cm sedangkan cacing betina memiliki
panjang 5-18 cm (Subronto, 2006). Cacing Toxocara canis memiliki bentuk yang
sedikit berbeda dari jenis cacing Toxocara sp. lainnya. Dimana cacing jantan
memiliki spikulum tidak sama besar, membengkok, bersayap dan panjangnya
750-1300 mikron (Levine, 1994).
Pada gambar 2 merupakan perbedaan Toxocara canis dibandingkan
dengan cacing jenis Toxocara sp. lainnya. A. Toxocara mystax, ujung anterior,
pengamatan dari ventral. B. Toxocara canis, ujung anterior, pengamatan dari
ventral. C. Toxascaris leonina, ujung anterior, pengamatan dari ventral. D.
Toxocara mystax, ujung posterior cacing jantan, pengamatan dari ventral. E.
Toxocara canis, ujung posterior cacing jantan, pengamatan dari ventral. F.
Toxascaris leonina, ujung posterior cacing jantan, pengamatan dari ventral
(Levine, 1994).

Gambar 2. Toxocara sp. (Levine, 1994)


 Patogenesis
Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes
definitifnya dengan menyebabkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi
dari sirkulasi. Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan
fase migrasi yang meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui.
Perjalanan larva infektif melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menyebabkan
terjadinya edema pada kedua organ tersebut. Paru-paru yang mengalami edema
mengakibatkan batuk, dispoea, selesma, dengan eksudat yang berbusa dan kadang
mengandung darah. Perjalanan larva lewat lambung, pada yang berat
menyebabkan distensi lambung, diikuti oleh muntah, dan mungkin disertai
keluarnya cacing yang belum dewasa di dalam bahan yang dimuntahkan. Infeksi
cacing yang berat menyebabkan gangguan usus, antara lain disertai sakit perut
(colic), obstruksi usus baik parsial maupun total, dan dalam keadaan ekstrim
terjadi perforasi usus hingga tampak gejala peritonitis. Adanya cacing yang
banyak menyebabkan penurunan bahan makanan yang diserap, hingga terjadi
hipoalbuminemia yang selanjutnya menyebabkan kekurusan dengan busung perut
(asites). Perut pada anjing muda yang terinfeksi jelas memperlihatkan pembesaran
dan tampak menggantung (pot belly).
(Agna, 2009)

3. Ancylostoma caninum
 Etiologi
Klasifikasi:
Phylum : Nemathelminthes
Class : Nematoda
Ordo : Strongylida
Superfamilia : Ancylostomatoidea
Familia : Ancylostomatidae
Subfamili: Ancylostominae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma caninum
(Supali dkk., 2008)
Cacing Ancylostoma caninum jantan memiliki panjang 10-12 mm,
sedangkang cacing betina memiliki panjang 14-16 mm. Cacing berwarna abu-abu
atau kemerah-merahan karena berisi darah dari hospes. Cacing jantan memiliki
bursa kopulatrik dengan 2 spikula sama panjang. Vulva terletak pada ± 2/3 bagian
tubuh sebelah anterior. Telur bulat lonjong, berukuran 56-75 x 34-47 µm. Pada
saat dikeluarkan, telur mengandung embrio yang terdiri dari 8-16 sel (Kusnoto,
2015).

Gambar 3. Bagian anterior cacing Ancylostoma caninum (Kusnoto, 2015)

Cacing Ancylostoma caninum memiliki siklus hidup dimulai dari telur


cacing keluar bersama feses – dalam waktu 12-36 jam menetas – larva stadium I –
dalam waktu 1 minggu menjadi larva stadium III – penularan /infeksi pada inang
lain (peroral, percutan, prenatal, colostral /lactogenis infection) (Supali dkk.,
2008).

 Patogenesis
Berat ringannya infeksi ditentukan oleh:
- Keganasan spesies
- Banyak sedikitnya larva infeksi yang menginfeksi
- Resistensi induk semang (biasanya semakin tua akan semakin resisten)

Akibat dari infeksi Ancylostoma caninum adalah anemia, ini berhibungan


dengan hilangnya darah pada proses penghisapan darah oleh cacing. Darah yang
hilang rata-rata sekitar 0,8 ml/ ekor/ hari. Permulaan hilangnya darah kira-kira
hari ke 4 setelah infeksi bersamaan dengan moulting ke 4 dan perkembangan
buccal capsul. Puncak dari hilangnya darah pada hari ke 10-15 setelah infeksi dan
paling lama pada saat dikeluarkannya telur cacing yaitu pada hari 20 setelah
infeksi. Penderitaan tampak lebih nyata pada anak-anak anjing yang tertular
Ancylostoma melalui air susu induknya, demikian juga pada anak-anak anjing dari
breeds kecil, hal ini juga dapat terjadi karena persediaan zat besi dalam dalam
tubuh yang terbatas (Kusnoto, 2015).
Diare permulaan tampak pada hari ke 4 setelah infeksi yaitu ketika larva
stadium IV mencapai usus dan pada hari ke 8 pasca infeksi tampak diare
bercampur darah dan cairan mukus. Infeksi yang sangat berat dapat menyebabkan
kelainan paru-paru pada hari ke 1 sampai ke 5 setelah infeksi (Kusnoto, 2015).

V. Kesimpulan
- Infeksi Canine Parvovirus, Toxocara sp. dan Ancylostoma caninum
merupakan infeksi akut, kontagius dan infeksius yang menyerang anjing
terutama pada anjing muda yang dapat berakibat fatal.
- Canine parvovirus merupakan penyakit muntaber pada anjing yang mana
virus CPV dapat diekresikan melalui feses, air seni, air liur dan kemungkinan
melalui muntah.

VI. Referensi
Agna. 2009. Toxocariasis pada Kucing. http://dragna.livejournal.com/3275.html.
Diakses pada Oktober 2018.
Kusnoto. 2015. Ilmu Penyakit Helmin Kedokteran Hewan. Sidoarjo: Zifatama
Publisher
Levine N. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta : UGM Press
Sendow, I. 2003. Canine Parvovirus pada Anjing. Jurnal Wartazoa Vol 13 No.2 :
56-64
Subronto. 2006. Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing Dan Kucing.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supali, T. dan Margono, S.S., 2008, Epidemiologi Soil Transmitted Helminths, Di
dalam: Sutanto, I., et al, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Tabor, B. 2011. Canine Parvovirus. Veterinary Technician. Media Animal Health
Vetlearn.com.

Anda mungkin juga menyukai