Anda di halaman 1dari 26

KEPERAWATAN KRITIS

DENGUE SHOCK SINDROM PADA ANAK


Dosen Pengampu: Ns. Dwi Linda Novia, M.Kep Sp. Jiwa

Disusun Oleh:

FEDRI ANDANA HERDA YANTI


FITRI HANDAYANI ANISYA RIZKY KARTIKA
YUSNITA KAMBUNO FEBRIYANTI
YUNITA WUANDARI FERRA
RATNA ARIYANI ADITYA
AYU CITA LARASARI DHITA FITRIYANTI

PROGRAM STUDI S1 ALIH JENJANG KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

1
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga

kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “dengue shock sindrom pada anak” ini tepat

pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ns. Dwi

Widiastuti, M.Kep pada mata kuliah Manajemen Keperawatan. Selain itu, makalah ini juga

bertujuan untuk menambah wawasan tentang “dengue shock sindrom pada anak” bagi para pembaca

dan juga penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ns. Dwi Linda Novia, M.Kep Sp. Jiwa, selaku

dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat

menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian

pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.Kami menyadari, makalah ini

masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami

nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 25 Februari 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN
Dengue Fever (DF) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, nyeri retro orbital, myalgia, atralgia,
ruam kulit, hepatomegali, manifestasi perdarahan, dan lekopenia.

Dengue Hemoragik Fever (DHF) adalah kasusu demam dengue dengan kecenderungan
perdarahan dan manifestasi kebocoran plasm. Demam berdarah dengue atau Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai dengan pembesara hati dan
manifestasi perdarahan. Demam Berdarah Dengue (BDB) atau Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviride, dengan
genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang
berbeda-beda tergantung dari sterotipe virus dengue. Mordibitas penyakit DBD menyebar di
negara-negara tropis dan sub tropis. Di setiap Negara penyakit DBD mempunyai manifestasi
klinik yang berbeda.

Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus deman
berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan sirkulasi/ syok/ renjatan. Dengue Shok
Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga
merupakan permasalahan klinis. Karena 30 – 50% penderita demam berdarah dengue akan
mengalami renjatan dan berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini
dan adekuat.

Penanganan renjatan pada DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting diperhatikan,
oleh karena angka kematian akan meninggi bila renjatan tidak ditanggulangi secara dini dan
adekuat.

Dasar penangani renjatan DBD ialah volume replacement atau penggantian cairan intravascular
yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan peninggian
permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma leakage.

3
Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi
pleura dan asites yang berat dan kejang. Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk
flavivirus demam berdarah.Oleh itu, pencegahan utama demam berdarah terletak pada
menghapuskan atau mengurangi vector nyamuk demam berdarah.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam
mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati.
Demam Dengue berdarah adalah penyakit yang bermanifestasi perdarahan dikulit berupa
petechie, purpura, echymosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hepatomegali,
trombositopeni.Dengue Syok Sindrom adalah penyakit DHF yang mengalami kesadaran
menurun atau renjatan.

2.1.1 Agent Infeksius

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod
Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat
serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masingmasing saling berkaitan sifat antigennya
dan dapat menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya
KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang
paling dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala
klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.10 2.1.3 Vektor Penular Nyamuk Aedes
aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus dengue dari penderita
kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di
daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies
nyamuk tersebut berperan dalam penularan.

2.2. Etiology

2.2.1. Mekanisme Penularan

Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia. Virus
dengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena
itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases. Virus dengue berukuran
35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk.
Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue, yaitu manusia, virus,
dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius. Seseorang yang di dalam
darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular DBD. Virus dengue
berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik).
Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk
ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap
darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada
orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang
hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum
menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah
yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke
orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue. Nyamuk
betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah binatang. Kebiasaan
menghisap darah terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00.
Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu
individu ke individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia
yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga
nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan
inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.

2.2.2. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD

Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya.
Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :

a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)


b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari
berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup
besar. Tempat-tempat umum itu antara lain :

i. Sekolah Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan


kelompok umur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.

ii. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang


datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD,
demam dengue atau carier virus dengue.

iii. Tempat umum lainnya seperti : Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-
tempat ibadah dan lain-lain.

c. Pemukiman baru di pinggiran kota karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal
dari berbagai wilayah, maka kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang
membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi awal.

2.3. Nyamuk Penular DBD

2.3.1 Morfologi Nyamuk Penular DBD

Morfologi Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :

a. Nyamuk dewasa Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk yang lain. Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan
dan kaki.

b. Pupa (Kepompong) Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih besar
namun lebih ramping dibandingkan larva (jentik)nya. Pupa nyamuk Aedes aegypti berukuran
lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.

c. Larva (jentik) Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva

i. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.

ii. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.

iii. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
iv. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.

Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan seperti
pada potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng kosong, pot bunga, botol
pecah, tangki air, talang atap, tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban
bekas, serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan
tanah. Larva sering berada di dasar container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk
sudut 45 derajat, sedangkan posisi kepala berada di bawah.

d. Telur Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang
mengapung satu persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding
penampungan air, Aedes aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal
bagian dalam pada tempat-tempat yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari
langsung, dan biasanya berada di dalam dan dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu
atau berderet pada dinding tempat air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk
sudut dengan permukaan air.

2.3.2. Lingkungan Hidup

Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu
telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur
terendam air. Telur dapat bertahan hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam
air, dan apabila musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam
kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa
9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.Pergerakan nyamuk dari tempat
perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan
terbang. Jarak terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun secara pasif misalnya
angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.

2.3.3. Variasi Musiman

Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau
tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas.
Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air
hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh
karena itu pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya
populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan
penyakit dengue.

2.3.4. Tempat Perkembangbiakan Aedes aegypti

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada tempat-tempat


penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam
atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung
berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut :

a. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna
keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.

b. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa
menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum hewan
peliharaan (ayam, burung, dan lain-lain), barang bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan
lain-lain), vas bunga,perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.

c. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain .

2.4. Epidemiologi

2.4.1. Distribusi Penyakit

Menurut Orang DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih
banyak pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan
proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang
tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan
untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis
baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu
daerah. Pada
awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita
terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah-
wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di
Indonesia penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita
yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.Menurut Tempat Penyakit DBD
dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter dari
permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah perkembangbiakan
Aedes aegypti tidak sempurna.Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di
Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05
per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD
telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.14 Universitas Sumatera Utara Meningkatnya
kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana
transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di
seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.14,19
2.4.3. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu Pola berjangkitnya infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-320 C) dengan
kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu
lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola
terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada umumnya infeksi
virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada
sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

2.4.2. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit DBD

Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent (virus), host (pejamu),
dan lingkungan, yaitu :

1. Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang
kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan
yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu
proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran DBD adalah virus
dengue.19

2. Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD.
Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
i. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang
lainnya. Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram mobilitas penduduk tidak ikut berperan
dalam terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas
penduduk di kota Mataram yang relatif rendah yaitu sebagian besar adalah petani.Hasil
penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar mobilitas penduduk berperan
dalam penyebaran DBD, hal ini disebabkan mobilitas penduduk di kota Makassar yang relatif
tinggi.Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu
pusat sumber penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk.
Semakin tinggi mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit.

ii. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas
Duma (2007) di kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan antara
pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan
Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang Jawa
Barat menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan atau buta huruf ,
pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka
konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.

iii. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD.
Hasil penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun
2000 proporsi kasus DBD terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun
1998 dan 2000 proporsi kasus pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut
perlu diwaspadai bahwa DBD cenderung meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa.4
Hal ini sesuai dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi kasus DBD
telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun.5 Hasil penelitian Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita
terbanyak lebih sering pada kelompok umur ≥ 15 tahun.

iv. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun 1997 menemukan
bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar 52,6 %.23
Hasil serupa juga di peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian besar
penderita adalah perempuan (58,2%).25 Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis
kelamin penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat memberikan
jawaban dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada penderita DBD.13 Hal ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan Djelantik di RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.

3. Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD adalah :

i. Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamuk


Aedes aegypti. Hasil penelitian Yukresna (2003) dengan desain penelitian case control di kota
Medan mendapatkan kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan kejadian
DBD dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).

ii. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk
dan virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak
ditemukan nyamuk Aedes aegypti.

iii. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi
air. Telur-telur yang belum sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban
udara juga akan meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa
dimana selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan
virus lebih besar.11,15,19 Dari hasil pengamatan penderita DBD yang selama ini dilaporkan di
Indonesia bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal
dan akhir tahun.4 Hasil penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih
tinggi pada saat curah hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.

iv. Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna (2003) di kota
Medan dengan desain penelitian case control yang mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan
mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15). Penelitian
tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi
lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
2 .5 Patofisiologi
Patofisiologi yang utama pada dengue shock syndrome ialah reaksi antigen-antibodi
dalam sirkulasi yang mengakibatkan aktifnya system komplemen C3 dan C5 yang melepaskan
C3a dan C5a dimana 2 peptida tersebut sebagai histamine tubuh yang merupakan mediator kuat
terjadinya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak sebagai akiba
terjadinya perembesan plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk
ke dalam ruang interstitial sehingga menyebabkan hipotensi,peningkatan
hemokonsentrasi,hipoproteinemia dan efusi cairan pada rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan/shock berat maka volume plasma dapat berkurang sampai
kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Renjatan hipovolemia ini bila tidak
ditangani segera akan berakibat anoksia jaringan,asidosis metabolic sehingga terjadi pergeseran
ion kalsium dari intraseluler ke extraseluler. Mekanisme ini diikuti oleh penurunan kontraksi otot
jantung dan venous pooling sehingga lebih memperberat kondisi renjatan/shock.
Selain itu kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang biasanya
timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak diatasi secara adekuat.

Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh:


- Trombositopenia hebat,dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dna mencapai nilai
terendah pada masa renjatan.
- Gangguan fungsi trombosit
- Kelainan system koagulasi,masa tromboplastin partial,masa protrombin memanjang sedangkan
sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin normal,beberapa factor pembekuan menurun
termasuk factor ,V,VII,IX,X,dan fibrinogen.
-DIC /Desiminata Intravakuler Coagulasi
Pada masa dini DBD peranan DIC tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan
perembesan plasma,namun apabila penyakit memburuk sehingga terjadi renjatan dan asidosis
metabolic maka renjatan akan mempercepat kejadian DIC sehingga peranannya akan menonjol.
Renjatan dan DIC salig mempengaruhi sehingga kejadian renjatan yang irreversible yang disertai
perdarahan hebat disemua organ vital dan berakhir dengan kematian.
2.6 Manifestasi Klinis

Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun simtomatik yang meliputi
demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau demam berdarah dengue termasuk sindrom
syok dengue (DSS). Penyakit demam dengue biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita
sembuh tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang mempunyai
ciri-ciri demam, manifestasi perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat
menyebabkan kematian. Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain
virus. Berikut ini adalah bagan manifestasi infeksi virus dengue: Infeksi virus dengue
Asimtomatik Simtomatik Demam yang tak Demam dengue Demam berdarah jelas penyebabnya
dengue (sindrom virus) (kebocoran plasma) Tanpa Dengan Perdarahan perdarahan DBD tanpa
DBD dengan syok syok (SSD) Demam dengue Demam Berdarah.

2.7 Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.

1. Kriteria Klinis

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-
7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie,


echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena.
Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya
diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan
di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan
selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada
sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm)
didapat lebih dari 20 petekia.

c. Pembesaran hati (hepatomegali).

d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah. Universitas Sumatera Utara
2. Kriteria Laboratorium

a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml) b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan


hematokrit 20% atau lebih. 3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5 Derajat
penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :

a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi


perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.

b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga
terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.

c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan
ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun ( < 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.

d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan
ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang
tidak terdeteksi.

2.7.1 Diagnosis Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi dengue,
meliputi :

1. Pengumpulan Spesimen Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium
adalah pengumpulan, pegolahan, penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Persyaratan
dari jenis spesimen, cara penyimpanan dan pengiriman dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
2. Jenis spesimen
3. Waktu pengambilan
4. Penyimpanan
5. Pengiriman

Spesimen darah Akut (S1) 0-5 hari setelah onset -700 C dry-ice Spesimen darah Konvelesen
(S2 & S3) 2-3 minggu setelah awitan -200 C beku/es Jaringan Secepatnya setelah meninggal -700
C dry-ice Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada stadium akut atau secepatnya
setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah
yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum
meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah spesimen akut.
Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen adalah 10 hari.
Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan dengan 2 cara :

a. dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus). Darah diteteskan pada kertas
saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter paper terisi darah rata. Darah
dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari ditusuk). Kertas saring
yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan dikeringkan dengan panas
sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang telah kering disimpan
dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari 3 bulan. Kirimkan dalam amplop
atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan tersebut.

b. dengan serum darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum
dipisahkan dengan diputar 1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah
dipindahkan dalam botol kecil dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan
pada suhu -200 C sebelum dikirim ke laboratorium.

2. Isolasi Virus Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat
dilakukan pada sebagian besar kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit
dan langsung diproses tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus
diantaranya serum fase akut dari pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati,
limpa, nodus limfe.

3. Uji Serologis Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan
serologi untuk penderita DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada Universitas
Sumatera Utara pemeriksaan serologi penderita DBD dibandingkan pemeriksaan serologi
lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya. Apapun jenis uji
yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung pada kenaikan yang signifikan (4
kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum diantara fase akut dan fase
pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini harus mencakup keempat
serotipe dengue.
2.8 Pencegahan

2.8.1 Pencegahan Primer

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya
untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat
menjadi sakit.

1. Surveilans Vektor

Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang
dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor.
Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan
pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa
semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini
cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa
mengambil jentiknya. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes
aegypti adalah :

a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa. HI =
Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Rumah yang Diperiksa

b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI =
Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100% Jumlah Container Yang Diperiksa

c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah Jumlah Rumah Yang Diperiksa Dari
ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah yang
tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa. ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak
Ditemukan Jentik x 100% Jumlah Rumah Yang Diperiksa Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap
desa/kelurahan endemis pada
100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House
Indeks lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

2. Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti.
Secara garis besar ada 3 Cara pengendalian vektor yaitu:

a. Pengendalian Cara Kimiawi Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang


ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan
organoklorin, organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan
dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat
digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam
bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut
dengan abatisasi.

b. Pengendalian Hayati / Biologik Pengendalian hayati atau sering disebut dengan


pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan
mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan
sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan
gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis
golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax
merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.

c. Pengendalian Lingkungan Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara


antara lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada
pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di
kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari..
3.Surveilans Kasus

Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di
beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif
tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk memantau
kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan
kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll)
diwajibkan melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran
dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung
penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini
harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat
memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi
penyakit DBD.

4. Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk

Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan
pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasilhasilnya secara terus
menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan
lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam
membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu

1. Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal
sekali dalam seminggu.

2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat
diterobos oleh nyamuk dewasa.

3. Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat
menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
2.8.2 Pencegahan Sekunder

Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan
masyarakat dengan cara :

1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan
pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.

2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan


segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas,
kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan
epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk
mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut. Universitas Sumatera Utara

3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa
(KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.

2.9 Penatalaksaan

Penanganan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.

1. Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi :

a. Istirahat total di tempat tidur.

b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah
garam/oralit). Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.

c. Berikan makanan lunak

d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan


kompres, antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan
asetosal karena dapat menyebabkan perdarahan.
e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.

2. Penatalaksanaan pada pasien syok :

a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan
dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.

b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta
Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal Hemoglobin : Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah Laki-laki dewasa : 13 – 16
gr/100 ml darah Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah Nilai normal Hematokrit : Anak-anak :
33 – 38 vol % Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol % Wanita dewasa : 37 – 43 vol % c. Bila pada
pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah.

c.Terapi oksigen harus selalu diberikan pada semua pasien syok.Dianjurkan pemberian
oksigen dengan menggunakan masker.

d.Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan setiap pasien


syok,terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).Tranfusi darah diberikan pada
keadaan manifestasi pendarahan ynag nyata.Penurunan hematocrit tanpa perbaikan klinis
walaupun telah diberikan darah segar adalah untuk meningkatkan konsentrasi sel darah
merah.Palsma segar adalah untuk meningkat konsentrasi sel darah merah.Plasma segar atau
suspense thrombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan pendarahan
massif.Pemeriksaan hematologi seperti PT,PTT, dan FDP berguna untuk menentukan berat
ringannya DIC.

e.Pemantauan tanda vital dan kadar hematocrit harus dimonitor dan dievaluasi secra
teratur untuk menilai hasil pengobatan.Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemantaun adalah:

i.Nadi,tekanan darah,respirasi dan temperature harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih
sering sampai syok teratasi.

ii.Kadar hematocrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil.
iii.Setiap pasien harus mempunyai formulai pemantauan mengenai jenis
cairan,jumlah dan tetesan,untuk menentukan apakah cairan sudah mencukupi.

iv. Jumlah dan frekuensi diuresis (normal diuresis 2-3 ml/kg/BB/jam).

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok berulang, kegagalan pernafasan akibat
edema paru atau kolaps paru, efusi pleura, acssites, ensefalopati dengue, kegagalan
jantung dan sepsis.

2.11 Prognosis

Secara umumnya, prognosis dengue syok sindrom adalah buruk.Tetapi tergantung


dari beberapa faktor seperti lama dan beratnya renjatan, waktu, metode, adekuat tidaknya
penanganan, ada tidaknya syok yang terjadi terutama dalam 6 jam pertama pemberian
infus dimulai, panas selama renjatan dan tanda-tanda serebral.

Anda mungkin juga menyukai