Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

FARMAKOLOGI PADA KASUS BEDAH SEPSIS

Disusun Oleh:
Andi Askandar

Pembimbing:
drg. Nurwahida, Sp.BM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL
FKG UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam

jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Penggunaan kriteria

SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap tidak membantu lagi. Kriteria SIRS tidak

menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Disfungsi organ didiagnosis

apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis berat sudah tidak digunakan. Septik syok

didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan metabolik yang terjadi

dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun

2016, target resusitasi EGDT dihilangkan, dan merekomendasikan terapi cairan kristaloid

minimal sebesar 30 ml/ kgBB dalam 3 jam atau kurang.

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (W orld Health Organization) pada tahun

2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif pada negara maju,

dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi 750.000 kasus sepsis di Amerika

Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara berkembang, dimana sebagian besar populasi dunia

bermukim. Kondisi seperti standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi kuman

1
akan meningkatkan angka kejadian sepsis. Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab

2
utama mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis. Pada tahun 2004, WHO menerbitkan

laporan mengenai beban penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi merupakan

1
penyebab tersering dari kematian pada negara berpendapatan rendah. Berdasarkan hasil dari

Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes, penyakit infeksi utama yang ada di Indonesia

3
meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis, hepatitis, diare, malaria. Dimana infeksi saluran

2
4
pernafasan dan tuberkulosis termasuk 5 besar penyebab kematian di Indonesia. Kondisi serupa

juga terjadi di negara Mongolia, dimana penyakit infeksi merupakan 10 penyebab kematian

tertinggi di negara tersebut. Dan pada suatu penelitian yang diadakan pada tahun 2008, angka

kejadian sepsis pada pasien yang masuk ke ICU di RS Mongolia didapatkan dua kali lebih besar

1
dibandingkan dengan angka di negara maju.

BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan pertama kali

dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM). Kemudian pada tahun 1914

Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan “septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan

oleh invasi mikroba ke dalam aliran darah. Walaupun dengan adanya penjelasan tersebut, istilah

seperti “septicaemia:, sepsis, toksemia dan bakteremia sering digunakan saling tumpang tindih. 2

Oleh karena itu dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada tahun 1991, A merican

College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan

suatu consensus mengenai Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis

berat. Sindrom ini merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS

menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok.5

Dan pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care Medicine

mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ failure assessment (SOFA)

score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi organ.

2 hal penting dari aplikasi dari skor SOFA ini adalah:6

1. Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan hubungan antara

kegagalan berbagai organ.

2. Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.

Sepsis adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat

berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik.5 Sepsis berat dan syok septik adalah masalah

kesehatan utama dan menyebabkan kematian terhadap jutaan orang setiap tahunnya. 7 Sepsis

Berat adalah sepsis disertai dengan kondisi disfungsi organ, yang disebabkan karena inflamasi

4
sistemik dan respon prokoagulan terhadap infeksi.8 Syok sepsis dengan hipotensi refrakter

(tekanan darah sistolik <90 mmHg, mean arterial pressure < 65 mmHg, atau penurunan > 40

mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik yang tidak responsif setelah diberikan cairan

kristaloid sebesar 20 sampai 40 mL/kg).9 Kriteria untuk diagnosis sepsis dan sepsis berat pertama

kali dibentuk pada tahun 1991 oleh American College of Chest Physician and Society of Critical

Care Medicine Septik didefinisikan sebagai kondisi Consensus (Tabel 1).5

Tabel 1. Kr iter ia untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Ber at, Syok septik ber dasar kan Konsensus
5
Konfrensi ACCP/SCCM 1991.
Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:
0 0
Temperatur > 38 C atau < 36 C
Laju Nadi > 90x/ menit
SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ uL

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang
Adekuat

Pada pertemuan internasional tahun 2016 Society of Critical Care Medicine (SCCM)

dan European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) mengajukan definisi sepsis yang

baru, dengan istilah Sepsis-3. Pada definisi sepsis terbaru dijelaskan bahwa sepsis merupakan

disfungsi organ yang mengancam nyawa (life-threatening) yang disebabkan oleh disregulasi

respons tubuh terhadap adanya infeksi. Definisi yang baru meninggalkan penggunaan kriteria

systemic inflammatory response system (SIRS) untuk identifikasi adanya sepsis dan

meninggalkan istilah sepsis berat (severe sepsis). 14

5
Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis 14
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan Europian Society of Critical Care Medicine (ESICM)

merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis dengan akronim PIRO

(Predisposition Infection,Response to The Infection Challenge and Organ dysfunction).

Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsesnsus internasional yang

ketiga bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan ICU dan risiko

kematian yang meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure

Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru seperti adanya

peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan penggunaan vasopressor

pada keadaan hipotensi.2

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam

jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Penggunaan kriteria

SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti

6
perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya

inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya).

Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa.

Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya

infeksi.10 Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis

berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari

respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor

SOFA 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk

mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.2

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di

ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat

dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi

disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi. 10 Dan septik syok

didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/ metabolik yang

terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi

septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor

untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L

walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.2

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU,

qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan

berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi

disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.10

10
Tabel 2. Skor SOFA

7
Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi
<200 (26.7) < 100 (13.3)
PaO2/FIO2, ≥400 <400
<300 (40) dengan bantuan dengan bantuan
mmHg(kPa) (53.3) (53.3)
pernafasan Pernafasan

Koagulasi
3
Platelet, x10 / ul ≥ 150 <150 <100 <50 <20

Liver
Bilirubin, mg/ dl <1.2 1.2-1.9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0
(umol/L) (20) (20-32) (33-101) (102-204) (204)

Dopamin 5.1-15 / Dopamin >15 /


MAP MAP Dopamin < 5 /
epinefrin ≤ 0,1 / epinefrin > 0,1 /
Kardiovaskular ≥70 <70 dobutamine
norepinefrin ≤ 0,1 norepinefrin >
MmHg mmHg (ug/kg/min)
(ug/kg/min) 0,1 (ug/kg/min)

Sistem Saraf
Pusat
Glasgow Coma
15 13-14 10-12 9-Jun <6
Score

Ginjal
1,2-1.9
Kreatinin, mg/ dl <1.2 2.0-3.4 (171-
(110- 3.5-4.9 (300-440) >5.0 (440)
(umol/L) (110) 170) 299)

10
Tabel 3. Kr iter ia qSOFA

B. PATOFISIOLOGIS

8
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon

pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh.11 Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular

seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi

miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara

penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia

jaringan sistemik atau syok.12 Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran,

takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan

patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat

dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.13

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan

memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai

dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial.

Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular

dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,

interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam

arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.15 Sitokin proinflamasi seperti tumor

nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan

menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator

penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan

menghambat proses trombosis dan inflamasi.16

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.

Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai

hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini

akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan

9
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global. 16 (Keterangan lebih lanjut dapat

dilihat pada gambar di bawah ini).

Gambar. Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, thrombosis, dan


fibronolisis terhadap infeksi17

Diagram. Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,


thrombosis dan fibrinolisis terhadap infeksi17

10
C. PENANGANAN FARMAKOLOGIS PADA BEDAH SEPSIS

11
1. Resusutasi Cairan Awal

Resusitasi awal sepsis harus dilakukan segera setelah sepsis diketahui. Tujuan dari resusitasi

awal ini antara lain untuk memulihkan volume intravaskular, menentukan sumber infeksi,

memulai terapi antimikroba spektrum luas, dan mengendalikan sumber infeksi. Prinsip

utama resusitasi awal dapat dimulai di setiap area rumah sakit dan tidak boleh ditunda

menunggu masuk ICU. Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat akses intravena

untuk memberikan cairan IV dan antimikroba spektrum luas kepada pasien.

Resusitasi mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan

oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila

diperlukan. Tujuan resusitasi pasien yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama

adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi

oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan

resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai

hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).

Resusitasi dilakukan terhadap pasien dengan sepsis yang menginduksi hipoperfusi jaringan

(hipotensi yang bertahan setelah pemberian cairan awal atau konsentrasi laktat darah

≥4mmol/L). Resusitasi juga bertujuan untuk menormalkan kadar laktat pasien karena

peningkatan kadar laktat menunjukkan adanya hipoperfusi jaringan.18

2. Terapi Anti Mikroba19

Sepsis adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang dipicu oleh infeksi.

Selain ditandai dengan gejala yang berhubungan dengan infeksi, sepsis ditandai dengan

adanya peradangan akut di seluruh tubuh. Karena itu sering dikaitkan dengan demam dan

12
peningkatan sel darah putih (leukositosis) atau penurunan jumlah sel darah putih

(leukopenia). SIRS didefinisikan sebagai dua atau lebih hal berikut :

·    Suhu > 38 ºC atau < 36 ºC

·    Heart Rate (HR) > 90 x/menit

·    Respiratory Rate (RR) > 20x/menit atau PaCO2 < 32mmHg

·    Leukosit < 4000 sel/mm3 atau > 12.000 sel/ mm3 

Febrile neutropenia adalah Kondisi yang ditandai dengan demam dimana jumlah

neutrofil yang  lebih rendah dari normal dalam darah. Neutrofil adalah jenis sel darah putih

yang membantu melawan infeksi. Dimana jumlah neutrofil absolute (ANC) yang kurang

dari 1000 sel/mm3. Memiliki jumlah neutrofil terlalu sedikit meningkatkaan resiko

terjadinya infeksi.

Berdasarkan literatur yang disusun oleh Saman kannangara, MD (2006) dengan judul

“Management of febrile neutropenia” disebutkan bahwa monoterapi dengan cephalosporin

generasi III/ IV atau dengan Carbapenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi pada

pasien dengan febrile neutropenia.

Dari hasil guidelines yang disusun oleh Moyra taylor, dkk (2007) yang berjudul “Guidelines

for the management of neutropenic sepsis”, febrile neutropenia ditangani berdasarkan

keadaan pasien. Bagi pasien yang memiliki resiko tinggi seperti mereka yang sudah rawat

inap ketika demam yang berkembang menjadi neutropenia, pasien yang membutuhkan

perawatan rumah sakit akut untuk masalah selain demam dan neutropenia, pasien dengan

kanker tidak terkendali (misalnya leukemia akut,tumor dan selama terapi antikanker), dalam

keadaan hamil, penyakit HIV, dalam penggunaan antibiotik (dalam waktu 72 jam

13
sebelumnya), nyeri abdomen, mual, muntah, diare, gagal ginjal (clearance kreatinin <

30ml/min) dan gagal hati. Sedangkan pasien yang memiliki resiko yang rendah adalah

mereka yang tidak termasuk dalam kategori resiko tinggi di atas. Jika penggolongannya ragu

maka pasien dianggap memiliki resiko yang tinggi.

Penatalaksanaan pasien yang memiliki resiko yang tinggi adalah dengan monoterapi

penggunaan meropenem sedangkan duoterapinya bisa dengan penggunaan antipseudomonal

penicilin (misalnya Tazocin 4,5 g) ditambah dengan gentamicin (3-5 mg/kg BB) atau

Meropenem ditambah gentamicin. Sedangkan yang memiliki resiko yang rendah terapinya

dengan kombinasi IV Ciprofloxacin dan Co-amoxiclav.

Berdasarkan hasil guidelines yang disusun oleh Rena Chauhan, dkk (2009) yang berjudul

“Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients” membagi

pengobatan sepsis febrile neutropenia berdasarkan status alergi pasien terhadap penicillin.

Pada pasien yang tidak alergi terhadap penisillin bisa diberikan piperasillin /

tazobactam 4,5g IV 3 x sehari. Pada pasien dengan status alergi penisillin yang tidak berat

(sedang) pilihan obat yang digunakan adalah meropenem 1g IV 3 x sehari. Pada kondisi

tertentu kedua status alergi ini bisa dikombinasikan dengan vancomycin 1g IV 2 x sehari

( pada pasien dengan gangguan ginjal dosis di sesuaikan). Sedangkan pada pasien dengan

status alergi penisillin yang berat pilihan obat yang digunakan adalah ciprofloxacin 750mg

PO 2 x sehari atau jika tidak bisa secara oral bisa dengan IV 400mg 2 x sehari yang

dikombinasi dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (>65 th bisa dengan oral 1g vancomicin 1

x sehari). Pada semua status alegi, jika pasien mengalami shok bisa diberikan Gentamisin.

Dilihat dari hasil guidelines yang disusun oleh Gippsland Oncology Nurses Group (2010)

14
yang berjudul “Management of febrile neutropenia in adult” juga membagi terapi sepsis

febrile neutropenia berdasarkan keadaan pasien tetapi berbeda terapi.

Bagi pasien dengan resiko tinggi terapi yang diberikan adalah dengan Ceftazidime

2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari yang dikombinasi dengan

Gentamicin IV 1x sehari. Bila ada sepsis terapi bisa ditambah dengan Vancomycin 1g IV 2

x sehari (modifikasi dosis bagi yang memiliki gangguan ginjal). Jika terjadi kondisi klinis

oropharyngeal kandidiasis atau penggunaan steroid dosis tinggi perlu ditambahkan

Fluconazole 400mg IV atau oral 1 x sehari. Apabila febrile atau demam telah mereda selama

48 jam dengan kultur yang negatif dan tidak ada indikasi klinis dari sepsis maka

penambahan Vancomycin dapat dipertimbangkan. Jika demam masih berlanjut >48 jam

maka yang dipertimbangkan adalah penambahan Fluconazole 400mg IV 1 x sehari.

Sedangkan untuk pasien dengan resiko rendah dapat diterapi dengan Ceftazidime 2g IV 3 x

sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari saja.

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Mical paul, dkk (2005) yang

berjudul “Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia: systemic review and

meta-analysis of randomized controlled trials”diperoleh hasil kesimpulan bahwa

penggunaan cefepim untuk febrile neutropenia harus dipertimbangkan dan hati-hati karena

memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Penggunaan Carbapenem secara empiris

menggunakan sedikit modifikasi tetapi memberikan peningkatan  pada colitis

pseudomembran. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem

merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh G. Behre, dkk (1997) yang berjudul “Meropenem

monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical

15
treatment of febrile neutropenic patients” diperoleh hasil bahwa monoterapi meropenem

sama efektifnya dengan terapi kombinasi dengan ceftazidime dan amikacin  untuk terapi

empiris pada pasien febrile neutropenia.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ronald Feld, dkk (2000) yang berjudul “Meropenem

versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a

randomized, double-blind trial” diperoleh hasil bahwa monoterapi dengan  menggunakan

meropenem merupakan pilihan yang cocok untuk terapi awal empiris antibiotic pada pasien

demam dengan kanker neutropenia.

Dari beberapa hasil penelitian, guidelines maupun literatur yang diperoleh dapat di

simpulkan bahwa:

1.    Pengobatan sepsis febrile neutropenia dapat diatasi dengan menggunakan mono atau

duo terapi antibiotik. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan

meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.

2.    Pengobatan terapi febrile neutropenia pada pasien dengan resiko tinggi bisa dengan

mono terapi meropenem atau duo terapi meropenem /  ceftazidime / ciprofloksasin plus

gentamicin. Sedangkan pada pasien dengan resiko rendah bisa dengan monoterapi antara

ceftazidime atau ciprofloxacin atau dengan duoterapi yaitu kombinasi antara ciprofloxacin

plus co-amoxiclav. Bila ada sepsis maka bisa dikombinasikan dengan Vancomycin.

3.    Pengobatan sepsis febrile neuropenia dapat dibagi berdasarkan status alergi terhadap

penisillin. Pada pasien yang tidak alergi bisa diberikan piperasillin / tazobactam, pada pasien

dengan status alergi yang sedang bisa dengan menggunakan meropenem pada kedua status

ini bisa ditambahkan vancomycin jika dalam keadaan tertentu dibutuhkan, sedangkan pada

status alergi berat pada penisillin bisa diberikan ciprofloxacin plus vancomycin. Pada semua

16
status alergi jika pasien mengalami shok bisa ditambah dengan penggunaan gentamycin.

4.    Pengobatan dengan cara monoterapi lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi

kombinasi misalnya monoterapi dari golongan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan

golongan Carbapenem.

5.    Meropenem adalah alternatif pengobatan monoterapi yang lebih efektif.

     Golongan carbapenem dan golongan cephalosporin generasi III/IV adalah agen yang cocok

digunakan sebagai pengobatan untuk pengobatan sepsis febrile neutropenia. Namun pengobatan

dengan cara monoterapi lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi kombinasi. Misalnya

terapi febrile neutropenia pada pasien dengan resiko tinggi bisa dengan monoterapi meropenem

atau duo terapi yaitu meropenem/ceftazidime/ciprofloksasin dikombinasikan dengan

gentamicin. Sedangkan pada pasien dengan resiko rendah bisa dengan monoterapi

ceftazidime/ciprofloxacin atau dengan duo terapi yaitu kombinasi antara ciprofloxacin plus co-

amoxiclav. Bila ada sepsis maka bisa dikombinasikan dengan Vancomycin.19

3. Terapi Cairan 20

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit bukanlah suatu penyakit, tetapi selalu merupakan

bagian atau penyulit dari proses suatu penyakit, misalnya infeksi, trauma, termasuk trauma dari

operasi, gangguan keseimbangan hormonal atau bahkan, iatrogenik dari suatu terapi medik.

Gangguan keseimbangan pada keadaan atau bersama penyakit :

 Kehilangan cairan meningkat : muntaber/gastroenteritis, kebocoran kapiler pada sindrom

shock dengue, demam tinggi, cairan lambung berlebihan, ileus pada sepsis, peritonitis,

luka bakar.

17
 Masukkan cairan berkurang atau terhenti : mual, muntah, ileus, koma, puasa pasca

bedah, tidak mau atau tidak mampu minum cukup.

 Asupan cairan berlebihan : infus berlebihan, redistribusi cairan interstitial masuk ke

intravaskuler.

 Produksi urin terhenti : gagal ginjal akut, gagal jantung lanjut.

Oleh karena itu, penting sekali bagi dokter, jika menghadapi pasien dengan tanda gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, untuk selalu mencari penyakit penyebab gangguan tersebut.

Kemudian terapi hendaknya dikerjakan serentak, yaitu terapi suportif untuk mengurangi derajat

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit bersama terapi definitif atau kausal untuk

menyembuhkan penyakit dasarnya. Untuk itu, pemahaman yang mendasar tentang metabolisme

garam, air dan elektrolit merupakan bagian penting pada pengelolaan pasien bedah.

Penatalaksanaan cairan dan elektrolit adalah hal yang utama dalam perawatan pasien bedah.

Perubahan – perubahan pada volume cairan dan komposisi elektrolit dapat terjadi secara

preopertif, intraoperatif dan postoperatif sebagai respon terhadap trauma dan sepsis.

Istilah ” resusitasi cairan ” mulai diperkenalkan sebagai istilah untuk terapi cairan dalam jumlah

banyak menimbulkan dan diberikan dalam waktu singkat, guna mengatasi gangguan akut yang

dalam waktu singkat dapat menyebabkan kematian.20

4. Pemberian obat Vasoaktif 21

 Pemilihan obat-obat vasoaktif tergantung pada pengertian mengenai mekanisme kerja dan

keterbatasan penggunaannya. Sebagian besar obat vasoaktif adalah katekolamin yang pengaruhnya

tergantung pada interaksinya dengan reseptor a dan b adrenergik.

18
Efek stimulasi reseptor :

 a1 dan a2  : peningkatan resistensi sistemik (SVR) dan pulmonal

 Reseptor a1 jantung : meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan HR

 b1  : meningkatkan kontraktilitas  (inotropik), HR (kronotropik), dan

konduksi (dromotropik).

  b2  : menyebabkan vasodilatasi perifer dan bronkodilatasi

 Dopamin

Indikasi :         

-  terapi syok kardiogenik

-  terapi syok anafilaktik yang disertai hipotensi berat

-  pasca operasi

Efeknya tergantung dosis yang digunakan.

Dosis   :    2-3 mg/kg/menit, mempunyai efek stimulasi b2.

Dosis   : >3-8 mg/kg/menit, mempunyai efek inotropik b1 yang kuat.

Dosis   : >8    mg/kg/menit, mempunyai efek :

- Meningkatkan efek inotropik b1

- Juga efek stimulasi reseptor a yang dapat meningkatkan systemic vascular resistance, meningkatkan

tekanan darah, meningkatkan filling pressure, meningkatkan konsumsi oksigen miokard, dan

memperburuk fungsi ventrikel kiri; hal ini dapat dicegah dengan pemberian vasodilator seperti

nitroprusid, sehingga cardiac output  dapat meningkat.

Kontra indikasi  :        

- Feokromositoma

-  Takikardi

-  Fibrilasi ventrikel
19
-  Tirotoksikosis

-  Adenoma prostat

-  Penderita dengan hipoksemia dan hipovolemi

          -  Glaukoma sudut sempit      

Efek samping :         

- Denyut jantung ektopik

- Takikardi

- Angina

- Palpitasi

- Vasokonstriksi

- Hipotensi

- Dispneu

- Gangguan gastrointestinal

- Sakit kepala

Dobutamin (Dobutrex®)

Indikasi :

Terapi decompensatio cordis ataupun operasi jantung (terapi inotropik penunjang untuk jangka

pendek).

Dosis : 2-20 mg/kg/menit per infus

Mempunyai efek inotropik melalui stimulasi b1 yang kuat, efek b2 ringan, dan a1 sangat minimal.

Seperti dopamine, dobutamin juga meningkatkan konsumsi oksigen miokard, namun

dobutamin mampu menyeimbangkan dengan cara meningkatkan aliran darah miokard. Dari

beberapa penelitian, dobutamin terbukti lebih baik daripada dopamine.

20
Dobutamin juga mengurangi left ventricle wall stress melalui

penurunan preload dan afterload. Perubahan ini dapat memperbaiki keseimbangan oksigen

miokard, sehingga selanjutnya akan memperbaiki fungsi miokard.

Kontraindikasi dobutamin :    

- stenosis subaorta

- hipertrofi idiopatik

- Hipoksemia yang disertai hipovolemia

Norepinefrin  (Levophed®)

Dosis : 4 mg/4cc dalam 1000 cc dextrose 5% (per infus)

Iindikasi :

- Hipotensi akut seperti pada : feokromositomektomi, simpatektomi, poliomyelitis, anestesi

spinal, infark miokard, septikemi, transfusi darah, reaksi antigen-antibodi

- Terapi tambahan pada cardiac arrest.

Kontra indikasi:

o Hipotensi akibat defisit volume darah, kecuali keadaan emergensi untuk menjaga perfusi arteri

serebral dan koroner sampai cairan terganti

o Trombosis pembuluh darah perifer/mesenterik

o Anestesi halotan dan siklopropan

Perbandingan efek obat-obat vasoaktif

HR SVR PCWP CI MAP Mv O2


Dopamin ¯
Dobutamin ¯ ¯ ¯« «
Norepinefrin
Catatan :

HR = heart rate
SVR = systemic vascular resistance

21
PCWP = pulmonary capillary  wedge pressure
CI = cardiac index
MAP = mean arterial pressure
 = meningkatkan
¯ = menurunkan
« = tidak berubah

5. Kortikosteroid 22

Pada kebanyakan kasus syok sepsis (sekitar 41-63% kasus), terjadi disfungsi dari aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal yang menyebabkan kadar kortisol di darah menjadi rendah.

Keadaan ini dapat memperparah derajat syok dengan cara menurunkan sensitifitas dan respons

kapiler terhadap vasopresor. Terjadinya disfungsi aksis juga bersifat prediktif terhadap kematian

(angka mortalitas pada 28 hari sebesar 75%). Pemberian hidrokortison dapat memperbaiki dan

mengembalikan disfungsi aksis yang terjadi.

Selain itu, pada syok sepsis, kortikosteroid seperti hidrokortison dapat menurunkan inflamasi

yang terjadi melalui beberapa mekanisme, antara lain menurunkan agregrasi trombosit dan

adhesi sel, menaikkan regulasi dari faktor anti-inflamasi seperti fagositosis, kemokinesis dan

proses antioksidatif dan menginduksi monosit spesifik yang bersifat anti-inflamasi.

Kortikosteroid juga dapat memperbaiki fungsi kardiovaskular yang menurun saat terjadinya

syok sepsis. Mekanisme kortikosteroid terhadap fungsi kardiovaskular belum diketahui secara

pasti, namun beberapa teorinya adalah: kortikosteroid menginduksi retensi natrium sehingga

meningkatkan retensi cairan dan memperbaiki hipovolemia yang terjadi, retensi cairan di

pembuluh darah menaikkan resistensi vaskular sistemik dan meningkatan densitas dan perfusi

kapiler. Maka kortikosteroid dosis rendah seperti hidrokortison pada syok sepsis berfungsi

sebagai vasokonstriktor non-katekolamin.

22
Kortikosteroid juga dapat mencegah terjadinya kegagalan organ dan menurunkan derajat

keparahan disfungsi organ dengan cara menurunkan inflamasi pada jaringan, meningkatkan

perbaikan jaringan dan memperbaiki perfusi jaringan.

Rasional Pemberian Kortikosteroid Pada Syok Sepsis

Rasional pemberian kortikosteroid pada syok sepsis berbeda antara kortikosteroid dosis tinggi

dan dosis rendah.

Kortikosteroid Dosis Tinggi

Pemberian kortikosteroid dosis tinggi (misalnya metilprednisolon dengan dosis 30mg/kgBB)

dalam jangka pendek tidak mempunyai efek menguntungkan maupun efek yang merugikan.

Kortikosteroid Dosis Rendah

Yang dimaksud dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah yaitu adalah hidrokortison

sebanyak 200 mg per hari yang dapat diberikan secara bolus (dibagi menjadi 50 mg setiap 6

jam) atau sebagai infus kontinu. Hidrokortison diberikan selama maksimal 7 hari atau hingga

dipulangkan dari ruangan perawatan intensif.

Hasil beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada

angka mortalitas pasien yang mendapatkan terapi hidrokortison dengan pasien yang

mendapatkan plasebo. Penelitian mendapatkan angka mortalitas pada hari ke-90 sebesar 27,9%

pada pasien yang diberikan hidrokortison dibandingkan dengan 28,8% pada pasien yang

diberikan plasebo.

Pemberian hidrokortison pada syok sepsis juga tidak menurunkan angka mortalitas pada hari ke-

28, menurunkan jumlah hari pasien hidup saat terlepas dari ventilasi mekanik, menurunkan

angka terjadinya syok rekuren atau menurunkan jumlah hari pasien hidup setelah keluar dari

ruang perawatan intensif.

23
Walaupun angka terjadinya pemulihan dari syok adalah sama pada kedua kelompok, namun

pada pasien yang diberikan hidrokortison waktu terjadinya pemulihan adalah lebih cepat.

[1,8,10] Namun waktu pemulihan yang lebih cepat ini diasosiasikan dengan terjadinya beberapa

efek samping dari pemberian kortikosteroid.

Pasien yang mendapatkan hidrokortison juga memerlukan transfusi darah yang lebih sedikit

(sebanyak 37% kasus dari pasien yang mendapatkan hidrokortison dan 41,7% pada pasien yang

mendapatkan plasebo). Selain itu pasien yang mendapatkan hidrokortison dapat keluar dari

ruang perawatan intensif lebih cepat (10 hari dibandingkan dengan 12 hari pada kelompok

plasebo).

Kekhawatiran dalam Pemberian Hidrokortison pada Syok Sepsis

Pemberian kortikosteroid pada syok sepsis mempunyai beberapa efek samping, antara lain:

miopati, hiperglikemia, hipertensi, hipernatremia, ensefalopati, pendarahan saluran cerna dan

komplikasi terjadinya infeksi dan super-infeksi. Terjadinya super-infeksi ini dapat menyebabkan

episode sepsis maupun syok sepsis yang baru.

Rekomendasi

 Pemberian kortikosteroid dosis rendah seperti hidrokortison dilakukan pada pasien dengan

derajat syok sepsis berat yang yang tidak responsif terhadap pemberian vasopressor.

 Terapi hidrokortison tidak direkomendasikan pada pasien syok sepsis yang masih responsif

terhadap vasopressor.

 Pemberian kortikosteroid sebaiknya dilakukan dalam 24 jam sejak onset dari syok sepsis.

 Kortikosteroid yang direkomendasikan adalah hormon alami seperti hidrokortison dan

bukan kortikosteroid sintetik.

24
 Dosis hidrokortison yang dianjurkan adalah 200 mg per hari, dapat diberikan secara infus

kontinu atau sebagai bolus dibagi menjadi 50 mg setiap 6 jam. Jika diberikan sebagai infus

kontinu, kadar gula darah pasien akan lebih stabil.

 Tidak perlu melakukan pemeriksaan fungsi adrenal sebelum pemberian hidrokortison: tidak

berguna sebagai pedoman untuk menentukan keuntungan pemberian kortikosteroid pada

suatu pasien dengan syok sepsis

 Hentikan pemberian hidrokortison pada pasien yang tidak responsif terhadap pemberian

hidrokortison, mengingat risiko terjadinya efek samping seperti infeksi, hiperglikemia

dan miopati.

6. Imunoglobulin 23

Pada kasus sepsis yang berat biasanya ditandai kegagalan sistem kekebalan tubuh

dalam kasus infeksi. Dalam kasus ini, literatur menggambarkan beberapa urutan potensial

dari kejadian imunologis pada pasien dengan sepsis: mereka dengan respon proinflamasi

dominan umumnya ditemukan ketika sepsis berkembang pada individu muda yang sehat;

mereka dengan respons antiinflamasi dominan yang umumnya berkembang pada individu

yang tertekan imun; mereka dengan respons pro-inflamasi dan anti-inflamasi yang

umumnya berkembang pada orang sehat di mana sumber infeksi tidak terkontrol secara

memadai; dan mereka yang mulai dengan respons pro dan antiinflamasi yang diikuti

bersamaan dengan gangguan status imunokompetensi, yang merupakan urutan khas dari

kejadian pada kebanyakan pasien. Anti-inflamasi ditandai oleh kegagalan sistem kekebalan

tubuh untuk merespons dengan baik terhadap stimulus bakteri. Pada saat itu, limfopenia

mendominasi, yang sebagian melibatkan limfosit B dan kapasitas selanjutnya untuk

produksi imunoglobulin yang cukup (Gbr. 1).

25
Gambar. 1.

Faktor utama dan peristiwa yang mempengaruhi peran imunoglobulin endogen

dalam sepsis. Tidak adanya / adanya respon memori sebelumnya dari sel B dan IgG

terhadap mikroba yang menginfeksi dapat mempengaruhi pengendalian infeksi. Lebih

lanjut, keberadaan keadaan imunodefisiensi sebelumnya dapat memengaruhi produksi

imunoglobulin dan memengaruhi kadar darahnya. Ketika sepsis sudah terbentuk, tiga isotipe

imunoglobulin utama menunjukkan efek menguntungkan sinergis pada risiko kematian, dan

yang tidak selamat menunjukkan kadar imunoglobulin yang lebih rendah. Distribusi IgM

yang berkelanjutan dari waktu ke waktu menghasilkan hasil yang lebih baik. Efek

menguntungkan dari imunoglobulin endogen termasuk kemungkinan aktivitas antimikroba

dan imunomodulator. Selama sepsis, konsumsi imunoglobulin diyakini terjadi (karena

pembentukan kompleks imun dengan antigen mikroba atau produk oksidasi, atau pengikatan

non-spesifik terhadap reseptor leukosit). Kehadiran depresi kuantitatif dan fungsional dari

imunitas adaptif yang diamati pada sepsis berat (yang lebih akut pada yang tidak selamat)

dapat, pada gilirannya, mempengaruhi produksi antibodi spesifik terhadap mikroba yang

menginfeksi dan menghindari mempertahankan kadar imunoglobulin yang memadai di

sepanjang perjalanan penyakit. APC, sel penyaji antigen; Unit perawatan intensif.

26
Warna merah sesuai dengan yang tidak selamat. (Untuk interpretasi referensi warna

dalam legenda gambar ini, pembaca dirujuk ke versi web artikel ini).

7. Anti koagulan23

Koagulansia merupakan zat atau obat yang dapat menghambat atau menghentikan
pendarahan. Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteraI, berguna
untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya: Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin,
vit K. Obat kelompok ini pada penggunaan lokal menimbulkan hemostasis dengan dua cara, yaitu
dengan mempercepat perubahan protombin menjadi thrombin dan secara langsung mengumpalkan
fibrinogen.
 Aktifaktor protombin, Ekstrak yang mengandung aktifaktor protombin dapat dibuat antara
lain dari jaringan otak  yang diolah secara kering dengan asetat . Salah satu contoh adalah
Russell’s viper venom yang sangat efektif sebagai hemostatik lokal dan dapat digunakan
umpamanya untuk alveolus gigi yang berdarah pada pasien hemofilia; untuk tujuan ini kapas
dibasahi dengan larutan segar 0.1%.
 Trombin, Zat ini tersedia dalam bentuk bubuk atau larutan untuk penggunaan lokal

8. Vertilasi Mekanik24

27
Aplikasi klinik
- Resusitasi jantung paru
- Gagal nafas
- Paska aperasi besar yang
- memerlukan bantuan ventilasi untuk memperbaiki homeeostasis, gangguan
keseimbangan asam b sa serta keadaan anemia
- Sepsis berat dimana ps tidak dapat memenuhi peningkatan work of breathing akibat
tingginya produksi CO2
- Pengendalian kadar CO2 sebagai salah satu bagian dari pengelolaan TTIK (misalnya
akibat cedera kepala).
- Sebagai bantuan ventilasi pada penderita yang diintubasi atas indikasi mempertahankan
jalan nafas.
- Mengurangi beban jantung pada syok kardiogenik

Indikasi Kriteria objektif untuk penggunaan ventilasi mekanik adalah:


- Laju nafas > 35
- Volume tidal < 5ml/kg
- Kapasitas < 15ml/kg
- Oksigenasi: PaO2 < 50mmHg dengan fraksi oksigen 60%
- Ventilasi: PCO2 > 50mmHg

9. Sedasi dan Analgesia25

Sedasi adalah anestesi dimana obat diberikan untuk menenangkan pasien dalam suatu periode

yang dapat membuat pasien cemas, tidak nyaman, atau gelisah. Seringkali diberikan kepada pasien

segera sebelum pembedahan atau selama prosedur medis yang tidak nyaman. Sedasi menggunakan

obat-obatan sedatif.

Kategori sedasi terbagi menjadi:

1. Sedasi ringan / minimal (anxiolysis):

kondisi dimana pasien masih dapat merespons dengan normal terhadap stimulus verbal.

Meskipun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, ventilasi dan fungsi kardiovaskular

tidak terpengaruh

Contoh sedasi minimal adalah:

28
- Blok saraf perifer

- Anestesi lokal atau topikal

- Pemberian satu jenis obat sedatif/ analgetik oral dengan dosis yang sesuai untuk

penanganan insomnia, anxietas, atau nyeri.

2. Sedasi sedang (pasien sadar):

suatu kondisi depresi tingkat kesadaran dimana pasien memberikan respons terhadap

stimulus sentuhan.

- Sedasi sedang merupakan suatu teknik untuk mengurangi kecemasan dan

ketidaknyamanan pasien selama menjalani prosedur medis.

- Tidak diperlukan intervensi untuk mempertahankan patensi jalan nafas, dan ventilasi

spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskular biasanya terjaga dengan baik.

- Selama tindakan sedasi sedang, dokter mengawasi proses pemberian anestesi.

- Pemberian sedasi sedang melalui intravena.

- Pasien akan merasa setengah sadar dan mengantuk, tetapi dapat segera bangun bila

diajak bicara/ disentuh. Pasien mungkin tidak akan mengingat dengan detil tahapan

prosedur yang dilakukan.

- Pasien akan tetap dimonitor sebelum, selama, dan setelah prosedur dilakukan.

- Persiapan pre-sedasi:

a. Nilai apakah pasien secara rutin mengkonsumsi alkohol, obat-obatan anti

depresan/ relaksan otot, atau obat tidur (karena dapat menurunkan efektifitas obat

anestesi)

b. Pasien menggunakan nassal kanule.

c. Pengukuran tanda vital (dicatat dalam rekam medis)

- Penilaian dan pencatatan selama proses anestesi:

29
a. Denyut dan irama jantung.

b. Tekanan darah

c. Saturasi oksigen dalam darah.

- Penilaian setelah prosedur:

a. Pasien diobservasi di ruang pemulihan selama 30 menit, hingga efek anestesi

menghilang.

b. Biasanya tidak ada efek lanjutan/ ikutan setelah pemberian anestesi sedang. Akan

tetapi terdapat kemungkinan terjadinya gangguan dalamkonsentrasi, penilaian

dalam membuat keputusan, reflek/ reaksi, dan ingatan jangka pendek selama 24

jam paska anestesi.

- Pasien tidak diperbolehkan untuk mengemudi sehingga diperlukan orang dewasa

lainnya untuk mendampingi pasien pulang ke rumah.

- Pasien juga disarankan untuk tidak mengoperasikan peralatan yang berbahaya,

membuat keputusan penting, atau menandatangani dokumen resmi apapun dalam 24

jam pasca anestesi.

- Jika pasien tidak didampingi oleh pengantarnya saat tiba di rumah sakit/ klinik untuk

menjalani prosedur, maka pasien tidak akan diberikan sedasi / anestesi sedang.

Pilihannya adalah menjalani prosedur tanpa anestesi atau membatalkan prosedur

tersebut.

3. Sedasi dalam:

suatu kondisi depresi tingkat kesadaran dimana pasien memberikan respon terhadap

stimulus berulang/ nyeri. Fungsi ventilasi spontan dapat terganggu/ tidak adekuat. Pasien

mungkin membutuhkan bantuan untuk mempetahankan potensi jalan nafas. Fungsi

kardiovaskular biasanya terjaga dengan baik.

30
Dasar pemilihan sedasi berdasarkan farmakodinamik dan farmakokinetik

Ada 4 pernyataan mendasar bagi klinis dalam memilih obat sedasi bagi pasien yaitu:

1.   Efek apa yang paling diharapkan dalam penggunaan sedasi?

2.   Seberapa cepat onset kerja sedasinya?

3.   Seberapa lama durasi kerja sedasinya?

4.   Adakah efek samping sedasi yang tidak diharapkan dan kontra indikasi lainnya?

Berikut adalah daftar medikasi sedasi-anestesi yang dapat diberikan ke pasien sesuai kriteria usia:

Antidotum
Dosis Onset dan Reaksi dan
Nama obat Golongan efek
pemakaian durasi efek samping
samping
Midazolam Benzodiazepine Anak: 0,05- Onset Respiratory Flumazenyl
0,1 mg/kgBB anak: <1 and 0,2 mg dan
Dewasa: 50- menit, cardiovascular dapat
100mg/kgBB durasi: 15- depression, diulang 1
Tua>65 tahun: 30 menit ataxia, menit
25- Onset dizziness, kemudian
50mg/kgBB dewasa: 1- hipotensi,
3 menit bradicardia,
Onset blurred vision,
puncak: 5- and
7 menit paradoxical
Durasi agitasi
obat; 20-
30 menit
Lorasepam Benzodiazepine Anak: 0.05 Onset Respiratory Flumazenyl
mg/kgBB anak: 2- and 0,2 mg dan
Dewasa: 0.02- 3menit, cardiovascular dapat
0.05 mg dapat durasi: 1-3 depression, diulang 1
diulang setiap jam ataxia, menit
3-4 menit Onset dizziness, kemudian
hingga max dewasa: 3- hipotensi,
dosis 4mg 7 menit bradicardia,
Tua>65 th: blurred vision,
0.02mg dapat and
diulang tiap 4 Onset paradoxical
31
mnt hingga puncak: agitasi
dosis max 4 10-20
mg menit
Durasi
obat; 6-8
jam
Diazepam Benzodiazepine Anak: 0,1- Onset Respiratory Flumazen
0,15 mg/kgBB anak: <1 and 0,2 mg dan
Dewasa: 5mg menit cardiovascular dapat
dan dapat dengan depression, diulang 1
diulang setiap durasi: 15- ataxia, menit
5 menit 30 menit dizziness, kemudian
hingga max Onset hipotensi,
dosis 20 mg dewasa:1- bradicardia,
Tua>65 th: 2,5 5 menit blurred vision,
mg dan dapat Durasi and
diulang tiap 5 obat; 1-8 paradoxical
mnt hingga jam agitasi
dosis max 10
mg
Fentanyl Opioid narkotik Anak: 0,5-2 Onset Hypotensi, Nalokson
mcg/kgBB anak: 2-3 bradikardia, 0,4 mg dan
Dewasa: 0.5- menit, repirasi dilanjutkan
1mcg/kgBB durasi: 20- depresi, 0,1-0,2 mg
diberikan 30 menit naucea, bila perlu
dalam dosis Onset vomitus, setiap 2-3
25-50 mcg dewasa: 1- konstipasi, menit
hingga max 2 menit billiar spasme sekali
dose of 250 Onset dan skin rash
mcg puncak:
Tua>65 th: 10-15
0,5-1 menit
mcg/kgBB Durasi
diberikan obat; 30-
dalam dosis 60 menit
kecil 25 mcg
hingga max
100 mcg
Meperidine Opioid narkotik Dewasa:20-50 Onset Hypotensi, Nalokson
mg hingga dewasa: 5 bradikardia, 0,4 mg dan
dosis max 150 menit repirasi dilanjutkan
mg Onset depresi, 0,1-0,2 mg
Tua>65 th: 25 puncak: 1 naucea, bila perlu
mg hingga jam vomitus, setiap 2-3
dosis max 75 Durasi konstipasi, menit
mg obat: 2-4 billiar spasme sekali
jam dan skin rash,
32
scizure untuk
beberapa
kondisi pasien
dengan
gangguan
ginjal
Morfin Opioid narkotik Anak: 0.05- Onset Hypotensi, Nalokson
0,2 mg/kgBB anak: 5-10 bradikardia, 0,4 mg dan
Dewasa: 2-4 menit, repirasi dilanjutkan
mg dapat durasi: 3-4 depresi, 0,1-0,2 mg
diulang setiap jam naucea, bila perlu
3-4 menit Onset vomitus, setiap 2-3
hingga max dewasa: 2- konstipasi, menit
dosis 10-20mg 3 menit billiar spasme sekali
Tua>65 th: 1- Onset dan skin rash
2 mg dapat puncak: 20
diulang tiap 5 menit
mnt Durasi
hingga  max obat; 2-3
10mg jam
Propofol Hipnotik gol. Dewasa: 10- Onset 30 Hypotensi,
phenol 20 mg dapat detik heart block,
diulang setiap Durasi asystole,
5 menit obat 10-15 aritmia,
hingga max menit bradikardi,
dosis 100 mg infeksi
jaringan, reaksi
Tua>65 th: 10 alergi untuk
mg dapat pasien dengan
diulang tiap 5 riwayat alergi
mnt telur
hingga  max
50mg
Ketamine Agen arisiklo Dewasa: 0,2- Onset: 1-2 Reaksi depresi
hexylamin 1mg/kgBB menit SSP,
dapat diulang Durasi halusinasi,
hingga max obat 15-30 delirium,
dosis 2 menit hipertensi,
mg/kgBB tachycardia,
Tua>65 th: peningkatan
0,2-0,75 TI, kejang
mg/kgBB tonik klonik,
dapat diulang respirasi
hingga  max 2 depresi
mg/kgBB
Tiopental Barbiturat Dewasa: 50- Onset: 1-2 Hipotensi,
100mg hingga menit myocardial
33
max dosis 3 Durasi depresi,
mg/kgBB obat 10-30respirasi
Tua>65 th: menit depresi dan
25-50 mg SSP, naucea,
hingga  max 2 vomiting,
mg/kgBB diare, kramp,
laryngospasme
Fenobarbital Barbiturat Dewasa: 100 Onset: <1 Hipotensi,
mg dapat menit kardivaskuler
diulang 1-3 Durasi depresi,
menit hingga obat 15 respirasi
max dosis 500 menit depresi,
mg naucea,
Tua>65 th: 50 vomitus,
mg dapat laryngospasme
diulang 1-3
menit
hingga  max
250 mg
NO2 Pelumpuh Dewasa : 25- Onset:2-5 Penggunaan
sistem syaraf 50% NO2 menit dalam jangka
pusat dengan O2 via panjang
nassa mask. mengakibatkan
Tidak supresu sum-
diperbolehkan sum tulang dan
untuk wanita disfungsi
hamil neurologic.
trimester I dan Keterlambatan
II (efek perkembangan
teratogen dan janin dan
abortus) defisiensi
vitamin B12
dan
keterlambatan
perkembangan
neurologis
pada bayi

10. Kontrol Glukosa 26

34
Pengendalian glikemia

Aspek penting dari perawatan kompleks sepsis berat adalah kontrol konstan konsentrasi glukosa

dalam plasma darah dan terapi insulin. Tingkat tinggi glikemia dan kebutuhan akan koreksi

adalah faktor hasil yang tidak menguntungkan pada sepsis. Dengan mempertimbangkan

keadaan di atas, pasien mempertahankan normoglikemia (4,5-6,1 mmol / l), dimana infus

insulin (0,5-1 U / jam) dilakukan dengan peningkatan konsentrasi glukosa di atas nilai yang

diijinkan. Bergantung pada situasi klinis, konsentrasi glukosa dipantau setelah 1-4 jam. Saat

melakukan algoritma ini, peningkatan statistik yang signifikan dalam kelangsungan hidup

pasien dicatat.

11. Renal Replacement Therapy27

Disarankan penggunaan mesin RRT secara terus menerus atau intermitten pada pasien

sepsis dengan AKI (acute kidney injury) • Disarankan penggunaan mesin RRT untuk

manajemen balans cairan pada pasien sepsis hemodinamik tidak stabil • Disarankan tidak

menggunakan mesin RRT untuk indikasi oligouria atau peningkatan kreatinin pada pasien

sepsis dengan AKI tanpa indikasi lain untuk dialysis

12. Terapi Bikarbonat27

Disarankan tidak menggunakan bicnat untuk meningkatkan hemodinamik atau untuk

mengurangi dosis vasopressor pada pasien hipoperfusi dengan asidosis laktat dengan pH ≥

7.15.

13. Thromboembolism Prophylaxis27

Direkomendasikan pemberian profilaksis heparin (UFH) atau LMWH untuk pencegahan

tromboemboli vena bila tidak ada kontraindikasi mutlak • Direkomendasikan penggunaan

LMWH dibandingkan UFH untuk pencegahan tromboemboli vena bila tidak ada

kontraindikasi penggunaan LMWH.

35
14. Stress Ulcer Prophylaxis27

Direkomendasikan pemberian profilaksis ulkus peptikum pada pasien sepsis/syok sepsis

resiko perdarahan saluran cerna • Obat yang disarankan untuk profilaksis ulkus peptikum

adalah proton pump inhibitors (PPIs) atau histamine-2 receptor antagonists (H2RAs) • Tidak

disarankan pemberian profilaksis ulkus peptikum pada pasien tanpa resiko perdarahan

saluran cerna.

15. Nutrition27

Beberapa saran penting buat asupan nutrisi

- Disarankan pemberian asam amino omega 3 sebagai suplementasi pada pasien

sepsis/syok sepsis.

- Disarankan untuk tidak secara rutin monitoring volume residu lambung,melainkan

mengukur residu cairan lambung pasien dengan intoleransi makanan atau pasien resiko

tinggi aspirasi.

- Disarankan penggunaan obat-obat prokinetik pada pasien dengan intoleransi makanan.

- Disarankan penggunaan NGT pada pasien ICU dengan sepsis/syok sepsis resiko tinggi

aspirasi.

- Direkomendasikan tidak memberikan selenium intravena pada pasien sepsis/syok sepsis.

- Disarankan tidak memberikan arginin untuk terapi sepsis/syok sepsis.

- Direkomendasikan tidak menggunakan glutamin untuk terapi sepsis/syok sepsis.

- Tidak ada rekomendasi untuk penggunaan carnitin untuk sepsis/syok sepsis.

BAB III

36
PENUTUP

Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif.

Sepsis dapat mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang yang

mengalami imunokompromis dengan penyakit kronik. Sepsis adalah sindrom inflamasi sistemik

yang sangat mengancam jiwa. Permulaan dari infeksi yang berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah

sepsis yang apabila terlambat ditangani dapat menjadi sepsis yang berat yang kemudian berakibat

syok septic yang menyebabkan komplikasi-komplikasi seperti disfungsi organ multipel

yang berakhir dengan kematian. Ketika seseorang mengalami infeksi, tubuh akan

kompensasi dengan mengeluarkan respon-respon infeksi seperti proinflamasi dan antiinflamasi.

Keseimbangan faktor-faktor ini dalam melawan infeksi akan menciptakan suatu

proses perbaikan tubuh namun apabila terjadi ketidakseimbangan proses-proses ini dimana

proses- proses ini akan saling mempengaruhi maka akan menimbulkan ketidakharmonisan

imunologi yang merusak tubuh sendiri. Etiologi sepsis disebabkan oleh berbagai macam

agen infeksi seperti bakteri, virus maupun parasit. Agen infeksi yang paling sering

menyebabkan sepsis berdasarkan epidemiologi adalah bakteri gram negative dan positif dimana

mereka menghasilkan toksin-toksin yang menyebabkan kerusakan sel tubuh terutama

pembuluh darah karena penyebaran mereka terutama hematogen.

37
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan pemeriksaan fisik maupun laboratorium

seperti darah lengkap, faktor-faktor pembekuan darah, konsentrasi laktat dalam darah dan

lain-lain. Penatalaksanaan penting dari sepsis ini adalah perbaikan hemodinamik, pemberian

antibiotic, focus infeksi harus diobati dan terapi suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain.

Kegawatan yang paling umum disebabkan sepsis adalah kerusakan multipel organ yang

disebabkan karena adanya kerusakan pembuluh darah akibat proses inflamasi-inflamasi sehingga

perfusi pembuluh darah terganggu yang berakibat organ-organ akan mengalami kelainan

fungsinya karena saluran nutrisi mereka terganggu oleh karena proses infeksi. Kelainan multipel

organ akibat sepsis dapat mengenai otak, paru, ginjal, hati, jantung maupun darah yang dapat

menyebabkan kematian.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida

Wacana, Jakarta, Sepsis and Treatment based on The Newest Guideline,Jurnal anasesi

Indonesia, Volume X, Nomor 1, Tahun 2018

2. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care TSS. 2017;

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan

dasar 2013. 2013. Hal. 65

4. World Health Organization. Indonesia: WHO statistical profile. [Internet]. 2015. [cited 2018 Jan

6]. Available from: URL: http:// www.who.int/gho/countries/idn.pdf? ua=1.

5. Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis.

6. Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendonca A, Bruining H, et al.The SOFA

(sepsis-related organ failure assessment) score to describe organ dysfunction/ failure. Intensive

Care Med. 1996; 22: 707-10.

7. Surviving sepsis campaign 2016.

8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al. Efficacy and

safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis. N Eng J Med. 2001; 344

(10): 699-709.

9. Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al. Severe

sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny department management

guidelines. Annals of Emergency Medicine. 2006; 48(1): 28-50.

10. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. The third

international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA. 2016: 315

(8): 801-10.
11. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. The third

international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA. 2016: 315 (8):

801-10.

12. Rivers, E. Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal directed

therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med.2001; 345 (19): 1368-

77.

13. Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect: Third Printing;

2014

14. Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care of

patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.

15. Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect: Third Printing;

2014

16. Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al. Severe

sepsis and septic shock: review of the literature and emergency department management

guidelines. Annals of Emergency Medicine. 2006; 48(1); 28-50

17. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al. Efficacy and

safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis. N Eng J Med. 2001;344 (10):

699-709.

18. http://www.jasajurnal.com/rekomendasi-terbaru-sepsis/ : World Sepsis Day 2017.

19. http://www.apoteksejati24.online/2011/05/terapi-antibiotik-pada-sepsis-febrile.html, TERAPI

ANTIBIOTIK PADA SEPSIS

20. https://ifan050285.wordpress.com/2010/02/21/terapi-cairan-elektrolit-pada-pembedahan/.

21. https://febriirawanto.blogspot.com/2011/12/obat-obat-vasoaktif-yang-sering.html, Obat-obat

vasoaktif yang sering digunakan dan masing-masing efeknya.


22. International Journal of Antimicrobial Agents,Volume 46, Supplement 1, December 2015,

Pages S25-S28 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S09248579, 5003623,

Endogenous immunoglobulins and sepsis: New perspectives for guiding replacement therapies

23. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya

Baru.

24. Emmy Hermiyanti Pranggono, http://pustaka.unpad. ac.id/wp-

content/uploads/2011/03/ventilasi_mekanik.pdf, VENTILASI MEKANIK.

25. https://mantrijaya.blogspot.com/2018/05/contoh-panduan-sedasi.html, Panduan Sedasi.

26. https://id.iliveok.com/health/pengobatan-sepsis-berat-dan-syok- septik_106475i15942.html,

Pengobatan sepsis berat dan syok septik, Alexey Portnov , Editor medis, Terakhir ditinjau:

11.04.2020.

27. https://www.slideshare.net/nurhajriya/sepsis-2016-86854419, Sepsis 2016.

28. https://www.slideshare.net/soroylardo/referat-sepsis-bramantyo, Penatalaksanaan Bedah Sepsis.

Anda mungkin juga menyukai