Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK SOAL A

Marlon Enrico Mikail


1706977525
12 Mei 2020

Jelaskan apa yang anda fahami tentang faham "materialisme" dan bagaimana
dampaknya bagi konsepsi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.
Menurut Oxford English Dictionary, materialisme didefiniskan sebagai a
devotion to material needs and desire, to the neglect of spiritual matters; a way of life
opinion, or tendency based entirely upon material interest. Artinya, materialisme adalah
sistem pemikiran atau pandangan hidup yang meyakini bahwa materi adalah satu-
satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi,
terutama spritualisme. Oleh karenanya, kepemilikan benda-benda materi bagi penganut
paham materialisme merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai kebahagiaan.
Bisa dikatakan orang yang menganut paham materialisme tidak percaya akan hal ghaib
atau metafisik dan juga tidak mempercayai adanya tuhan, menjadikan alat indra sebagai
satu-satunya cara untuk menggapai ilmu.1
Pemikiran mengenai materialisme sebagai sebuah mazhab filsafat sebenarnya
sudah ada sejak zaman Yunani Kuno seiring dengan berkembangnya pemahaman
mengenai hedonisme. Hal ini dapat dilihat ketika materialisme diperkenalkan oleh filsuf
Yunani, yakni Leukippos dan Demokritos (460SM-370SM). Dalam pengertian filsafat,
materialisme merupakan ajaran yang menekankan keunggulan faktor material atas yang
non-material. Materialisme mengalami perkembangan yang sangat pesat bersama
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam astronomi, matematika, dan berbagai bidang
lainnya. Salah satu tokoh penting yang menghidupkan materialisme pada abad ke-17
adalah Thomas Hobbes dimana menurutnya bahwa seluruh alam semesta adalah
kebendaan dan apa saja yang bukan benda sesungguhnya tidak ada. 2 Pemikiran Hobbes
sangat berkontribusi bagi kaum materialis yang pada waktu itu memerangi otoritas
gereja.

1
Mawar Monica Desya dan Sadari, "Fiqih Anti Materialisme", Journal of Islamic Economics, Finance,
and banking 1 (2019), hlm. 169.
2
Etta Linneman, Teologi Kontemporer, Ilmu atau Praduga?, (Malang: Institut Injil Indonesia, 1991),
hlm. 29.
Dalam perkembangan selanjutnya, seorang filsuf Jerman bernama Karl Marx
memberikan pandangan baru terhadap ajaran materialisme, yakni materialisme historis
dan materialisme dialektika. Materialisme historis berpendapat bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh kedudukan materi, bukan pada ide karena ide adalah bagian dari
materi.3 Materialisme historis berusaha menunjukkan, bahwa di balik materi ada
kesadaran yang menggerakkan arah sejarah sehingga materialisme sejarah haruslah
dimaknai sebagai gerak materi yang menyejarah. Jadi, maksud menempatkan kata
"historis" adalah untuk menjelaskan berbagai tingkat perkembangan ekonomi
masyarakat yang terjadi sepanjang zaman. Sedangkan materialisme dialektika,
merupakan ajaran hal ihwal alam semesta secara umum.4 Jika teori Marx mengenai
materialisme diterapkan terhadap masyarakat, maka menurut Marx, ada sebuah
kenyataan bahwa yang menentukan struktur masyarakat dan perkembangannya dalam
sejarah adalah kelas-kelas sosial.5
Sebagai sebuah mazhab dalam filsafat, materialisme sendiri memiliki pengaruh
yang besar bagi konsepsi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara. Hal
tersebut berawal ketika eropa memasuki abad pencerahan (aufklärung) dimana
materialisme mulai menarik perhatian negara-negara Eropa Barat dan lambat laun
penganut paham materialisme semakin banyak. Dalam perkembangan selanjutnya,
paham materialisme menjadi dasar dari praktik-praktik demokrasi di negara barat. Ada
berbagai macam perspektif yang dipahami tokoh barat mengenai demokrasi, yaitu
liberal, komunitarian, dan kritis.6 Meski ada berbagai macam perspektif mengenai
demokrasi, semua perspektif tersebut memiliki dasar pemikiran yang sama, bahwa
demokrasi pada intinya adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Dalam definisi modern, demokrasi adalah sebuah sistem politik dimana
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemeilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan
3
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 45.
4
Irzum Farihah, "Filsafat Materialisme Karl Marx (Epistemologi Dialectical and Historical
Materialism)", Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan 3 (Desember 2015), hlm. 442.
5
Ibid, hlm. 442.
6
Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), hlm. 26.
politik. Dengan demikian, demokrasi berusaha memberikan peluang kepada masyarakat
untuk menyuarakan hati nuraninya sehingga mendapatkan hak dan kewajibannya dalam
menjalani kehidupan di masyarakat. Akan tetapi, ada beberapa kalangan filsuf yang
memberikan kritik terhadap demokrasi. Salah satunya adalah Plato yang memberikan
kritik tajam terhadap demokrasi. Bagi Plato, demokrasi yang memberi tempat yang
terlalu besar bagi kebebasan individu bukanlah bentuk idaman, bahkan ia menempatkan
demokrasi di urutan keempat dari kemerosotan bentuk negara ideal atau dalam urutan
kedua dari bentuk negara yang terpuruk.7 Meskipun demokrasi merupakan sistem
politik yang paling ideal saat ini, tidak dapat disangkal bahwa sistem ini juga memiliki
kekurangan.
Lantas bagaimanakah peran yang dimiliki materialisme dalam sistem
demokrasi? Dari uraian di atas mengenai demokrasi, dapat diketahui bahwa pemegang
kekuasaan dan kedaulatan tertinggi adalah di tangan rakyat. Akan tetapi, tujuan
kekuasaan dalam sistem demokrasi terutama demokrasi barat atau liberal adalah hal-hal
yang bersifat material. Disinilah materialisme memiliki peran terhadap konsepsi
manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara khususnya di negara yang
menganut demokrasi liberal. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang bersifat
duniawi, sekuler, dan egaliter. Demokrasi menawarkan persamaan hak dan perlakuan
yang setara di hadapan hukum bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi. Tujuan
akhirnya diarahkan kepada urusan-urusan manusia yang bersifat materil dalam rangka
menciptakan kehidupan yang baik di dunia ini tanpa kekerasan, bukan di akhirat nanti.
Walaupun memiliki sifat yang duniawi, sekuler, dan egaliter, demokrasi tetap
memiliki keunggulan dibanding sistem politik lain. Hal ini dikemukakan oleh Robert
Dahl yang menurutnya demokrasi adalah suatu cara yang lebih baik untuk memerintah
negara dibandingkan alternatif lain yang bukan demokrasi. Ia menambahkan bahwa
demokrasi paling tidak lebih unggul dalam sepuluh hal, yaitu: menghindari tirani;
menghormati hak-hak asasi manusia; menjamin kebebasan umum; menentukan nasib
sendiri; otonomi moral; perkembangan manusia; menjaga kepentingan pribadi yang
utama; persamaan hak; mencari perdamaian; dan kemakmuran. 8 Tentunya dengan

7
J.H. Rapar, Filsafat Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 91.
8
Didik Sukriono, "Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia", Jurnal Konstitusi 11 (Juni 2009),
hlm. 9-10.
keunggulan-keunggulan tersebut, demokrasi menjadi sebuah tren dalam pemerintahan
di abad ini. Hal ini juga dikomentari oleh Fukuyana dimana menurutnya setelah negara
barat menaklukkan rival ideologisnya, monarki herediter, fasisme, dan komunisme,
dunia telah mencapai suatu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi terutama
demokrasi liberal yang merupakan titik akhir dari evolusi ideologi (the end of history).
Fenomena ini ditandai dengan negara-negara yang dulunya otoriter berubah menjadi
negara yang demokratis dan sekarang sudah jarang sekali ditemukan negara-negara
yang masih otoriter terutama setalah berakhirnya Perang Dunia II.
Menurut suatu penelitan yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun
1949, maka "mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai
nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang
diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh".9 Pada awalnya, ada
gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam segala urusan warga
negaranya baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Dewasa ini dengan
berkembangnya demokrasi, maka urusan pemerintah harus mencakup aspek ekonomi
dan sosial untuk mengatasi kesenjangan, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul
dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Disinilah berkat demokrasi, suatu negara
dapat berubah menjadi suatu negara kesejahteraan (welfare state) atau negara yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat (social service state). Hal ini dapat dilihat
dari negara-negara modern yang mengatur soal-soal pajak, upah, pensiun, pendidikan,
asuransi, pencegahan pengangguran, dan mengatur aspek-aspek sosial dan ekonomi
lainnya dengan sedemikian rupa sehingga tidak diganggu oleh depresi dan krisis
ekonomi.
Meskipun hampir seluruh negara di dunia menerapkan sistem politik demokrasi
dan memang tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi memiliki banyak keunggulan
dibanding sistem lain, banyak kalangan yang menilai bahwa demokrasi kerap
dikaburkan oleh kepentingan-kepentingan yang pragmatis dan materil. Hal ini
dikarenakan ia berangkat dari ajaran materiliasme, tentunya hal ini menimbulkan
ketegangan antara demokrasi dengan agama. Di zaman modern, secara sekilas
hubungan antara agama dan demokrasi terlihat bertentangan dan konfliktual. Kedua
konsep tersebut berbicara mengenai dua aspek yang berbeda tentang manusia. Agama

9
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 50.
adalah sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan yang terkait dengan Yang Ilahi dan
Yang Suci. Dengan demikian, ia lebih bersifat metafisik serta memiliki orientasi dan
tujuan akhir (telos) pada akhirat.10 Sudah jelas bahwa demokrasi yang berangkat dari
ajaran materialisme akan bertentangan dengan agama, seperti yang dijelaskan
sebelumnya, materialisme meyakini satu-satunya keberadaan mutlak adalah keberadaan
materi dan bukan keberadaan spriritual.
Dari pengertian maupun ciri-ciri yang ada mengenai demokrasi dan
materialisme, dapat disimpulkan bahwa paham materialisme sangat bertolak belakang
dengan ajaran agama terutama ajaran agama Islam. Sebagai sebuah sistem politik yang
berangkat dari ajaran materialisme, demokrasi sering dianggap tidak memiliki
kompatibilitas dengan ajaran agama Islam. Sebagai sebuah agama, Islam memiliki
fungsi sebagai tiang kehidupan manusia. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk
memandang segala sesuatu dari materi, karena materi hanyalah kenikmatan dunia
semata. Islam meyakini bahwa ada kehidupan yang abadi dari kehidupan dunia, dan
untuk memperolehnya tidak dapat diukur dengan materi. Sudah jelas hal tersebut sangat
kontras dengan materialisme karena para penganut agama Islam mempercayai akan
rukun iman, yakni mempercayai Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan pencipta alam
semesta serta mengamini segala hal ghaib yang ada dalam ajaran Islam. Sampai hari ini,
demokrasi khususnya varian liberal adalah konsep yang masih terus diperdebatkan
dalam masyarakat Islam.
Akan tetapi, Islam memiliki versinya tersendiri mengenai demokrasi. Jika
demokrasi barat memiliki tujuan yang sifatnya material, maka demokrasi Islam
memiliki tujuan yang sesuai dengan tujuan penciptaan. Di dalam Al-Quran, terdapat
banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai prinsip-prinsip demokrasi. Dalam
ayat-ayat tersebut, Allah SWT mengajarkan manusia untuk mengedepankan
musyawarah dalam segala urusan karena bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi
orang yang melaksanakannya. Dapat dilihat bahwa demokrasi Islam memiliki
persamaan dengan demokrasi barat dimana segala persoalan dikembalikan kepada
kehendak rakyat. Perbedaannya adalah dalam demokrasi Islam meskipun persoalan
dikembalikan kepada kehendak rakyat, ada nilai-nilai yang tidak boleh dilanggar, yaitu

10
Nader Hashemi, Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi dalam
Masyarakat Muslim, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 12.
hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT (hukum syari'ah). Hingga sekarang, perdebatan
masih berlangsung mengenai apakah islam memiliki kompatibilitas dengan demokrasi.
Meskipun demikian, jawaban terhadap kompatibilitas islam dan demokrasi semuanya
tergantung pada definisi agama dan demokrasi yang digunakan.

Referensi:
Buku
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Fachruddin, Fuad. Agama dan Pendidikan Demokrasi. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.
Hashemi, Nadar. Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal: Menuju Teori Demokrasi
dalam Masyarakat Muslim. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Linneman, Etta. Teologi Kontemporer, Ilmu atau Praduga?. Malang: Institut Injil
Indonesia, 1991.
Martono, Nanang. Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern, Posmodern,
dan Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Ramli, AM. Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme
Historis). Yogyakarta: LKiS, 2013.
Rapar, J.H. Filsafat Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Artikel
Aughey, Arthur. "Fukuyama, the End of History and the Irish Question". Irish Studies
in International Affairs 9 (1998). hlm. 85-92.
Desya, Mawar Monica dan Sadari. "Fiqih Anti Materialisme". Journal of Islamic
Economics, Finance, and banking 1 (2019). hlm. 167-186.
Farihah, Irzum. "Filsafat Materialisme Karl Marx (Epistemologi Dialectical and
Historical Materialism)". Fikrah: Jurnal Ilmu Aqudah dan Studi Keagamaan 3
(Desember 2015). hlm. 431-453.
Ichsan, Muhammad. "Demokrasi dan Syura: Perspektif Islam dan Barat". Substantia 16
(April 2014). hlm. 1-12.
Noviati, Cora Elly. "Demokrasi dan Sistem Pemerintahan". Jurnal Konstitusi 10 (Juni
2013). hlm. 333-354.
Sukriono, Didik. "Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia". Jurnal Konstitusi
11 (Juni 2009). hlm. 8-36.

Anda mungkin juga menyukai