Anda di halaman 1dari 12

KONSEP DASAR

A. Pengertian
Dengue Haemorhagic Fever adalah penyakit yang menyerang anak dan orang dewasa
yang disebabkan oleh virus dengan manifestasi berupa demam akut, perdarahan, nyeri otot
dan sendi. Dengue adalah suatu infeksi Arbovirus (Artropod Born Virus) yang akut
ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti atau oleh Aedes Albopictus (Titik Lestari, 2016).
Dangue shock syndrome adalah keadaan kritis yang memenuhi kriteria DBD disertai
dengan tanda dan gejala sirkulasi atau shock. DSS adalah kelanjutan dari DBD dan
merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus dengue, derajat paling berat
yang akan berakibat fatal.

B. Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk kedalam Arbovirus
(Arthropodborn virus) hroup B, tetapi dari 4 tipe yaitu virus dengue tipe 1, 2, 3 dan 4
keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari
lainnya secara serologis virus dangue yang termasuk dalam genus flavivirus ini
berdiameter 40 nonometer dapat berkembangbiak dengan baik pada berbagai macam
kultur jaringan baik yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby
Homster Kidney) maupun sel-sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus. (Soedarto,
2012)
2. Vektor
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vector penularan
virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitanya nyamuk Aedes
Aegypti merupakan vector penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah
pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes
berkembang biak pada genangan air bersih yang terdapat bejana-bejana yang terdapat
didalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat diluar rumah dilubang-lubang
pohon didalam potongan bamboo, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya
(Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada
siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari. (Soedarto, 2012)
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih
mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe
lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah
mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulang untuk kedua
kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue
untuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadapat dengue dari ibunya
melalui plasenta. (Soedarto, 2012)

C. Manifestasi Klinik
1. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2-7 hari kemudian turun
menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung demam, gejala-
gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan
persendian, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyertainya. (Soedarto, 2012)
2. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya terjadi
pada kulit dan data berupa uji tourniquet yang positif mudah terjadi perdarahan pada
tempat fungsi vena, petekia dan purpura. (Soedarto, 2012)
3. Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak yang
kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegaly dan hati teraba
kenyal harus diperhatikan kemungkinan akan terjadi renjatan pada penderita. (Soedarto,
2012)
4. Renjatan (Syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita, dimulai
dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung,
jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam
maka biasanya menunjukkan prognosis yang buruk.
Selain tanda dan gejala yang ditampilkan berdasarkan derajat penyakitnya, tanda dan
gejala lain adalah :
a) Hati membesar, nyeri spontan yang diperkuat dengan reaksi perabaan
b) Asites
c) Cairan dalam rongga pleura (kanan)
d) Ensephalopati : kejang, gelisah, spoor koma
Gejala klinik lain yaitu nyeri epigastrium, muntah-muntah, diare maupun obstipasi dan
kejang-kejang. (Soedarto, 2012)

D. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi
ditenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada system
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam
pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DD
dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat
anafilaktosin, histamine, dan sertononin serta aktifitas system kalikrein yang berakibat
ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma,
terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma kedaerah ekstravaskuler dibuktikan dengan ditemukannya
cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan
hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera tidak segera
teratasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolic dan kemaian. Sebab lain kematian
pada DBD adalah perdarahan hebat. perdarahan umumnya dihubungkan dengan
trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti
dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan system koagulasi
disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terbukti terganggu
oleh aktifasi system koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/DSS, terutama
pada pasien dengan Perdarahan hebat.
E. Pathway
F. Pemeriksaan Diagnostik dan Hasil
Temuan laboratorium mendukung observasi sebagai berikut :
1. Trombositopenia (100.000 sel per mmᵌ atau kurang)
2. Hemakonsentrasi (peningkatan hematocrit sedikit 20% diatas rata-rata untuk usia, jenis
kelamin, dan populasi)
Pasien dengan diagnosis penentu DHF atau DSS bila terdapat : Bukti virologis atau
serologis dari infeksi dangue akut atau riwayat pemajanan pada area endemic dengue
atau epidemic(selama periode transmisi epidemic, atau tingkat transmisi epidemic
bermakna, tampaknya tidak selalu bahwa kasus akan mempunyai penguat laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium
1. Leukosit
Normal, biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Akhir fase demam jumlah
leukosit dan neutrophil menurun, sehingga jumlah limfositrelatif meningkat.
Peningkatan jumlah limfosit atipikal atau limfosit plasma biru (LPB˃4%) didaerah tepi
dijumpai pada hari sakit ke 3.
2. Trombosit
Jumlah trombosit ˂100.000/u atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb pada hari ke 3-7.
3. Hematokrit
Gambaran hemokonsentrasi merupakan indicator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematocrit 20% atau lebih mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Nilai hematocrit
dipengaruhi oleh pergantian cairan atau perdarahan.
4. Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara
5. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan
6. Penurunan faktor koagulasi dan fibriotik yaitu fibrinogen, protombin
7. Waktu tromboplastin parsial dan waktu protrombin memanjang
8. Hipoproteinemia
9. Hiponatremia
10. SGOT/SGPT sedikit meningkat
11. Asidosis metabolic berat dan peningkatan kadar urea nitrogen terdapat pada syok yang
berkepanjangan
Radiologi
Pada foto toraks DBD grade III/IV dan sebagian grade II didapatkan efusi pleura, biasanya
sebelah kanan. Posisi foto adalah lateral decubitus kanan.
Ascites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG.

G. Penatalaksanaan
1. Pada DSS beri infus kristaloid (Ringer laktak atau NaCl 0,9 %) 10 - 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 hari menit) dan oksigen 2 lt/menit.
Untuk DSS berat (DBD derajad IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur diberikan
ringer laktat 20 ml/kgBB Bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit,
hematokrit dan trombosit tiap 4 - 6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syock belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap
dilanjutkan 15 – 20 ml/kgBB, ditambahkan plasma (fresh frozen plasma) atau koloid
(HES) sebanyak 10 – 20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB (koloid diberikan pada jalur
infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya). Observasi keadaan umum,
tekanan darah, tekanan nadi tiap 15 menit dan periksa hematokrit tiap 4 – 6 jam.
Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah. Pada syock berat (tekanan nadi kurang lebih
10 mmHg), penggunaan koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial meberi hasil
perbaikan peningkatan tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syock telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit, tekanan
nadi > 20 mmHg, nadi kuat maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Volume 10 ml/kgBB/jam dapat tetap dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis
stabil dan hematokrit menurun <40 %. Selanjutnya cairan ditutunkan menjadi 7
ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan
diturunkan 5 ml dan seterusnya 3 ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak
melebihi 48 jam setelah syock teratasi. Observasi klinis, nadi, nadi, tekanan darah,
jumlah urine dikerjakan tiap jam (usahakan urine >1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan
pemeriksaan hematokrit dan trombosit tiap 4 – 6 jam sampai keadaan umum baik.
4. Apabila syock belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih
lebih dari 40 vol% berikan darah dalam volume kecil 10 ml/kgBB. Apabila tampak
perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10
ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5 – 8 cmH2O) pada syock berat
kadang – kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
5. Apabila syock masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan
dan pasang kateter urine untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>10
cmH2O) maka diberikan dopamine.
KONSEP PROSES KEPERAWATAN

A. Pengertian Primer
Airway : Memastikan kepatenan jalan nafas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi
Breathing : Memastikan irama nafas normal atau cepat, pola nafas teratur atau tidak,
tidak atau ada dyspnea, ada tidaknya nafas cuping hidung dan nafas
vesikuler
Circulation : Nadi lemah/tidak teraba, cepat ˃100 x/menit, tekanan darah dibawah normal
bila terjadi syok, pucat oleh karena pendarahan, sianosis, kaji jumlah
perdarahan dan lokasi, capillary refill time ˃2 detik apabila ada perdarahan.
Disability : Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila adanya
diskontuinitas saraf yang berdampak pada medulla spinalis
Exposure/Environment : Adanya memar pada abdomen atau penetrasi pada abdomen, perut
dan semakin tegang

B. Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum :
- Kesadaran
- Vital sign
- Status nutrisi (berat badan, panjang badan, usia)
b. Pemeriksaan persistem
- Sistem persepsi sensori :
 Penglihatan : edema palpebral, air mata ada/tidak, cekung/normal
 Pengecapan : rasa haus meningkat/tidak, tidak lembab/kering
- Sistem persyarafan : kesadaran, menggigil, kejang, pusing
- Sistem pernafasan : epistaksis, dispneu, kusmaul, sianosis, cuping hidung, odem
pulmo, krakles
- Sistem kardiovaskuler : takikardi, nadi lemah dan cepat/tak teraba, kapilary refill
lambat, akral hangat/dingin, epistaksis, sianosis perifer, nyeri dada
- Sistem gastrointestinal :
 Mulut : membrane mukosa lembab/kering, perdarahan gusi
 Perut : turgor, kembung/meteorismus, distensi, nyeri, asites, lingkar perut
 BAB : warna (merah, hitam), volume, bau, konsistensi, darah, melena
- Sistem integument : petekie, ekimosis, kulit kering/lembab, adakah perdarahan
bekas tempat injeksi
- Sistem perkemihan : BAK 6 jam terakhir, oliguria/anuria

Pemeriksaan Diagnostik
- Laboratorium
- Radiologi
- USG

C. Diagnosa Keperawatan Utama


1. D.0130 Hipertermi
2. D.0023 Hipovolemia
3. D.0019 Defisit Nutrisi

D. Intervensi Keperawatan dan Rasional

DX Intervensi Rasional
1 Manajemen Hipertermia (I.15506) - Untuk mengetahui suhu tubu
Observasi
pasien
- Identifikasi penyebab hipertermia (mis. dehidrasi,
terpapar lingkungan panas, penggunaan incubator) - Untuk mencegah terjadinya
- Monitor suhu tubuh
komplikasi akibat hipertermia
- Monitor kadar elektrolit
- Monitor haluaran urine - Untuk mempertahankan suhu
- Monitor komplikasi akibat hipertermia
tubuh mendekati normal
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin - Untuk mengganti cairan yang
- Longgarkan atau lepaskan pakaian
hilang
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat berlebihan)
- Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia
atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen,
aksila)
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
- Berikan oksigen bila perlu
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena,
jika perlu

2 Manajemen Hipovolemia (I.03116) - Mengidentifikasi perubahan –


Observasi perubahan yang terjadi pada
keadaan umum pasien tertutama
- Periksa tanda dan gejala hypovolemia (misalnya untuk mengetahui adanya tanda –
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan tanda syok hipovolemik
darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit - Membantu dalam menganalisa
menurun, membrane mukosa kering, volume urine keseimbangan cairan dan derajat
menurun, hematokrit meningkat, haus dan lemah) kekurangan cairan
- Agar dapat menyiapkan cairan
- Monitor intake dan output cairan sesuai kebutuhan klien
- Untuk membantu meningkatkan
Terapeutik
tekanan darah ke otak
- Hitung kebutuhan cairan - Untuk memenuhi kebutuhan cairan
tubuh klien
- Berikan posisi modified Trendelenburg - Dengan mengkonsumsi cairan
- Berikan asupan cairan oral yang banyak akan membantu
memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Edukasi - Untuk menghindari keluhan pusing
- Cairan isotonis dapat membantu
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
memenuhi kebutuhan cairan tubuh
- Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak - Cairan hipotonis dapat membantu
mengatasi dehidrasi akibat
Kolaborasi pengguanan diuretic,
- Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis, NaCl, hiperglikemia dengan ketoasidosis
RL) - Cairan ini dapat berguna sebagai
cairan resusitasi pada pasien
- Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis, glukosa kritis/pasien bedah
2,5%, NaCl 0,4%) - Untuk mengatasi kekurangan
- Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis, albumim,
plasmanate) darah pada pasien

- Kolaborasi pemberian produk darah

3 Manajemen Nutrisi (I.03119) - Jika makanan yang disukai pasien


Observasi dapat dimasukkan dalam
- Identifikasi status nutrisi perencanaan makanan, kerjasama
- Identifikasi makanan yang di sukai ini dapat diupayakan setelah
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient pulang
- Monitor asupan makanan - Makanan tinggi serat untuk
- Monitor berat badan mencegah konstipasi
Terapeutik - Program diet untuk
- Lakukan oral Hygiene sebelum makan, jika perlu mengidentifikasi kekurangan dan
- Fasilitasi menentukan pedoman diet penyimpangan dari kebutuhan
- Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai terapeutik
- Berikan makanan tinggi serat - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein memenuhi kebutuhan nutrisi yang
- Berikan suplemen makanan, jika perlu diperlukan pasien
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Anjurkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis.
pereda nyeri, antiemetic), jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Soedarto. 2012. Demam Berdarah Dengue Hemoragic Fever. Jakarta: Sugeng Seto

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan

Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan

Pengurus PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan

Pengurus PPNI

Titik Lestari, 2016. Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai