Anda di halaman 1dari 161

CERITA KERETA

Faaqih Irfan Djailani

Penerbit Ndok Asin


NdokAsin.Co.Cc
CERITA KERETA
.............................................................................................................

Faaqih Irfan Djailani

Penerbit Ndok Asin


Bintaro, 2011
Cerita Kereta

Cetakan pertama e-book : Februari 2011


Desain sampul : just_hammam
Background cover :
http://4.bp.blogspot.com/_4vMhBXxamaM/S_8wTd3tvj
I/AAAAAAAAAGM/UN7thPco1VY/s1600/Prameks-2.jpg

Lisensi Dokumen:

Copyright © 2011-2012 NdokAsin.Co.Cc

Seluruh dokumen di NdokAsin.Co.Cc dapat digunakan, dimodifikasi


dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial
(nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau merubah atribut
penulis dan pernyataan copyright yang disertakan dalam setiap
dokumen. Tidak diperbolehkan melakukan penulisan ulang, kecuali
mendapatkan ijin terlebih dahulu dari NdokAsin.Co.Cc

Belum pernah dicetak


Bagi yang ingin mencetak sesuai lisensi, dipersilakan
AKU, KAMU, DAN PRAMEKS

Tatapan mata itu terus menatap pada Rimba.

Tatapan yang tampaknya tidak rela karena harus berpisah.

Amanda memang terus memandang pada Rimba, lelaki yang

kini berada di dekatnya. Sebuah tatapan memang sama

artinya dengan ucapan.

“Kenapa sih kamu?” tanya Rimba, “Kan nanti kita

juga ketemu lagi,”

“Bukan begitu, mas,” kata Amanda, “Aku cuma…,”

“Cuma apa?” tanya Rimba heran dan ia langsung

tahu maksudnya, “Kamu tenang aja lha. Aku ini bukan lelaki

yang kaya begituan,”

“Iya, mas,” kata Amanda, “Aku tahu. Cuma berat

rasanya pisah dengan kamu,”

1
Mendengar ucapan Amanda seperti itu, spontan

Rimba memeluk kekasihnya dan berkata,

“Aku juga lho, dik,” ujarnya pelan dan kemudian

mencium kening kekasihnya.

Pemandangan itu spontan juga mengundang banyak

reaksi orang-orang yang berada di sekeliling mereka

tepatnya di peron depan stasiun Maguwo yang terlihat

sedikit ramai. Kebanyakan orang-orang yang berada di sini

adalah baru saja dan akan naik pesawat yang terparkir di

bandara Adi Sucipto yang berada di dekat stasiun. Tentunya

mereka yang naik pesawat dari stasiun ini adalah mereka

yang menggunakan kereta komuter Prambanan Ekspres.

Rimba dan Amanda adalah sepasang kekasih yang

sudah menjalankan hubungan mereka selama 3 tahun.

Pertemuan mereka berdua pun tidak disengaja.

2
Stasiun Yogyakarta di siang hari. Panas terik begitu

terasa namun hal tersebut tidak menghalangi niat banyak

orang untuk berjalan dan beraktifitas. Rimba adalah salah

satunya. Dirinya begitu tergesa-gesa ke dalam stasiun

tersebut karena hendak ingin ke Wates dengan naik

Prambanan Ekspres atau Prameks. Sekarang sudah sekitar

jam setengah dua siang. Begitu yang ia lihat di jam

tangannya. Prameks sendiri datangnya sekitar jam 2 kurang

17 menit. Itu berarti hanya tersisa 17 menit dari sekarang.

Sudah begitu sekarang adalah siang hari. Pasti penuh

keadaannya karena akan banyak yang hendak ke Kutoarjo.

Namun, sekarang Rimba tak mau memikirkan hal tersebut.

Yang ia pikirkan adalah mendapatkan tiketnya dan segera

naik ke dalam kereta. Masalah penuh, desak-desakan,

berdiri, dan tempat duduk adalah masalah belakangan.

Usai mendapatkan tiket di loket, Rimba segera

berlari ke jalur yang sudah pasti ada Prameksnya. Stasiun

3
Yogyakarta pada siang itu begitu ramai dengan banyak

keretaapi yang terparkir yang kebanyakan adalah menuju ke

Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Namun, Rimba sekali lagi

tidak mempedulikan itu. Ia hanya peduli Prameks untuk bisa

sampai ke Wates. Menjenguk teman lamanya yang jatuh

sakit. Ia harus tepat waktu sampai di Wates sebab setelah

dari Wates ia akan kembali ke Yogyakarta untuk belajar

karena besoknya ada ujian.

Ia sendiri sudah memperhitungkan sesuai jadwal.

Kereta Prameks yang akan ditumpanginya akan datang

sekitar jam 13.47 dan akan sampai di Wates pukul 14.14.

Jadi, perjalanan hanya memakan waktu sekitar setengah jam.

Tentu di sana ia tidak sebentar. Paling sekitar sejam saja dan

karenanya untuk pulang ia akan naik keretaapi jam setengah

4 dan sampai di Yogyakarta sekitar jam 4 lewat 5 menit.

Perhitungan ini benar-benar ia buat matang mengingat juga

jarak rumah temannya dengan stasiun Wates hanya sekitar

4
500 meter dan bisa ditempuh dengan jalan kaki alias tidak

butuh becak atau ojek serta angkot.

Hanya saja perhitungan ini bisa saja berantakan jika

ternyata meleset. Itu yang ia takutkan. Namun mau tak mau

ia harus siap dengan resikonya. Apa yang ia takutkan

ternyata menjadi kenyataan. Prameks-nya terlambat sekitar

5 menit. Mulailah ia kesal. Kekesalannya tambah memuncak

kala banyak penumpang juga yang akan naik dan telah

menumpuk di peron. Ia sudah harus siap berdesak-

desakkan.

Lima menit kemudian Prameks datang. Para

penumpang sudah bersiap. Kebanyakan dari mereka adalah

para kaum komuter seperti dirinya. Begitu keretaapi

berhenti dan membuka pintunya mulailah para penumpang

masuk dengan saling berebutan sehingga mengganggu

penumpang yang akan turun.

5
“Bentar kasih dulu yang mau turun!” teriak salah

satu penumpang dari dalam.

Rimba tak mempedulikan itu. Yang penting ia naik.

Maka beberapa kepala siap ia hadapi. Tiba-tiba saja

langkahnya berhenti. Teriakan dari salah seorang

penumpang wanita yang terjatuh membuatnya menoleh dan

segera mendekati untuk menolongnya.

“Nggak apa-apa kan, mbak?” tanyanya.

Wanita berpakaian putih itu tampak seperti

merasakan kesakitan,

“Aku nggak apa-apa kok, mas,” katanya setelahnya,

“Makasih ya,”

Sayang, ketika Rimba sudah membantu wanita itu

berdiri Prameks pun berangkat. Maka tertinggallah ia

bersama dengan wanita itu. Melihat itu dalam hatinya Rimba

6
berubah menjadi kesal kembali. Sudah datang telat,

tertinggal lagi, begitu hatinya berkata. Kini ia merasa tidak

akan bisa mengunjungi temannya yang sedang sakit.

“Maaf, mas,” kata wanita itu kemudian, “Kalau saya

membuat mas tertinggal kereta,”

Wanita yang ditolong Rimba ini sebenarnya biasa

saja dan membuat ia kurang respek. Apalagi ketika ia

berkata seperti itu Rimba sebenarnya juga mau biasa saja

bahkan agak menyesal kenapa tadi harus menolong wanita

itu. Namun, semua berubah tatkala ia memandang wanita

yang ternyata mempunyai lesung pipi yang membuatnya

menjadi manis. Rimba pun terbius dan ingin menganulir

semua rasa kesal dan menyesalnya.

“Eh…nggak apa-apa kok, mbak,” ujarnya.

“Mas mau kemana?” tanya wanita itu.

7
“Ke Wates, mbak,” jawab Rimba, “Mbak sendiri?”

“Saya ke Kutarjo,” jawabnya.

Wanita itu lalu mengajaknya berkenalan. Rimba lalu

mengetahui bahwa wanita itu bernama Amanda. Statusnya

sama seperti dirinya, mahasiswa UGM. Hanya saja beda

fakultas dan jurusan. Lagipula di kampusnya Rimba jarang

melihat dirinya dan memang wanita itu dua tahun lebih

muda dari dirinya.

“Teman aku sakit,” kata Rimba setelah perkenalan iu,

“Jadi sudah sewajarnya dijenguk. Nggak enak kalau nggak

jenguk teman yang sakit,”

“Kamu setia kawan sekali sepertinya,” kata Amanda

tersenyum dan lesung pipi itu terlihat kembali. Rimba pun

terbius lagi. Manis, ujarnya dalam hati.

8
“Setia kawan nggak juga,” kata Rimba, “Hanya saja

aku sudah lama tidak bertemu. Kamu sendiri ke Kutoarjo

mau ngapain?”

“Biasa pulang dulu ke rumah mau minta duit,”

Amanda kembali tertawa lalu tersenyum. Kembali lesung itu

terlihat. Oh, Tuhan, kok dia manis sekali sih, tanya Rimba

sekali lagi.

Entah karena terbius atau memang hal lain, tiba-tiba

Rimba melontarkan sebuah tanya,

“Boleh aku antar kamu ke sana?”

“Ke mana?” tanya Amanda.

“Ya ke Kutoarjo,” jawab Rimba.

“Kamu memang mau ngapain?” tanya Amanda.

9
“Cuma mau tahu rumah kamu,” jawab Rimba

seadanya, “Boleh kan?”

Amanda hanya tersenyum. Sekali lagi lesung pipi itu

muncul. Rimba sudah merasakan dirinya takluk. Amanda

mengiyakan keinginannya. Namun untuk kereta yang

berikutnya mereka harus menunggu hingga jam 4. Rimba

segera membatalkan niatnya menjenguk temannya dengan

alasan yang dapat dimengerti. Temannya di sms pun berkata

bahwa dia hari ini tidak ada di rumah dan sedang berobat di

pengobatan alternatif. Ia sendiri pun lupa bilang. Untung

deh, begitu ujar Rimba dalam hati mengetahui hal tesebut.

Ternyata jam 4 bukan waktu yang lama jika diselingi

dengan banyak bicara ke sana-sini walaupun tidak jelas.

Ketika keduanya bosan di peron, maka mereka segera ke

tempat lain mencari makan karena keduanya belum makan

dan kembali melanjutkan bicara.

10
Ketika jam 4 datang, Prameks dari arah

Lempuyangan pun datang dan kali ini tidak ramai seperti

tadi sehingga tidak perlu buru-buru untuk masuk. Keduanya

segera mendapatkan tempat duduk dan kembali berbicara

sehingga tidak terasa sudah sampai di Kutoarjo. Mereka

hanya sekitar 2 jam di sana dengan pertama-pertama

berkenalan dengan orangtua Amanda yang cukup terkejut

sepertinya lalu mulai maklum.

Sekitar sore mereka kembali ke Yogyakarta dan

sampai malam hari. Rimba mengantar Amanda hanya

sampai bundaran UGM lalu berpisah. Ia merasa dirinya suka

dengan wanita yang manis itu dan ingin bertemu lagi

dengannya. Makanya sebelum berpisah ia minta nomor

hapenya agar bisa dihubungi. Amanda memberi saja dengan

mudahnya.

Sejak saat itu keduanya memang sering bertemu.

Baik di kampus, di dekat kos-kosan, atau malah di Malioboro

11
sambil jalan-jalan. Akhirnya pada saat-saat seperti itu Rimba

mengungkapkan isi hatinya kepada Amanda bahwa kalau ia

ingin menjadi kekasih Amanda. Hanya saja untuk sebuah

jawaban rasanya cukup lama. Rimba disuruh menunggu

hingga 5 hari dan itu yang membuat dirinya ketar-ketir

sambil berharap wanita itu menjadi kekasihnya. Lima hari

berlalu dan tiba-tiba Amanda mengirim sms padanya. Tentu

saja Rimba terkejut karena ia hendak mengirim sms terlebih

dahulu. Ia meminta Rimba datang ke sebuah tempat sepi di

belakang UGM.

Ketika ia sampai terlihat Amanda sendiri,

“Kamu kok kayanya ngos-ngosan begitu?” tanya

Amanda santai dengan senyum mautnya.

“Iya nih,” jawab Rimba, “Habis kejar-kejar kamu

susah banget sih,”

12
“Kamu ini ada-ada aja deh,” tanggap Amanda

kembali dengan senyum dan oh…Rimba kembali terbius,

“Aku bukan uang lho,”

“Kamu memang bukan uang,” kata Rimba, “Tetapi

kamu adalah wanita yang aku kejar untuk mendapatkan

cintanya dan sekarang adalah hari untuk menjawab

pernyataan cinta aku 5 hari kemarin,”

“Oh, iya iya iya,” kata Amanda, “Aku hampir lupa,”

“Aku serius lho,”

Mendengar perkataan seperti itu dari Rimba,

Amanda mengubah pandangannya. Ia pandangi sekujur

tubuh Rimba terutama wajah polos yang sedang

mengharapkan jawaban. Lima menit ia memandang dan

akhirnya ia menyatakan “iya”

13
Sontak Rimba langsung girang dan memeluk

Amanda. Tentu saja Amanda terkejut tetapi ia biarkan saja.

Sejak saat itu mereka berpacaran. Layaknya orang-orang

yang pacaran tentulah kisah cinta mereka yang terajut

selama 3 tahun juga dipenuhi banyak warna. Seringkali

keduanya bertengkar karena masalah ego masing-masing

yang tidak mau diatur dan keras kepala. Bahkan

pertengkaran itu terjadi di dalam Prameks yang hendak

mengangkut mereka ke Solo. Penyebabnya cuma masalah

sepele. Amanda menilai kekasihnya adalah lelaki tipe

pencemburu berat yang cepat tersinggung jika

membicarakan Amanda yang begitu akrab dengan teman

lekakinya apalagi jika jalan berdua. Rimba memang tidak

segan-segan untuk menegor. Kejadian ini sempat membuat

Amanda bertanya-tanya pada Rimba, Memang kamu siapa?

Cuma pacar aku aja kan? Bukan suami aku.

14
Sedangkan Rimba menilai Amanda adalah tipe

wanita yang susah diatur dan semaunya sendiri. Seringkali

karena beberapa alasan ia membatalkan janji dengan Rimba

dan itu terjadi 5 menit sebelum janji dimulai. Tentu saja

Rimba kesal karena ia merasa tidak dihargai.

Kalau sudah begini biasanya mereka akan baik

kembali sehari setelah kejadian namun terkadang mereka

malah diam-diaman selama 2 minggu dan masa bodoh serta

sibuk dengan urusan masing-masing. Ada keinginan dari

keduanya untuk putus namun hal itu tidak jadi. Keduanya

merasa sudah saling menyayangi dan ketika masing-masing

sudah mengenal dirinya pertengkaran hanya terjadi sedikit.

Ketika 3 tahun sudah berlalu dan menjelang 4

tahun, di suatu malam Amanda berkata kepada Rimba,

“Aku sebentar lagi mau pindah ke Singapura, mas,”

kata Amanda pelan.

15
“Maksudnya?” Rimba heran dengan tanya itu tetapi

tahu.

“Aku mau melanjutkan kuliah di sana, mas sambil

kerja,” kata Amanda.

“Kenapa harus jauh-jauh amat, sih, dik?” tanya

Rimba heran, “Memangnya di Jakarta nggak bisa?”

“Bapak yang suruh aku, mas,”kata Amanda, “Katanya

ia ada kenalan di sana,”

Rimba terdiam.

“Maafin aku ya, mas,” kata Amanda sambil mengelus

pelan tangan Rimba, “Aku tahu kayanya ini bakal susah buat

mas,”

“Nggak apa-apa kok, dik,” kata Rimba, “Hanya saja

mas bingung mas nanti mau ngapain nggak ada kamu dan

agak bingung juga buat hubungan jarak jauh,”

16
“Kalo mas rindu,” kata Amanda, “Mas bisa datang

kok jenguk aku di sana,”

“Aku mana ada duit, dik,” kata Rimba, “Kerja aja

belum,”

“Makanya kerja dong,”

Sejak Amanda mengumumkan dirinya bakal ke

Singapura, Rimba jadi selalu memikirkan hal itu. Ia sudah

berpikir tentang pentingnya hubungan jarak jauh lewat apa

saja baik hape dan facebook. Namun apakah itu cukup?

“Kamu kok begitu saja dibuat repot. Jalani saja lha,”

ujar Ridho temannya ketika mereka berdua berada di dalam

Prameks, kereta yang mempunyai sejuta kenangan antara

dirinya dengan Amanda. Prameks yang mereka naiki hendak

menuju ke Klaten, “Wong zaman sekarang apa aja

gampang,”

17
“Ah, kamu ini sok tahu,” kata Rimba, “Emangnya

kamu pernah ngejalani?”

“Ya pernah lha,” kata Ridho, “Aku ditinggal pacarku

ke Brunei lho selama 5 tahun. Awalnya sih kaya berat gitu

lama-lama enak juga. Ya sibuk-sibukin diri aja,”

Mendengar ucapan Ridho pandangan kekhawatiran

Rimba menjadi berubah. Ia merasa tak perlu lagi

memikirkan hal tersebut dengan sangat repot. Yang penting

adalah kepercayaan untuk saling menjaga komunikasi.

Itulah yang ia terus perlihatkan kepada kekasihnya. Ia antar

Amanda dari kosannya menuju stasiun Yogyakarta dengan

naik Prameks menuju stasiun Maguwo.

“Mas, kayanya Prameks selalu menjadi kenangan

kita berdua,” kata Amanda sambil memandang Prameks

berwarna kuning di depan mereka, “Aku pasti di sana bakal

rindu,”

18
“Oh…terus kamu nggak rindu aku dong?” tanya

Rimba bercanda.

“Ya rindu juga lha,” kata Amanda, “Kamu ini,”

Sekarang sudah jam 5 sore. Jam keberangkatan ke

Singapura sekitar jam 6 sore. Masih ada waktu bagi mereka

berdua untuk bisa bertatap-tatapan. Sekitar jam setengah 6

keduanya berjalan menuju terowongan bawah tanah yang

terhubung dengan bandara. Keadaan bandara memang

begitu ramai.

“Mas, maaf ya,” kata Amanda setelah itu, “Kayanya

sampai di sini aja mas ngantarnya. Nanti kalo aku nyampe di

Singapura aku sms mas,”

“Tapi, sekarang kan belum jam 6,” kata Rimba yang

terus memegang tangan kekasihnya.

19
“Bukan begitu mas,” kata Amanda, “Kan aku harus

memproses barangku dari sekarang. Kalau ada apa-apa aku

nanti gagal berangkat,”

“Ya udah,” kata Rimba, “Aku sayang kamu,”

Untuk kesekian kalinya ia mencium kening

kekasihnya. Namun kali ini perbuatannya tidak menjadi

pusat perhatian orang-orang yang tampak sibuk dengan

urusan masing-masing. Selepas itu Amanda perlahan

meninggalkan dirinya dan melambaikan tangan.

Sayang, maafin aku selama ini ya karena sering

bersalah sama kamu, ujar Rimba dalam hati ketika

kekasihnya perlahan mulai tidak terlihat dan menghilang, I

miss you.

Rimba tetap menatap titik tempat kekasihnya hilang.

Ia terus berada di situ selama sejam dan akhirnya ia sadar

20
bahwa ada harus yang ia lakukan untuk hari esok dan lebih

penting.

Dari kejauhan Amanda yang melihat tingkah

kekasihnya hanya tersenyum dan mulai masuk menuju

pesawat bersama dengan seseorang.

21
ANAK-ANAK BADUNG

Sebentar lagi senja menghilang dan kegelapan akan

dimulai. Namun, itu bukanlah halangan bagi beberapa

orang yang sedang menunggu kereta. di peron stasiun

Gambir. Sebagian besar menunggu kedatangan dan

keberangkatan kereta dari dan ke luar Jakarta dan sebagian

kecil lainnya menunggu kedatangan kereta Pakuan yang

hanya untuk Jadebotabek. Tampak beberapa kereta yang

akan ke luar Jakarta sudah memarkir dirinya dan sudah

dimasuki beberapa penumpang. Hanya tinggal menunggu

keberangkatan.

Arif dan Ijal, dua anak kecil sedang bermain-

bermain sebagaimana halnya anak kecil lainnya. Mereka

bercanda-canda, berlari-larian tanpa mengindahkan para

penumpang lain yang sebagian besar orang-orang dewasa

dan lebih memilih diam. Ibunya tak memperhatikan sama

sekali. Terlihat cuek. Hanya kakak perempuannya yang coba

22
menghentikan. Dua anak ini berkepala plontos dan juga

polos. Beserta ibu dan kakak perempuannya dan

penumpang-penumpang lainnya mereka akan segera

menaiki kereta api Gajayana yang menuju ke Malang. Ke

Malang pun mereka hendak pulang.

Lima belas menit sebelum keberangkatan, Gajayana

telah datang lebih dulu dari persinggahan sementaranya di

stasiun Jakartakota. Para penumpang kemudian menaiki

kereta tersebut dan mencari tempat duduk sesuai dengan

yang tertera di tiket kereta masing-masing. Di dalam kereta

itu tak ada yang mengetahui siapakah yang hendak pergi ke

Malang karena pulang atau sekedar berwisata.

Arif dan Ijal duduk berdua berseberangan dengan

kakak dan ibunya. Mereka berdua tampak menikmati tempat

duduk dan sama sekali tidak bisa diam bahkan ketika kereta

hendak berangkat pun mereka tetap seperti itu. Kemudian

mereka diam. Lalu munculah suara pengumuman dari

23
masinis kepada penumpang bahwa sebentar lagi Gajayana

akan berangkat dan akan berhenti di beberapa stasiun yang

menuju ke Malang seperti Madiun, Kediri, Kertosono, Blitar,

Kepanjen, dan akhirnya Malang dan sebagai penutup si

masinis mengucapkan doa dan semoga para penumpang

menikmati perjalanan yang akan memakan waktu 15 jam.

Lima jam lebih lama dari kereta jurusan Jakarta-Surabaya.

Kereta pun berangkat meninggalkan Gambir

melewati Manggarai dan Jatinegara lalu mengarah ke Bekasi

dan selanjutnya Cirebon. Beberapa menit setelah

keberangkatan Arif dan Ijal kembali tidak bisa diam. Mereka

mulai bercanda-canda, memain-mainkan bangku. Pada

awalnya perilaku mereka masih bisa ditoleransi karena

mereka masih anak kecil. Tetapi, kemudian muncul masalah.

Salah seorang penumpang kehilangan sumpit untuk makan

dan ia sendiri bingung. Seorang ibu di sampingnya memberi

tahu bahwa sumpit itu diambil salah seorang anak kecil

24
yang ada di depannya. Ia lantas bereaksi. Rupanya Ijal

memegang sumpit itu.

“De, itu sumpit saya,” ujarnya pelan.

Ijal yang memegang sumpit segera memberi. Orang

ini kemudian duduk kembali sambil berkomentar sebelum

makan,

“Dasar anak-anak badung!”

Di tengah perjalanan yang menembus malam pekat

dua anak plontos ini terus-terusan tidak bisa diam dan

akhirnya membuat keki dan jengkel penumpang lainnya.

Seorang bapak pindah duduknya ke seberang bertukar

dengan istrinya karenanya. Ibu dari dua anak ini terlihat

masa bodoh. Kakak perempuannya hanya sebentar-sebentar

menenangkan lalu diam lagi. Arif dan Ijal yang terus-

terusan seperti itu akhirnya malah berantem dan salah satu

di antara mereka menangis dan berteriak. Penumpang pun

25
terkejut. Kembali si ibu diam saja. Tenang. Seolah-olah tidak

ada apa-apa. Kakak perempuannya malah jadi ikut-ikutan

bercanda sewaktu menenangkan.

Mereka kemudian setelah itu tenang. Si bapak yang

bertukar duduk dengan istrinya kembali lagi ke asal. Tetapi,

beberapa menit kemudian, mereka bertingkah lagi. Bahkan

Ijal bertingkah menari-nari di belakang bapak itu. Si bapak

pun kesal dan menoleh dengan pandangan tajam. Mereka

pun diam. Ketika datang pembagian makan malam si

petugas harus sedikit memarahi mereka yang berebutan

ketika dibagikan. Benar-benar menjengkelkan perilaku

mereka.

Malam semakin larut. Selimut pun mulai dibagikan.

Mereka pun masih terus seperti itu dan satu jam kemudian

tenang. Tak ada lagi keberisikan di kereta. Namun, pada pagi

harinya, ketika mereka terbangun kembali mulailah hal itu

muncul kembali. Mereka menghalangi orang-orang yang

26
ingin menonton televisi dan pindah tempat duduk ke sana

kemari sesuka mereka. Sedikit terusik suasana. Ketika kereta

berhenti di tujuan mereka tetap seperti itu. Si ibu juga tetap

tak mempedulikan. Hanya kakak perempuannya saja yang

mencoba menenangkan.

27
APAKAH KAMU SIAP?

Matahari senja memerah di ujung barat. Burung-

burung beterbangan di depannya melantunkan senandung

untuk sang matahari senja. Sedikit lagi sang matahari senja

sudah tidak menampakkan wajah kemilaunya lagi di bumi

mayapada ini. Malam di belakangnya telah menunggu untuk

menjalankan peran dengan bulan sebagai bintangnya. Meski

begitu sinar sang mentari senja masih terlihat jelas walau

sedikit terkoyak-koyak di permukaan air.

Itulah yang sekarang oleh Regi. Begitu tenangnya

permukaan air yang sebenarnya agak jauh dari dirinya.

Pandangan matanya memang melihat ke sekeliling dirinya

yang semuanya adalah laut. Ia kini berada di atas sebuah

kapal feri yang hendak membawa dirinya ke Lampung

setelah dua jam yang lalu melalui antrian melelahkan berada

di Merak.

28
Feri yang ditumpanginya terus menerjang lautan

yang sebenarnya sudah tidak membiru lagi. Ikan-ikan

perlahan-lahan mulai bermunculan setelah bersembunyi di

siang untuk menghindari tangkapan para nelayan. Namun

mereka tidak sadar bahwa kemunculan mereka juga telah

ditunggu para nelayan yang akan datang ke daerah mereka

beberapa jam lagi. Sore itu seperti menjadi sebuah sketsa

alam yang begitu indah yang sudah jarang dilihat oleh Regi.

Ketika malam datang dan angin mulai berhembus

feri yang ditumpanginya sebentar lagi sudah akan memasuki

perairan Bakauheni. Malam yang gelap memang tidak bisa

memberikan kesempatan bagi Regi untuk bisa menyaksikan

semua pemandangan termasuk pemandangan Gunung

Krakatau. Setengah jam kemudian feri hampir merapat di

Bakauheni, Regi segera bersiap turun ke geladak dan

menaiki bis yang sudah ditumpanginya sejak dari Kampung

Rambutan.

29
Tujuannya sekarang dengan bis ini adalah stasiun

Tanjungkarang. Bis yang ditumpanginya sendiri adalah bis

yang tujuannya ke Lampung dengan berhenti di terminal

Rajabasa. Ke Lampung ia sebenarnya hanya menjadikannya

sebagai sebuah batu loncatan dari tujuan sebenarnya,

Palembang. Ia ke stasiun karena hendak menaiki keretaapi

Limex Sriwijaya yang melayani rute Palembang-Bandar

Lampung. Menurut jadwal yang ia tahu keretaapi itu akan

berangkat dari stasiun pukul 9 malam dan akan sampai esok

sekitar jam 6. Jadi, perjalanan memakan waktu 9 jam.

Sekarang sudah pukul setengah 7. Jadi, masih ada waktu

baginya.

Setelah sekitar hampir satu setengah jam berkutat

dengan jalur dari Bakauheni, sampailah ia di Bandar

Lampung yang menyambutnya pada malam yang masih

terhitung muda. Keramaian masih terlihat di sana-sini.

Namun, ia tak memikirkan hal itu. Yang penting sekarang

30
tujuannya adalah stasiun Tanjungkarang yang berada di

timur Bandar Lampung.

Pikirannya kemudian melayang. Ia pernah ke sini

beberapa tahun yang lalu dengan tujuan yang sama. Pada

waktu itu ia bersama dengan temannya. Mereka berdua ke

Palembang sebenarnya juga hendak bertemu teman mereka

yang kuliah di sana dan untuk ke sana ia dan temannya naik

keretaapi dari stasiun yang akan menjadi tujuannya. Kereta

yang mereka naiki adalah Rajabasa Ekspres, sebuah kereta

ekonomi yang mirip dengan kereta ekonomi di Jawa.

Miripnya bukan hanya dari bentuk tetapi juga dari situasi di

dalam yang ramai dengan banyak pedagang asongan yang

seliweran ke mana-mana hanya untuk menjajakan barang

dagangan mereka. Mengenai ini ia bergumam, rupanya baik

di Jawa atau Sumatera sama saja.

Keretaapi yang mereka tumpangi berangkat sekitar

jam 10 pagi. Jam tersebut boleh dikatakan melenceng karena

31
seharusnya keretaapi berangkat jam 9. Keterlambatan

tersebut dikarenakan keretaapi yang akan mereka tumpangi

harus menunggu giliran dengan keretaapi barang yang

sebenarnya merupakan prioritas. Ia sendiri baru sadar

beberapa bulan setelah naik keretaapi di sana. Di Sumatera

memang berbeda dengan di Jawa. Kalau di Jawa keretaapi

terlambat karena harus menunggu giliran dengan keretaapi

penumpang lain di jalur langsiran maka di Sumatera harus

menunggu dengan keretaapi barang. Sudah begitu jalur

keretaapi di Sumatera hanya satu jalur saja beda dengan di

Jawa yang dua.

Itulah yang ia dan temannya hadapi. Naik keretaapi

di Sumatera malah seperti berpetualangan ke dalam rimba

karena jalurnya kebanyakan melalui hutan-hutan belantara

yang rimbun. Belum lagi keretaapi selalu padat tiap kali

berhenti di tiap stasiun. Penumpangnya malah bisa lebih

nekat daripada di Jawa. Buktinya ada beberapa yang nekat

32
duduk di depan anjungan depan lokomotif yang sebenarnya

menghalangi pandangan masinis dan juga berbahaya bagi

mereka jika terjadi kecelakaan.

Petualangan mereka pun berakhir ketika mereka

sampai di Palembang pada senja menjelang malam. Jelas

Regi takkan bisa melupakan hal tersebut apalagi jika pada

waktu keretapi yang ditumpanginya malah mendadak

berhenti di sebuah langsiran gara-gara ada keretaapi barang

hendak lewat. Pemberhentian itu bisa memakan waktu

sampai dua jam dan itu terjadi di siang panas yang

menyengat. Keringat jelas bercucuran.

Sekarang ia ke Palembang bukan untuk menjenguk

temannya tetapi kekasihnya yang telah ia pacari selama

setahun. Ia berkenalan dengan kekasihnya itu sewaktu di

Jakarta dan kekasihnya di Palembang sedang berada di

rumah saudaranya. Tentu saja Regi memberitahukan perihal

33
kedatangannya walau kekasihnya kaget karena ia hendak

naik keretaapi,

“Kamu nggak salah? Kenapa nggak naik pesawat aja

atau bus langsung ke Palembang? Kan lebih cepat?” tanya

kekasihnya ketika ia menghubunginya lewat hape.

“Aku kangen kereta sumatera, sayang,” jawabnya,

“Sudah lama aku tak merasakan lagi,”

“Ya sudah kalau itu mau kamu,” kekasihnya

menyerah dan tak mau ambil pusing.

Ketika ia membicarakan ini dengan beberapa

temannya, ia malah ditertawakan,

“Nggak salah, bro! naek kereta? Lama kali,” ujar

salah satu temannya.

Tetapi, ia menjawab,

34
“Lho memang kenapa? Kan suka-suka gue mau naik

ini atau itu. Yang penting gue selamat,”

Angin malam berhembus kencang. Kini Regi sudah

mendapati dirinya berada di stasiun Tanjungkarang yang

belum sama sekali berubah. Setelah membeli karcis yang

ternyata naik dan bukan masalah baginya ia duduk di peron.

Mengamati keadaan di stasiun yang terkesan sepi meski

banyak petugas keretaapi lalu-lalang dan hilir mudik.

Beberapa lokomotif tampak berdiri berjajar di atas rel. Salah

satu lokomotif digerakkan dan mencari gerbong untuk

dikaitkan. Ia berpikir pasti gerbong yang tak jauh dari

pandangan matanya adalah gerbong yang akan dinaikinya

dengan lokomotif itu sebagai pemandu. Sekarang sudah jam

8 lewat 15 menit. Masih ada waktu sekitar 50 menit lagi.

Namun hatinya telah berkata, apakah kamu siap?

35
CERITA BAPAK TUA

Mari-mari sini nak mampir ke rumah Bapak jika

Anak capek berjalan dan butuh istirahat. Rumah Bapak

cukup sederhana, Nak. Hanya terdiri dari anyaman bambu

dan berlantai tanah. Tetapi, Bapak cukup senang bisa

menerima tamu seperti Anak yang mau singgah di rumah

Bapak. Kalau haus nanti Bapak suruh istri Bapak buatkan

segelas air putih.

Bapak di sini cuma berdua saja dengan istri. Anak-

anak Bapak sudah pada di tempat lain bersama keluarga

mereka dan mereka jarang datang ke sini. Tapi, bagi Bapak

hal tersebut tak usah Bapak pikirkan. Yang penting Bapak

bisa hidup berdua dengan tenang dari pekerjaan menyapu di

halaman kelurahan. Uangnya pun juga pas untuk makan

sehari-hari.

36
Tetapi apakah Anak mau mendengar cerita Bapak?

Cerita itulah yang telah mengantarkan Bapak sampai pada

kehidupan yang sekarang.

Dahulu Bapak hidupnya cukup senang dan

sejahtera. Segala kebutuhan untuk sehari-hari selalu

tercukupi. Ini tidak lain karena pekerjaan Bapak dulu

sebagai salah seorang petugas PPKA di sebuah stasiun.

Tepatnya stasiun Rawahijau. Bapak rupanya masih ingat

namanya. Stasiun itu letaknya sungguh jauh dari sini. Sekitar

ribuan kilometer. Yang jelas stasiun itu letaknya di sebuah

kota kecil yang adem dan tenang.

Dengan menjadi salah seorang petugas PPKA

kehidupan Bapak agak menjadi mudah. Anak-anak bisa

Bapak sekolahkan dengan mudah juga. Istri meskipun begitu

juga membantu Bapak bekerja dengan menjadi seorang

pegawai di sebuah toko baju. Namun, kenikmatan yang

Bapak rasakan dari Yang Maha Kuasa juga sebanding

37
dengan pekerjaan Bapak yang menyangkut nyawa orang

ketika menggunakan keretaapi sebagai transportasi

perjalanan mereka.

Sebagai salah seorang petugas PPKA tentulah tugas

Bapak tidak ringan jika kaitannya dengan nyawa. Mengatur

dan mendesain perjalanan keretaapi adalah salah satunya.

Sebuah perjalanan keretaapi mestilah diatur dan sebelumnya

didesain dengan baik sebelum ia berangkat dan setelah

berangkat. Kalau tidak diatur tentu akan terjadi sebuah

kecelakaan seperti tabrakan atau terguling. Untuk itulah

untuk menduduki posisi di bagian ini tidaklah main-main

dan dibutuhkan keahlian khusus dan yang jelas itu adalah

ketelitian dan kecermatan.

Dalam bertugas Bapak tidak sendirian. Bapak

dibantu oleh teman Bapak. Namanya Aswan. Bapak dan

Aswan pun mempunyai atasan namanya Pak Razak. Kami

bertiga bekerja tidak pada tugas masing-masing tetapi

38
secara berganti-gantian. Misal pada hari ini Bapak yang

bertugas mengamati perjalanan keretaapi dari sebuah peta

jaringan dan nanti kemudian Bapak akan menyuruh Aswan

untuk ke jalur kedatangan dekat emplasemen untuk

menyambut kedatangan keretaapi melalui semboyan dengan

tongkat atau peluit sedangkan Pak Razak nanti yang akan

bergangtian dengan Aswan untuk memberangkatkan

keretaapi. Bapak yang berada di ruang kendali hanya

mengamati dan mengumumkan untuk memberangkatkan

dan membatalkan perjalanan karena suatu hal seperti

musibah dan sebagainya.

Bapak cukup senang juga dengan pekerjaan seperti

ini meskipun resikonya cukup besar. Hampir setiap hari

Bapak pulang cukup larut. Namun, pagi-pagi sekali Bapak

harus ke stasiun lagi untuk bekerja. Akibatnya, Bapak sering

tidak sempat bercengkrama dengan anak-anak Bapak yang

masih kecil-kecil. Pernah ada keinginan dari diri Bapak

39
untuk sesekali melakukan cuti demi anak-anak. Namun, hal

itu ditentang istri Bapak dan ia hanya berkata nanti juga ada

waktunya. Ya pekerjaan Bapak yang memang menyangkut

nyawa orang ini memang tidak ada liburnya. Hampir setiap

hari Bapak bekerja. Membanting tulang untuk keluarga

tercinta. Namun, hanya sedikit saja yang mengetahui

pekerjaan yang penting ini. Memang, orang tidak akan

peduli bagaimana pentingnya pekerjaan Bapak meskipun

menyangkut diri mereka. Yang mereka tahu hanya

kelancaran saja dari keretaapi yang mereka tumpangi. Kalau

tidak lancar mereka akan mulai marah-marah dan

mengadu. Memang itu hak mereka meskipun terkadang

Bapak merasa ada pengaduan yang dibuat-buat dan

disudutkan.

Kepala stasiun tempat Bapak bekerja bernama Pak

Hasmi. Ia orangnya baik dan perhatian terhadap semua

pegawainya. Para pegawainya sering diundangnya makan

40
malam di rumahnya kalau ia sedang ada syukuran. Ia

termasuk menghargai profesi Bapak dan teman-teman

Bapak dan sering memberikan perhatian lebih sebab resiko

nyawa orang.

Perhatian lebih itu terkadang menimbulkan

kecemburuan walaupun itu tidak terlihat. Yang paling

terlihat justru dari wakil kepala stasiun. Namanya Pak

Arsanto. Ia memang tidak suka dengan kami. Ia malah

berkata yang benar-benar membuat Bapak tersinggung

suatu hari. Ketika itu Bapak sedang istirahat di depan ruang

kerja Bapak. Yang lainnya juga demikian. Pak Razak dan

Aswan mereka sedang makan di kantin stasiun.

“Sedang tidak ada kerjaan, Pak Jamal?” ujar dirinya

yang datang tiba-tiba dan mengejutkan Bapak. Bapak

seketika langsung berdiri dan menyapanya,

41
“Eh, Bapak Wakil,” sapa Bapak ketika itu, “Betul Pak.

Mumpung belum ada kereta yang lewat lagi dan masih lama

sampainya. Bapak sendiri?”

“Kamu jangan pakai tanya saya segala ya,” ucapnya

yang jelas membuat Bapak kaget, “Saya ini wakil kepala

stasiun seharusnya kamu tahu kalau sekarang saya sedang

apa,”

“Maaf, Pak, saya memang tidak tahu,” jawab Bapak

menyalahkan diri.

“Eh, kamu sama teman-temanmu sudah diberi

perhatian lebih dan digaji dari biasanya masih enak-enakan

santai,”

Mendengar itu Bapak sekali lagi terkejut dan cukup

heran mengapa si wakil kepala stasiun berkata seperti itu,

42
“Maaf, Pak,” kata Bapak membela diri, “Saya dan

teman-teman bukannya santai tetapi sedang istirahat. Kami

ini juga kan butuh istirahat dan kami bukan robot,”

“Alasan!” ujarnya dan tiba-tiba saja ia meninggalkan

Bapak. Bapak sendiri heran.

Lalu Bapak ceritakan itu kepada teman-teman

Bapak. Pendapat mereka,

“Saya rasa ia cemburu dengan keadaan kita yang

lebih diperhatikan,” kata Aswan.

“Kita jangan berprasangka buruk dulu,” kata Pak

Razak, “Bisa saja ia cuma mau menegur kita,”

“Menegur bagaimana, Pak?” tanya Bapak heran, “Kok

menegur dengan nada yang menunjukkan rasa tidak suka.

Lagipula kita ini juga butuh istirahat kan masa mereka saja

yang butuh. Bukankah itu sudah menjadi hak asasi kita,”

43
Begitulah. Semenjak kejadian itu kami selalu

berhati-hati terhadap Pak Arsanto. Jika ia bicara kami iyakan

saja walaupun sebenarnya bisa saja kami melawan dan

melaporkan ke kepala stasiun. Hanya saja ia wakil dan juga

orang kedua berpengaruh di stasiun.

Suatu hari keadaan di stasiun Rawahijau begitu

sibuk. Banyak kereta dari berbagai arah muncul untuk

sekedar lewat, berhenti menurunkan penumpang, dan

istirahat. Keadaan ini membuat kami tidak bisa beristirahat

dan harus selalu sedia di pos tugas.

Saat itu Bapak berada di ruangan bersama Pak Razak

sedangkan Aswan di luar mengawasi dan memberikan sinyal

untuk berhenti dan berangkat keretaapi. Salah seorang

masinis sebuah lokomotif kemudian bertanya kepada Aswan,

“Bagaimana Pak?” tanyanya si masinis itu, “Kami

sudah diperbolehkan berangkat?”

44
“Memangnya sudah 15 menit Bapak di sini?” tanya

Aswan.

“Iya,” jawab si masinis.

Aswan lalu menoleh pada jam tangannya dan benar

waktu sudah menunjukkan 15 menit lokomotif yang berada

beberapa meter di depannya. Ia lalu berlari ke ruangan dan

mengatakan hal tersebut kepada Bapak dan Pak Razak. Kami

berdua mengiyakan dan Aswan segera berlari untuk mulai

memberikan semboyan keberangkatan kepada kereta. Kereta

pun berangkat dengan diiringi oleh pengumuman

keberangkatan dari Pak Razak.

Tanpa kami sadari ada sesuatu yang tidak beres

ketika kereta itu berangkat. Itulah yang kami dapatkan dari

kepala stasiun.

45
“Kenapa kalian memberangkatkan kereta di jalur 4?”

tanyanya kepada kami beberapa menit setelah kereta

berangkat dan ia ke ruangan kami.

“Lho, memangnya kenapa, Pak?” tanya Bapak,

“Bukankah sudah saatnya berangkat dan keadaan di depan

aman?”

“Kalian ini jangan bodoh ya?” kata kepala stasiun

mulai naik pitam, “Sekitar 2 kilometer dari stasiun ini ada

kereta yang sedang mogok. Pakai otak kalian jangan pakai

dengkul!”

Tentu saja kami terkejut seperti ditusuk anak panah.

Perkataan dari kepala stasiun seolah-olah mengisyaratkan

akan terjadi sebuah kecelakaan. Bapak yang mendengar itu

langsung bertindak mengambil tongkat dan berlari ke

emplasemen jalur langsiran untuk mengejar sambil

melambai-lambaikan tongkat. Sayang keretaapi sudah

46
keburu menjauh dan tidak melihat apa yang Bapak

lambaikan. Bapak pun pasrah.

Beberapa menit kemudian kecelakaan yang

diramalkan pun terjadi. Lokomotif yang berangkat dari

stasiun Rawahijau akhirnya menabrak sebuah kereta diesel

yang sedang mogok dari depan. Jelas saja tabrakan itu

mengakibatkan banyak korban jiwa dan beritanya pun

menjadi santapan media-media.

Selepas tabrakan, kami bertiga beserta si masinis

dijadikan tersangka karena dosa kami. Padahal kami tidak

bermaksud untuk itu karena kami sudah yakin dengan

keadaan di depan sebelum pemberangkatan. Lagipula

stasiun tempat si lokomotif akan berhenti sudah memberi

sinyal aman agar kereta berjalan dan katanya tidak ada

hambatan. Tetapi kenyataan berbalik. Kereta mogok itu kami

benar-benar tidak tahu. Bapak pun merasa ada dalang di

balik semua ini. Namun seperti biasa Pak Razak selalu

47
berkata jangan berprasangka terlebih dahulu. Apa yang

terjadi merupakan cobaan yang harus diterima.

Akibat kejadian itu, kami bertiga beserta si masinis

dijebloskan ke dalam penjara selama 7 tahun setelah melalui

3 proses pengadilan. Mau tidak mau ini harus diterima.

Bapak pun berpisah dengan anak-istri begitu juga teman-

teman Bapak. Bapak juga tidak dengan teman-teman Bapak

lagi ketika dipenjara karena mereka berada di penjara yang

lain. Selama di penjara banyak perlakuan tidak adil yang

Bapak alami. Mulai dari para preman penjara hingga

petugas dan kepala penjara. Tetapi Bapak hadapi saja. Bapak

juga jarang mendapat kabar dari keluarga dan teman-teman

Bapak.

Selepas keluar dari penjara, Bapak berharap

mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, malah

sebaliknya. Bapak jadi jatuh miskin karena tidak ada uang

jaminan yang bisa Bapak jadikan uang pensiun. Anak-istri

48
Bapak pada kelaparan sedangkan Bapak bingung mau kerja

apa lagi. Sampai suatu hari ada yang berniat mengadopsi

anak-anak Bapak pada seorang dermawan untuk

disekolahkan. Bapak terima saja daripada mereka sengsara

bersama Bapak. Sekarang mereka sudah mapan namun lupa

sama Bapak dan Ibu mereka. Namun, Bapak ikhlaskan saja.

Suatu hari Bapak bertemu Aswan yang sudah Bapak

tidak lama temui sejak penjeblosan ke penjara. Dialah yang

mengajak Bapak untuk kerja sebagai penyapu kelurahan

sampai sekarang. Jikalau sedang berdua bersama Aswan saat

istirahat seringkali berbicara mengenai masa lalu kami dan

terlihat suka ada nada menyesal meskipun sesal bukan jalan

terbaik.

Mengenai Pak Razak kami tak pernah tahu lagi

kabarnya apalagi si kepala stasiun serta wakilnya yang tidak

suka pada kami. Entahlah mereka dimana sekarang.

Sekarang yang kami tahu adalah kehidupan kami.

49
Bagaimana, Nak? Anak sekarang sudah tahu kan

kenapa Bapak bisa seperti ini? Kalau Anak berpendapat tidak

adil silakan karena memang Bapak merasakan ketidakadilan

hanya karena dosa Bapak bersama teman-teman Bapak.

Bapak ini seharusnya bagaimanapun mendapat perhatian

berupa tunjangan pensiun setelah sekian lama mengabdi di

dunia keretaapi. Itu juga hak Bapak. Tetapi karena mereka

tidak mau mendengar Bapak sudah ikhlaskan. Lagipula

Bapak sudah tua. Sudah bau tanah. Tinggal menunggu mati

saja.

Bapak hanya bisa berpesan supaya kalau nanti Anak

bekerja jangan sampai disia-siakan pekerjaan itu meskipun

pekerjaan yang Anak hadapi tidak enak atau juga tidak

sesuai dengan keinginan Anak. Juga jangan sampai teledor

ketika melakukan tugas. Nah, akibatnya seperti Bapak kan.

Kalau ada yang tidak suka diamkan saja. Biarkan ia dengan

ketidaksukaannya karena lama-lama ia pasti suka. Itu saja

50
dari Bapak, Nak. Bapak merasa sudah tidak bisa berkata-kata

lagi.

51
DI STASIUN AKU MENUNGGUMU

LWH van der Brug. Nama itu selalu saja teringat

dalam memoriku. Sebuah nama yang menurutku panjang

sehingga harus disingkat. Nama itu mengarah kepada

seseorang tegap, tinggi, bermuka dan berkulit putih dengan

mata biru dan rambut kuning kecoklatan. Gaya bicaranya

juga khas dengan ucapan yang mungkin bisa membuat

orang yang tidak biasa mengalami gangguan di

tenggorokan.

Aku mengingat dia sebagai seorang yang berpakaian

putih yang menjalankan tugasnya sebagai seorang kepala

stasiun keretaapi di sebuah daerah bernama Jatimerah.

Bagiku dia ramah dan tegas. Semua orang menyukai

gayanya. Dia tidak pandang bulu pada siapa saja baik itu

terhadap kulit putih, kulit berwarna atau kulit hitam.

52
Hampir setiap hari banyak lokomotif mampir di

depanku. Mereka semua ada yang dari berbagai jenis. Ada

yang lokomotif barang, ada yang penumpang. Mereka

kulihat begitu menyukai pemandangan di sekitarku yang

berupa gunung-gunung yang hijau membukit. Apalagi ada

udara sejuk di sekitarnya.

“Kau beruntung sekali berada di daerah ini,” kata si

lokomotif barang, “Sungguh indah sekali,”

“Terima kasih,” jawabku.

“Tak hanya itu kau juga bersih,” sahut si lokomotif

penumpang, “Berbeda dengan saudaramu yang lain yang

ada di tempat lain terutama di tepi pantai. Kotor. Kepala

stasiunmu benar-benar hebat. Aku salut,”

“Sekali lagi terima kasih,” jawabku, “Meneer Brug

memang seperti itu orangnya. Dia ingin membuat stasiun ini

bersih dan nyaman,”

53
Meneer Brug adalah panggilanku terhadap kepala

stasiunku itu. Namun orang-orang biasanya suka

memanggilnya Tuan Tegas dikarenakan sikapnya. Dia sudah

ada saat aku di sini.

Ketika itu aku terbangun dari tidur panjangku dan

menyaksikan orang-orang pada berkumpul di depanku.

Tampak aku melihat seperti akan ada acara peresmian

sebuah stasiun baru di Jatimerah. Stasiun yang tidak cukup

besar namun nyaman dan bisa dilintasi atau menjadi tempat

pemberhentian sementara banyak lokomotif. Upacara

peresmian yang cukup sederhana dengan hanya dihadiri

beberapa orang dan pidato seorang direktur berkulit putih

yang bersyukur sebuah stasiun bisa diselesaikan. Kemudian

aku lihat seorang berkulit putih lagi sedang berpidato

dengan suara yang lantang tegas. Aku perhatikan nama yang

tertera di seragamnya. LWH van der Brug. Sejak saat itulah

aku mengetahui dan mengenal itu adalah Meneer Brug.

54
Mulai detik peresmian, di depanku sudah banyak

lokomotif yang sekedar lewat dan berhenti. Jikalau lokomotif

akan lewat Meneer Brug akan menyuruh anak buahnya

menyuruh semua orang yang sedang melintas di atas rel

untuk minggir karena kalau tidak orang-orang itu akan

tertabrak dan tewas. Jika ada kereta yang berhenti Meneer

Brug akan berbicara lewat pengeras suara untuk

mengucapkan selamat datang dan menikmati kenyamanan

stasiun Jatimerah. Ia juga takkan segan untuk mengundang

lokomotif ke ruangannya hanya untuk sekedar berbicara

sambil makan dan beristirahat sejenak. Para masinis itu

memang terkesan dengan sikap Meneer Brug dan mereka

amat menyayangkan jika harus sebentar di stasiun Jatimerah

hanya karena tugas. Sikap seperti ini tak pernah mereka

dapatkan jika harus beristirahat sebentar di stasiun-stasiun

lain yang kepala stasiunnya masa bodoh. Bahkan jika ada

salah satu lokomotif yang hendak ke stasiun Jatimerah

mogok, Meneer Brug segera menyuruh anak buahnya

55
menjemput kereta tersebut dengan kereta derek dan

kemudian dipersilahkan dibetulkan. Dalam hal ini juga ia

menyuruh anak buahnya untuk membantu dan memberi

makan. Kereta yang mogok itu malah diberi tambahan

bahan bakar berupa kayu dan batu bara. Hal-hal inilah yang

membuat semua pengguna kereta api senang padanya dan

selalu akan menganggap stasiun Jatimerah sebagai rumah

mereka sendiri.

Namun semua berubah. Meneer Brug tiba-tiba

harus meninggalkan jabatannya sebagai kepala stasiun dan

kembali ke negaranya, Belanda untuk mengisi posisi sebagai

direktur. Posisi itu ia dapatkan karena prestasinya yang

bagus dalam mengelola stasiun Jatimerah. Awalnya ia

menolak ini semua. Ia tampak begitu sedih harus

meninggalkan stasiun yang telah ia pimpin dengan cara dia

yang disukai semua orang. Ia merasa telah menyatu dengan

stasiun ini juga dengan alam sekitarnya yang sejuk dan

56
damai. Namun, ia tidak bisa melawan karena yang harus ia

emban ini adalah tugas yang wajib. Keluarganya di Belanda

juga sudah memintanya balik. Aku yang melihat itu ikut

sedih juga karena merasa kehilangan akan seseorang yang

tanggungjawabnya begitu besar. Namun bagaimanapun ia

harus dilepas dan berharap penggantinya akan sama seperti

dia dan lebih baik.

Tetapi apa yang kuharapkan tidaklah menjadi

kenyataan. Pengganti Menneer Brug, Johannes der Steen

ternyata adalah kebalikan dari dirinya. Ia bersikap tidak

ramah kepada semua pengguna keretaapi baik penumpang,

pegawai, dan para masinis. Jika ada permasalahan yang

menimpa penumpang seperti masalah tiket ia malah masa

bodoh. Begitu juga dengan pegawai. Ia tak mau ramah

dengan mereka apalagi dengan pegawai kulit berwarna

yang selalu ia katai dengan “monyet pembantu”. Gila! Baru

kali ini aku mendengar ada seorang kepala stasiun berkata

57
seperti itu. Kepada para masinis pun ia ogah mengundang

mereka makan dan membiarkan mereka mencari makan

sendiri. Bahkan ia melarang para pegawainya melayani para

masinis dalam hal apapun. Seorang masinis pun

menggerutu,

“Mengapa sekarang Jatimerah tidak bersahabat

lagi?”

Pernah ada seorang pegawai yang tidak tega melihat

penderitaan masinis lokomotif yang butuh makan dan juga

perbaikan mesin karena lokomotifnya mogok. Pegawai itu

diam-diam memberi makan dan beberapa peralatan

pembantu. Sayang, aksinya ketahuan si kepala stasiun. Ia

langsung dipecat tanpa diberi uang pesangon. Lokomotif

yang mogok itu hanya mogok beberapa kilometer saja dari

stasiun dibiarkan terdiam tanpa ada bantuan sama sekali

dari pihak stasiun karena peraturan kaku der Steen.

Akhirnya lokomotif itu secara inisiatif didorong oleh para

58
penumpang dan para awaknya sampai ke stasiun. Di stasiun

tidak ada penyambutan apa-apa. Seorang penumpang pun

kesal,

“Stasiun macam apa ini? Kami yang sudah berlama-

lama di perjalanan hanya dibiarkan seperti ini saja? Biadab!”

Tentu saja aku merasa terhenyak mendengar kata-

kata itu. Kata yang menurutku sakit sekali sampai ke hati.

Para pegawai itu juga merasa demikian. Tapi mau

bagaimana lagi mereka harus menuruti perintah.

Selama der Steen berkuasa, tak hanya peraturan-

peraturan merugikan saja yang ia terapkan tetapi aku saja

tidak diperhatikan. Aku yang dahulu terlihat bersih dan elok

dalam kesederhanaan dibiarkan kotor dan akhirnya kumuh.

Mereka yang memandangku pun merasa jijik. Ini benar-

benar bagiku sebuah cobaan. Aku pun berdoa supaya aku

bisa keluar dari situasi ini.

59
Suatu hari kudapatkan kabar bahwa der Steen tewas

secara mengenaskan di sebuah kamar dengan seorang

wanita penghibur. Aku yang mendengar berita itu hanya

bisa bergumam, itu balasan dari yang kau perbuat. Semua

pegawai dan awak begitu senang mendengar dan

bergembira. Mereka malah mengusir orang-orang

kepercayaan der Steen. Aku yang melihat ini langsung juga

hanyut dalam suasana dan berharap kejayaan stasiun

Jatimerah datang kembali.

Namun kejayaan yang kuharapkan ternyata tidak

datang kembali juga. Beberapa minggu setelah kematian der

Steen pimpinan maskapai keretaapi menyuruh orang-orang

menutup diriku dengan alasan untuk menghambat laju

pasukan Jepang yang sedang melaju ke pedalaman Pulau

Jawa. Awalnya aku tidak mengerti dengan maksud semua

ini. Barulah aku sadari bahwa rupanya sedang terjadi

sebuah perang.

60
Di depanku kini terlihat begitu banyak kesibukan.

Banyak tentara yang datang dari berbagai arah dan

membuat barak-barak pertahanan. Tentara-tentara itu

dipimpin oleh seseorang bernama kolonel van der Hout. Ia

terlihat tegap dan tegas seperti halnya tentara dan itu

mengingatkanku pada Meneer Brug. Hanya saja ia tidak bisa

peduli padaku karena situasi perang. Aku kembali kotor oleh

banyak sampah-sampah dari mereka juga coretan-coretan

yang sengaja dibuat untuk menampilkan tanda bagi

pemasok bantuan. Jalur-jalur rel di depanku seketika juga

berubah menjadi tempat aktifitas para tentara.

Ketika perang akhirnya terjadi benar-benar di

depanku mulailah suara desingan peluru bertebaran dan

mengenai diriku. Aku merasakan sakit yang luar biasa.

Darah muncrat di mana-mana dan mengotori diriku.

Teriakan, tangisan sungguh aku berharap semoga keluar

dari sini. Beberapa malam kemudian mereka yang

61
mempertahankan diriku akhirnya menyerah. Sejak saat itu

aku mulai dikuasai oleh orang-orang Jepang yang postur

tubuhnya sama seperti orang-orang kulit berwarna hanya

saja mereka sipit dan berkata dengan nada yang cepat dan

tegas. Aku pun berharap ada sesuatu yang baru dari mereka.

Nyatanya sama saja. Aku dibiarkan masa bodoh.

Cuma dimanfaatkan sebagai barak dan gudang senjata serta

makanan. Selebihnya malah sebaliknya. Terkadang aku juga

dimanfaatkan sebagai tempat untuk melihat para tentara

Jepang itu memuaskan nafsu seksnya terhadap perempuan

pribumi yang sudah setengah ketakutan. Bahkan juga

mereka yang dianggap pembangkang dieksekusi di sini dan

mayatnya dibuang ke sungai di belakangku. Aku benar-

benar sedih. Kenapa aku yang dahulu begitu eloknya harus

menjadi sesuatu yang sangat buruk.

Ketika Jepang kalah dalam pertempuran seperti yang

aku tahu dari ucapan para prajurit Jepang dan mereka tahu

62
lewat radio, mereka yang masih tersisa berupaya

mempertahankan dengan segala cara dan jika kalah akan

melakukan hara-kiri. Pertempuran terjadi lagi ketika

sekelompok tentara rakyat dari negara yang baru saja

merdeka, Indonesia menyerang para tentara Jepang itu.

Sekali lagi aku terkena muntahan peluru dan harus

menerima sakit yang tak berbekas ini. P ertempuran itu

terjadi dalam waktu 6 jam ketika tentara rakyat berhasil

mengalahkan dan menguasai semuanya. Orang-orang

Jepang hanya sedikit saja yang bersedia untuk ditahan.

Datangnya tentara rakyat juga sekaligus

menancapkan kekuasaan mereka melalui pengibaran

bendera merah putih di depanku. Mulai detik itu aku milik

mereka. Aku sekali lagi berharap pada keputusan mereka

memperlakukan aku. Semoga saja baik dan ternyata

memang benar seperti yang kuharapkan. Mereka

membersihkan aku dan mengecat ulang semua bagianku.

63
Kemudian juga ditunjuk seorang kepala stasiun. Dia

bernama Haryono. Sepintas aku teringat akan nama ini dan

sosoknya yang kecil serta tegas. Dia adalah anak buah

Meneer Brug. Sudah tertanam di dalam dirinya sepertinya

untuk mengembalikan aku si stasiun Jatimerah seperti

dahulu kala.

Maka seperti Meneer Brug juga ia berusaha

membuat pelayanan yang membuat mereka suka mampir

dan betah di Jatimerah. Namun baru dua tahun setelah aku

menikmati masa-masa itu cobaan datang kembali. Sebuah

pertempuran terjadi lagi kali antara tentara Indonesia

dengan tentara Belanda yang berusaha menguasai negeri ini

kembali. Pertempuran itu pada akhirnya dimenangkan pihak

Belanda dan Haryono tewas dalam pertempuran itu. Aku

yang melihatnya sedih ketika ia harus tersungkur jatuh di

depan tembok depan oleh sebutir peluru yang menerjang

dadanya. Meskipun begitu orang-orang Belanda ini masih

64
mau menguburkan dirinya di samping diriku dengan hanya

sebuah batu besar sebagai penanda.

Ketika orang-orang Belanda ini menguasaiku seperti

dulu lagi walau tak kutemui sosok Meneer Brug, aku merasa

senang karena mereka tetap melanjutkan apa yang sudah

dikerjakan Haryono. Mereka benar-benar total

membersihkanku karena kata mereka mereka akan coba

menguasai lagi negeri yang mereka sebut Hindia-Belanda.

Jika sudah benar-benar dikuasai aku katanya akan

diperbesar dan akan menjadi stasiun megah di atas

pegunungan yang indah.

Namun, orang-orang Belanda itu pergi lagi ketika

tahu bahwa tempat mereka ini dikembalikan kepada

pemiliknya yang sah. Ada dari mereka yang sempat kesal,

“Mengapa yang di Den Haag itu begitu bodoh?

Percuma saja aku ke sini kembali. Sialan!”

65
Tetapi mau bagaimana lagi mereka harus pergi. Kini

aku akan benar-benar dikelola oleh mereka yang pernah

dijajah. Dalam tahun-tahun pertama hingga akhir 60-an

aku benar-benar dijalankan dengan apik dan benar. Mereka

yang mampir di stasiun begitu betah dan suka. Apalagi tak

jauh dari tempatku dibangun sebuah penginapan. Maka

menjadi ramailah aku. Namun menjelang pertengahan 70-

an tiba-tiba aku ditutup karena katanya pemerintah sudah

merasa ogah membiayai jalur kereta yang mengarah padaku.

Otomatis penginapan yang d dekatku bangkrut. Aku kembali

sedih.

Sejak ditutup itu aku merasa sepi. Tak ada sekalipun

orang yang melintas di depanku. Hanya satu-dua orang saja.

Tempatku malah terkadang dijadikan tempat berpacaran

dan esek-esek oleh pasangan muda-mudi di situ pada siang

hari karena sepinya. Bahkan ada yang menjadikanku tempat

mencari penampakan hantu karena menganggap aku

66
tempat angker. Aku bilang dalam hati, ih apa-apaan nih.

Aku akui memang di sini ada penampakan. Tetapi yang

melakukan itu adalah setan yang kurang kerjaan dengan

menyamar sebagai orang-orang yang pernah meninggal dan

berteriak-teriak. Termasuk di dalamnya Haryono yang

makamnya malah tertutup semak-semak sehingga tak

mudah dikenali lagi. Setan-setan itu malah senang dirinya

dicari-cari karena menurut mereka itu adalah pesta. Sekali

lagi aku berharap keluar dari situasi ini. Dalam situasi

seperti itu aku masih berharap sosok Meneer Brug.

Suatu siang kulihat ada banyak rombongan yang

datang ke stasiun ini dengan sebuah kereta khusus yang

melintasi rel yang sudah jarang dilewati. Rombongan itu

berisi para pejabat kereta api serta pemerintahan serta ada

seorang bule tinggi dan tegap. Salah seorang pejabat

diantaranya berbicara kepadanya,

67
“Seperti inilah stasiun yang pernah dikepalai oleh

kakek Anda,”

“Kotor sekali,” jawabnya, “Kenapa bisa seperti ini?”

“Saya juga kurang tahu,” kata si pejabat, “Tetapi kami

hanya tahu bahwa stasiun ini ditutup karena kami merasa

biaya membengkak,”

“Saya mau bicara pada Pak Menteri sekarang juga,”

katanya.

Lalu dipanggilah Menteri yang dimaksud, Menteri

Perhubungan.

“Bapak bisa beri izin kepada saya untuk mengelola

stasiun ini lagi,” katanya, “Saya melihatnya tidak pantas,”

“Tentu saja bisa,” kata Pak Menteri, “Karena itulah

juga maksud kami mengajak Anda ke sini,”

68
“Baiklah,” katanya, “Saya serahkan dana untuk

semua perombakan dan perawatan. Nanti orang-orang dari

Kereta Api dari negara Anda saja yang bekerja. Yang penting

saya ingin dia seperti di foto ini lagi,”

Ia lalu menunjukkan sebuah foto hitam-putih

bergambar sebuah stasiun yang terlihat begitu sederhana

dan cantik dan di depannya ada sebuah lokomotif kecil serta

orang-orang yang sedang berjalan. Aku yang melihatnya

langsung tersadar bahwa itu adalah aku yang dahulu.

“Beres, Pak,” kata Pak Menteri,” Nanti kami akan

laksanakan,”

Dari pembicaraan itu aku ketahui bahwa aku yang

sudah dalam keadaan kotor dan kumuh dengan bentuk

bangunan yang setengah hancur dan banyak coretan serta

bau air kencing akan dikembalikan seperti dahulu kala yang

69
dahulu bersinar terang di antara gunung-gunung dan yang

bukit yang menghijau.

“Saya juga minta untuk menghargai stasiun ini

sebagai benda bersejarah,” kata si bule tadi, “Bagaimana

bangsa Anda mau maju,”

Pak Menteri hanya manggut-manggut.

Baru kuketahui bahwa si bule itu adalah Christiaan

Leonardus van der Brug, seorang keturunan van der Brug.

Aku lihat sosoknya yang memang mengingatkanku pada

sosok Meneer Brug. Benar-benar tegap dan tegas. Sorotan

mata birunya saat memandangku memang benar-benar

mensahihkan keyakinanku. Ia akan menjadi penyelamatku.

Aku berpikir pasti ia dibisiki oleh Meneer Brug untuk

membersihkan aku dan aku merasa Meneer Brug selama di

Belanda pasti dalam batinnya merasa sering mendengar

keluhanku. Akhirnya apa yang kuharapkan datang juga.

70
“Maafkan kalau kakekku meninggalkanmu, stasiun

Jatimerah,” ujar Christiaan di hadapanku sendiri, “Kini

biarkan aku membuatmu seperti dulu lagi. Itu pasti,”

Sungguh aku terharu mendengarnya.

71
DUNIA MEMANG SEMPIT

Jam menunjukkan pukul setengah 7 pagi.

Bersamaan dengan itu datanglah kereta Parahyangan dari

arah Gambir dan berhenti di stasiun Jatinegara. Amri yang

sedari tadi menunggu di peron langsung menaiki kereta

yang menuju ke Bandung tersebut. Suasana di stasiun

Jatinegara sudah tampak ramai pada pagi yang masih cerah

dan sejuk sebelum nanti jadi panas dan menerik. Ciri khas

dari udara Jakarta. Tampak di stasiun itu setelah Amri naik

beberapa orang masih menunggu di peron kedatangan

kereta-kereta yang lain. Di peron sebelah timur datanglah

kereta AC ekonomi dari arah Bekasi menuju ke Jakarta-Kota

dan terlihat di dalamnya sudah begitu padat. Beberapa orang

kemudian naik. Ada yang buru-buru tetapi ada juga yang

perlahan. Begitu semua naik kereta itu lalu berangkat

kembali.

72
Amri hanya coba memandang dari tempat duduknya

di dekat jendela. Suasana dalam Parahyangan masih sepi dan

belum banyak penumpang. Kebetulan ia menaiki kelas

eksekutif yang memang jarang dan kebetulan juga ia ke

Bandung saat hari kerja dan bukan hari libur di akhir pekan.

Di sebelahnya belum ada orang yang datang untuk

menduduki tempatnya namun di depan dan belakangnya

terlihat sudah ada beberapa orang yang datang dan duduk.

Beberapa menit kemudian datang pengumuman dari

petugas stasiun bahwa kereta Parahyangan siap berangkat

kembali. Setelah pengumuman itu kereta pun berangkat

meninggalkan Jatinegara.

Tak ada raut khusus dari Amri ketika kereta

berangkat. Ia tampak biasa-biasa saja apalagi untuk

menyapa pemandangan yang berada di jendela di dekatnya.

Pikirannya hanya terfokus pada satu kata: Braga. Ya Braga.

Nama sebuah jalan terkenal di Bandung selain Dago dan

73
Dipati Ukur. Jalan ini sudah terkenal sejak Bandung berdiri

akhir abad ke-19 oleh Daendels dan merupakan tempat

tonggak berkembangnya si kota kembang dan biasanya

setiap tahunnya selalu diadakan festival jalan Braga yang

dimulai dari Gedung Merdeka hingga Gereja Bethel. Namun

apa karena hal itu Amri ke sana? Tentunya tidak. Bukan

karena hal tersebut ia ke sana dan lagipula sekarang masih

di pertengahan tahun. Festival jalan Braga selalu diadakan di

akhir tahun. Lalu karena apa? Apa karena ingin berwisata

arsitektur sambil bernostalgia akan masa lalu di Bandung?

Jelas tidak. Orang seperti Amri takkan berpikir ke situ. Ia ke

Braga hanya untuk menemui teman bisnisnya yang akan

menemuinya di Sumber Hidangan, sebuah nama restoran

terkenal di kawasan tersebut. Namun, orang-orang lebih

senang menyebutnya Het Snoephuis, nama masa lampau

restoran ini. Dia terletak di seberang jalan Naripan dan dekat

dengan Bank Jabar-Banten di seberangnya tersebut. Sekitar

jam 10 pagi ia akan bertemu dengan temannya itu. Toh,

74
waktunya akan tepat waktu karena Amri akan sampai di

Bandung sekitar pukul 9 dan lagipula kawasan Braga

tidaklah jauh dari stasiun Bandung.

Beberapa menit kemudian setelah keberangkatan

dari Jatinegara Parahyangan berhenti di Bekasi. Hanya

sedikit saja yang naik. Amri lalu menyadari bahwa sekarang

di sampingnya ada yang menemani. Seorang lelaki juga.

Berwajah putih mulus dan sedikit berkumis. Matanya

tampak lebar dan memakai topi hitam serta berkemeja biru

yang dilapisi jaket hitam. Amri tak banyak

memperhatikannya. Ia sepertinya malas. Ia kemudian tetap

memandang jendela dan tak tahu lelaki itu sedang apa.

Kereta kemudian berangkat kembali dan ketika

berangkat seorang petugas mondar-mandir membawakan

nampan dan di situ ada nasi goreng, mi goreng serta

beberapa minuman. Ia membawa sambil berteriak kecil

untuk menawarkan. Beberapa ada yang menanggapi dan

75
beberapa tidak. Karena Amri sudah makan sebelumnya ia

sudah tak nafsu lagi. Tetapi, orang yang di sampingnya

sebaliknya. Ia tampak meminta nasi goreng dan sebotol

aqua. Ketika hidangannya sudah ada di meja di tempat

duduknya, tiba-tiba ia berbicara kepada Amri,

“Makan, pak,” sapanya.

Amri sedikit terkejut lalu menjawab,

“Silahkan,”

Orang itu tampak makan dengan lahapnya. Amri

sekali lagi hanya sedikit memperhatikan. Selagi ia makan

seorang petugas yang tadi menawarkan datang kembali

untuk membawa beberapa kembalian. Ketika selesai makan,

orang itu tampak puas dan kenyang. Karena merasa ada

sesuatu yang menyangkut di giginya, ia lalu menyapa Amri,

“Maaf, pak,” sapanya, “Punya tusuk gigi?”

76
Amri yang merasa punya langsung menjawab,

“Iya, saya punya. Sebentar ya,”

Ia lalu merogoh-rogoh di balik jaketnya. Tangannya

ke sana kemari merogoh. Tetapi, tampaknya nihil.

“Wah, maaf tuh, Pak,” katanya, “Saya kira ada tapi

malah nggak ada,”

“Oh, nggak apa-apa,” kata orang itu, “Nanti deh saya

coba tanya ke petugasnya. Ngomong-ngomong bapak mau

ke Bandung atau Cimahi?”

“Saya ke Bandung,” jawab Amri, “Bapak?”

“Saya juga ke Bandung,” kata orang tersebut,

“Ngomong-ngomong boleh kita berkenalan?”

“Boleh,”

Mereka lalu berkenalan sambil berjabat tangan,

77
“Amri,”

“Johan,”

Johan yang sudah berkenalan dengan Amri lalu

bertanya kembali,

“Ada apa Pak ke Bandung?”

Amri tampak sedikit terganggu dengan pertanyaan

itu. Ia menilai Johan orang yang ingin tahu. Tetapi, mau tak

mau Amri harus menjawabnya.

“Saya ada urusan dengan teman saya di Braga,”

“Oh, di Braga,” kata Johan, “Di mana tepatnya?”

Sekali lagi Amri merasa sedikit terganggu tetapi ia

harus menjawab dan bukan mendiamkan,

“Di restoran Sumber Hidangan,”

78
“Oh,” kata Johan, “Kalau saya hendak ke Sukajadi

mau ke rumah saudara saya,”

Kali ini gantian Amri yang bertanya,

“Bapak orang sana?”

“Tepatnya begitu,” jawabnya, “Tetapi, sudah lama

saya nggak tinggal di sana dan tinggal di Jakarta. Kalau

bapak?”

“Saya asli Jakarta,” jawab Amri, “Tapi, saya punya

istri dari Garut dan dia beberapa tahun pernah tinggal di

Bandung untuk sekolah,”

“Memang dia sekolah di mana, Pak?”

“Seingat saya di SMA 3 Bandung,”

“Oh, SMA 3? Itu mah sekolah saya dulunya pak,”

79
“Apa jangan-jangan Bapak malah kenal sama istri

saya?”

“Memang siapa nama istri Bapak?”

“Arika Rohimah,” jawab Amri, “Biasa dipanggil Rika,”

“Rika?” tebak Johan, “Maksud Bapak Rika anaknya

Pak Burhan?”

“Lha itu nama mertua saya,” kata Amri.

“Ah, tepat sekali kalau begitu,” kata Johan senang,

“Rika itu memang teman saya dan satu angkatan sama saya.

Iya dia itu dulu primadona di sekolah. Banyak yang suka

sama dia termasuk juga saya,”

Johan lalu tertawa-tawa.

“Pantas,” kata Amri, “Ia selalu cerita sama saya

mengenai kehidupan SMA-nya dulu,”

80
“Gimana kabarnya sekarang, Pak?”

“Alhamdulillah,” kata Amri, “Dia sekarang kerja

sebagai wakil sekretaris di sebuah perusahaan dan kami

sudah punya dua anak dari pernikahan kami,”

“Beruntung Bapak bisa dapatin dia,” kata Johan

memuji, “Dulu banyak pria yang suka sama dia selalu dia

tolak bahkan macan sekolah atau ketua Osis sekalipun,”

Amri hanya tersenyum.

“Dunia memang sempit ya, Pak?” kata Johan.

“Ya, begitulah,” sahut Amri.

Mereka berdua terus berbicara dan tanpa disadari

mereka telah melewati banyak pemandangan indah tersaji

dan akhirnya berhenti juga di Bandung. Ketika keluar dari

stasiun Bandung mereka pun berpisah. Amri ke Braga dan

ingin berjalan kaki saja tanpa naik angkot, sedangkan Johan

81
ke Sukajadi dengan naik angkot. Udara Bandung yang sejuk

pun mengiringi perjalanan Amri menuju Braga yang tampak

tenang di kejauhan.

82
GERBONG TAK BERTUAN

Setiap hari, setiap jam, setiap detik, dan setiap menit,

ia selalu berada di situ. Dipayungi sebuah tempat yang

cukup melindungi dari terpaan sinar matahari atau rintikan

dan derasnya hujan, ada kesetiaan yang kurasakan dari

dirinya. Rel di dalam tempat bernama hangar itu sudah lama

menjadi pijakannya.

Dari luar kuperhatikan bahwa dirinya seperti

menyembul dari dalam kegelapan hanggar meskipun itu di

siang hari. Tak ada seorang pun yang mau ke sana kecuali

jika diperlukan. Misalnya para petugas keretaapi yang

hendak memeriksa keadaan hanggar dan juga keretaapi

beserta gerbong-gerbongnya. Namun, dia terkadang hanya

dilewati saja. Dilihat sekilas tanpa diperhatikan dan

sepertinya ada rasa hati-hati juga dari para petugas

keretaapinya.

83
Jika malam tiba hanggar itu tetap gelap. Sebenarnya

tidak gelap hanya saja lampu penerang yang terpasang di

langit-langitnya tidaklah begitu terang seperti lampu-lampu

kebanyakan. Jadi aku dapati suasananya sungguh remang-

remang. Keadaan itu seperti itu terkadang dalam pandangan

orang yang percaya akan mistis akan menilainya sebagai

tempat yang mistis dan angker. Rasa itu malah diperkuat

dengan sering adanya acara sesajen dan syuting acara-acara

yang intinya hanya untuk menunjukkan mereka yang

berada di luar dunia manusia berada.

Hal-hal seperti itu muncul karena adanya

kepercayaan lisan yang turun-temurun. Konon katanya

gerbong itu memang angker karena di dalamnya pernah

terjadi banyak kejadian pahit. Ada yang bilang di dalam

gerbong itu banyak manusia yang mati dipenggal. Ada juga

yang bilang manusianya dibiarkan dalam keadaan kelaparan

lalu tewas serta kabarnya lagi gerbong itu pernah menjadi

84
tempat bunuh diri sepasang kekasih yang lari dari

orangtuanya karena cintanya tak direstui.

Karena seperti itu maka sering saja ada yang

mendengar suara-suara dan teriakan-teriakan minta ampun

dan minta tolong. Bahkan katanya ada yang sempat melihat

di tengah malam gerbong itu bergerak sendiri perlahan

keluar dari hanggar.

Aku sejujurnya tidak begitu percaya dengan semua

hal tersebut bahkan aku menilainya mengada-ngada.

Kenapa? Ya karena sekarang zaman modern. Zaman yang

penuh dengan rasionalitas. Jadi, semua harus mengandalkan

akal dan pikiran. Untuk itulah semua-semua yang ada harus

dicerna dengan dua unsur tersebut. Bagiku keadaan gerbong

yang seperti itu bisa saja dikarenakan keadaan orang-orang

yang sedang berhalusinasi atau berfatamorgana. Kalaupun

pernah terjadi kejadian yang pahit tentulah seharusnya itu

tidak terlalu dibesar-besarkan.

85
Aku sendiri percaya dengan keberadaan makluk dari

luar dunia manusia. Mereka juga seperti manusia dan ada

dimana-mana namun tak terlihat. Namun dengan cara

seperti ini bukannya malah menambah rasa ge-er mereka

karena mereka senang kehadirannya yang gaib dipuja-puja

bak dewa dan Tuhan.

“Sebenarnya sih ini masalah percaya nggak percaya,

Ran,” ujar temanku, Anto ketika aku dan dia sedang

memandang gerbong itu dari kejauhan pada suatu hari

sehabis pulang dari kampus, “Jujur gue sendiri malah

mengalami kejadian aneh waktu di situ,”

“Apaan memangnya?” tanyaku heran tapi seakan-

akan bisa menebak apa yang ingin ia jawab, “Teriakan-

teriakan? Gitu? Gue yakin itu mah suara kucing,”

“Ah, ngaco lo!” ujar Anto, “Kucing lha suaranya kaya

gitu. Udah tau kucing meong-meong,”

86
Aku pun tertawa,

“Becanda, cuy!” kataku, “Ya gue yakin itu suara

binatang malam kaya burung hantu atau mungkin juga

musang. Kan lo tahu di belakang hanggar itu ada kali,”

“Tapi suara binatang malam nggak kaya gitu lagi,”

kata Anto, “Masa iya kaya suara manusia yang ajalnya mau

habis,”

“Bisa aja lha,” kataku, “Udah banyak contohnya. Kaya

suara ayam ketawa dikiranya itu setan sedang ketawa,”

“Ya kalo ayam ketawa mah gue tahu,” kata Anto,

“Sekarang gue mau bilang aja gue pernah ngalamin kejadian

aneh aja. Tetapi bukan pas di sana melainkan pas motret,”

“Apaan?” tanyaku lagi, “Ada penampakan?”

87
“Bukan. Foto gue masa nggak bisa kecetak. Kosong.

Terus pas mau gue pindahin ke komputer. Nggak bisa.

Ngadat,”

“Komputer lo banyak virus kali?”

“Lha kalo banyak virus mah itu sekarang udah pada

hilang sama anti-virus gue,”

“Tapi bisa aja kan. Bukannya ada virus yang nggak

bisa diberantas,”

“Itu pasti ada. Tapi kalo misal ini virus tentulah

dampaknya tidak terlalu besar. Masih bisa ditangkal. Yang

jelas gue heran aja kenapa ada yang menghambat

prosesnya,”

Begitulah Anto. Ia sepertinya sudah terpengaruh

oleh kepercayaan lisan para penduduk sekitar hanggar

keretaapi mengenai kemistisan tentang gerbong yang

88
sekarang diam dengan kesetiaannya di dalamnya. Bukan

hanya Anto beberapa keluargaku seperti bapak dan adikku

malah demikian. Bahkan adikku pernah ditemui sebuah

sosok besar ketika ia sedang bermain petak umpet di dekat

gerbong itu. Sejak saat itu ia tidak mau lagi main petak

umpet.

Aku memang benar-benar masih heran kenapa juga

harus ada hal-hal seperti ini. Sejujurnya aku memang

pernah merasakan kejadian aneh dengan gerbong itu. Pada

waktu itu aku sedang iseng-isengnya ingin menyendiri

karena sedang merasa malas dengan keadaan di rumah.

Kebetulan gerbong ini yang menjadi tujuanku. Maka

pergilah aku ke hanggar dan kemudian duduk di dekatnya

sambil memandang.

Jujur gerbong berwarna merah ini sangat anggun.

Jumlah kacanya kira-kira 7 atau 8 di kiri dan kanan dan di

bagian badan samping terdapat sebuah tulisan yang aku

89
tidak mengerti bahasanya. Kalau kata temanku sih bahasa

Belanda. Aku lalu berpikir kalau ini pasti gerbong buatan

Belanda.

Aku merasa tenang dengan keadaan hanggar dan

gerbong yang sepi. Seperti tidak ada yang mengangguku.

Tetapi tiba-tiba saja aku merasa aneh. Beberapa kali ada

yang mencolekku dan bahkan tertawa-tawa mengejek. Aku

langsung bereaksi dengan berteriak,

“Woi, siapa di situ? Kalo lo memang jantan keluar!

Jangan kaya banci deh!”

Suara itu malah setelahnya tidak ada lagi dan hilang

ke seantero hanggar. Aku kemudian malah terus berada di

situ sampai sore ketika aku merasa cukup untuk menyendiri.

Esoknya aku ceritakan kejadian ini pada keluargaku. Kata

mereka aku itu sedang diganggu penghuni gerbong. Tetapi

aku tampik,

90
“Mana mungkin paling orang iseng. Buktinya dia

nggak berani saat aku berteriak,”

“Bisa saja mereka takut kamu,” itu kata ibuku yang

juga diamini oleh bapakku, “Kamu tahu kan kejadian

adikmu ditemuin,”

“Iya, aku tahu,” jawabku, “Paling dia lagi kecapekan

karena cari tempat ngumpet,”

“Kamu ini kalau dibilangi selalu saja tidak percaya”

Memang sekali lagi aku tidak percaya dengan semua

hal yang berbau mistis. Bagiku hal tersebut malah membuat

manusia menjadi malas untuk maju karena tergantung pada

kekuatan di luar nalar. Lalu buat apa guna akal pikiran yang

diciptakan Sang Pencipta? Tentu agar manusia itu maju

bukan selama dalam koridor yang masih halal. Hal-hal

seperti malah seperti menuntun ke arah yang musyrik.

Padahal bapak-ibuku sudah pergi haji dan dua-duanya

91
berpendidikan tinggi masih saja percaya dengan yang

seperti itu. Meskipun aku pernah mengalami kejadian aneh

di gerbong tak bertuan itu apakah harus aku ikut-ikutan

percaya? Aku rasa tidak. Aku yakin dia hanya butuh

perawatan untuk dibersihkan. Kalau sudah bersih tentu ia

akan enak dilihat dan tidak kumuh meskipun ada

keanggunan dalam kekumuhannya.

92
IMAGINE A DOUBLE-DECKER

Padat. Desak-desakan. Tiada ruang gerak dan hanya

bisa terpaku dalam keadaan terpaksa. Itulah yang sekarang

dialami oleh Darwin di dalam sebuah gerbong keretaapi

Jakarta-Bogor yang sedang ia tumpangi. Padahal yang ia

tumpangi adalah keretaapi kelas AC Ekonomi yang sudah

tentu lebih mewah dari keretaapi ekonomi biasa yang

keadaannya sungguh terbalik dengan AC Ekonomi. Kalau di

keretaapi ekonomi biasa akan didapatkan tak hanya

penumpang tetapi juga pedagang asongan, pengamen, dan

juga pengemis yang mengais rezeki. Keberadaan mereka

akan terus walaupun keadaan di kereta sudah sesak dan

parah. Namun, bila di Ekonomi AC tak ada hal semacam itu

tetapi tetap saja kalau padat memang menyesakkan.

Darwin sebenarnya sudah mengetahui kalau

keretaapi yang ia tumpangi memang akan mempunyai

keadaan yang demikian. Pertama ia melihat keadaan di

93
peron. Banyak penumpang menumpuk di situ. Berdiri dan

duduk menunggu seperti dirinya. Ada yang terlihat gelisah

sambil menengok-nengok ke arah utara tempat keretaapi

akan datang dari pemberangkatan awalnya di stasiun

Jakartakota yang hendak menuju stasiun Tebet tempat ia dan

penumpang lainnya berada. Kedua kereta agak terlambat

datangnya dari jadwal semula dikarenakan ada masalah

sinyal di stasiun Manggarai. Hal itu juga yang menyebabkan

penumpang bertambah dan menumpuk. Ketiga sekarang

adalah hari Sabtu, akhir pekan. Tentulah kalau di akhir

pekan semua orang yang tinggal di Jakarta ingin ke Bogor

untuk ke Kebun Raya atau mungkin ke Depok ke tempat

keluarga.

Sekarang sudah jam setengah 2 lewat 5 menit.

Keretaapi sudah terlambat sepuluh menit. Tentu sepuluh

menit bisa jadi waktu yang sebentar dan itu untuk mereka

yang sedang menyaksikan atau mendengarkan acara

94
kegemaran mereka di radio dan televisi dan waktu sepuluh

menit juga bisa dilewati dengan mendengar 3 buah lagu.

Tetapi, sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama

untuk menunggu si ular besi yang diharapkan datang.

Dalam waktu seperti itu Darwin selalu melirik pada

jamtangan yang terbelit di tangannya. Ia merasa dirinya

sudah terlambat untuk bisa menghadiri pesta pernikahan

temannya di Bogor. Karena ia sendiri kurang tahu tempatnya

maka ia minta ditunggui oleh teman-temannya di stasiun

Bogor. Ia merasa pasti teman-temannya sudah berada di

jalan. Ia lalu sms salah satu temannya,

“Lo lagi dimana?” tanyanya dalam sms-nya.

Temannya yang bernama Fadli menjawab,

“Gue lagi di Pasar Minggu. Lo?”

“Gue masih di Tebet,”

95
“Lo pasti tadi ketinggalan kereta ya?”

“Mang tadi ada kereta?”

“Ada tapi kereta ekonomi,”

“Oh, gitu gue naik AC nih,”

“Gaya banget lho. Hahaha,”

“Setan lo! Tunggu gue ya di Bogor?”

“Oke,”

Lepas sepuluh menit keretaapi AC Ekonomi yang

ditunggu-tunggu akhirnya datang setelah sebelumnya

operator di stasiun Tebet memberitahukan kedatangan

kereta dari arah Utara. Benar apa yang dipikirkan Darwin.

Penuh dan padat. Itu yang terlihat olehnya ketika kereta

melintas di depan para penumpang yang hendak naik.

Ketika pintu dibuka para penumpang berebut ingin masuk

96
ke dalam. Darwin pun juga terpaksa seperti karena tidak ada

pilihan lain. Mulailah ia berdesak-desakan dengan sesama

penumpang. Benar-benar seperti terhempit banyak beban.

Salah seorang penumpang ada yang menginjak kakinya

untungnya ia merasa tidak kesakitan karena memakai

sepatu. Di sisi lain ada penumpang yang berteriak-teriak,

heh jangan main dorong dong. Ia berkata seperti itu karena

merasa didorong oleh penumpang yang hendak naik. Kereta

pun berjalan. Di tiap stasiun bukannya berkurang kepadatan

makin bertambah seperti layaknya Jakarta yang tiap tahun

makin padat.

Dalam keadaan seperti ini Darwin hanya bisa

terpaku sambil memegang pegangan yang berada di atasnya.

Tak ada si pemeriksa karcis kalau sudah seperti ini karena si

pemeriksa karcis sudah ogah untuk melanglang buana

diantara banyak kepala. Teriakan anak kecil seperti

menambah kepadatan yang sudah membahana tersebut.

97
Mendengar itu Darwin kesal di hatinya walaupun ia teringat

perkataan ibunya bahwa tangisan anak kecil bisa

menyelamatkan orang dari kecelakaan karena jiwa mereka

yang bersih dan dijaga malaikat. Darwin pun berharap

semoga kepadatan ini berkurang ketika kereta mencapai

stasiun Depok Baru.

Di dalam itu ia lalu mengkhayal karenanya. Keadaan

keretapi di Indonesia yang semakin memadatkan

penggunanya dan bukan menyamankan. Dirinya yang

mengkhayal itu lalu menerawang ke seluruh interior kereta

AC Ekonomi dan terlihat bahwa keretaapi ini adalah

“buangan” dari Jepang. Di negara asalnya pasti tidak sepadat

ini. Darwin melihat kepadatan ini seperti dibuat-buat dan

akhirnya dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya tidak

memiliki tiket AC Ekonomi untuk ikut masuk ke dalam.

Ia lalu teringat tentang keretaapi lantai ganda atau

double decker. Keretaapi itu seharusnya ada di Indonesia

98
terutama di jalur jabodetabek yang begitu padat menggila

penggunanya. Di negara-negara lain yang ada sistem

komuternya saja kereta jenis itu ada. Ia yakin kereta itu pasti

bisa menjawab kepadatan dalam gerbong ini. Ia lalu

membayangkan bentuk kereta itu yang besar dan padat

berwarna putih dengan lambang KA yang berwarna merah.

Jika satu gerbong kereta normal berjumlah 8 gerbong maka

jika ada double-decker akan berjumlah 16. Manusia-

manusia di Jabodetabek yang menggunakan keretaapi untuk

ke tempat kerja dan ke kampus akan bisa terangkut

semuanya dengan tertib dan karenanya tidak boleh lagi ada

manusia-manusia konyol yang mencari mati di atap kereta.

Keretaapi jenis ini pun juga bisa diaplikasikan untuk

lokomotif yang keluar kota apalagi saat mudik. Berita

tentang padat tidak teraturnya keretaapi sudah tidak akan

terdengar lagi. Kereta sapu jagad karenanya tidak diperlukan

lagi.

99
Tetapi dalam hatinya ia meragukan apa bisa negara

ini membuatnya?

Keretaapi AC Ekonomi yang ia tumpangi terus

melaju sampai akhirnya ke stasiun Depok Baru. Benar sesuai

dengan pikirannya. Para penumpang memang kebanyakan

turun di stasiun ini. Kemudian di stasiun berikutnya dari

Depok Lama hingga Cilebut terus terjadi pengurangan

penumpang. Darwin pun lega.

Jam 3 kurang 10 menit ia akhirnya sampai di stasiun

Bogor lalu mencari teman-temannya lewat sms. Ia lalu

menemukan mereka di depan loket keluar stasiun dan

bergegas ke sana,

“Enak bro naik AC?” tanya salah satu temannya

Husin.

“Enak apaan?” jawabnya, “Penuh,”

100
“Sapa suruh naek AC,” kata Fadli, “Gaya sih lo. Udah

tau hari gini penuh banget,”

“Ya udahlah,” kata Darwin, “Sekarang kita ke pesta

aja langsung,”

Mereka bertiga kemudian meninggalkan stasiun

Bogor dengan meninggalkan peninggalan berupa tiket

kepada petugas di sana dan selanjutnya naik angkot sambil

disirami udara yang perlahan-lahan hangat di sore hari.

101
INI KERETA KITA!

Lokomotif hitam nan elegan itu bergerak dengan

gagahnya. Diiringi deruan uap yang membahana jalur rel di

bawahnya sudah begitu rela untuk dilewatinya. Tampak

beberapa orang termasuk masinis begitu sibuk di dalam

ruang kemudinya. Begitu juga anak buahnya yang terus

sibuk menaruh kayu bakar dan batu bara ke dalam perapian

agar lokomotif tetap berjalan. Semua yang melakukan adalah

orang-orang kulit putih. Di beberapa gerbong terutama di

bagian luarnya terdapat 1-2 tentara sedang bersiaga dengan

senapannya seolah-olah akan terjadi sebuah serangan ke

arah dirinya dan mereka juga berkulit putih.

“Bagaimana menurutmu?” tanya seseorang dari

kejauhan kepada temannya yang berada di sampingnya. Ia

sendiri bernama Rustam dan temannya itu Karso. Mereka

berdua dari kejauhan dan tepatnya dari balik pohon di

belakang sebuah bukit hijau mengamati gerak lokomotif

102
yang kabarnya membawa banyak bahan makanan.

Lokomotif yang mereka lihat tersebut adalah lokomotif milik

tentara Belanda.

“Apanya?” tanya Karso heran kepada temannya itu

yang sedang memegang teropong untuk membantu melihat

dari jauh.

“Kamu ini bodoh ya?” justru Rustam yang heran, “Ya

kereta itu,” ujarnya lagi sambil menunjuk dengan

telunjuknya.

“Aku tahu itu kereta,” kata Karso, “Cuma kenapa?”

“Itu kereta makanan tahu,” kata Rustam, “Kita harus

merebutnya dari tangan para penjajah tersebut. Hal ini

harus kita beritahukan pada kolonel,”

“Merebutnya?” tanya Karso kembali heran, “Dengan

apa?”

103
“Ya dengan senjata lha,” kata Rustam yang sepertinya

mulai jengkel, “Kok kamu ini tentara tapi bodoh begitu?”

“Kamu yakin?” tanya Karso, “Di sini? Kenapa tidak

langsung di stasiun?”

“Hai, Bung!” ujar Rustam tiba-tiba menajamkan

matanya, “Kita harus yakin! Tapi, ngomong-ngomong kamu

tahu kereta ini berhenti di stasiun mana?”

Karso hanya mengangguk.

“Dimana?” tanya Rustam.

“Nanti aku beritahu saat kita bicarakan ini dengan

kolonel sekalian memaparkan strategi,”

Begitulah. Dua orang ini lalu kembali ke markas

mereka yang berada di belakang bukit tepatnya di dalam

hutan. Saat keduanya kembali, salah satu dari mereka segera

memaparkan aksi itu kepada kolonel Sardjo, pimpinan

104
mereka. Kolonel Sardjo yang mendengar agak terkesima juga

meskipun ia merasa itu berat untuk dijalankan mengingat

resiko yang akan dihadapi.

“Asal kalian tahu,” kata Kolonel Sardjo, “Stasiun yang

akan kita rebut nanti itu bukan sembarang stasiun. Itu

adalah stasiun besar dan pasti banyak personel musuh

berada di sana. Kalian tahu kan kekuatan kita saja cuma

sedikit,”

Mendengar penjelasan Kolonel Sardjo keduanya

terdiam. Dalam keadaan itu Karso malah melamun. Ia

kembali ke masa lalunya semasa sebelum perang dan

kemerdekaan. Di masa itu ia mengingat kembali ketika

menaiki sebuah lokomotif yang sering membawanya pergi

keluar daerahnya bersama dengan orangtuanya. Lokomotif

itu begitu cepat jalannya dengan raungan suara uap di

atasnya. Pemandangan-pemandangan berupa pegunungan,

sawah, dan lembah tersaji gratis di depannya. Meskipun

105
ketika itu ia hidup di masa kolonial, ia dan keluarganya tak

terkena hak diskriminatif karena status akademis serta

ningrat yang ada dalam keluarganya. Berarti dengan status

itu mereka dapat dipersamakan. Kemudian ia ingat tentang

sebuah stasiun. Stasiun itu besar dan ramai. Di depannya

terdapat banyak pedagang dan toko-toko serta restoran.

Stasiun itu bernama Lebakpanjang. Dan tiba-tiba saja Karso

menghubungkannya dengan lokomotif yang dilihatnya tadi

dengan yang berada dalam imajinasinya. Itu dia lokomotif

yang sering mengantarkanku dulu, ujarnya dalam hati dan

itu juga stasiunnya yang nanti akan direbut.

Tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya karena

tingkahnya telah diperhatikan para tentara yang lain yang

kebetulan lewat di depan ruangan Kolonel Sardjo. Juga

Kolonel Sardjo yang tersenyum-senyum.

“Jadi, itu kereta nostalgia untuk dirimu, Karso?”

tanya Rustam usai mereka menghadap Kolonel Karso.

106
Mereka kini berada di sebuah sungai kecil yang airnya

bergemericik tenang.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Karso, “Hampir setiap

minggu aku akan selalu diajak keluargaku ke luar kota

dengan kereta itu,”

“Sepertinya kereta itu rindu kamu,” kata Rustam.

Karso lalu tertawa,

“Memang aku ini siapa?”

Mengenai keluarganya Karso kemudian kembali ke

lamunannya. Ia ingat pada suatu malam ketika ia tidur tiba-

tiba rumahnya ribut. Lantas Karso yang sedang tertidur pula

situ bangun dan seketika melihat bapak dan ibunya

dikelilingi serdadu berbaju coklat dengan badan pendek dan

mata sipit. Belakangan Karso baru tahu kalau itu adalah para

serdadu Jepang. Mereka datang ke rumahnya untuk

107
memaksa bapaknya menyerahkan hasil buminya bagi

kepentingan para serdadu itu. Jelas bapaknya menolak. Salah

satu serdadu langsung memukulnya dan tersungkur

kemudian berkata memaksa,

“Kamu dengar perintah saya tidak? Serahkan semua

hasil bumi kamu!”

“Saya tidak akan pernah menyerahkan milik saya

kecuali pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Buat apa saya

menyerahkan barang saya kepada mereka yang mengaku-

ngaku saudara tua tetapi malah memperlakukan saudara

mudanya seperti ini!”

“Kamu banyak omong!”

Ditendang bapaknya dan ditembaklah ia. Darah pun

mengucur. Ibunya yang melihat perlakuan itu tidak terima

dan berusaha melawan. Sayang, nasibnya sama seperti

bapaknya. Karso yang hanya anak semata wayang itu hanya

108
bisa terdiam menahan airmata yang telah menetes perlahan.

Sejak saat itu ia mendendam pada semua serdadu Jepang.

Dendam itu ia lampiaskan ketika ia mendaftar

masuk sebuah gerakan perjuangan. Dengan modal nekad ia

tantang seorang Jepang yang kebetulan sedang lewat di

depannya dan mengajaknya bertarung. Karso hampir kalah.

Tetapi, ia beruntung. Serdadu itu berhasil ia tusuk dengan

sebuah pisau kecil saat hendak menyerangnya. Kemenangan

yang tidak disengaja itu mengantarkan Karso untuk

membunuh banyak Jepang. Ketika Jepang menyerah perang,

ia dengan semangat berkobar bersama dengan temannya

mencoba melucuti sebuah markas senjata tentara Jepang.

Mereka bertempur. Karso karena terbawa dendamnya terus

maju dan menghabisi setiap Jepang yang ia temui dan ia

habisi mereka hingga tidak berdaya.

Jika mengingat itu kembali Karso seakan ingin

menolong bapak dan ibunya. Namun, tidak bisa.

109
“Kenapa, So?” tanya Rustam yang sepertinya

menyadari maksud lamunan Karso yang terlihat emosional,

“Masih teringat kejadian itu? Sudahlah, masa lalu tak usah

disesali. Ambil saja hikmahnya,”

“Entahlah,” kata Karso, “Sepertinya aku merasa

dendamku belum terbalaskan semuanya. Ingin aku rasanya

membunuh setiap orang Jepang yang aku temui. Tetapi,

mereka sudah tidak ada,”

“Dendam itu nggak baik, So,” kata Rustam,

“Keluargaku juga korban Jepang kok. Kita ini senasib-

sepenanggungan. Sudahlah, sekarang ada baiknya kita fokus

pada rencana nanti. Kita harus usir para londo itu dari sini

agar kita benar-benar merdeka,”

“Ah, kamu betul, Tam,” ujar Karso.

Kolonel Sardjo rupanya menyetujui usul Rustam dan

Karso untuk menyerbu stasiun Lebakpanjang dan merebut

110
sebuah kereta logistik. Untuk itu mereka membicarakannya

sambil menyusun strategi dalam sebuah rapat. Di dalam

strategi itu dibicarakan mengenai penyusupan yang dibagi

dalam 3 kelompok. Kelompok pertama bertugas menangani

para tentara Belanda dan personel lain yang berada di situ.

Kelompok kedua bertugas mencari bahan makanan untuk

dimasukkan ke dalam lokomotif dan yang ketiga

mempersiapkan sebuah lokomotif untuk dijalankan. Namun,

ketika mengenai siapa yang menjalankan lokomotif semua

menjadi buntu karena sama sekali tidak mengerti

menjalankan lokomotif. Karena buntu bagian itu

ditinggalkan terlebih dahulu baru esok akan dibicarakan

lagi.

Sesuai rencana selanjutnya, lokomotif yang berhasil

dikuasai itu akan dijalankan ke sebuah stasiun yang kecil

yang sudah lama tidak diperhatikan. Di stasiun kecil itu akan

menunggu beberapa orang yang siap mengangkut semua

111
bahan makanan tersebut dengan gerobak dan kembali

masuk hutan yang menjadi markas mereka. Setelah dari

hutan bahan makanan itu akan disortir ke desa kecil di

sekitar hutan tersebut untuk dibagi-bagikan. Melihat dari

waktunya rencana penyerbuan ini dilaksanakan pada tengah

malam ketika semua pada terlelap.

Esoknya, ada seseorang yang berniat mau

mengendalikan lokomotif. Dia adalah Suyono, mantan

seorang masinis lokal di sebuah perkebunan tebu. Di dalam

rencana itu ia dan beberapa teman yang telah ada di dalam

kelompoknya akan berusaha memanaskan lokomotif selagi

yang lain bertindak. Ini butuh waktu 2-3 jam. Melihat

kenyataan waktu yang seperti itu kolonel Sardjo bertanya,

“Apakah dengan waktu yang selama itu kita tidak

akan ketahuan musuh?”

112
“Saya kira tidak, Pak,” ujar Sundi, tentara yang lain,

“Di dalam malam yang begitu pekat jelas kegiatan nihil dan

tentu saja ruang kendali stasiun bisa kendalikan. Lagipula

menurut saya jarak stasiun dengan markas komando mereka

begitu jauh,”

Maka lusa tengah malam operasi penyerbuan itu

dijalankan. Di tengah dinginnya malam udara pegunungan,

beberapa tim yang dibagi dalam 3 kelompok itu menyusuri

gelapnya hutan, sawah, dan rawa serta menaiki bukit dan

menyeberangi sungai. Semua dilakukan demi ke stasiun

Lebakpanjang yang berjarak sekitar 3 kilometer dari markas

mereka.

Ketika sampai keadaan stasiun begitu sepi. Hanya

ada 3-4 tentara berjaga. Mereka pun menyebar dan mulai

melaksanakan aksinya. Tentara-tentara itu diam-diam

mereka tikam dari belakang. Mereka berusaha sama sekali

jangan sampai ada kontak tembak karena tembakan satu

113
pelurupun meskipun meleset pasti gaungnya akan terbawa

udara.

Setelah beberapa tentara itu ditaklukkan. Mereka

menyebar kembali. Ada yang masuk ke dalam stasiun dan

gudang. Rustam dan Karso berada di kelompok yang

menyerbu gudang makanan. Terlihat di depan gudang itu

dijaga dua tentara. Mereka berdua lalu diam-diam

menyelinap dan mulai menikam dari belakang. Usai dua

tentara itu takluk barulah mereka berdua memberi kode

kepada yang lainnya untuk menyerbu gudang dan

mengambil makanan.

Sementara di sebuah rel depan stasiun sebuah

lokomotif tengah dipanaskan.

Dari dalam stasiun terlihat ada kode dengan jari

yang menandakan situasi telah aman. Beberapa penjaga

yang berada di dalam berhasil dilumpuhkan tanpa suara.

114
Kini sepenuhnya stasiun Lebakpanjang dalam kuasa mereka.

Setengah rencana telah sukses. Kolonel Sardjo yang

memimpin operasi ini menyuruh agar secepatnya bahan

makanan diangkat dan pemanasan lokomotif menjadi beres.

Tiba-tiba saja terdengar sebuah sirine dari dalam

stasiun. Mereka pun terkejut. Mendengar itu Kolonel Sardjo

segera berteriak kepada anak buahnya,

“Kalian cepat! Kita sudah ketahuan!”

Mereka segera mempercepat pekerjaan mereka.

Kolonel Sardjo yang tampak panik segera mendekati Suyono,

“Bagaimana keretanya?” tanyanya, “Sudah bisa

dijalankan?”

“Lima menit lagi, Pak,” jawab Suyono.

115
Lima menit kemudian Suyono memberikan kode

bahwa kereta siap berjalan. Segera Kolonel Sardjo menyuruh

semua anak buahnya naik.

“Akhirnya, kereta ini jadi milik kita juga, So,” kata

Rustam usai berada di lokomotif, “Tentu kamu senang

bertemu dengan kereta ini lagi,”

“Jelas aku senang,” kata Karso, “Meskipun ia sudah

berubah,”

Lokomotif itu kemudian berjalan menyusuri rel ke

arah selatan ke sebuah stasiun kecil yang sudah

dipersiapkan. Raungannya mengalahkan kesunyian malam

yang benar-benar membisu. Para tentara yang berada di

atasnya tampak begitu senang dan mereka sudah

memastikan tidak akan terkejar musuh meskipun ada sirine

yang bisa saja dinyalakan oleh seorang petugas stasiun yang

cepat tersadar atau bersembunyi.

116
Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan dan

menembus dinding kereta. Di atas ada dua pesawat

menguing-nguing. Pertempuran yang sebenarnya baru saja

dimulai.

117
MAMA…KELUAR!

“Ma, kok sempit amat sih?” Tanya Rika pelan kepada

ibunya yang berada di sampingnya. Si ibu lalu menoleh ke

Rika dan melihat di depannya begitu banyak orang yang

berdiri menghadap ke depan jendela sambil berpegangan

pada pegangan yang terpasang di atas jendela tersebut.

Mereka berdiri tampak berdesak-desakkan.

Ibunya hanya menjawab,

“Bentar ya, nak, sedikit lagi sampai,”

Rika, bocah perempuan umur 10 tahun sungguh tak

mengerti kenapa sekarang ia bersama ibunya duduk dengan

pemandangan yang sungguh tidak mengenakkan dan

menyesakkan. Di samping kiri dan kanan mereka juga

duduk orang-orang. Ada yang tampak diam saja sambil

memandang pemandangan di depan. Ada yang tidur atau

118
malah membaca koran. Itulah pemandangan yang tersaji

dalam sebuah gerbong kereta api.

Hari sudah semakin sore. Tetapi, kepadatan dalam

kereta api belum juga menghilang. Malah yang ada semakin

padat. Rika tampak cemberut melihat situasi ini sementara

ibunya yang mengetahui hal tersebut mencoba membelai

rambutnya yang hitam memanjang. Di tengah-tengah

kepadatan itu masih saja ada pedagang yang hilir-mudik

memaksa masuk ke dalam kerumunan orang-orang.

Keadaan pun menjadi semakin padat dan pengap. Bau

keringat dan bau ketiak orang-orang yang sehabis pulang

kerja atau para lelaki yang sehabis pulang entah dari mana

serta bau wangi dari para wanita yang hendak kerja malam

bercampur jadi satu dan jadi aroma-aroma penanda. Tak

satu pun yang ingin mengeluh apalagi berteriak. Terkadang

di tengah-tengah itu juga terdengar suara tangis anak bayi

atau balita yang tidak tahan dengan pengapnya ruangan dan

119
suara itu berusaha ditenangkan. Lampu di dalam gerbong

sudah menyala dari tadi tetapi tetap saja kepadatan tidak

berkurang.

Rika yang masih cemberut lalu bergumam, uh,

nggak enak naik keretanya. Penuh. Kok nggak kaya di luar

negeri sih. Ibunya terus membelainya.

“Ma, nggak tahan nih mau keluar,” rengek Rika

kembali.

“Sabar ya, nak. Bentar lagi sampai,” ibunya hanya

bisa menjawab seperti itu.

Kereta yang mereka tumpangi terus melaju melewati

jalan dan kampung serta sungai. Satu per satu stasiun

disinggahi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

Akan tetapi penumpangnya semakin membludak. Dan

semakin sempit. Terlihat untuk bergerak saja sudah susah

karena banyak manusia yang berdiri di seluruh gerbong.

120
“Kita mau turun dimana sih?” Tanya Rika lagi, “Kok

lama amat?”

Tak ada jawaban dari ibunya yang sepertinya sudah

lelah menanggapinya. Ia pun jadi kesal.

Kereta terus saja melaju dan tiba-tiba saja berhenti

mendadak. Seluruh penumpang kaget dan hilang

keseimbangan. Beberapa di antara mereka ada yang sempat

menyinggung Rika.

“Mama, Rika mau keluar!” rengeknya lagi, “Rika mau

keluar!”

“Bentar ya, nak pokoknya sedikit lagi sampai,” jawab

ibunya seperti itu-itu juga.

“Gak mau, mama,” kata Rika terus merengek,

“Pokoknya Rika mau keluar!”

121
“Ya sudah,” kata ibunya kini bernada kesal, “Keluar

saja kamu sendiri! Begini aja kamu ribut! Kaya anak kecil

aja!”

Rika terdiam. Beberapa penumpang melihat mereka.

Ia pun tambah cemberut lagi tetapi ibunya segera

membelainya kembali.

“Anaknya mau keluar, bu?” Tanya seseorang tiba-

tiba di sampingnya, “Memang ibu mau turun di mana?”

“Di Sawah Besar, Pak,” jawab si ibu, “Maaf, kalau

anak saya mengganggu,”

“Wajar kok, bu, anak kecil,” kata si orang itu, “Masih

4-5 stasiun lagi,”

Kereta lalu berhenti. Si orang itu lalu beranjak dari

duduknya,

“Saya duluan, bu,”

122
Ia lalu menerobos kerumunan dan berhasil keluar. Si

ibu lalu melihat ia dan anaknya sekarang di mana. Di luar

tergantung papan warna biru bertuliskan MANGGARAI. Si

ibu lalu bergumam, oh, sekarang di Manggarai. Kata bapak

itu tadi 4-5 stasiun lagi. Tetapi, ia ragu dan kemudian

bertanya kepada seseorang di depannya,

“Maaf, pak, abis ini stasiun apa?”

“Cikini, bu,” jawab orang itu.

“Sawah Besar dimana ya?”

“Masih jauh, bu,”

Kereta lalu berangkat kembali untuk meneruskan

perjalanan. Sekarang sudah jam 18.15. Sudah melewati

senja. Tetapi, kepadatan masih saja ada. Si ibu pun kembali

terdiam sambil menghitung beberapa stasiun yang sudah

dilewati dan Rika tetap cemberut. Ketika ia merasa sudah

123
mau mencapai tujuannya, ia bertanya kembali ke orang di

depannya,

“Maaf, pak, apa ini mau berhenti di Sawah Besar?”

“Kira-kira begitu, bu,” katanya, “Ibu mau turun?”

“Iya,” jawabnya.

“Sebaiknya ibu segera ke pintu. Nanti ibu nggak bisa

turun,”

Si ibu lalu bersama Rika bangkit dari tempat

duduknya yang kemudian terisi kembali. Di depan mereka

begitu banyak badan manusia menghadang dan ini sudah

seperti menerobos hutan di malam hari. Mereka tampak

kesulitan menerobos dan akhirnya terdiam sampai ada yang

melihat mereka,

“Mau turun, bu?”

124
Ia segera berpindah tempat perlahan dan

mempersilahkan si ibu dan Rika turun. Yang di depan

mereka juga begitu.

“Bentar, bu, ya,” kata seseorang di depannya.

Beberapa menit kemudian kereta berhenti dan tepat

pada saat itu beberapa orang berhamburan keluar termasuk

mereka dengan sedikit didorong. Si ibu sedikit kaget begitu

juga Rika.

“Mama, pokoknya Rika nggak mau lagi naik kereta

api!” rengeknya setelah itu, “Rika maunya naik bis!”

“Iya, iya lain kali naik bis,” kata si ibu mengiyakan.

Mereka lalu berjalan dan di depan terpampang papan yang

tergantung bertuliskan SAWAH BESAR. Fuh, akhirnya

sampai juga, gumam si ibu lega.

125
Ketika turun ke bawah berjejerlah banyak tukang

makanan dan minuman.

“Kamu lapar?” tanyanya pada Rika.

“Iya nih, lapar,” jawab Rika.

“Makan yuk,” ajaknya.

Rika hanya mengangguk.

Mereka berdua kemudian ke sana dan makan di

salah satu tukang makanan.

“Nak, maafin mama ya tadi. Pokoknya mama janji

deh nggak ngajak kamu naik kereta lagi,”

“Benar ya?”

“Iya, benar? Tapi kamu mau kan maafin mama,”

“Mau,”

126
“Ya udah sekarang terusin makannya,”

Mereka lalu tertawa-tawa. Suasana pun kembali cair

di tengah dinginnya malam dan ramainya suara masakan

serta kendaraan yang hilir-mudik.

127
MAUNYA APA SIH?

Keringat terus bercucuran di tubuh Rino. Padahal

baru jam 8 pagi. Begitulah yang tertera di layar handphone-

nya saat ia melihatnya. Matahari pagi memang tidak kenal

ampun apalagi matahari pagi di Jakarta. Rino berulang kali

mengelap keringat dengan lap kecil yang dibawanya sambil

terus mondar-mandir duduk-berdiri-jalan dan melihat

sesuatu dari arah utara. Belum datang juga dia padahal ini

sudah jam 8 lewat 5 menit. Begitulah yang dilihat Rino

kembali di handphone-nya. Padahal satu jam lagi ia harus

kuliah.

Stasiun Cawang seperti biasanya selalu ramai akan

tetapi hari ini lebih ramai daripada biasanya. Karena kereta

api yang ditunggu belum kunjung datang maka terjadilah

penumpukan penumpang di sepanjang peron Jakarta-Bogor

sementara di peron seberang untuk ke arah sebaliknya

dalam tiap menit selalu datang kereta-kereta dari Bogor

128
dengan lancar. Pertama-tama Pakuan yang datang tanpa

berhenti kemudian kereta ekonomi yang selalu penuh dan

sesak hingga ke atas gerbong dan terakhir AC ekonomi yang

lumayan padat juga namun teratur.

Rino tak terlalu mau menanggapi. Ia hanya ingin

kereta dari arah utara datang sekarang juga atau nanti ia

telat kuliah. Sekali lagi dirogoh kantung jins-nya. Dilihat

handphone-nya kembali. Ah, tidak sudah jam 8 lewat 15

menit. Rino agak ketar-ketir. Ia tambah berkeringat dan kali

ini karena keketar-ketirannya tersebut. Dalam hati ia

mengumpat, ngepet! Kakinya bergerak terus-menerus tidak

tenang dari duduknya. Ia mencoba menarik napas supaya

bisa lega dari keketar-ketirannya. Sayangnya, karena kereta

belum datang jadi belum bisa hilang.

Matahari tambah menerik. Menerpa wajahnya. Ia

pun kepanasan kembali dan berusaha menunduk saja. Ketika

terik matahari menghilang, ia lalu menoleh ke sampingnya.

129
Penumpang-penumpang lain yang seperti dirinya. Beberapa

dari mereka ada juga yang seperti dirinya. Panik, kawatir,

dan bolak-balik dari tempat duduk. Kebanyakan orang-

orang kantoran. Namun ada juga yang santai, masa bodoh,

dan acuh tak acuh.

Tiba-tiba datang pengumuman dari pengeras suara

oleh petugas stasiun bahwa akan datang kereta dari utara.

Rino langsung menyambut antusias dan mengira itu pasti

kereta-nya. Namun, semua berubah seketika saat si petugas

bilang Pakuan yang melintas langsung. Rautnya langsung

menjadi kecewa. Setelah itu Rino merogoh lagi handphone-

nya di kantung jins-nya. Sudah jam setengah 9. Gawat,

gumamnya, ya udah telat deh gue. Ketika sudah seperti itu ia

langsung berpikir apa nanti masuk aja kalau memang telat

sementara ia sendiri mengaku malas kalau sudah telat atau

yah bolos saja. Toh, absen masih sedikit. Tapi, ia berpikir lagi

130
kalau nggak masuk nggak enak sama dosennya dan teman-

temannya.

Kemudian datang lagi pengumuman. Sayangnya,

dari arah selatan. Rino kembali mengkerut. Tapi, setelahnya

datang lagi. Kali ini dari utara. Rino kembali antusias.

Sayangnya, ia kembali kecewa lagi karena yang datang

malah AC ekonomi. Waduh, gumamnya, benar-benar sialan

nih kereta. Ia tak mungkin naik AC ekonomi sebab kereta ini

berbeda dengan kereta ekonomi biasa. Lagipula harga

tiketnya mahal dan hanya buang-buang uang demi satu

hari. Makanya, ketika AC ekonomi datang ia hanya terdiam

lalu berharap kereta ekonomi akan datang setelah ini.

Jam di handphone sudah menunjukkan pukul

setengah 9 kurang 10. Itu tandanya ia hanya punya waktu

10 menit ke kampus. Tetapi, rasanya mustahil karena kereta

selain datang telat juga lambat jalannya. Ia berangan-angan

kapan semua orang di sini bisa tepat waktu kalau kereta

131
yang dianggap tercepat seperti ini terus. Suka menyiksa. Toh,

waktu 5-10 menit itu cukup untuk dia ke kampus dengan

kereta. Tapi, kenyataan sebaliknya.

Di tengah kekesalannya kembali datang

pengumuman. Si petugas bilang dari arah utara. Rino biasa

saja menyambutnya karena pasti bukan kereta ekonomi

melainkan kereta yang lain. Tetapi, rautnya berubah senang

ketika akhirnya diumumkan yang akan datang kereta

ekonomi. Ia langsung mempersiapkan diri. Ia lihat dari utara

tampak kereta sedang berjalan dan lambat sepertinya. Ia

bergumam, udah telat lambat lagi.

Ketika kereta sampai ia langsung masuk. Keadaan di

dalam tampak sepi. Tetapi, ia tak duduk dan berdiri di dekat

pintu. Ia lalu melihat jam handphone-nya. Sudah jam

setengah 9 kurang 20 menit. Ia sudah pasti telat. Rino tak

tahu lagi harus berbuat apa. Kereta lalu berjalan

meninggalkan stasiun menuju stasiun-stasiun berikutnya.

132
Ketika sampai di stasiun Pasar Minggu, kereta malah

mengaso sebentar karena ada Pakuan di belakang. Rino

tambah sebal dan ingin marah. Beberapa menit kemudian

setelah Pakuan melintas kereta berangkat lagi.

Ketika kereta sampai di tujuannya di stasiun UI, ia

langsung turun dan melihat handphone lagi. Sudah jam 9

lewat 15 menit rupanya. Sudah di ambang batas telat.

Awalnya ia merasa tak ingin masuk sampai kemudian

berubah pikiran. Ia langsung berlari dan sesampainya di

kelas ia merasa aneh. Tampak di situ hanya ada teman-

temannya.

“Ngapain lo?” tanya salah seorang temannya, “Ngos-

ngosan gitu?”

“Nggak ada dosennya?” tanyanya.

“Iya, nggak ada,” jawab temannya, “Barusan ada

telpon kalau dia nggak bisa ngajar hari ini karena sakit,”

133
Rino yang mendengar hal itu segera terkejut dan

kesal,

“Ah, sialan! Kalo gitu ngapain gue tadi buru-buru!

Brengsek!”

“Ya udahlah,” kata temannya, “Lo duduk aja dulu,”

Ia segera duduk di sebuah bangku kosong.

Kemudian memandang ke depan kelas dan bergumam

dengan kesal, Sialan! Udah dikerjain sama kereta nggak ada

dosen juga lagi! Maunya apa sih?

ROTTERDAM-PARIS

Dengan langkah tenang, Risda berjalan menapaki

setiap aspal dan trotoar di Rotterdam. Cuaca pagi ini cukup

cerah dan sejuk. Sekarang sudah menunjukkan pukul 9

lewat 10 menit. Begitulah kata jam yang ada di tangannya.

Risda tentu tidak sendiri ketika berjalan di kota pelabuhan

134
terkenal di Belanda dan dunia ini. Di sini ia bersama dengan

Ani yang sudah ia temui sejak beberapa menit yang lalu di

sebuah halte trem. Ani adalah teman semasa SMA-nya yang

kebetulan juga sedang berada di Belanda untuk berlibur

sama seperti dirinya. Karena sudah lama tidak bertemu,

mereka pun langsung terkejut ketika bertemu dan biasanya

jika bertemu itu selalu akan mengatakan, hai, apa kabar lo?

Lama ya kita nggak ketemu? Wah, kok lo udah berubah

banget? Gimana kuliah lo? Dan tentu juga akan dilengkapi

dengan sebuah pelukan dan cium pipi kiri dan kanan.

Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di

stasiun kereta di kota tersebut. Sebuah stasiun yang cukup

modern dan bertuliskan “ROTTERDAM” serta NS

(Nederlandse Spoorwegen-PT. KA di Belanda) dan ucapan

selamat datang dalam bahasa sana”Welkom”. Semuanya

tercantum di papan berwarna kuning. Mereka ke stasiun ini

karena hendak ingin ke Perancis terutama ke Paris dengan

135
menaiki Trans Eropa seharga 60 euro. Rencananya di sana

mereka ingin jalan-jalan terutama ke menara Eiffel yang

memang merupakan ikon kota tersebut.

“Duh, gue udah nggak sabar mau ke sana,” kata

Risda senang setelah membeli karcis dan menunggu kereta

di peron yang sepi, bersih, dan tertib, “Kira-kira besarnya

kaya gimana ya? “

“Sama nih,” kata Ani, “Gue juga penasaran nih.

Untuk pertama kalinya gue bakal ngeliat dari dekat

bangunan tersebut,”

“Lha, bukannya lo waktu kecil pernah ke Perancis

ya?” tanya Risda, “Berarti udah pernah ke Eiffel dong?”

“Siapa bilang?” Tanya Ani heran, “Gue belum pernah

ke Perancis kali,”

136
“Masa sih. Soalnya dulu lo pernah ngomong pernah

ngeliat Eiffel,”

Ani pun tertawa.

“Ya ampun, Risda. Itu mah maksud gue Eiffel di Las

Vegas,”

“Las Vegas di Amerika? Lho kok?”

“Jadi tuh di sana ada miniatur Eiffel,”

“Oh, gitu,”

Kereta kemudian datang. Warnanya kuning.

Bentuknya mirip shinkansen. Begitu berhenti di tepian

peron, pintunya secara otomatis terbuka. Risda dan Ani

segera masuk ke dalam kereta yang datangnya tepat waktu

tersebut. Keadaan di dalam begitu bersih. Tak ada tanda-

tanda bakal ada pedagang atau pengemis seperti yang ada di

Indonesia. Juga begitu nyaman. Mereka berdua duduk di

137
dekat pintu. Tak lama kemudian kereta berangkat kembali

dan beberapa menit kemudian datang kondektur untuk

memeriksa karcis.

Kereta melaju dengan cepat. Melintasi perumahan,

jalan raya, dan pemandangan-pemandangan khas eropa

yang tersaji begitu indah di luar. Risda dan Ani merasa

takjub melihat pemandangan yang begitu berbeda dengan di

Indonesia. Jelas di sana tak ada sawah apalagi gunung tetapi

yang ada taman dan bukit-bukit kecil. Rencananya

perjalanan dari Rotterdam ke Paris memakan waktu sekitar 2

jam. Nanti setelah tiba di Paris untuk ke Eiffel mereka harus

mencari kereta lagi.

Dua jam rupanya bukan waktu yang lama dan benar

sesuai dengan jadwal yang tertera di karcis mereka sampai

di Paris tepat waktu dan tepatnya di stasiun bawah tanah di

kota tersebut. Namun, permasalahan kemudian muncul,

138
“Abis ini kita kan harus naik kereta lagi?” tanya

Risda, “Naik yang mana?”

“Wah, gue nggak tau,” kata Ani, “Kenapa kita nggak

nanya petugas stasiunnya atau orang-orang di sini?”

“Nanya?” tanyanya heran, “Pake bahasa apa?”

“Ya, Inggris lha,” jawab Ani enteng.

Raut Risda langsung berubah mendengar ucapan

tersebut,

“Lo mang nggak mikir ya?”

“Mikir apa?” tanya Ani berbalik heran.

“Mang lo nggak tau apa kalo orang-orang Perancis

rada ogah disapa pake bahasa Inggris dan maunya pake

bahasa sendiri,”

“Ya udah pake bahasa Belanda aja. Gimana?”

139
“Apalagi Belanda,”

“Terus gimana dong?” tanya Ani panik, “Gue kan

nggak bisa ngomong Perancis,”

“Yah, gue juga nggak bisa,”

“Kalo begitu kita nggak tau mau naik apa ke Eiffel,”

Risda hanya diam. Ani pun jadi heran,

“Kok lo diam?”

“Gue lagi mikir nih,” kata Risda, “Gue mau coba ingat

beberapa kata Perancis yang sempat gue pelajarin dari

teman gue,”

“Pasti lama,”

“Ya, lo sabar aja lha,”

140
Tiba-tiba datanglah seorang wanita mendekati

mereka lalu menyapa,

“Dari Indonesia ya?”

Mereka berdua terkejut dan langsung menoleh serta

memandang wanita yang menyapa mereka. Wanita itu

berambut hitam panjang dan memakai jaket kulit serta

bercelana jins.

“Betul,” kata Risda kepada wanita berkulit sawo

matang tersebut, “Mbak juga dari Indonesia?”

Ia hanya mengangguk lalu berkata,

“Tadi saya dengar kalian berdua ribut soal kereta ke

Eiffel ya?” tanyanya dan tiba-tiba ia memperkenalkan

dirinya, “O, ya sampai lupa. Kenalkan nama saya Rima,”

Risda dan Ani juga demikian.

141
“Kalo menurut saya kalian naik metro aja yang

bertingkat,” kata Rima, “Loketnya di sebelah sana,”

Ia lalu menunjuk pada loket di depan mereka,

“Nanti dia jalan sesuai jalurnya,” kata Rima

melanjutkan, “Kalau naik yang lain agak ribet,”

“Oh, gitu ya, mbak,”

“Ya sudah,” kata Rima, “Saya mau permisi dulu. Saya

harap kalian menikmati perjalanan di Paris,”

“Oh, kalau begitu terima kasih, mbak,” kata Risda

diikuti Ani.

Selepas itu mereka langsung ke loket dan memesan

dua buah karcis dengan bahasa isyarat. Beberapa menit

kemudian kereta ke arah Eiffel datang. Mereka langsung

naik dan mendapatkan tempat duduk di tingkat. Kereta

kemudian berjalan melintasi daerah stasiun bawah tanah

142
dan kemudian keluar dari sana dan mulailah terlihat

pemandangan asli Paris. Sungai Seine, Museum Louvré, dan

menara Eiffel sudah terlihat di kejauhan. Dari situ pun ia

sudah tampak megah menantang langit Paris yang tengah

membiru apalagi sampai di dekatnya. Risda sendiri agak

heran dengan menara tersebut ketika ia sampai. Sayangnya,

keinginan untuk menaiki menara tak kesampaian karena

banyaknya antrian. Tapi, kemudian ia ke Louvré bersama

Ani dan tanpa disengaja bertemu dengan saudara sepupunya

yang sedang berada di sana.

Mendekati sore, ia dan Ani harus meninggalkan

Paris karena batas waktu yang diberikan hanya 5 jam sebab

kalau tidak mereka akan tertinggal kereta yang mengarah

balik ke Rotterdam. Makanya tak heran bila mereka berlari-

lari menaiki metro kembali dan mengejar-ngejar Trans

Eropa yang mengarah ke Rotterdam. Sekitar pukul 7 sore

waktu setempat, mereka sampai di Rotterdam. Ani, temannya

143
harus menaiki sebuah trem yang menuju ke Den Haag

tempat ia dan keluarganya sedang berlibur, sedangkan Risda

hanya cukup berjalan kaki dari stasiun. Sebelum berpisah

keduanya berkata,

“Menegangkan juga ya ke Paris?” kata Ani,

“Iya,” kata Risda, “Karena ada lo,”

“Kok ada gue?” tanya Risda heran, “Sori deh kalo tadi

gue bawel,”

“Weleh-weleh,” kata Risda, “Nggak apa-apa kali,”

“Lo kapan mau balik ke Indonesia?” tanya Ani.

“Paling seminggu lagi,”

“Besok ke Den Haag ya,”

“Boleh,”

144
Mereka seperti biasa lalu berpelukan dan cium pipi

kiri-kanan dan setelah itu akhirnya berjalan masing-masing.

Langit sore Rotterdam pun menaungi kepulangan mereka.

145
SEKEJAP

Egong tampak bergembira bersama temannya, Reka

saat keduanya melangkah keluar dari stasiun Lentengagung

dengan cara berjalan berbalikan ke tempat yang tidak ada

penjaga stasiunnya. Terlihat jelas mereka ingin menghindari

petugas itu karena tidak membawa serta karcis. Namun,

bukan itu saja. Mereka juga tak ingin langkah mereka

dicurigai.

“Tuh, gue bilang juga apa?” kata Reka dengan raut

yang senang, “Dapet kan?”

“Yup!” sahut Egong, “Nggak salah juga lo ngajak gue.

Yuk kita jual!”

“Oke!”

Kedua orang berperawakan kurus kering dengan

muka yang terbilang pas-pasan itu berjalan ke arah jalan

146
raya di depan stasiun dan memasuki sebuah gang. Siang

memang cukup terik dan sekarang hari Jumat. Azan

berkumandang di mana-mana. Namun mereka malah

sebaliknya.

***

Bingung tidak tahu harus apa. Itulah yang sekarang

dihadapi Egong. Pemuda yang tiap hari kerjanya hanya

menggitar kemudian sering main togel bersama teman-

teman di dekat rumahnya. Terkadang Egong suka meraih

kemenangan bila bermain togel dan menjadi raja sehari.

Namun adakalanya dia juga kalah dan menjadi bahan

olokan. Biasanya ia suka memasang taruhan dengan harga

yang lumayan sekitar 50 ribu. Uang itu biasanya hasil dari

dia memalak di sebuah gang dekat sekolah. Korbannya jelas

anak-anak kecil yang ketakutan bila menghadapi

tampangnya yang seram. Namun belakangan, Egong

merubah daerah operasinya setelah ia ketahuan salah satu

147
orangtua warga yang kebetulan adalah tentara dan ia

dipukuli habis-habisan. Akibatnya, seminggu ia tidak keluar

rumah dan absen dari dunia pertogelan.

Kalau sudah begitu teman-temannya akan

mencarinya dan berusaha memaksanya. Tetapi, ia sedang

ogah dengan alasan uang tidak ada. Kalau minta sama

ibunya yang ada ia bakal jadi santapan sehari-semalam.

Toh ketika Egong sudah di daerah operasi yang lain

dan berhasil memalak anak-anak kecil lagi setiap harinya,

tetap saja pekerjaan ilegalnya ketahuan sama pihak yang

berwajib. Bukan polisi tetapi hansip. Seperti biasa kalau

sudah ketahuan ia digiring kemudian dinasehati oleh pak rt

agar tidak memalak. Sayang, Egong cuma dapat nasehat

bukan solusi. Akibatnya, ia terus-terusan ingin memalak.

Kali ini ia pindah operasi lagi. Tepatnya di sebuah gang kecil

tapi dekat kuburan. Nah, karena dekat kuburan, Egong

berusaha memalak dengan menakut-nakuti. Biasanya sih

148
korbannya kembali lagi anak kecil tapi terkadang orang

dewasa apalagi yang penakut.

Ketika memalak ia biasanya akan melihat dari atas

pohon jamblang yang cukup rindang. Konon, katanya pohon

jamblang itu ada penghuninya. Jelas ia memanfaatkan hal

itu. Kalau ada yang lewat ia akan tertawa menirukan suara

setan yang menunggu pohon itu dengan meminta uang.

Cara ini agak berhasil untuk yang penakut kalau yang tidak

biasanya akan menantangnya atau menimpuknya dengan

batu. Pernah jidatnya benjol hanya karena ia ditimpuk.

Sayang, sekali lagi Egong tidak bisa memalak. Saat

melakukan aksinya ia malah diusir oleh preman tempatnya

memalak. Kalau sudah begitu ia ketakutan dan lari pontang-

panting. Akibatnya, uang sudah tak lagi bersamanya dan ia

hanya bisa terdiam meratapi nasib di rumahnya yang hanya

terdiri dari anyaman bambu.

149
“Woi! Lo diam aja di rumah!” ujar ibunya melihat

anaknya seperti itu yang menurutnya tidak pantas, “Kaya

perawan aja lo! Keluar ngapa cari kerja!”

“Yee…emak, aye kerja apaan, mak?” tanyanya heran,

“Sekolah aja kagak pernah,”

“Ala! Belagu lo pake sekolah!” sahut ibunya, “Lo aja

disekolahin nggak beres. Bolos mulu. Lagian lo juga kerjaan

tiap hari malakin orang sama togel!”

“Ah, emak bisanya nyerocos doang!” ujar Egong

kesal.

“Apa lo bilang?” ibunya mulai naik pitam. Kalau

sudah begini biasanya Egong menghindar. Ia tahu ibunya

bila marah besar akan berdampak buruk.

150
Keluar dari rumah Egong tampak bingung. Terus-

menerus ia menggaruk kepala. Ucapan pusing dan gerutu

lainnya keluar tiada henti.

“Gong!” ujar seseorang memanggilnya tiba-tiba.

Egong menolehnya. Ia mengenal siapa yang memanggilnya.

“Oi, Ka,” balasnya.

“Kayanya ada yang nggak beres nih sama lo?” tanya

temannya, Reka.

“Ah, bukan nggak beres lagi. Nggak bisa ngapa-

ngapain gue,” jawab Egong, “Bingung gue!”

“Lha, memang kenapa?” tanya Reka.

Egong lalu menceritakan semua yang sedang dialami

oleh dirinya kepada Reka. Reka tampak serius namun setelah

itu ia tertawa-tawa.

151
“Emangnya nih ketoprak?” tanya Egong heran, “Gue

serius!”

“Santai dong,” kata Reka, “Kasian banget sih ngabisin

hidup lo cuma buat malak,”

“Masih mending deh,” belanya, “Lagipula yang gue

palak ada juga yang kaya. Itung-itung balesan juga buat

para orang kaya yang suka malak orang miskin kaya gue

gini,”

“Oke, oke,” kata Reka, “Tapi, gue ada tawaran nih

buat lo dan semoga aja lo mau,”

“Tawaran apaan?” tanya Egong heran, “Malak lagi?

Ayo!”

“Bukan itu,”

“Apaan emangnya?”

152
“Tapi, gue tanya lo mau nggak?”

“Iya gue mau tapi apaan,”

“Dengerin ya dan ini bisa bikin lo kaya dalam

sekejap,”

Maka Egong pun mendengarkan apa yang

diucapkan oleh Reka. Ketika Reka selesai raut mukanya

berubah seperti tak percaya.

“Serius lo?” tanyanya setelah itu juga.

“Gue serius,” kata Reka, “Mau nggak lo?”

“Aduh, nggak deh,” kata Egong, “Menjambret di

kereta itu gede resikonya. Banyak orang. Lo tau kan gue

pernah nyoba yang ada gue ketangkap tangan sama polsuska

yang lagi nyamar. Udah gitu gue dipukul-pukulin lagi sama

massa. Untung nggak babak belur,”

153
“Tapi, lo dilepasin lagi kan?” tanya Reka.

“Iya,” jawab Egong, “Setelah dikasih peringatan aja,”

“Lo benar-benar pemalak kelas katro sih,” kata Reka,

“Nggak profesional. Lagi jambret nggak ngajak gue. Ntar gue

ajarin. Tapi, mau nggak lo?”

Egong yang tampaknya sedang ingin uang agar bisa

togel kembali langsung menerima tawaran Reka.

“Oke deh besok pagi kita ketemu di stasiun,” kata

Reka.

Esok paginya mereka bertemu di stasiun tepatnya

stasiun Depoklama. Mereka berdua muncul dari balik pagar

dan langsung menyebrangi rel dan kemudian menaiki

peron. Tampak tak ada yang curiga dengan mereka yang

seperti calon penumpang KRL Jabodetabek kebanyakan yang

sedang menunggu di peron menanti kedatangan KRL.

154
Seorang ibu berperawakan setengah tua sedang

menggandeng anaknya dengan erat. Egong dan Reka terus

memperhatikan ibu tersebut. Ada yang mencolok darinya. Di

leher ibu itu ada kalung yang begitu memikat kilaunya,

“Tuh dia sasaran kita,” ujar Reka pelan sambil

melahap jeruk yang baru saja dibelinya, “Liat tuh kalungnya.

Lumayan kalau ditawar-tawar bisa dapat 200 atau nggak

250,”

“Boleh tuh,” sahut Egong tampak antusias, “Udah

nggak sabar gue. Lumayan buat togel,”

“Santai,” kata Reka, “Nanti aja pas di dalam kereta

kita beraksi. Sekarang kita ngomongin caranya,”

Mereka berdua lalu berbicara bagaimana

menjambret kalung yang hendak dikenakan ibu tadi.

Awalnya Egong agak heran dengan apa yang harus

dilakukannya. Tetapi, ia mau melakukannya demi uang.

155
KRL Jabodetabek dari arah Bogor datang dan

berhenti di stasiun. Para penumpang segera masuk ke dalam.

Banyak di antara mereka terutama yang memakai tas

gendong menaruh tasnya di depan agar tidak dicopet dan

dipegang erat begitu juga ibu-ibu yang memegang erat tas

yang digandengnya dengan menaruh ke depan. Kebanyakan

ibu-ibu ini berada di tengah-tengah. Melihat ini Egong dan

Reka sedikit khawatir juga karena biasanya susah untuk

menjambret dari tengah-tengah. Selain para penumpang

tadi ikut juga para pedagang asongan yang siap hilir-mudik

di gerbong-gerbong dan kemudian main kucing-kucingan

ketika ada polsuska.

Namun, sasaran mereka ibu tadi berada di pinggir

pintu. Dan itulah yang mereka harapkan. Hanya saja tidak di

pinggir sekali dan di dekatnya ada laki-laki. Mereka agak

bersabar juga untuk melakukannya pada situasi yang

menguntungkan. Keadaan dalam keretaapi lumayan relatif

156
sepi dan orang bisa leluasa bergerak. Inilah yang tidak boleh

terlihat mencurigakan langkah mereka.

Perlahan mereka dekati ibu itu dengan berjalan

terpisah. Reka berjalan terlebih dahulu dan beberapa menit

kemudian Egong menyusul. Kalung itu begitu mengkilat dan

menggoda bagi yang melihat. Ibu itu memang tidak

menyadari apa yang akan terjadi padanya. Terlihat ia cuek

dan akhirnya tertidur. Melihat mangsanya tertidur jelas itu

merupakan sebuah kesempatan besar.

KRL terus melaju dan sekarang stasiun Pancasila

sudah dilewati. Namun kalung itu harus diambil karena

sebentar lagi di stasiun Lentengagung KRL akan berhenti.

Pelan-pelan tangan Reka bergerak dan merayap tanpa

terlihat siapapun karena dihalangi oleh Egong dari belakang.

Kalung itu pun sampai di sentuhan tangannya. Ketika kereta

berhenti dan berjalan kembali cepat-cepat Reka melepas

157
kalung dari leher dan seketika ibu itu terbangun sambil

mengumpat,

“Wei, bangsat lo!”

Reka segera meloncat. Begitu juga Egong. Kini

sebuah kalung ada di genggamannya. Egong yang

melihatnya langsung senang karena bisa buat togel lagi.

Sementara itu situasi di KRL pun heboh seperti pasar malam.

Namun, sayang itu cuma sesaat.

158

Anda mungkin juga menyukai