Anda di halaman 1dari 17

PSIKOLOGI AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi Agama
Dosen Pengampu :
Dr. Sururin, M.Ag

Disusun Oleh:
Kelompok 10
Ilham Ramadhan 11190110000101
Syaiful bahri 11160110000092
Syefi Firlita Fauziah 11190110000068

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah


memberikan nikmat iman, nikmat sehat, nikmat kepercayaan diri sehingga
memberikan Kami motivasi besar dalam penyusunan makalah ini.
Dan shalawat serta salam kepada Nabi besar kita, Nabi akhir
zaman, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah
mengeluarkan kita dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang akan
ilmu pengetahuan secara alamiah dan spiritual kini.
Terima kasih kepada ibu Sururin, M.Ag yang membimbing Kami
dalam mata kuliah Psikologi Agama. Tak lupa Kami ucapkan terima kasih
kepada teman dan rekan-rekan yang hadir membantu dan terlibat dalam
pembuatan makalah ini sehingga selesai tepat waktu.
Selanjutnya Kami akan memaparkan makalah dengan judul
Psikologi Agama dan Kebudayaan. Hal ini bertujan untuk menambah
wawasan mengenai keterkaitan antara ilmu Psikologi Agama dengan
kebudayaan masyarakat dari segala aspek dan dampaknya serta
pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat era globalisasi. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Tanggerang, 30 mei 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………..…………….………….….i

DAFTAR ISI………………………………………..……………....…….……ii

BAB 1 PENDAHULUAN……………..……………………………...……......1

A. Latar Belakang…...…………………………………………..…..........….1
B. Rumusan Masalah………………….………………………..……..….....1
C. Tujuan Penulisan………………………………….………..…..…...........1

BAB II PEMBAHASAN………….…………………………………..………...2

A. Pengertian budaya ……...…………………………...……………………2


B. Macam-macam budaya………..………………………………………….6
C. Unsur-unsur budaya……..…………….………………………………….7
D. Hubungan psikologi agama dengan budaya……………………………...8
E. Tradisi keagamaan di lingkungan sosial budaya …..…….………...…….8

BAB III PENUTUP……………………………………………….…...………14

A. Kesimpulan……………………………………………………………...14
B. Saran…………………………………………………………………….14

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi ke dalam ranah agama dan budaya merupakan sebuah
keniscayaan. Realita posisi manusia akan dihadapkan kepada peran dan
fungsi manusia itu sendiri, dimana manusia mempunyai peran dan fungsi
sebagai manusia beragama (terkecuali seorang atheis) dan berbudaya.
Hubungan manusia dan agama merupakan kenyataan historis sekaligus
merupakan kebutuhan manusia dengan pergumulan agama. Terutama
agama Islam, bagaimana seorang Muslim dapat dikatakan Kamil jika
dalam berkehidupan selalu mempertautkan dimensi agama dalam setiap
tindak tanduknya.
Psikologi agama dan budaya adalah cabang psikologi yang amat
baru, yang memfokuskan perhatian pada pengujian batasan-batasan yang
mungkin dari pengetahuan dengan cara mempelajari orang dari berbagai
agama dan budayanya secara bersamaan dan bersilangan. Dalam
pengertian yang lebih luas, psikologi lintas agama dan budaya adalah
tentang pemahaman kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis, dengan
melihat apakah hal tersebut bersifat universal (benar bagi semua orang dari
semua agama dan semua budaya) ataukah kekhasan dari masing-masing
agama dan budaya (benar bagi sebagian orang dari agama dan budaya
tertentu).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan budaya ?
2. Apa saja macam-macam budaya ?
3. Apa saja unsur-unsur budaya ?
4. Bagaimana hubungan psikologi agama dengan budaya ?
5. Bagaimana tradisi keagamaan di lingkungan sosial budaya ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari pengertian budaya
2. Untuk mengetaui macam-macam budaya

1
3. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur budaya
4. Untuk mengetahui hubungan psikologi agama dengan budaya
5. Untuk mengetahui bagaimana tradisi keagamaan di lingkungan sosial
budaya?

2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Budaya
Kata “kebudayaan” memiliki persamaan arti dengan kata asing, yakni
culture. Kata kultur berasal dari kata Latin yakni colere yang berarti “mengolah,
mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti
culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah
dan mengubah alam”.1 Selanjutnya menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.2

Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman


bagi kehidupan masyarakat, adalah seperangkat acuan yang berlaku umum dan
menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan
terdapat perangkat-perangkat dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh
pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-perangkat pengetahuan itu sendiri
membentuk sebuah sistem yang terdiri dari satuan-satuan yang berbeda secara
bertingkat yang fungsional hubungannya satu sama lain secara keseluruhan.

Dari hal tersebut terlihat bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat


merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang
mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam
bertindak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam
suatu masyarakat.3

2. Macam-macam Budaya

a. Kebudayaan Persia
1
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), cet. IX, h.
146.
2
Ibid., h. 144.
3
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet. XIV, h.
223.

3
Dalam sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang
menyembah berbagai alam nyata, seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api
dilambangkan sebagai Tuhan baik, sehingga mereka menyembah api yang selalu
dinyalakan didalam rumah – rumah.

b. Kebudayaan Romawi Timur

Kerajaan Romawi didirikan pada tahun 753 M. Budaya Romawi pada


umumnya beragama Nasrani. Dalam Kebudayaannya dikenal 3 muhzab yang
termasyur yaitu :
1. Mazhab Yaaqibah, yang bertebaran di Mesir, Habsyah Mazhab ini
berkeyakinan bahwa Isa Almasih adalah Allah.
2. Mazhab Nasathirah yang betebaran di Mesir, Irak, Persia
3. Mazhab Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini berkeyakinan bahwa dalam diri
Al-Masih terdapat 2 tabiat yaitu :

a) Tabiat ketuhanan.
b) Tabiat kemanusiaan

c. Kebudayaan Islam

Sejalan dengan perkembangan dunia dan perubahan zaman, Ajaran –


ajaran Islam pun kian marak dijadikan sebuah Budaya, yang akhirnya masyarakat
sendiri sulit membandingkan antara Agama dengan Budaya.
Contohnya : Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana
muslim atau jilbab adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar
dan panjang, sedangkan zaman sekarang jilbab menjadi sebuah model atau
gaya yang mana tidak lagi melihat pada tuntunan Islam

4
3. Unsur-Unsur Budaya

Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:


“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar (1990:180).”

Berdasarkan definisi ini dapat dikatakan bahwa hampir seluruh tindakan


manusia adalah “kebudayaan” karena rata-rata didapat dari hasil belajar. Lebih
lanjut Koentjaraningrat mencontohkan bahwa makan, minum, atau berjalan yang
sejatinya merupakan kemampuan naluriah-genetik pun juga diubah menjadi
tindakan kebudayaan (1990:180) oleh manusia.4

Dalam jurnal adabiyyat Peneliti memilih tujuh unsur yang disebut sebagai
isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia yang juga dikenal dengan istilah cultural
universals yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990:98 dan 203-204),
yaitu:5

1. Bahasa,

2. Sistem pengetahuan,

3. Organisasi sosial,

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,

5. Sistem mata pencaharian hidup,

6. Sistem religi, dan

7. Kesenian.

Ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut menurut Koentjaraningrat


(1990:186) terejawantah secara nyata dalam masyarakat dalam bentuk sistem
budaya atau adat-istiadat (yang masih berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
4
Fuad arif F, Penerjemahan Butir Budaya Dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia,
Adabiyyāt, Vol. XI, No. 2, Desember 2012, Hal. 323
5
Ibid, Hal. 324

5
norma, peraturan dan sebagainya), sistem sosial (yang berupa aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat), atau kebudayaan fisik (yang
berupa benda-benda hasil karya manusia).

Unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan wujud atau bentuknya masing-


masing akan diteruskan kepada generasi berikutnya demi kelestarian dan
kelangsungan kebudayaan tersebut melalui bahasa mereka, sebagaimana
disebutkan oleh Ihromi (1990:20) di muka.

Tata urutan unsur-unsur budaya tersebut sejatinya boleh berganti-ganti


sesuai dengan selera dan perhatian masing-masing (Koentjaraningrat, 1990:333).
Tetapi sistem urutan yang paling lazim dipakai adalah sistem dari unsur yang
paling konkret ke yang paling abstrak, yaitu menjadi: 1. bahasa, 2. sistem
peralatan hidup dan teknologi (disingkat teknologi), 3. sistem mata pencaharian
hidup atau sistem ekonomi, 4. organisasi sosial, 5. sistem pengetahuan, 6.
kesenian, dan 7. sistem religi atau agama.6

4. Hubungan Psikologi Agama Dengan Budaya

Seperti kita ketahui bersama bahwa psikologi berasal dari perkataan


Yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Oleh
karenanya, psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jiwa.
Psikologi sebagaimana pengertian di atas begitu sarat dengan dimensi jiwa.
Implikasi dari dimensi jiwa ini adalah mengerahkan segala kesadaran dan
kemampuannya di dalam menjalani hiruk-pikuk kehidupan seraya
menyandarkannya pada dimensi transcendental-dalam Islam: Allah, dalam
Kristen: Yesus, dalam Budha: Sang Hyang Widi, dan seterusnya), yang berakhir
pada labuhan agama. Inilah sebetulnya, menurut hemat penulis yang disebut
dengan psikologi agama. Manusia berkehidupan sebetulnya manusia tersebut
sedang berbudaya. Segala perilaku (baik mental, social, maupun agama) yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dalam segala bentuk ekspresi kehidupan.
Lebih luas, dimensi budaya ini merupakan sebuah gagasan, ide, ataupun

6
Ibid, 325

6
kesepakatan-kesepakatan yang berbentuk norma, adat istiadat, atau lainnya adalah
wujud dari ekspresi budaya manusia atau lebih tepatnya psikologi budaya.

Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang terutama menaruh


perhatian pada pengujian batasan-batasan yang mungkin dari pengetahuan dengan
cara mempelajari orang dari berbagai budaya. Dalam pengertian yang lebih luas,
psikologi lintas budaya adalah tentang pemahaman kebenaran dan prinsip-prinsip
psikologis, dengan melihat apakah hal itu bersifat universal (benar bagi semua
orang dari semua budaya) ataukah khas dari masing-masing budaya (benar bagi
sebagian orang dari budaya tertentu). Lintas agama dan budaya adalah produk dari
akibat perubahan budaya-dan-agama, dan, kaitannya dengan perilaku.7

Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena


agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari
keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama
sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh
budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat, baik dalam wacana dan praktis
sosialnya menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu
pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia,
melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti
yang tercermin dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia-terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual
keagamaan.8

5. Tradisi Keagamaan di Lingkungan Sosial Budaya


A. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Menurut Parsudi Suparlan, tradisi merupakan sosial budaya yang telah
mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.9 Bahkan
menurut Prof. Dr. Kasmiran Wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk

7
Etty Ratnawati, Relevansi Psikologi Lintas Agama Dan Budaya Bagi Pendidikan Dan
Pegembagannya, Jurnal Edueksos Vol I No 1, Januari-Juni 2012. H. 131
8
Ibid. h. 132-133
9
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), cet. XIV, h. 224

7
norma yang terbentuk dari bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber
asalnya.10 Sedangkan Meredith McGuire melihat bahwa dalam masyarakat
pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.11

Secara umum tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat


disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan
umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas, seperti pranata
politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar, berbagai pranata
hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Para
ahli sosiolog menyebutnya sebagai pranata sekunder. Pranata ini dapat
dengan mudah diubah struktur dan peranan hubungan antarperannya
maupun norma-norma yang berkaitan dengan itu.12

Selain pranata sekunder, ada pranata primer yang merupakan kerangka


acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia itu
sendiri. Pranata primer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri,
jati diri serta kelestarian masyarakat. Karena itu, pranata primer tidak
dengan mudah dapat berubah begitu saja. Melihat struktur dan peranan
serta fungsinya, pranata primer ini lebih mengakar pada kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, pranata primer bercorak menekankan pada
pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi,
seperti pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan, pertemanan
atau persahabatan.13

Mengacu kepada penejalasan tersebut, tradisi keagamaan termasuk


kedalam pranata primer. Ia sulit berubah, karena didukung masyarakat
juga memuat sejumlah unsur-unsur yang memiliki nilai-nilai luhur yang
berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan pun
mengandung nilai-nilai yang sangat penting yang berkaitan erat dengan
agama yang dianut masyarakat atau setiap individu pemeluk agama.14
10
Ibid., h. 223-224.
11
Ibid., h. 224.
12
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, 224.
13
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 224-225.
14
Ibid., h. 225.

8
Menurut Thomas F.O. Dea, agama merupakan aspek sentral dan
fundamental dalam kebudayaan. Kenyataan ini dapat dilihat dalam
kaitannya dengan pola kehidupan masyarakat di Indonesia, salah satunya
masyarakat Minangkabau yang dengan tegas mendasarkan kebudayaannya
berdasarkan pada nilai-nilai dan norma Islam. Dalam kehidupan
masyarakat Minagkabau dikenal pepatah: “Adat bersendi Syara’, syara’
bersendi adat. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.” 15 Dalam
hal ini nampaklah bahwa agama memegang peranan penting dalam
pembentukan suatu kebudayaan.

Selanjutnya, bila kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan


atau pedoman masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama,
perangkat-perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh merupakan
norma-norma kehidupan yang cenderung mengandung muatan keagamaan.
Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan
terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan
dalam suatu masyarakat maka akan semakin terlihat peran dominan agama
dalam kebudayaan. Dan hal tersebut berlaku sebaliknya.16

B. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan

Tradisi keagamaan merupakan kerangka acuan norma yang sudah


dianggap baku dalam kehidupan dan perilaku masyarakat, dan tradisi
keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk
berubah, karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata
tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat
pendukungnya.17

Selanjutnya, para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk


dan isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu: sistem
kebudayaan, sistem sosial, dan benda-benda budaya. Sedangkan isinya

15
Ibid.
16
Ibid., h. 226.
17
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 226.

9
terdiri atas tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan
merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai
yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Kemudian nilai dan
norma tersebut berkembang dalam berbagai kebutuhan masyarakat,
sehingga terbentuk suatu sistem sosial. Dari sistem ini selanjutnya
terwujud pula benda-benda kebudayaan dalam bentuk benda fisik.18

Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara


konkret, dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama hingga
terbentuk suatu komunitas keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama-
agama ke Nusantara. Pada tahap pertama, penyebar agama datang dan para
pemimpin agama menyampaikan ajaran kepada penduduk setempat.
Ajaran tersebut berisikan konsep-konsep agama yang disebut sistem
kebudayaan (cultural system). Dalam hal ini terjadi proses transfer ilmu
yang dalam psikologi pendidikan disebut aspek kognitif (yang menyangkut
pengetahuan agama). Pada tahap kedua, masyarakat diarahkan kepada
bagaimana melaksanakan ajaran agama. Ilmu yang telah diperoleh
diharapkan mampu dilakukan dengan baik dalam keseharian. Pada tahap
ini terlihat bahwa agama sudah mencapai tingkat sistem sosial (social
system). Di tahap selanjutnya, terciptalah benda-benda keagamaan baik
dalam bentuk bangunan maupun karya-karya para penganut agama. Tahap
ini merupakan tahap akhir dan telah terwujudsuatu bentuk kebudayaan
fisik (material culture) suatu agama.19

Lingkungan kebudayaan yang bersumber dari ajaran agama ini


kemudian mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakat (khususnya
masyarakat Indonesia). Pada wilayah-wilayah tertentu, sikap
keberagamaan ini dipengaruhi oleh agama Hindu, pada wilayah lain oleh
agama Kristen, dan wilayah lain selanjutnya oleh agama Islam. Di sini

18
Ibid., h. 226-227.
19
Ibid., h. 227-228.

10
terlihat bagaimana tradisi keagamaan yang telah berlangsung sejak empat
belas abad lalu masih ikut mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat.20

Menurut Robert C. Monk, memang pengalaman agama umumnya


bersifat individual. Tetapi pengalaman agama juga senantiasa mendorong
seseorang untuk mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu
dalam sikap, tingkah laku, dan praktik-praktik keagamaan yang dianutnya.
Hal inilah yang merupakan sisi sosial yang menjadi unsur pemelihara dan
pelestari sikap para individu yang menjadi anggota masyarakat. Monk
melihat bagaimana hubungan antara sikap keagamaan dengan tradisi
keagamaan. Sikap keagamaan seseorang dalam masyarakat yang menganut
suatu keyakinan agama merupakan unsur penopang bagi terbentuknya
tradisi keagamaan.21

Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi. Sikap


keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi
keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai,
norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan
demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk
pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk sikap keagamaan
pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan
tertentu. Bagaimana pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap
keagamaan ini dapat dilihat dari contoh berikut. Seorang muslim
dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat akan menunjukkan sikap yang
menolak ketika diajak masuk ke Kelenteng, Pure, atau Gereja. Sebaliknya,
hatinya akan tentram saat menjejakkan kakinya di masjid. Demikian pula
seorang penganut agama Katolik, Budha ataupun Hinduakan mengalami
hal yang serupa.22

Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan


bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang
20
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 228.
21
Ibid., h. 229.
22
Ibid., h. 230.

11
dianutnya. Sikap keagamaan ini akan turut mempengaruhi cara berfikir,
cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama. Dalam pandangan Robert C. Monk, tradisi
keagamaan memiliki dua fungsi: 1) sebagai kekuatan yang mampu
membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu; dan 2)
sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau individu bahkan dalam
situasi konflik sekalipun.23

Dalam konteks pendidikan, tradisi keagamaan merupakan isi


pendidikan yang menjadi warisan generasi tua kepada generasi muda.
Sebab, pendidikan menurut HasanLanggulung, dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu sudut pandang individu yang diartikan sebagai upaya untuk
mengembangkan potensi seseorang,dan sudut pandang masyarakat yang
merupakan pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi
berikutnya.24

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata “kebudayaan” memiliki persamaan arti dengan kata asing, yakni
culture. Kata kultur berasal dari kata Latin yakni colere yang berarti “mengolah,

23
H. Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 230-231.
24
Ibid., h. 231.

12
mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti
culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah
dan mengubah alam, kemudian macam-macam kebudayaan terdiri dari:
Kebudayaan Persia, kebudayaan Romawi Timur, dan kebudayaan Islam.
Unsur-unsur budaya meliputi: 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi
sosial, 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup,
6. Sistem religi, dan 7. Kesenian.

Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena


agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari
keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama
sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh
budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat, baik dalam wacana dan praktis
sosialnya menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia.

Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara konkret,


dapat digambarkan melalui proses penyiaran agama hingga terbentuk suatu
komunitas keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama-agama ke Nusantara.
Pada tahap pertama, penyebar agama datang dan para pemimpin agama
menyampaikan ajaran kepada penduduk setempat. Ajaran tersebut berisikan
konsep-konsep agama yang disebut sistem kebudayaan (cultural system).

A. Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penyusun berharap makalah ini dapat


dijadikan referensi untuk makalah-makalah tahun berikutnya dan bisa
membawa manfaat bagi penyusun sendiri maupun para pembaca. Penyusun
juga sangat menerima terhadap saran serta kritikan yang bersifat membangun
supaya penyusun dapat lebih baik lagi kedepannya dalam membuat makalah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asy’ari, Hayim. (2018) Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan di Eropa,


Jurnal Sejarah Peradaban Islam, Vol. 2 No.1.
Arif F, Fuad. (2012) Penerjemahan Butir Budaya Dari Bahasa Inggris ke
Bahasa Indonesia, Adabiyyāt, Vol. XI, No. 2.
H. Jalaluddin. (2010). Psikologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka


Cipta

Ratnawati, Etty. (2012). Relevansi Psikologi Lintas Agama Dan Budaya Bagi
Pendidikan Dan Pegembagannya, Jurnal Edueksos Vol I No 1

14

Anda mungkin juga menyukai