Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negaranegara Muslim
Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Negaranegara Muslim
Sri Wahyuni
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: nee_cyk@yahoo.com
Abstract
This article discusses about family law reform in the moslems countries. This study shows that the reform methods
are intra-doctrinal and extra-doctrinal reform, regulation and codification. There are three typical of the Islamic
law reform in the moslems countries. They are the countries which use the Islamic law as the traditional fiqh, the
countries which adopted the west law, and the countries which establish the Islamic law that combine the methods
and procedures from the west law. The reform aspects of the Islamic family law in the moslems countries are the
limitation the marriage age, the control to the polygamy, court procedure in the divorce, while in the inheritance
law there is the wasiat wajibah concept.
[Tulisan ini membahas tentang pembaharuan hukum keluarga di negara-negara Muslim. Dari
pembahasan ini diketahui bahwa metode pembaharuan dilakukan dengan metode intra-doctrinal
dan extra-diktrinal reform, regulasi dan kodifikasi. Dari sini, terdapat tiga tipologi negara Muslim
berdasarkan pembaharuan hukum Islam yang dilakukan, yaitu negara Muslim yang menggunakan
hukum Islam sebagaimana dalam (fiqh) tradisional; negara muslim yang mengadopsi hukum Barat;
dan negara Muslim yang menerapkan hukum Islam dengan menggunakan metode dan prosedur
layaknya hukum Barat. Adapun aspek pembaharuan hukum keluarga di negara-negara Muslim di
antaranya adalah pembatasan usia perkawinan, kontrol terhadap poligami, dalam hal perceraian
dari suami dan isteri dengan prosedur pengadilan, dalam bidang waris terdapat wasiat wajibah.]
A. Pendahuluan
Term hukum Islam merupakan terjema- juga dengan term hukum Islam mengalami
han dari kata “al-fiqh al-Islami”, yang dalam ambiguitas antara fiqh, yaitu hukum praktis
literatur Barat disebut dengan “the Islamic Law”, yang diambil dari dalil-dalil tafsili (rinci),4 dan
atau dalam batas-batas yang lebih longgar “the syari>‘ah yaitu peraturan yang diturunkan oleh
Islamic Jurisprudence”. Term yang pertama Allah kepada manusia agar dipedomani dalam
lebih cenderung kepada syari>‘ah,1 sedangkan berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesa-
yang kedua kepada fiqh, 2 namun keduanya manya, dengan lingkungannya, dan dengan
tidak dapat digunakan secara konsisten.3 Begitu kehidupan. 5
1
Islamic Law is an all embrancing body of religious duties, the totality of Allah’s commands that regulate the life of every Moslem
in its aspects. Joseph Schach, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Clarendom Press, 1982), hlm. 1
2
Ketika menyebutkan Islamic Jurisprudence dibahas tentang bagaimana masyarakat muslim membuat administrasi
peradilan yang baru dan senantiasa berkembang dari masa ke masa yaitu masa nabi, Khulafaur rasyidin, Bani Umayah
dan selanjutnya. Ibid., hlm 3.
3
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gema Media, 2001), hlm. 1
4
Abd al Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Usu>l Fiqh, (Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), hlm. 11.
5
Definisi ini menurut Mahmud Syaltut dalam Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar Al-Qalam, 1966), hlm. 12.
Terlepas dari berbagai definisi tersebut di Namun, saat ini terdapat fenomena ‘asimi-
atas, hukum Islam dapat dinyatakan sebagai lasi’ antara hukum Islam dan hukum positif di
devine law (hukum Tuhan) yang mengatur sega- Indonesia. Seperti dilegislasikannya Undang-
la aspek kehidupan manusia, dan tidak memi- undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka-
lah antara moralitas dan hukum6. Di dalamnya winan yang banyak diadopsi dari materi fiqh
terdapat aspek hukum ibadah, yaitu hukum munakahat. Hukum Islam sebagai hukum aga-
yang mengatur hubungan antara manusia dan ma yang dilegislasikan sebagai hukum nasional
Tuhan; dan aspek hukum mu‘amalah yaitu ini, merupakan fenomena yang banyak terjadi
yang mengatur hubungan hukum antara sesa- di negara-negara muslim, yang telah lama
ma manusia dan antara manusia dengan ling- menerapkan sistem hukum barat. Di Indonesia,
kungannya. Di sinilah, salah satu letak perbe- yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
daan hukum Islam yang merupakan devine law, aspirasi untuk menerapkan hukum Islam
dengan hukum positif (legal positivism) yang sebagai hukum nasional sangat kuat, sehingga
hanya mengatur tatanan masyarakat dalam dengan strategi legislasi materi hukum Islam
hubungan antara individu yang satu (sebagai dalam bentuk legal drafting menjadi RUU untuk
subjek hukum) dengan individu yang lain, atau ditetapkan sebagai hukum perundang-unda-
antara individu sebagai warga Negara dengan ngan ini pun terjadi.
pemerintah atau Negara.7 Fenomena ini juga terjadi di berbagai
Hukum Islam sebagai hukum agama bera- negara Muslim. Pasca-kolonial, negara-negara
sal dari wahyu Allah yang dipedomani oleh Muslim mendapatkan kemerdekaan. Mereka
umat Islam. Sementara itu, hukum positif di mayoritas, seperti Mesir, India, Pakistan,
Indonesia yang menganut sistem hukum Ero- Malaysia juga menerapkan hukum warisan
pha Kontinental, banyak mengadopsi hukum Barat kolonial. Namun, kemudian negara-
dari Belanda seperti Kitab Undang-undang negara Muslim tersebut melaksanakan law
Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari WvS reform, dengan membuat hukum Islam dengan
(Wetboek van Strafsrecht), Kitab Undang- birokrasi modern. Islamic law reform ini teruta-
undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang ma dimulai dari wilayah hukum personal dan
berasal dari BW (Burgerlijk Wetboek), dan Kitab hukum keluarga, yaitu bidang hukum perka-
Undang-undang Hukum Dagang (KUH winan dan kewarisan.
Dagang) yang berasal dari WvK (Wetboek van Tulisan ini membahas tentang Islamic Law
Koopandel). Begitu juga pemberlakuan hukum Reform di Negara-negara Muslim, terutama di
atau peraturan perundang-undangan di Indo- bidang hukum keluarga; konsep, metode dan
nesia, menganut sistem regulasi dan legislasi model pembaharuannya serta aspek pembaha-
sebagaimana yang berlaku di Eropha continen- ruan yang dilakukan.
tal. Seperti adanya legislasi peraturan perun-
dang-undangan oleh badan legislatif.
6
Hukum Islam merupakan devine law yaitu hukum yang berasal dari Tuhan, sedangkan hukum positif merupakan
ciptaan manusia dalam masyarakatnya. Perbedaan mendasar antara hukum Islam dan hukum positif adalah bahwa
dalam hukum Islam tidak terpisah antara law and morality, sementara dalam hukum positif, terdapat pemisahan
antara law and morality. Begitu juga sanksi dalam hukum Islam lebih banyak bersifat eskatologis, sedangkan dalam
hukum positif terdapat sanksi yang tegas yang diberlakukan oleh masyarakat atau Negara. Lihat, Sri Wahyuni,
Konsep Hukum Islam, hukum Romawi Jerman, dan Hukum Inggris (sebuah Studi Komparatif), dalam Jurnal Ilmu
Syari‘ah Asy-Syir‘ah, Fakultas Syariah Vol. 40, No. II, Th 2006.
7
Hukum positif hanya mencakup norma hukum yang tidak mencakup kaidah-kaidah hukum lain dalam masyarakat
seperti norma agama, norma susila dan norma sopan santun. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), hlm. 34.
8
JND. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern (Islamic Law in The Modern World), terj. Machnun Husain, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994), hlm 100-101.
9
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: Tripathi, 1972), hlm. 2-3.
10
Ibid., hlm. 3-4.
adalah Turki dan Albania. Code civil diadopsi batas usia seorang laki-laki dan perempuan
di negara ini ditujukan untuk menggantikan untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini
hukum Islam—terutama di Turki setelah jatuh- ditujukan untuk mengurangi dan menghapus-
nya khilafah ‘Us\maniyah. Turki menerapkan kan praktik perkawinan anak-anak. Sehingga,
Code Civil Switzerland, tahun 1926. Begitu juga perkawinan yang belum memenuhi syarat usia
dinegara-negara yang terdapat muslim mino- tersebut, dianggap tidak sah oleh hukum
ritas, seperti di Tanzania yang terdapat muslim Negara; bahkan di Negara tertentu diberikan
minoritas di Zanzibar dan di Kenya. Mereka sanksi pidana untuk perkawinan anak di
menerapkan hukum keluarga Barat modern.11 bawah umur.
Kelompok ketiga, yaitu negara-negara Di Turki ditetapkan usia perkawinan
yang telah mereformasi hukum keluarga Islam untuk laki-laki 17 tahun dan perempuan 15
dengan proses legislasi modern; seperti Cyprus tahun, dalam Code Civil 1926; di Lebanon, laki-
yang melegislasikan dan mengkodifikasikan laki 18 tahun dan perempuan 15 tahun; di
hukum perkawinan dan perceraian Islam pada Mesir laki-laki 18 tahun dan perempuan 16
tahun 1951. Di lima negara Asia Selatan dan tahun; di Jordania laki-laki 18 tahun dan pe-
Tenggara, hukum keluarga Islam juga telah rempuan 17 tahun; di Syiria laki-laki 18 tahun
direformasi dengan proses legilasi hukum dan perempuan 17 tahun; di Irak laki-laki dan
modern; yaitu di Brunei, Malaysia, dan Indone- perempuan 18 tahun; di Iran laki-laki 18 tahun
sia yang memiliki muslim mayoritas; dan dan perempuan 15 tahun; di India laki-laki 18
Singapura dan Ceylon yang memiliki muslim tahun dan perempuan 14 tahun; di Pakistan
minoritas. Negara lainnya yaitu Libanon, Jor- laki-laki 18 tahun dan perempuan 16 tahun.
dania, Algeria, Iran, telah mereformasi hukum Di beberapa negara Muslim perwalian
keluarga Islam baik dari segi materi maupun bagi perempuan dalam perkawinan sangat
pada aspek regulatori, dengan mengadopsi ditekankan. Adanya perwalian ini ditujukan
system hukum modern.12 untuk melindungi kepentingan si perempuan;
namun jika wali berbuat tidak adil dan tidak
D. Arah umum Kebijakan Pembaharuan baik maka pengadilan dapat mengambil alih-
Secara umum, pembaharuan hukum nya.
keluarga Islam di negara-negara Muslim,
2. Kontrol terhadap Poligami
berkaitan dengan berbagai hal untuk perbaikan
Poligami merupakan suatu yang diper-
dan kemajuannya; diantara pembaharuan
bolehkan dalam wacana fiqh, dan dibatasi hing-
tersebut adalah dalam bidang:13
ga empat orang isteri. Namun, masalah poliga-
1. Usia Perkawinan dan Perwalian mi ini menjadi polemic di kalangan para pemi-
Dalam fiqh batas usia perkawinan tidak kir muslim kontemporer. Ada pendapat yang
ditentukan dengan angka umur pasti. Para mengatakan bahwa poligami bukanlah meru-
ulama hanya menyebutkan akil baligh; adapun pakan aturan, melainkan merupakan bentuk
baligh sendiri bagi perempuan ketika sudah pengecualian, yaitu untuk menghindari per-
mengalami haid, dan bagi laki-laki adalah yang buatan yang keji. Oleh karena itu, dalam hu-
sudah mengalami mimpi basah. Akan tetapi, kum keluarga di negara-negara Muslim, poli-
beberapa negara muslim telah menetapkan gami cenderung dikontrol oleh hukum negara.
11
Ibid., hlm. 5-6.
12
Ibid., hlm. 7.
13
Disarikan dari Tahir Mahmood, Family Law Reform, hlm. 283-291
Adapun kontrol hukum keluarga Islam poligami, untuk mendapatkan izin dari
tehadap poligami ini dapat berupa: Pertama, pengadilan.
Menegakkan persyaratan yang telah ditetap- Keempat, Kontrol sosial. Di beberapa
kan dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an disya- Negara seperti di Indonesia dan Pakistan,
ratkan berlaku adil terhadap para isteri yang menetapkan syarat-syarat tertentu bagi suami
dipoligami. Begitu juga di beberapa Negara yang akan melakukan poligami. Misalnya
muslim yang memperbolehkan poligami, adanya izin dari isteri pertama di pengadilan.
disyaratkan bagi laki-laki harus dapat berlaku Kelima, Pelarangan Poligami. Di Turki
adil terhadap isteri-isterinya. Dalam hukum dalam Code Civil tahun 1926, melarang
keluarga di Libanon, poligami dibatasi hingga perkawinan kedua dan seterusnya. Sehingga
maksimal empat orang isteri dan harus dapat seorang laki-laki yang telah beristeri sah, maka
berbuat adil terhadap isteri-isterinya; dalam perkawinannya yang kedua tidak dianggap sah
hukum keluarga Maroko tahun 1954, menya- secara hukum.
takan bahwa para isteri yang dipoligami harus Keenam, Pemberian sanksi pidana terha-
mendapatkan perlakuan yang sama dari dap pelaku poligami. Beberapa negara Muslim
suami, dan jika ada kekhawatiran tidak dapat menetapkan adanya sanksi pidana bagi suami
berlaku adil, maka poligami tidak diperboleh- yang melakukan poligami atau perkawinan
kan. Di India dan Pakistan, dengan UU Perka- kedua. Misalnya di Tunisia dalam kodifikasi
winan tahun 1939, kegagalan laki-laki untuk hukum perdata tahun 1956; di Iran dan Irak,
berlaku adil terhadap isteri-isteri yang dipoli- poligami yang tidak mendapatkan izin dari
gami, dapat menjadi sebab perceraian di pengadilan dikenai sanksi pidana; hukum
pengadilan. keluarga Pakistan tahun 1961 juga menetapkan
Kedua, Membuat kontrak untuk tidak sanksi pidana bagi perkawinan kedua dan
melakukan poligami. Dalam fiqh Hanafiyah, poligami tanpa perizinan sah.
seorang isteri selama masa perkawinannya,
mempunyai hak untuk menolak suaminya 3. Perceraian dari suami
untuk menikah lagi dengan perempuan lain Perkawinan merupakan “mis\a > q an
atau menolak dipoligami. Dalam Hukum gali>z}an” ikatan yang sangat kuat antara pasa-
Keluarga Utsmani tahun 1917, jika seorang ngan suami dan isteri. Oleh karena itu, hukum
isteri membuat perjanjian untuk menolak keluarga di beberapa negara Muslim, cende-
terhadap perkawinan kedua suaminya, selama rung membatasi kehendak suami untuk memu-
masih dalam masa perkawinan dengan isteri tuskan perkawinan. Jika di masa pembentukan
tersebut, maka jika suami melakukan perka- hukum Islam sebagaimana yang diwacanakan
winan keduanya, otomatis terjadi perceraian. dalam fiqh, seorang suami berhak menjatuh-
Peraturan yang sama juga terdapat di hukum kan talak kepada isterinya; dan ketika suami
keluarga Jordania tahun 1951, juga dalam mengucap talak maka, telah jatuh talak, dan
kodifikasi hukum perdata Maroko tahun 1958. perkawinan menjadi putus; maka hukum
Ketiga, Kontrol dari hukum dan penga- keluarga Islam saat ini cenderung untuk mem-
dilan. Beberapa negara Muslim mensyaratkan batasi hak talak bagi suami tersebut. Beberapa
bagi laki-laki yang hendak berpoligami, harus upaya pembatas tersebut di antaranya adalah:
mendapatkan izin dari pengadilan. Hal ini Pertama, Intervensi pengadilan. Di bebe-
terdapat dalam hukum keluarga di Syiria, Iran, rapa negara Muslim seperti Turki, Tunisia,
Irak, Singapura dan Serawak Malaysia. Aljazair, Irak, dan Iran, seorang suami yang
Negara-negara tersebut mensyaratkan kemam- ingin menceraikan isterinya, harus mendaf-
puan finasial suami yang hendak melakukan tarkan perkaranya ke Pengadilan, begitu juga
suaminya melakukan perkawinan kedua atau bidang hukum kewarisan Islam adalah pem-
berpoligami tanpa persetujuan isterinya, maka berian hak waris kepada cucu jika orang tuanya
sang isteri dapat mengajukan perceraian ke penga- telah meninggal dunia. Dalam konsep hukum
dilan; begitu juga di India dan di Pakistan. waris Islam klasik, cucu sepenuhnya tidak
mendapatkan hak waris, karena kedudu-
5. Status hukum anak kannya yang lebih jauh. Namun, beberapa
Anak yang sah adalah anak yang lahir negara Muslim telah memberikan hak waris
dalam perkawinan yang sah. Namun, dalam kepada cucu jika orang tuanya yang seharus-
fiqh terdapat konsep tentang masa ‘iddah, yaitu nya menjadi ahli waris telah meninggal dunia.
masa menunggu setelah perceraian. Hal ini Hal ini dikenal dengan konsep wasiat wajibah.
penting untuk mengetahui apakah isteri ketika Di antara negara yang mengatur wasiat
dicerai dan setelah cerai, dalam keadaan wajibah bagi cucu ini adalah Mesir, Syiria,
mengandung atau tidak. Jika setelah cerai, Tunisia, dan Maroko, begitu juga di Pakistan.
dalam masa ‘iddah si isteri mengandung, maka Kedua, Pasangan yang masih hidup.
berarti anak tersebut masih anak dari suami Dalam hukum kewarisan Islam tradisional,
yang telah menceraikannya. pasangan yang masih hidup hanya menda-
Di beberapa negara Muslim, hukum patkan bagian sesuai dengan yang ditentukan
keluarga mengatur tentang masa iddah, hak dalam al-Qur’an (furud}ul muqaddarah). Dalam
nafkah dan hak waris bagi isteri serta status kasus jika ahli waris yang ada hanya pasangan
anak dalam masa ini. Di negara Mesir ditetap- yang masih hidup, maka sisa harta warisan
kan masa ‘iddah tidak lebih dari satu tahun, dikembalikan ke baitul mal atau negara. Ada-
begitu juga di negara Sudan. Di India dan pun pasangan, hanya mendapatkan bagiannya
Pakistan juga diatur tentang hal tersebut, bah- sesuai dengaan furud}ul muqaddarah-nya, yaitu
wa seorang anak yang dilahirkan dalam masa suami setengah dan isteri seperempat dari harta
‘iddah, dan ibunya belum menikah dengan warisan.
orang lain, anak tersebut masih mendapatkan Di negara-negara muslim saat ini dalam
status anak sah dari perkawinan sebelumnya. hukum kewarisan Islamnya, memberikan
Sementara itu dalam kaitannya dengan seluruh harta warisan kepada pasangan yang
hukum kewarisan, dikenal adanya pewarisan masih hidup, dalam kasus jika hanya dia satu-
secara intestate dan pewarisan secara testa- satunya ahli waris yang ada. Di Mesir, Sudan,
ment. Yang pertama, pewarisan karena golo- Syiria dan Tunisia, India dan Pakistan hal
ngan darah, hubungan perkawinan dan keke- tersebut telah berlaku.
rabatan; sedangkan yang kedua, pewarisan Ketiga, Wasiat bagi ahli waris. Dalam
karena adanya wasiat. Di antara negara-nega- hukum kewarisan Islam klasik, wasiat tidak
ra Muslim hanya terdapat beberapa negara boleh diperuntukkan bagi ahli waris. Namun
yang membuat undang-undang tentang di beberapa negara muslim, wasiat boleh
hukum kewarisannya secara komprehensif, yai- diberikan kepada ahli waris. Seperti di Mesir
tu negara Mesir, Syiria, Tunisia, dan Maroko. dan Sudan, begitu juga di Irak.
Adapun negara Sudan, Irak dan Pakistan mela-
kukan pembaharuan hukum kewarisannya
E. Penutup
dari konsep hukum kewarisan Islam klasik.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan
Adapun pembaharuan dalam ranah
bahwa pembaharuan hukum keluarga di
hukum kewarisan di antaranya adalah:
negara-negara Muslim dilakukan dengan
Pertama, Cucu diberi hak waris dengan
metode intra-doctrinal dan extra-diktrinal reform,
wasiat wajibah. Diantara pembaharuan dalam
regulasi dan kodifikasi. Terdapat tiga tipologi
negara Muslim berdasarkan pembaharuan Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra
hukum Islam yang dilakukan, yaitu negara Aditya Bakti, 1996.
Muslim yang menggunakan hukum Islam Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin
sebagainama dalam (fiqh) tradisional; negara Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000.
Muslim yang mengadopsi hukum Barat; dan
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di
negara Muslim yang menerapkan hukum Islam
Indonesia, Yogyakarta: Gema Media, 2001.
dengan menggunakan metode dan prosedur
layaknya hukum Barat. Schach, Joseph, An Introduction to Islamic Law,
Adapun aspek pembaharuan hukum Oxford: Clarendom Press, 1982 .
Islam di Negara-negara muslim terutama Syaltut, Mahmud dalam al-Islam Aqidah wa
dalam bidang hukum keluarga diantaranya Syari>‘ah, Kairo: Dar Al-Qalam, 1966.
adalah pembatasan usia perkawinan, kontrol Tim Penyusun Pusat Bahasa Departemen
terhadap poligami, dalam hal perceraian dari Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
suami dan isteri dengan prosedur pengadilan, Indonesia, (Jakarta: Departemen
dalam bidang kewarisan terdapat wasiat Pendidikan, 2008), hlm. 729.
wajibah dan sebagainya.
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender
Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
DAFTAR PUSTAKA 2001.
Anderson, JND., Hukum Islam di Dunia Modern ______, Hukum Keluarga Kontemporer di
(Islamic Law in The Modern World), alih Negara-negara Muslim, makalah
bahasa Machnun Husain, Yogyakarta: disampaikan dalam Seminar Nasional
Tiara Wacana, 1994. Hukum Materiil Peradilan Agama, antara
Khalaf, Abd al Wahhab, ‘Ilmu Usu>l Fiqh, Kairo: Cita, Realita, dan Harapan, di Hotel Red
Dar Al-Qalam, 1978. Top, Jakarta, 19 Pebruari 2010.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Muslim World, Bombay: Tripathi, 1972. Perkawinan
Nasution, Khoiruddin, Pengantar dan Pemikiran Wahyuni, Sri, “Konsep Hukum Islam, hukum
Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, Romawi Jerman, dan Hukum Inggris
Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2007. (Sebuah Studi Komparatif)”, dalam Jurnal
Ilmu Syari‘ah Asy-Syir‘ah, Fakultas Syariah
______, Metode Pembaruan Hukum Keluarga
Vol. 40, No. II, Th 2006.
Islam Kontemporer, dalam Jurnal UNISIA,
Vol. XXX No. 66 Desember 2007, hlm. 329. Yasid, Abu, Islam Akomudatif; Rekonstruksi
Pemahaman Islam sebagai Agama Universal,
Nugroho, Riant, Gender dan Strategi Pengarus-
Yogyakarta: LkiS, 2004.
utamaannya di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008. Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Isla > m i wa
Adillatuhu, cet. ke-2, Juz, (Damaskus: Da>r
Partanto, Pius A. dan al-Barry , M. Dahlan,
al-Fikr, 1985)
Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
tt.
Qarut, Nur Hasan, Mauqiful Isla>m min Nusyu>z
az-Zaujain aw Ah}adihima wa ma Yattabi‘u
Z\alika min Ah } k a > m , Makkah al-
Mukarramah: Jami’ah Ummul Qura, 1995.