Anda di halaman 1dari 15

TUGAS INDIVIDUAL DISKUSI KELOMPOK 1

BLOK 14

MAKSILOFASIAL I
LAPORAN PEMICU III

“Keluar air campur darah dari hidung”

DISUSUN OLEH :

Indah Nurhaliza

NIM 190600007

FASILITATOR

Isnandar, drg., Sp.BM (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat-Nya
saya mampu menyelesaikan laporan Pemicu 3 Blok 14 yang berjudul “Keluar air campur
darah dari hidung”. Saya harap laporan ini dapat memenuhi standar kriteria dan learning issue
dari laporan Pemicu 3 Blok 14. Namun, adapun laporan ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, saya juga mengharapkan kritik maupun saran dari fasilitator guna perbaikan
dan peningkatan kualitas laporan selanjutnya di masa mendatang.
Dalam penyusunan laporan ini, saya mencari dari berbagai sumber referensi yang
diakui dan berdasar (memenuhi evidence based). Saya berterima kasih kepada dosen yang
telah memberi pengajaran melalui mata kuliah dan fasilitator yang bersedia memeriksa
jawaban saya.

Medan, 10 Mei 2021


Penyusun,

Indah Nurhaliza
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Oroantral communication (OAC) adalah suatu keadaan patologis terjadinya
hubungan antara rongga hidung/antrum dengan rongga mulut. Keadaan ini merupakan
komplikasi pasca pencabutan gigi posterior rahang atas yang insidennya berkisar
0,31%-3,8% dan sering menyebabkan ketidaknyamanan karena dapat menjadi
masalah sistemik yang lebih serius.
Tindakan pencabutan gigi merupakan bread and butter bagi seorang dokter
gigi seperti halnya penambalan gigi. Pasien biasanya mengeluhkan gigi yang rusak
dan ingin dicabut saja. Dokter gigi yang bijak, seyogyanya membuat perencanaan
yang tepat meliputi pembuatan foto ronsen saat akan melakukan pencabutan gigi di
regio posterior rahang atas.
Menurut kepustakaan, akar gigi molar pertama dan kedua rahang atas
memiliki kemungkinan paling tinggi terhadap hubungannya dengan sinus maksilaris.
Komunikasi oroantral yang berdiameter < 2 mm dapat sembuh secara spontan,
sedangkan yang berdiameter > 6 mm segera memerlukan tindakan operasi. Jika tidak,
maka kemungkinan terjadinya fistula oroantral (FOA) sangat tinggi.
Pentingnya informed consent sebelum melakukan tindakan pencabutan gigi
posterior rahang atas harus dipahami oleh dokter gigi, mengingat tingginya resiko
terjadinya OAC pasca pencabutan gigi. Kemampuan identifikasi dan pencegahan
terhadap terjadinya OAC sangat diharapkan dimiliki oleh seorang dokter gigi,
sekaligus dapat melakukan tata laksana sederhana untuk menghindari komplikasi
lebih lanjut.

1.2. Deskripsi Topik

Nama Pemicu : Keluar air campur darah dari hidung


Narasumber : Isnandar, drg., Sp.BM (K)., Indra Basar, drg,M.Kes, drg. Cek
Dara Manja.,Sp.RKG.
Hari/Tanggal : Selasa/ 11 Mei 2021
Jam : 07.30-09.30 WIB
Skenario :
Seorang laki-laki berusia 40 tahun, datang berobat ke RSGM USU dengan
keluhan gigi geraham pertama kanan atas berlubang. Vital sign dalam batas normal.
Anamnesis gigi sudah lama berlubang dan sering sakit hilang timbul. Pada
pemeriksaan klinis ditemukan karies sudah mencapai pulpa, tes vitalitas (-), perkusi (-
). Pasien ingin giginya dicabut. Saat dilakukan pencabutan terjadi fraktur pada akar
palatal, dilakukan pengambilan akar dengan waktu yang lama dan sulit. Ketika selesai
dilakuan pencabutan banyak darah keluar dari soket, pasien juga mengeluhkan keluar
air bercampur darah dari hidung setelah berkumur.

1.3. Pertanyaan
1. Pemeriksaan apa yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa kasus tersebut?
2. Jelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penangan kasus diatas tersebut!
3. Jelaskan informed consent yang harus di lakukan pada pasien tersebut?
4. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan berikut interpretasinya.
5. Jelaskan alat dan bahan yang digunakan pada pasien tersebut!
6. Jelaskan bagaimana cara penatalaksanaan kasus diatas?
7. Jelaskan instruksi dan edukasi pada kasus pasien diatas!
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pemeriksaan apa yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa kasus


tersebut?
Sinus maksilaris merupakan salah satu yang berpotensi terkena komplikasi akibat
perforasi sinus maksilaris akibat pencabutan gigi molar. Perforasi sinus maksilaris dapat
menyebabkan terbentuknya oroantral communication yang merupakan komplikasi
iatrogentik. Komplikasi paska ekstraksi gigi posterior rahang atas atau patahnya akar
palatal gigi molar dan destruksi dasar sinus akibat kelainan periapikal merupakan salah
satu etiologi terjadinya oroantral communication. 1
Penentuan diagnosis terjadinya oroantral communication dapat dilakukan dengan cara
menekan hidung pasien dengan mulut terbuka lebar dan menyuruh pasien untuk bernafas,
lalu gunakan penglihatan secara langsung dengan menggunakan kaca mulut untuk melihat
adanya gelembung udara berdarah. Tindakan lain yang dapat dilakukan probing silver
secara hati-hati, nose blowing test yaitu selembar kapas didekatkan pada soket dan pasien
diinstruksikan untuk meniup dari hidung sambil menutup hidung dan membuka mulut.
Akan tampak gerakan pada selembar kapas tadi atau akan tampak busa pada darah di
soket, selama berkumur, cairan akan keluar lewat hidung.1
Setelah terjadi oroantral communication, maka pasien akan merasakan gejala-gejala
subjektif seperti regurgitasi cairan dan hilangnya udara melalui hidung dari mulut,
epistaksis unilateral sebagai akibat keluarnya darah dari sinus melalui hidung lewat
ostium, perubahan pada suara karena adanya perubahan resonansi vokal serta rasa sakit
pada daerah yang terkena.1
Gambar 1. Diagram cara mendiagnosis terjadi OAC.1

2. Jelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dalam penangan kasus diatas tersebut!
Langkah awal dari penentuan rencana perawatan komunikasi oroantral akibat
ekstraksi gigi posterior rahang atas adalah dengan melakukan suatu pemeriksaan atau
observasi klinis. Keberadaan komunikasi oroantral umumnya dapat diketahui melalui
pemeriksaan klinis dengan menggunakan cermin dan lampu yang terang. Metode lain
yang dapat diterapkan yaitu dengan melakukan nose blowing test/Valsalva Test.2
Selain itu, operator juga dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap gigi yang
telah diekstraksi, apakah di permukaan akarnya terdapat fragmen atau patahan dari dasar
sinus maksilaris atau tulang yang ikut terekstraksi. Hal ini juga dapat memberikan
informasi mengenai besarnya komunikasi oroantral yang telah terbentuk. Penggunaan
teknik radiografi sebagai pemeriksaan penunjang juga merupakan langkah penting yang
dapat membantu menentukan diagnosis serta rencana perawatan dari sebuah kasus
komunikasi oroantral.2
Besarnya ukuran lubang komunikasi oroantral menentukan rencana perawatan yang
harus dilakukan. Ketika defek tersebut memiliki ukuran diameter yang kecil (kurang dari
2 mm) dan belum mengalami epitelisasi, maka tindakan bedah tidak diperlukan karena
defek dapat sembuh dengan sendirinya. Defek yang berdiamater sedang (2-6 mm)
memerlukan suatu perawatan segera yaitu prosedur penjahitan jaringan lunak untuk
memastikan terjadinya pembentukan bekuan darah untuk proses penyembuhan yang
maksimal.3
Tujuan utama dari perawatan segera ini adalah untuk menjaga agar proses
pembentukan dan regenerasi dari tulang baru antara rongga mulut dan rongga sinus
berjalan dengan baik, yaitu dengan cara mempertahankan kestabilan dari bekuan darah.
Saat hendak menentukan teknik perawatan bedah yang tepat untuk sebuah komunikasi
oroantral, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, diantaranya ukuran dari lubang
komunikasi oroantral, waktu diagnosis, serta ada tidaknya infeksi. Seleksi dari metode
perawatan ini juga dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas dari jaringan yang tersedia
untuk proses perbaikan. Beberapa metode yang termasuk dalam teknik bedah penutupan
komunikasi oroantral atau fistula oroantral dapat dikelompokkan sebagai berikut:
autogenous soft tissue flaps, autogenous bone grafts, bahan allogenous, xenografts,
penutupan dengan bahan sintetis, dan teknik alternatif lainnya. 2

3. Jelaskan informed consent yang harus di lakukan pada pasien tersebut?

Gambar 2. Lembar persetujuan pasien yang akan menerima prosedur ekstraksi dengan
percapaian tiingkat kesadaran seperti pasca anastesi lokal

Informed consent sebelum tindakan pencabutan gigi posterior rahang atas merupakan
salah satu tindakan yang paling penting, mengingat tingginya risiko terjadinya oroantral
communication paska pencabutan gigi. Apabila dari gambaran radiografi telah diketahui
ukuran sinus maksilaris yang melebar karena usia serta morfologi akar gigi yang
divergen, maka hindari pencabutan gigi secara intraalveolar. Lakukan teknik separasi gigi
terlebih dahulu dan keluarkan bagian-bagian gigi satu per satu sehingga trauma paska
pencabutan gigi dapat diminimalkan.1 Pada kasus seperti skenario ini lebih baik
dilakukan persetujuan secara tertulis. Dengan penjelasan yang lengkap, pasien dapat
menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision)
karena pasien juga berhak menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak
untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion). Memang harus diakui bahwa hak-
hak pasien masih cenderung sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan
kesehatan.
Penjelasan pada proses informed consent setidaknya harus meliputi :
- Diagnosa penyakit (dokter harus menjelaskan keadaan yang abnormal dari tubuh
pasien yang ditemui, sehingga diharapkan pasien mengetahui tentang kondisi
abnormal tersebut, baik diminta maupun tidak),
- Pemeriksaan (pasien berhak untuk menolak atau melanjutkan pemeriksaan serta
mengetahui hasil dan tujuan pemeriksaan agar tidak terjadi kesalah pahaman antara
pasien dan dokternya),
- Terapi (suatu pemulihan kesehatan yang diselenggarakan untuk mengembalikan
status kesehatan, dan fungsi tubuh akibat cacat atau menghilangkan kecacatan yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan ilmu yang dimiliki serta memiliki
kewenangan untuk melakukan pengobatan dan dapat dipertanggungjawabkan),
- Resiko (setiap tindakan medis memiliki resiko yang mungkin terjadi dalam
melakukan pengobatan dan tindakan medis, misal terjadinya alergi),
- Alternatif (harus disampaikan beberapa alternatif dalam proses diagnosis dan terapi,
dimana setiap proses harus dijelaskan apa prosedur, manfaat, kerugian, dan efek yang
mungkin dapat timbul dari pilihan tersebut), serta
- Prognosis (pasien berhak mengetahui tingkat keberhasilan dari suatu tindakan medis,
meskipun kondisi ini tidak bisa dipastikan, namun berdasarkan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh seorang dokter, prediksi tindakan medis yang akan
dijalani oleh seorang pasien harus dijelaskan, komplikasi yang akan terjadi,
ketidaknyamanan, biaya dan resiko dari setiap pilihan, termasuk9tidak mendapatkan
pengobatan atau tindakan).4

4. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan berikut interpretasinya.


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa oroantral
communication adalah dengan radiografi. Adapun radiografi yang dapat memperlihatkan
gambaran sinus maksilaris adalah :5
1) Radiografi periapikal
Radiografi periapikal menggambarkan teknik intraoral yang dirancang untuk
menunjukkan gigi dan jaringan individual di sekitar apeks. Setiap gambar biasanya
menunjukkan dua hingga empat gigi dan memberikan informasi terperinci tentang
gigi dan sekitarnya tulang alveolar. Dinding dasar sinus maksilaris yang terlihat pada
radiografi intraoral khususnya daerah gigi posterior. Pada radiografi periapikal
daerah molar kiri atas dasar sinus normal terlihat di atas gigi molar ,dengan septum
vertical tepat berada di atas molar pertama.Terdapat daerah radiolusen melengkung
membentang pada dasar lantai sinus, ini mewakili saluran yang mengandung saraf
nervus alveolar pada postero superior.5

Gambar 3. Radiografi periapikal gigi molar kiri rahang atas dan hubungannya
dengan sinus maksilaris

2) Radiografi panoramik
Radiografi panoramik memberikan pandangan luas pada rahang, gigi, sinus
maksilaris, fossa hidung, dan TMJ. Fase gigi bercampur, ada tidaknya kelainan gigi,
dan banyak lesi traumatis dan patologis pada tulang, serta radiografi panoramik
adalah jenis radiografi yang menjadi pilihan pemeriksaan awal pasien edentulous.
Karena radiografi ini merupakan teknik ekstraoral dan menggunakan layar yang
mengintensifkan, resolusi gambar lebih kecil daripada radiografi intraoral.5
3) Computed Tomography (CT-scan)
CT-scan memberikan gambaran rongga hidung dan sinus maksilaris yang
terperinci sehingga reaksi penyakit sinus yang timbul dalam sinus maksilaris dapat
terdeteksi. CT-scan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan radiografi
konvensional dan tomografi. Pertama, CT-scan dapat menghilangkan superimposisi
struktur gambar di luar bidang yang diminati. Kedua, resolusi CT-scan memiliki
tingkat kekontrasan yang tinggi, perbedaan antara jaringan yang berbeda dalam
kepadatan fisik kurang dari 1% dapat dibedakan; radiografi konvensional
membutuhkan perbedaan 10% dalam kepadatan fisik untuk membedakan antara
jaringan. Kemudian CT-scan memiliki kemampuan melihat anatomi normal atau
proses patologis secara bersamaan dalam tiga bidang orthogonal.5
4) Magnetic Resonance Imaging (M.R.I)
MRI mempunyai kelebihan dan unggul dalam mengamati jaringan lunak serta
sirkulasi darah dalam sinus maksilaris. Gambaran MRI memiliki keuntungan khusus
sebagai noninvasif, menggunakan radiasi nonionisasi, dan memberikan gambaran
berkualitas tinggi dari resolusi jaringan lunak dalam bidang pencitraan gambaran
radiografi dari bagian manapun.5

5. Jelaskan alat dan bahan yang digunakan pada pasien tersebut!


Salah satu komplikasi ekstraksi gigi gigi posterior rahang atas adalah masuknya gigi
atau segmen akar gigi ke dalam sinus maksilaris. Komplikasi ini cukup jarang terjadi dan
perlu segera dilakukan tindakan terapi untuk mencegah komplikasi lanjutan. Pada kasus
dilakukan pengambilan akar karena terjadi fraktur akar palatal pada saat pencabutan.
Adapun operasi pengambilan fragmen akar gigi di dalam sinus maksilaris kanan tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan metode teknik Lindorf yang dimodifikasi dan
dilakukan dengan dengan anestesi local.6
Teknik Lindorf dilakukan dengan pemotongan fragmen tulang menggunakan bur
khusus sehingga didapatkan bevel pada tepi tulang, sedangkan pada teknik Lindorf yang
dimodifikasi pemotongan fragmen dilakukan dengan osteotom. Pada teknik Lindorf
digunakan teknik balloon untuk menahan fragmen tulang dalam melakukan osteoplasti.
Pada metode teknik Lindorf yang dimodifikasi tidak digunakan balloon dalam melakukan
osteoplasti namun digunakan wire atau benang yang resorbable untuk memfiksasi
fragmen tulang pada tempatnya.6
Pada kasus ini dapat dilakukan teknik Lindorf yang dimodifikasi dengan melakukan
pemotongan fragmen tulang menggunakan bur fissure. Setelah fragmen gigi diambil
maka fragmen tulang tersebut dikembalikan lagi ke posisi semula dengan fiksasi benang
resorbable.6
6. Jelaskan bagaimana cara penatalaksanaan kasus diatas?
A. Kontrol Primer Perdarahan
- Luka harus diinspeksi dengan hati-hati untuk mengetahui adanya arteri perdarahan
tertentu. Jika arteri tersebut ada di jaringan lunak, arteri tersebut harus dikontrol
dengan tekanan langsung atau, jika tekanan gagal, dengan menjepit arteri dengan
hemostat dan mengikatnya dengan jahitan nonresorbable.
- Dokter bedah juga harus memeriksa pendarahan dari tulang. Kadang-kadang
pembuluh darah kecil yang terisolasi berdarah dari foramen tulang. Jika ini terjadi,
foramen dapat dihancurkan dengan ujung hemostat yang tertutup, termasuk
pembuluh darah yang berdarah.
- Soket pengeluaran akan ditutup dengan spons kasa basah yang telah dilipat agar pas
langsung dengan area tempat gigi dicabut.
- Pasien menggigit kasa ini dengan kuat setidaknya selama 30 menit. Dokter bedah
tidak boleh mengeluarkan pasien dari kantor sampai hemostasis tercapai.
- Dokter bedah harus memeriksa soket pencabutan pasien sekitar 30 menit setelah
operasi selesai.
- Pasien harus membuka mulut lebar-lebar, kain kasa harus dilepas, dan area tersebut
harus diperiksa dengan hati-hati apakah ada cairan yang terus mengalir.
- Kontrol awal seharusnya sudah tercapai saat itu. Kain kasa baru kemudian dibasahi,
dilipat, dan ditempatkan pada posisinya, dan pasien diinstruksikan untuk
membiarkannya selama 30 menit lagi.7

B. Kontrol Skunder Pendarahan


- Jika perdarahan namun soket tersebut bukan berasal dari arteri, dokter bedah harus
mengambil tindakan tambahan untuk mencapai hemostasis.
- Bahan pertama yang dapat diberikan yaitu spons gelatin yang dapat diserap
(misalnya Gelfoam). Bahan ini ditempatkan di soket ekstraksi dan ditahan di
tempatnya dengan jahitan angka delapan ditempatkan di atas soket. Spons gelatin
yang dapat diserap membentuk perancah untuk pembentukan gumpalan darah, dan
jahitan membantu menjaga spons pada posisinya selama proses koagulasi. Kasa
kemudian ditempatkan di atas soket dan ditahan dengan tekanan.
- Bahan kedua yang dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan adalah selulosa
regenerasi teroksidasi (misalnya, Surgicel). Bahan ini mendorong koagulasi lebih
baik daripada spons gelatin yang dapat diserap karena dapat dimasukkan ke dalam
soket di bawah tekanan. Spons gelatin menjadi rapuh saat basah dan tidak dapat
dimasukkan ke dalam soket yang mengeluarkan cairan. Ketika selulosa dimasukkan
ke dalam soket, hal itu hampir selalu menyebabkan penyembuhan soket yang
tertunda. Oleh karena itu mengemas soket dengan selulosa disediakan untuk
perdarahan yang lebih persisten.
- Jika terjadi koagulabilitas darah pasien, dapat diberikan sediaan cairan trombin
topikal (dibuat dari trombin rekombinan manusia) yang dijenuhkan ke spons gelatin
dan dimasukkan ke dalam soket gigi. Trombin melewati langkah-langkah dalam
kaskade koagulasi dan membantu mengubah fibrinogen menjadi fibrin secara
enzimatis, yang membentuk gumpalan. Spons dengan trombin topikal diikat dengan
jahitan berbentuk angka delapan. Kasa ditempatkan di atas lokasi ekstraksi dengan
cara biasa.
- Bahan terakhir yang dapat digunakan untuk membantu mengontrol soket perdarahan
adalah kolagen. Kolagen meningkatkan agregasi trombosit dan dengan demikian
membantu mempercepat pembekuan darah. Kolagen saat ini tersedia dalam berbagai
bentuk. Kolagen mikrofibular (misalnya Avitene Davol) tersedia sebagai bahan
fibular yang longgar dan halus tetapi dapat dimasukkan ke dalam soket gigi dan
ditahan dengan penjahitan serta penggunaan kasa dan bahan lainnya.7

Gambar 4. Surgicel (kiri), Gelfoam (kanan).7


Gambar 5. (A) Sumbat kolagen resorbable bikon. (B) Kolagen ditempatkan ke dalam
soket ekstraksi. (C) Kolagen dalam soket ekstraksi. (D) Jahitan digunakan untuk
membantu menahan sumbat kolagen.7

7. Jelaskan instruksi dan edukasi pada kasus pasien diatas!


- Pasien harus diinstruksikan untuk membilas mulut dengan lembut dengan air dingin
- Meletakkan kain kasa lembab dengan ukuran yang sesuai di atas area tersebut dan
menggigitnya dengan kuat.
- Pasien harus duduk dengan tenang selama 30 menit, terus menggigit kain kasa
dengan kuat.
- Jika pendarahan masih berlanjut, pasien harus mengulangi pembilasan dingin dan
menggigit kantong teh basah. Tanin dalam teh sering membantu menghentikan
pendarahan.
- Peringatkan pasien bahwa teh herbal yang tidak mengandung tanin tidak akan efektif.
- Jika tidak satu pun dari teknik ini berhasil, pasien harus kembali ke dokter gigi.7
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Terjadinya oroantral communication segera pasca pencabutan gigi posterior


rahang atas sering dijumpai oleh dokter gigi dalam praktek sehari-hari. Oleh karena
itu seorang dokter gigi harus memiliki pengetahuan tentang anatomi dan morfologi
gigi rahang atas serta sinus maksilaris agar terhindar dari komplikasi yang tidak
diinginkan. Selain itu tidak kalah pentingnya juga pembuatan radiografi periapikal
yang adekuat sebelum pencabutan gigi posterior rahang atas agar mengetahui
besarnya pneumatisasi sinus, morfologi akar gigi sehingga teknik pencabutan gigi
dapat dipertimbangkan apakah dapat secara intra alveolar atau trans alveolar.

Setelah diagnosis OAC ditegakkan, maka penatalaksanaan terhadap OAC


harus segera dilakukan mulai dari yang sederhana yaitu penekanan dengan tampon,
instruksi sinus precaution, jahitan figure of eight di atas soket, hingga pembuatan flap
sehingga soket tertutup rapat. Apabila OAC tidak ditatalaksana dengan baik maka
akan berakibat timbulnya fistula atau terjadi infeksi pada sinus maksilaris.
DAFTAR PUSTAKA

1. Poedjiastuti W. Komunikasi oroantral; etiologi dan penatalaksanaannya. J Gigi 2006;


4(8): 116-9.
2. Hupp J, Tucker M, Ellis E. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery 6th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2013: 382-393.
3. Pedlar J, Frame JW. Oral and Maxillofacial Surgery. USA: Elsevier; 2007: 215-223.
4. Oktarina. Kebijakan Informed Consent Dalam Pelayanan Gigi di Indonesia. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan 2010; 13(1): 6.
5. Stuart C. White, Michael J.Paroah. Oral radiology principles and interpretation. 7th ed.
US: Mosby; 2014: 95, 140-2, 185-7.
6. Setiawan HW. Penggunaan Teknik Lindorf yang Dimodifikasi Untuk Pengambilan
Fragmen Akar Gigi di Dalam Sinus Maksilaris. Dental Journal Makassar 2013; 2(5): 2-3.
7. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery 9 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019 : 119-202.

Anda mungkin juga menyukai