STAMBUK : B40120299
UNIVERSITAS TADULAKO
Korupsi di Indonesia telah mengakar dan membudaya, bahkan sudah sampai pada titik yang tidak
dapat lagi ditolerir. Dalam era ini, korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerinntah dalam bentuk
penyalahgunaan jabatan, telah menimbulkan kerugian yang dialami negara dalam jumlah yang
sudah tidak terhitung lagi dan dapat dipastikan saat ini jumlah tindak pidana korupsi terus
meningkat. Pada umumnya penyalahgunaan di atas dilakukan dalam bentuk penyuapan ( bribery )
maupun penerimaan komisi secara tidak sah (kickbacks) yang dilakukan oleh pemegang “kuasa”
dalam masyarakat, baik pemerintah ( public power ), maupun kuasa ekonomi ( economic power ).1
Problem ini menjadi salah satu pemicu kuat rubuhnya pemerintahan Orde Baru yang kemudian
melangkah masuk ke reformasi. Akibatnya, korupsi bahkan dijadikan budaya pemerintahan, hal ini
semakin mengukuhkan korupsi sebagai budaya oleh pejabat publik baik di tingkat yudikatif,
eksekutif maupun legislatif.2 Dalam konteks pemberantasan korupsi, sebagian anggota legislatif
gagalmemelihara integritas personal dan institusi. Mereka masuk dalam jebakan eksekutif untuk
mendapat kemewahan fasilitas dan finansial. Padahal, menghindari jebakan itu amat sangat penting
agar anggota legislatif mampu menjadi aktor kredibel guna menahan laju korupsi. Kegagalan
menjaga integritas menjadikan penyusunan APBD sebagai wahana membagi-bagi uang rakyat untuk
memperkaya diri sendiri. Kasus korupsi dalam bentuk penyuapan yang terjadi di lembaga peradilan
di Indonesia. Kasus korupsi dalam bentuk penyuapan yang terjadi di lembaga peradilan di Indonesia
paling tinggi diantara negara-negara seperti Ukraina, Venezuela, Kolombia, Mesir, dan Turki. Hal
yang sama dapat dijumpai dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch
tahun 2001 dan survei nasional tentang korupsi Partnershipfor Governance Reform tahun 2002.
Mengenai praktik korupsi yang terjadi di lembaga peradilan, dikenal dengan istilah “judicial
corruption” dan sudah sangat popular di kalangan masyarakat.4 Judicial corruption terjadi karena
tindakan-tindakan yang mengakibatkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum
sepanjang hakim atau aparat penegak hukum lainnya mencari atau menerima berbagai macam
keuntungan berdasarkan penyalahgunaan kekuasannya. Realitas diatas menunjukkan sulitnya
memberantas korupsi jika aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, juga
terlibat dalam perkara korupsi. Inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dan menjadi dasar
pemikiran lahirnya pasal 43 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang menyatakan perlunya dibentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemudian melahirkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah membudaya.Budaya ini
terlihat dari maraknya kasus korupsi yang terjadi dimulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat.
Berdasarkan data statistik, tercatat sampai akhir 2014 sebanyak 325 kepala dan wakil kepala daerah,
76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara yang terjerat kasus
korupsi. Tidak hanya itu, bahkan para penegak hukum dan dunia peradilan juga terlibat kasus
korupsi. KPK itu sendiri adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugansya dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-
Undang KPK) dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap 4 Chaerudin dkk,
Op.cit, hlm. 21 3 upaya pemberantasan korupsi (Pasal 4 Undang-Undang KPK).
Pengertian Korupsi Menurut Para Ahli
Berikut ini adalah definisi korupsi yang diterangkan oleh para ahli
berdasarkan hasil riset dan pengalamannya.
1. Nurdjana (1990)
Pengertian Korupsi Menurut Nurdjana, korupsi berasal dari bahasa Yunani
yaitu “corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang,
dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar
norma-norma agama materiil, mental dan hukum.
3. UU No 24 Tahun 1960
Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun 1960 adalah perbuatan
seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
2. UU No. 20 Tahun 2001
Pengertian Korupsi Menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara
4. Kartono (1983)
Pengertian Korupsi Menurut Kartono adalah tingkat laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
dan atau merugikan kepentingan umum dan negara.
5. Haryatmoko
Pengertian Korupsi Menurut Haryatmoko adalah upaya menggunakan
kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan
informasi, keputusan, pengaruh,uang atau kekayaan demi kepentingan
keuntungan dirinya.
6. Black’s Law Dictionary
Pengertian Korupsi Menurut Black’s Law Dictionary adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan
yang tidak resmi dengan menggunakan hak-hak dari pihak lain, yang
secara salah dalam menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam
memperoleh suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang
berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
7. UU No.31 Tahun 1999
Pengertian Korupsi Menurut UU No.31 Tahun 1999 adalah setiap orang
yang dengan sengaja dengan melawan hukum untuk melakukan perbuatan
dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara.
8. Syeh Hussein Alatas
Pengertian Korupsi Menurut Syeh Hussein Alatas adalah subordinasi
kepentingan umu dibawah kepentingan pribadi yang mencakup
pelanggaran norma, tugas dan kesejahteraan umum, yang diakukan
dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan
dengan akibat yang diderita oleh rakyat.
9. Mubyarto
Pengertian Korupsi Menurut Mubyarto adalah suatu masalah politik lebih
dari pada ekonomi yang menyentuh keabsahan atau legitimasi pemerintah
di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan para pegawa pada
umumnya. Akibat yang akan ditimbulkan dari korupsi ini yakni
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat
provinsi dan kabupaten.
10. Gunnar Myrdal
Pengertian Korupsi Menurut Gunnar Myrdal dalah suatu masalah dalam
pemerintahan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran
membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman
terhadap pelanggar. Tindakan dalam pemberantasan korupsi umumnya
dijadikan pembenar utama terhadap KUP Militer.
12. Robert Klitgaard
Pengertian Korupsi Menurut Robert Klitgaard adalah suatu tingkah laku
yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara,
dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut
diri pribadi atau perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau
dengan melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku
pribadi.
13. S. Hornby
Pengertian Korupsi Menurut S.Hornby adalah suatu pemberian atau
penawaran dan penerimaah hadian berupa suap, serta kebusukan atau
keburukan.
14. Henry Campbell Black
Pengertian Korupsi Menurut Henry Campbell Black adalah suatu perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain.
15. Brooks
Pengertian Korupsi Menurut Brooks adalah sengaja melakukan kesalahan
atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa
keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.
16. Nathaniel H. Left
Pengertian Korupsi Menurut Nathaniel H. Left adalah suatu cara diluar
hukum yang digunakan oleh perseorangan atau golongan-golongan untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan birokrasi.
17. Jose Veloso Abueva
Pengertian Korupsi Menurut Jose Veloso Abueva adalah mempergunakan
kekayaan negara (biasanya uang, barang-barang milik negara atau
kesempatan) untuk memperkaya diri.
18. Juniadi Suwartojo (1997)
Pengertian Korupsi Menurut Juniadi Suwartojo adalah tingkah laku atau
tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku
dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau
kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan
atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan
penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan
uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan
tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehing langsung atau tidak
langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat.
19. Philip
Pengertian Korupsi Menurut Philip adalah tingkah laku dan tindakan
seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal
untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang yang
tertentu yang berkaitan erat dengan pelaku korupsi seperti keluarga
koruptor, karib kerabat koruptor, dan teman koruptor.
20. Jeremy Pope (2002)
Pengertian Korupsi Menurut Jeremy Pope adalah penyalahgunaan
kekuasaan dan kepercayaan untuuk kepentingan pribadi atau perilaku
tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak (keeping disatance).
21. Johston
Pengertian Korupsi Menurut Johnston adalah sebagai tingkah laku yang
menyimpang dari tugas tugas resmi dalam perang sebagai pegawai
pemerintah (yang dipilih ataupun diangkat) karena kekayaan yang
dianggap mliki sendiri (pribadi, keluarga dekat ataupun kelompok sendiri)
atau perolehan status atau melanggar peraturan terhadap pelaksanaan
jenis jenis tertentu dari pengaruh yang dianggap milik sendiri.
22. Anwar (2006:10)
Pengertian Korupsi Menurut Anwar adalah penyalahgunaan amanah untuk
kepentingan pribadi.
23. Mohtar Mas’oed (1994)
Pengertian Korupsi Menurut Mohtar Mas’oed adalah perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak
untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri,
keluarga dekat atau klik.
24. Alfiler (1986)
Pengertian Korupsi Menurut Alfiler yang disebut sebagai korupsi birokrasi
adalah sebagai suatu perilaku yang dirancang yang sesungguhnya
merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang
diharapkan yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan imbalan material
atau penghargaan lainnya.
25. Prof R.Subekti, SH. dan Tjitrosudibio
Pengertian Korupsi Menurut Prof R.Subekti, SH. dan Tjitrosudibio adalah
perbuatan curang tindakan pidana yang dapat membuat rugi keuangan
negara dan perusahaan.
26. Prof. Subekti
Pengertian Korupsi Menurut Prof. Subekti adalah suatu tindakan perdana
yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau
perekenomian negara.
27. Jacob Van Klaveren
Pengertian Korupsi Menurut adalah suatu hal apabila seorang abdi negara
(pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya
sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaanya diusahakan
pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
28. Huntington (1968)
Pengertian Korupsi Menurut Huntington adalah perilaku pejabat publik
yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan
pribadi.
Secara sederhana, menurut Buku Pendidikan Anti Korupsi Perguruan Tinggi yang
diterbitkan oleh Kemendikbud RI, penyebab korupsi dapat dibagi menjadi dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab
korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab
terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.
Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran,
rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek
sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
Faktor eksternal bisa ditinjau dari aspek ekonomi seperti pendapatan atau gaji yang
tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan
politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi
yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparansi, aspek hukum, terlihat dalam
buruknya wujud perundangundangan dan lemahnya penegakkan hukum serta aspek
sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti
korupsi.
1. Faktor Politik
Politik adalah salah satu penyebab korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi
instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika
meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan, politik
uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terkait dengan hal itu, Terrence
Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik) sebagai
use of money and material benefits in the pursuit of political influence.
Korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang
suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstelasi politik. Korupsi politik
misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun
pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembia-yaan kampanye, penyelesaian
konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang.
2. Faktor Hukum
Faktor hukum sebagai penyebab korupsi bisa lihat dari dua sisi, yaitu dari sisi aspek
perundang-undangan dan dari sisi lemahnya penegakan hukum. Substansi hukum
yang tidak baik mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak
adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi
dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih
tinggi).
Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat
sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang
berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan
tidak kompatibel dengan kenyataan yang ada.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab korupsi. Hal ini dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Pendapat ini
tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, korupsi seharusnya hanya
dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika
lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang
bertahan hidup. Namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan
berpendidikan tinggi.
Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab
terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi
dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan
mereka dan kroninya.
4. Faktor Organisasi
Organisasi juga merupakan salah satu penyebab korupsi. Organisasi dalam hal ini
adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian
lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana
korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang
atau kesempatan untuk terjadinya korupsi.
Apabila organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk
melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab
terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi:
Upaya pemberantasan korupsi bukanlah hal yang mudah. Meski sudah dilakukan
berbagai upaya untuk memberantas korupsi, masih ada beberapa hambatan dalam
pelaksanaannya. Operasi tangkap tangan (OTT) sudah sering dilakukan oleh KPK,
tuntutan dan putusan yang dijatuhkan oleh penegak hukum juga sudah cukup keras,
namun korupsi masih tetap saja dilakukan. Hambatan dalam pemberantasan korupsi
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Hambatan Struktural
Yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
b. Hambatan Kultural
Yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di
masyarakat.
c. Hambatan Instrumental
Yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk
peraturan perundangundangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
d. Hambatan Manajemen
Yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-
prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil,
transparan dan akuntabel) yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu program utama pemerintah Indonesia saat ini.
Terpuruknya citra Indonesia di dunia internasional, keluhan sektor bisnis tentang bermacam
praktek korupsi dan pungutan serta desakan dari masyarakat untuk mengatasi masalah
korupsi memaksa pemerintah menempatkan pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama.
Apalagi beberapa pemerintahan sebelumnya dianggap gagal memberantas korupsi.
Memberantas korupsi juga bukan hal yang mudah di Indonesia. Terutama karena korupsi
telah menyebar, mengakar dan dipraktekkan secara sistemik di seluruh aspek kehidupan di
Indonesia. Terlebih lagi korupsi juga menjangkiti lembaga peradilan sehingga seringkali
lembaga peradilan tidak mampu menegakkan hukum dalam kasus korupsi. Selain itu, setiap
upaya pemberantasan korupsi juga akan menghadapi resistensi dari berbagai sektor dan
kelompok kepentingan maupun partai politik. Salah satu strategi yang dilakukan oleh
pemerintahan SBY adalah dengan mendorong penegakan hukum atas kasus korupsi.
Diantaranya dengan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi (Timtas Tipikor).
Melalui Timtas Tipikor yang diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
(Jampidsus), Presiden memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi. Ketua Jampidsus
bahkan diminta melaporkan perkembangan pemberantasan korupsi secara reguler ke
Presiden. Pada saat yang bersamaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk di
penghujung 2003 mulai menunjukkan prestasi. Sejak tahun 2004 hingga 2006, sejumlah
kasus korupsi berhasil dibongkar oleh KPK dan pelakunya berhasil diseret ke pengadilan.
Dalam beberapa kasus, KPK bahkan menjadi perhatian publik karena berhasil mengungkap
kasus-kasus korupsi melalui strategi progresif seperti ketika menangkap basah anggota KPU
yang tengah menyuap auditor BPK. Lebih dari itu, KPK berhasil memenangi seluruh kasus
yang ditanganinya. Tidak ada koruptor yang berhasil bebas dari jerat KPK di pengadilan
tindak pidana korupsi. Keberhasilan ini tak pelak menumbuhkan harapan bagi masyarakat.
Kini seluruh kasus korupsi hampir dipastikan akan dilaporkan oleh masyarakat ke KPK.
Selain itu, di tingkat lokal penegakan hukum juga mulai berjalan. Banyak kasus-kasus
korupsi yang melibatkan elit politik lokal seperti Kepala Daerah dan anggota DPRD, mulai
diusut oleh penegak hukum. Meskipun tidak semuanya berhasil dipenjara, tetapi kasus
korupsi di tingkat lokal melibatkan lebih dari 1000 tersangka. Tak pelak, dalam kurun waktu
2004 – 2006 pemberantasan korupsi, lebih khusus lagi penegakan hukum, menjadi catatan
tersendiri. Terutama karena dalam sejarah tidak ada upaya pemberantasan korupsi dalam
skala besar seperti yang saat ini dilakukan oleh pemerintah. Tetapi bagaimana sebenarnya
penegakan hukum dilakukan? Kasus-kasus korupsi apa yang terjadi di Indonesia? Untuk
melihat secara lebih akurat, ICW melakukan www.antikorupsi.org 2 monitoring melalui
pemberitaan media massa tentang kasus korupsi yang telah terungkap. Sumber monitoring
adalah …… media massa di Indonesia yang memiliki edisi on line. Kecenderungan kasus
korupsi Pada tahun 2004 terungkap 153 kasus korupsi, tahun 2005 terungkap 125 dan tahun
2006 terungkap 166 kasus korupsi. Data yang dipergunakan berdasarkan liputan …… media
massa di Indonesia yang memiliki edisi on-line. Meskipun jumlah kasus yang terungkap di
tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan tahun 2005, tetapi kerugian negara meningkat cukup
besar. Dari 161 kasus korupsi yang terjadi di tahun 2006, kerugian negara mencapai Rp. 14,4
triliun, lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2004. Berdasarkan fakta ini dapat
disimpulkan, kuantitas kasus korupsi tidak bertambah banyak, justru kualitas kasus korupsi
atau tingkat kerugian negara meningkat dalam jumlah cukup besar.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
sebagai lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hukum ketatanegaraan adalah sebagai komisi negara
(state auxialiary organ) yang dibentuk menurut undang-undang. Keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum
pemberantasan korupsi di tanah air. Dengan demikian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
merupakan lembaga pemberantas tindak pidana korupsi yang cukup kuat, bukan berada di
luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem
ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika dibandingkan dengan 81 kepolisian dan
kejaksaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih perkara dari
kejaksaan bahkan mensupervisi lembaga Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyidikan tindak
pidana korupsi. 2. Kendala yang dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
menjalankan kedudukan dan kewenangannya dilihat dari segi yuridis, teoritis serta
pelaksanaannya yaitu meliputi : a. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbatas dalam menghadapi masalah kasus-kasus
korupsi yang begitu banyak, b. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mempunyai
kewenangan sendiri untuk memilih penyidik, sehingga selama ini Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terkesan terlalu tergantung terhadap kepolisian dan kejaksaan yang akan
mempengaruhi independensi dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) itu sendiri, c. Konflik
yang terjadi antar lembaga. Pertikaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan
Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi III DPR atau saling bantah Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial dan yang terakhir antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan
Anggaran DPR berujung pada tindakan mogok Badan Anggaran, merupakan salah satu
hambatan besar yang tidak seharusnya terjadi, d. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
belum berhasil menindaklanjuti kasus-kasus besar, 82 e. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dianggap momok bagi sebagian lembaga, khususnya lembaga pemerintahan seperti
DPR dan MPR, f. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap tidak bisa menyelesaikan
kasus korupsi sendiri. 3. Upaya yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
mengatasi kendala-kendala yang dihadapi adalah sebagai berikut : a. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) harus segera merealisasikan pengajuan revisi terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) perihal
penambahan kewenangan untuk memilih sendiri penyidik dan penuntut di luar lingkup
kepolisian dan kejaksaan, b. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mampu menjalin
kerjasama dan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya dalam menangani perkara
korupsi. Bila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) eksklusif, maka Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tidak akan mampu menangani kasus yang begitu banyak. Itu dilakukan agar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mampu mendeteksi gejala-gejala korupsi, c. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menunjukkan kinerjanya dan independensinya dalam
pemberantasan korupsi, d. Langkah pembersihan terhadap lembaga legislatif dan lembaga
penegak hukum dari praktik-praktik korupsi, penyalahgunaan 83 wewenang dan
penyimpangan anggaran, sudah semestinya menjadi prioritas yang harus didukung oleh
semua pihak terutama untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam mengatasi hal-hal tersebut, e. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera
menyelesaikan dan menghentikan konflik yang menyebabkan disharmoni dengan lembaga-
lembaga lainnya agar tidak menjadi kontra-produktif di tengah upaya berbagai pihak yang
memimpikan hadirnya negara yang kuat, adil dan menyejahterakan rakyat, f. Tingginya kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa
melaksanakan tugasnya sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus
memaksimalkan pemberantasan korupsi melalui fungsi koordinasi dan supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penegak hukum lainnya, g. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tidak boleh memonopoli penanganan kasus korupsi karena Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memang tidak didisain untuk menangani semua kasus
korupsi. Koordinasi antara lembaga penegak hukum penting dilakukan, fungsi koordinasi dan
supervisi merupakan tugas yang sangat strategis yang diberikan pada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). 84
B. Saran
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diuraikan pada Bab I dan II sebelumnya, ada
beberapa saran yang dapat penulis berikan terkait kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai salah satu lembaga independen, antara lain: 1. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) diharapkan agar tetap optimal memberantas korupsi. Menurut penulis Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus menerapkan metode tebang pilih dalam membekuk
para koruptor. Sebagai lembaga bantu negara yang bersifat independen, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) harus fokus pada empat jalur utama transaksi korupsi antara
lain, grand corruption, bureaucratic corruption, judicial corruption, dan legislative
corruption," a. Grand corruption adalah perilaku politik yang menggunakan kekuasaan untuk
membuat dan melaksanakan kebijakan nasional. Tujuannya untuk kepentingannya sendiri
atau kelompok di atas tanggungan atau biaya rakyat. b. Bureaucratic corruption ialah perilaku
korupsi yang dilakukan para birokrat dalam berhubungan dengan elit politik maupun dengan
public c. Judicial corruption ialah perilaku polisi, jaksa dan hakim yang melakukan jual beli
kasus hukum. 85 d. Legislative corruption ialah transaksi yang mengakibatkan perilaku
pengambilan pilihan (voting behavior) para anggota legislatif. Ini berpihak pada kepentingan-
kepentingan pihak-pihak yang melakukan segala bentuk penyuapan. 2. Penulis berharap DPR
selaku Pembuat Undang-Undang atau yang memegang kekuasaan legislatif perlu membuat
dalam Peraturan Perundang-Undangan adanya mekanisme penataan terhadap lembaga negara
baru yang lebih sistematis lagi sehingga tidak membinggungkan masyarakat pada umumnya.
Kelembagaan State auxialiary organ atau state auxialiary institutions seyogyanya diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Penulis juga
berharap kepada masyarakat serta pemerintah untuk memberikan dukungan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) agar kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dapat
segera diberantas, sehingga tercipta masyarakat yang aman dan tentram. 86
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Adami Chazawi, 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni,
Bandumg. Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945, PT Mizan Pustaka, Bandung.
Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta. Evi
Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta. Faried Ali, 1996, Hukum Tata
Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Fockema
Andreae, 1983, Kamus Hukum Terjemahan Bina Cipta, Bina Cipta, Bandung. Indriyanto
Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta. Jimly Asshiddiqie,
2006, Pengantar Ilmu Tata Negara jilid I, Konstitusi Press, Jakarta. 2007, Hubungan Antar
Lembaga Negara Dalam Perspektif Perubahan UUD 1945, Majalah Hukum Nasional,
Jakarta. 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar
Grafika, Jakarta. 2011, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika,
Jakarta. Jur Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan KORUPSI Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, Jakarta Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Kansil, CST.,Suafif Arifin, FX., et all, 2003, Bersih dan Bebas KKN, PT. Perca, Jakarta.