Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH QOWAIDUL FIQIH

“‫”األمور بمقاصدها‬

DOSEN PENGAMPU:
“Itik Purwanto, S.Ag., M.A.”
Disusun Oleh Kelompok 1:
1. Efi Asnawati
2. Suheryati

KELAS A POKJA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM-PENDIDIKAN TINGGI
DA’WAH ISLAM INDONESIA [STAI-PTDII]

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Al

Umuru bi Maqosidiha ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

pada mata kuliah Qowaidul Fiqiyah, Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk

menambah wawasan tentang apa itu Al Umuru bi Maqoshidiha, bagaimana cara

menerpakannya dan apa konsekuensinya, bagi pembaca dan juga bagi penulis .

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu terselesaikannya penulisan makalah ini, tidak lupa saran dan kritik yang

bersifat membangun selalu kami tunggu untuk perbaikan penulisan-penulisan

selanjutnya.

Jakarta 15 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Makna Al Umuru bi Maqoshidiha ......................................................... 3

B. Dalil-dalil kaidah AlUmubi Maqoshidiha .............................................. 6

C. Cabang-cabang kaidah Al Umuru bi Maqoshidiha .............................. 10

D. Penerapan Kaidah Al Umuru bi Maqoshidiha dalam bidang muamalah

............................................................................................................................... 15

BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha merupakan salah satu dari pada kaidah

yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam Qawa’id Fiqhiyyah. Kaidah ini

membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas

ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu

dengan niat ibadah kepada Alloh, ataukah karena ingin disanjung orang lain.

Kaidah ini juga ditafsirkan dalam dua sudut yaitu dari segi Bahasa dan dari segi

Istilah, dari segi Bahasa adalah maksud atau niat, sedang dari segi istilah adalah

sesuatu yang dipraktekan.

Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan menguasai

ilmu fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh,

Penerapan kaidah ini memiliki beberapa ketentuan, dan hal ini telah dipaparkan

oleh para ulama di antaranya adalah: “Berlaku kaidah tersebut di antara dua perkara

yang mubah yang dapat dibedakan sifatnya dengan qosad sebagaimana jikalau

beredar urusan antara akad jual beli yang dimaksudkan hukumnya dan jualan yang

hanya menaruh barang saja, dan seumpamanya”. Dari sini dapat difahami bahwa

berlakunya kaidah ‘Al umuru bi Maqoshidiha” hanya pada dua hal yang

diperselisihkan, dan dapat dibedakan ketentuan dari dua perkara tersebut dengan

niat, pada perkara inilah berlakunya segala urusan tergantung pada niatnya.

1
Kaidah al-ummur bimaqashidiha ini juga menegaskan bahwa setiap amal

perbuatan baik yang menyangkut hubugan manusia dengan Allah juga harus

dilandasi niat. Landasan dari kaidah fikih ini adalah al-qur’an dan sejumlah hadis.

B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud Al-Umuru bi Maqashidiha ?
2. Apa saja dalil Al-Umuru bi Maqashidiha ?
3. Apa saja cabang-cabang dari Al-Umuru bi Maqashidiha?
4. Bagaimana penerapan dari Al-Umuru bi Maqishidiha?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah memberikan wawasan
kepada pembaca mengenai:
1. Definisi Al-Umuru bi Maqoshidiha
2. Dalil-dalil yang berhubungan dengan Al-Umuru bi Maqoshidiha
3. Mengetahui cabang-cabang dari Al-Umuru bi Maqishidiha dan penerapannya.
4 Mengetahui penerapan dari Al-Umuru bi Maqoshidiha.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Al-Umuru Bi Maqashidiha

Kaidah Al-Umuru bi Maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz Al-

Umuru dan Al- Maqashid. Secara etimologi lafadz Al-Umuru merupakan bentuk

dari lafadz Al-Amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan.

jadi, dalam bab ini lafadz Al-Umuru bi Maqashidiha diartikan sebagai perbuatan

dari salah satu anggota tubuh.

Menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan

atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan

yang dilakukan. Sedangkan Maqashid secara bahasa adalah jamak dari Maqshad,

dan Maqsad mashdar mimi dari fi’il Qashada (qashada- yaqshidu-qashdan-

wamaksadan), Al Qashdu dan Al maqshadu artinya sama, beberapa arti Al qashdu

adalah Al i’timad berpegang teguh, Al Amma, condong, mendatangi sesuatu dan

menuju.

Kaidah pertama ini (Al-Umuru bi Maqashidiha) menegaskan bahwa semua

urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: ‫“( األمور بمقـاصدها‬segala

perkara tergantung kepada niatnya”). Niat sangat penting dalam menentukan

kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan

perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan

menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang

lain. Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara

3
yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung

pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap

perbuatan atau perkara-perkara hukum yang dilarang dalam syari’at Islam.

Makna Niat, Kata niat dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar

dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada

pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah)..Sementara

Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap

sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan

pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan.

Niat diperlukan untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan

yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-

lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau

tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori

kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat

untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan

Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di

sisi Allah. Jika seseorang mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat

maka berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia

dihukumkan berwudhu. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit

sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan

adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk

amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang

oleh agama.

4
Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya dengan niat.

Dengan niat pula kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan

yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi

besar, shalat dan puasa.

Tiga syarat yang harus dipenuhi agar diterima ibadah. Pertama, dengan

adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus

sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya.

Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah.

Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan

nafsu dan keduniaan. Niatnya itu hanya semata-mata perintah Allah. Hal ini

dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain pada surah al-Nisa ayat 125;

َ ‫لِل َوه َو محسِن َوٱتَّ َب َع ِملَّةَ ِإب َٰ َر ِه‬


َّ َ‫يم َحنِ ٗيفا َوٱتَّ َخذ‬
‫ٱلِل‬ ِ َّ ِ ‫سن د ِٗينا ِم َّمن أَسلَ َم َوج َههۥ‬
َ ‫َو َمن أَح‬

١٢٥ ‫يم َخ ِل ٗيل‬


َ ‫ِإب َٰ َر ِه‬

Artinya; Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia
mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayangan-Nya.
Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah,
mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah.
Adapun ibadah itu mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. karena apabila menyalahi
dari petunjuk Rasulullah SAW. maka ibadah itu tertolak. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.
Artinya; “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah dari kami, maka amalan
tersebut tertolak”.

5
Sedangkan niat itu tetap berlanjut sampai akhirnya pelaksanaan ibadah,

artinya bahwa niat itu tidak berubah dalam pelaksanaan ibadah. jika berubah dalam

pelaksanaan ibadah maka ibadahnya menjadi batal. Tiga syarat tersebut di atas,

apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal itu tidak sah atau batal

B. Dalil-dalil kaidah Al Umuru bi Maqoshidiha

1. Dalil dalam Al-qu’ran.

a. Surat Al Bayyinah ayat 5

َّ ‫صلَ َٰوةَ َويؤتوا‬


َ‫ٱلز َك َٰوة‬ َّ ‫صينَ لَه ٱلدِينَ حنَفَا َء َوي ِقيموا ٱل‬ َ َّ ‫َو َما أ ِمروا ِإ َّّل ِليَعبدوا‬
ِ ‫ٱلِل مخ ِل‬

٥ ‫َو َٰذَلِكَ دِين ٱلقَ ِي َم ِة‬

Artinya; Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian Itulah
agama yang lurus.
b. Surat Ali Imran ayat 145

َ ‫ٱلِل ِك َٰتَبٗ ا ُّم َؤ َّج ٗل َو َمن ي ِرد ثَ َو‬


‫اب ٱلدُّنيَا نؤتِِۦه ِمن َها‬ ِ َّ ‫َو َما َكانَ ِلنَفس أَن تَموتَ ِإ َّّل ِبإِذ ِن‬

َّ َٰ ‫سنَج ِزي ٱل‬


١٤٥ َ‫ش ِك ِرين‬ َ ‫َو َمن ي ِرد ثَ َو‬
َ ‫اب ٱۡل ِخ َر ِة نؤتِِۦه ِمن َها َو‬

Artinya; Sesuaatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki
pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

6
c. Surat Al-Baqarah ayat:225

َّ ‫سبَت قلوبكم َو‬


‫ٱلِل غَفور َح ِليم‬ ِ ‫ٱلِل بِٱللَّغ ِو فِي أَي َٰ َمنِكم َو َٰلَ ِكن ي َؤ‬
َ ‫اخذكم بِ َما َك‬ ِ ‫َّّل ي َؤ‬
َّ ‫اخذكم‬

٢٢٥

Artinya; Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak


dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan
(sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.
d. Surat Al-Baqarah ayat:226

‫ٱلِل فَقَ ِد‬


ِ َّ ِ‫ت َويؤ ِمن ب‬ َّ َٰ ‫ٱلرشد مِنَ ٱلغَي ِ فَ َمن يَكفر بِٱل‬
ِ ‫طغو‬ ُّ َ‫ِين قَد تَّبَيَّن‬
ِ ‫َّل إِك َراهَ فِي ٱلد‬

٢٥٦ ‫ع ِليم‬
َ ‫س ِميع‬ َّ ‫ام لَ َها َو‬
َ ‫ٱلِل‬ َ ‫ص‬َ ‫سكَ ِبٱلعر َوةِ ٱلوثقَ َٰى َّل ٱن ِف‬
َ ‫ٱستَم‬

Artinya; Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui
e. Surat Al –Ahzab ayat 5

ِ ‫ٱلِل فَإِن لَّم تَعلَموا َءا َبا َءهم فَإِخ َٰ َونكم ِفي ٱلد‬
‫ِين‬ َ ‫ٱدعوهم ِۡل َبا ِئ ِهم ه َو أَق‬
ِ َّ َ‫سط ِعند‬

َّ َ‫طأتم بِ ِهۦ َو َٰلَ ِكن َّما تَعَ َّمدَت قلوبكم َو َكان‬


‫ٱلِل‬ َ ‫علَيكم جنَاح فِي َما أَخ‬ َ ‫َو َم َٰ َو ِليكم َولَي‬
َ ‫س‬

٥ ‫ورا َّر ِحي ًما‬


ٗ ‫غَف‬

Artinya; Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

7
2. Dalil dari Hadist Rosululloh SAW

َ : ‫عنه قَا َل‬


‫س ِمعت‬ َ ‫ي للا‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ب َر‬ َّ ‫عن أَ ِمي ِر المؤ ِمنِينَ أَ ِبي َحفص ع َم َر ب ِن الخ‬
ِ ‫َطا‬ َ

ِ ‫ ِإنَّ َما اۡلَع َمال ِبالنِيَّا‬: ‫للا صلى للا عليه وسلم َيقول‬
‫ت َو ِإنَّ َما ِلك ِل ام ِرئ َما‬ ِ ‫َرسو َل‬

ِ ‫للا َو َرسو ِل ِه فَ ِهج َرته ِإلَى‬


‫ َو َمن َكانَت‬،‫للا َو َرسو ِل ِه‬ ِ ‫ فَ َمن َكانَت ِهج َرته ِإلَى‬. ‫ن ََوى‬

‫رواه إماما‬. )‫صيب َها أَو ام َرأَة يَن ِكح َها فَ ِهج َرته إِلَى َما هَا َج َر إِلَي ِه‬
ِ ‫ِهج َرته ِلدنيَا ي‬

‫المحدثين أبو عبد للا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة‬

‫البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في‬

‫صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة‬

Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu,
dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap
perbuatan itu (tergantung) niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya
atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai
sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin
Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim
bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya )
Dalam hadis lain di sebutkan:

‫فَ َمن َكانَت ِهج َرتهإلَىاللَّ ِه َو َرسو ِل ِهفَ ِهج َرتهإلَىاللَّ ِه َو‬،‫و ِإنَّ َما ِلك ِلم ِرئ َمان ََوى‬،ِ ِ ‫إنَّ َمااۡلَع َمال ِب‬
َ ‫النيَّات‬

‫صيب َهاأَوام َرأَةيَن ِكح َهافَ ِهج َرتهإلَى َماهَا َج َرإلَيه‬


ِ ‫و َمن َكانَت ِهج َرته ِلدنيَاي‬،
َ ‫َرسو ِل ِه‬

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya


dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa

8
yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan
RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau
karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah
kepadanya”. (HR. Bukhary-Muslim ra.).

‫إنما بعث الناس على نياته‬

Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.” (HR.Ibn


Majah dan Abu Hurairah ra.)

‫انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه للا اّل أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك‬

Artinya:n"Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud


mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam
mulut istrimu" (HR. Bukhari).

‫من قتل لتكون كلمة للا هي العليا فهو فى سبيل للا عزوجل‬

Artinya; "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah,


maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).
Adanya dalil dari Ayat-ayat al-Qur’an di atas dan diperkuat oleh hadis-hadis

Rasulullah SAW. Cukup menjadi penjelas pada kita bahwa tujuan atau niat dari

amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Kalau niat karena

Allah atau untuk ibadah, maka akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah.

Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa,

atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang

mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka

ibadahnya tidak sah.

9
Di antara sumber-sumber kaidah di atas, yang langsung menunjuk kepada

peranan niat dalam semua perkara adalah hadis “‫ "تاينلب ّلمعلا امنا‬. Hadis itu satu

pokok penting dalam ajaran Islam. Imam Syafi’i dan Ahmad berkata : “Hadis

tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata al-Baihaqi. Hal itu

karena perbuatan manusia terdiri dari niat, ucapan dan tindakan.

C. Cabang-cabang kaidah Al-Umuru bi Maqoshidiha.


Dari kaidah tersebut terdapat beberapa kaidah lain dibawahnya antara lain

sebagai berikut;

a. pengertian yang diambil dari sesuatu, tujuannya bukan semata-mata kata-

kata dan ungkapannya(‫ )العبارة في العقود للمقاصد والمعاني لأللفاظ والمباني‬sebagai

contoh, apabila seseorang berkata: “Saya hibahkan barang ini untukmu

selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah”, meskipun katanya

adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan

hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya. Di

kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidah‫( ّلثواب اّلبالنية‬tidak ada pahala

kecuali dengan niat). Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawaid al-

kuliyyahyang pertama sebelum al-umur bimaqasidiha. Seperti

diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki. Tampaknya

Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas

asalnya ‫( ّلثواب وّلعقـاب اّلبالنية‬tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali

karena niatnya).

10
b. Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam

hati atau diniatkan, maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam

hati (‫)لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب‬. Sebagai contoh, apabila hati niat

wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka

wudûnya tetap sah.

c. ‫( ّليلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله‬tidak wajib niat ibadah dalam

setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan). Contoh:

untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.

d. ‫( كل مفرضين فلتجزيهنانية واحدة اّل الحج والعمرة‬setiap dua kewajiban tidak boleh

dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah). Seperti diketahui dalam

pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:

Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru

mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.

Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib

membayar dam.

Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu

niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam.

Cara ketiga ini lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di

atas. Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-

masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.

e. ‫كــل ماكان له أصل فلينتقل عن أصله بمجرد النية‬

11
(setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal

karena semata-mata niat). Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian

setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka

batal shalat zuhurnya. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah

dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit

fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah,

maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.

f. ‫مقاصد اللفظ على نية اللفظ اّل فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى‬

(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang

yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di

hadapan qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut

niat qadi".

Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat,

sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang

mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah

itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya

shalat fardhu atau shalat sunnah.

g. ‫( اۡليمان مبنية على اۡللفاظ والمقا‬sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan

maksud). Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu

"wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya.

Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam

hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus,

12
artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya

harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

h. ‫( النية فى اليمين تخصص اللفظ العام وّل تعمم الخاص‬niat dalam sumpah

mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas).

Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang

bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan

manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh: yaitu

Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga

berlaku pula pada orang yang menerima minuman dari orang lain. Lalu

orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan

minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak

dinilai melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian

pemberiannya dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan

dirinya.

i. ‫ماّليشترط التعرض له جملة وتفصيلاذاعينه وأخطأ لم يضر‬

(Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk

dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara

terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak

membahayakan (sahnya amal)”.

Melalui kaidah fikih ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat

bahwa tempat pelaksanaan sholatnya dimasjid atau musalla atau

menyebutkan hari tertentu imam tertentu dalam sholat berjamaah, lalu

13
terbukti kemudian apa yang dinyatakan dalam niat itu keliru, maka sholat

yang bersangkutan tetap sah secara hukum. Hal ini mengingat sholat yang

dilakukan orang tersebut secara sempurna. Sementara kekeliruan niat terjadi

hanya pada sejumlah persoalan yang tidak mempunyai kaitannya dengan

sholat.Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang

tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau

kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian

apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah

terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang

tidak ada kaitannya dengan shalat.

j. ‫( ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل‬pada suatu amal yang dalam

pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan

dalam memastikannya akan membatalkan amal). kaidah fikih yang

menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal yang menuntut

kejelasan niat, kesalahan berimplikasi terhadap batal amal tersebut.

k. ‫ومايجب التعرض له جملة وّل يشترط تعيينه تفصيلاذاعينه وأخطأ ضر‬

(Sesuatu amal yang diatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara

terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka

membahayakan sahnya amal). Contoh shalat berjama'ah dengan niat

makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah Ali,

maka tidak sah makmumnya.

14
D. Penerapan kaidah Al-Umuru bi Maqishidiha Dalam Bidang Muamalah

“Segala urusan tergantung kepada tujuannya”

Contoh penerapannya:

Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau

menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat

menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai

khamr, maka hukumnya haram.

Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah

uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya,

maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika

ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama

dengan ghashob (orang yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka

ia harus menggantinya secara mutlak.

Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat

untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka

ia dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank

konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka

hukumnya haram.

15
BAB III

KESIMPULAN

Pengertian dari Al-Umuru bi Maqoshidiha yaitu segala sesuatu tergantng

pada tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung di dalam hati

saat melakukan perbuatan, hal ini menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan

status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan,baik yang berhubungan dengan

peribadatan, muamalah maupun adat kebiasaan.

Kaidah yang pertama membawa maksud setiap urusan dinilai berdasarkan

tujuan/niatnya. Secara eksplisit, kaidah tersebut menjelaskan bahawa setiap

pekerjaan yang ingin dilakukan oleh seseorang perlu disertai dengan tujuan/niat.

Oleh karena itu, maka setiap perbuatan mukallaf amat bergantung kepada apa yang

diniatkannya, bahkan para ulama fiqh sepakat bahwa sesuatu perbuatan yang telah

diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena suatu

kesukaran ia tetap diberikan pahala/ganjaran. Begitulah urgensi dari niat.

Kaidah Al-Umuru bi Maqoshidiha di sini memiliki 11 cabang kaidah yang

kesemuanya membahas tentang pentingnya niat dan bagaimana konsekuensinya.

Kaidah tentang niat ini merupakan kaidah yang sangat penting dan mendalam

disbanding kaidah-kaidah lain dalam fiqih islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman Azhari, 2015, Qawaid Fiqhiyah Muammalah, Cet. 1, Banjarmasin;

Lembaga Pemberdayaan Umat (Lpku).

Al-Umuru_bi Maqashidiha_(qawaidul_fikiah).pdf.

https://www.slideshare.net/dodykstylee/kaidah-cabang-al-umuru-bi-maqasidiha

diakses 2021.

http://iaia.ac.id/assets/uploads/Kedudukan-Qawaid-Fiqhiyyah-Dalam-

Mengistimbathkan-Hukum-Islam.pdf di akses 15 mei 2021.

17

Anda mungkin juga menyukai