Anda di halaman 1dari 18

TERAPI COVID-19: OBAT-OBAT YANG SEDANG DITELITI DAN TERAPI LAINNYA

BAGIAN 1: PENDAHULUAN

Sampai saat ini belum ada obat maupun agen biologis yang telah disetujui oleh FDA (AS) untuk
pencegahan maupun terapi COVID-19. Remdesivir telah mendapatkan persetujuan FDA untuk
digunakan dalam kondisi emergensi pada 1 Mei 2020, berdasarkan data preliminary yang
menunjukkan masa penyembuhan lebih cepat pada pasien yang dirawat di RS dengan derajat
penyakit berat. Sejumlah agen antiviral lain, imunoterapi, dan vaksin terus diteliti dan dikembangkan
sebagai terapi potensial. Pencarian terapi yang efektif untuk COVID-19 merupakan proses yang
rumit. Beberapa panduan dan tinjauan farmakoterapi untuk COVID-19 telah dipublikasikan.

Kebutuhan mendesak untuk terapi selama pandemi dapat mengacaukan interpretasi hasil terapi jika
data tidak dikumpulkan dan dikontrol secara hati-hati. Andre Kalil, MD, MPH menyampaikan bahwa
obat yang digunakan sebagai intervensi kelompok tunggal tanpa kelompok kontrol secara
bersamaan dapat merugikan karena pada akhirnya tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti dari
segi efikasi atau keamanannya.

Ada beberapa konsekuensi yang tidak diinginkan akibat diperbolehkannya akses yang luas terhadap
penggunaan terapi eksperimental. Pertama, kemanjuran tidak diketahui dan mungkin dapat
diabaikan, tetapi, tanpa studi yang tepat, dokter tidak akan memiliki bukti yang menjadi dasar
penilaian. Obat-obatan dengan efek samping yang terbukti dengan jelas (misalnya, hidroksi
klorokuin) menyebabkan pasien dapat mengalami risiko tanpa bukti manfaat klinis. Perluasan akses
obat yang belum terbukti dapat menyebabkan penundaan implementasi uji coba terkontrol secara
acak. Selain itu, tingginya permintaan terhadap obat yang belum terbukti dapat menyebabkan
kekurangan obat yang telah diindikasikan dan terbukti efikasinya untuk penyakit lain, sehingga
membuat pasien yang bergantung pada obat ini berada pada kondisi kronis tanpa terapi yang
efektif.

Gordon et al telah mengidentifikasi 332 interaksi antara protein SARS-CoV-2 dengan manusia. Di
antara interaksi tersebut, mereka menemukan 66 protein manusia atau faktor host yang ditargetkan
oleh 69 obat-obatan yang telah diizinkan FDA, obat-obatan dalam uji klinis, dan/atau kombinasi
preklinis. Sejak 22 Maret, para peneliti tersebut berproses untuk mengevaluasi efikasi potensial dari
berbagai obat tersebut.

WHO juga sudah memulai “megatrial” global ambisius yang disebut dengan SOLIDARITY dimana
kasus-kasus COVID-19 yang telah terkonfirmasi menjalani uji acak dengan diberikan penanganan
standar atau diberikan salah satu dari empat pengobatan aktif (remdesivir,
klorokuin/hidroksiklorokuin, lopinavir/ritonavir, atau lopinavir/ritonavir + interferon beta-1a).

Disadur dari: https://emedicine.medscape.com/article/2500116-overview?


fbclid=IwAR3SWYGsKVU7QCDkbeUscqPw1iBB6Ysq7B5QsH6EZ6oc-dheWuUBl3wmCY4#a2

BAGIAN 2: ANTIVIRAL UNTUK COVID-19

Siklus Hidup SARS-CoV-2 dalam Sel

Memahami siklus hidup virus di dalam sel penting karena obat-obatan antiviral bekerja dengan
menargetkan komponen-komponen yang berperan dalam siklus hidup maupun replikasi virus.
Secara umum siklus hidup virus dimulai dengan perlekatan virus pada reseptor sel target. Kemudian
virus, baik secara utuh maupun hanya dalam bentuk asam nukleatnya, masuk atau melakukan
penetrasi ke dalam sel. Selanjutnya, genom (materi genetik) virus dilepaskan dari capsid (protein
selubung pelindung asam nukleat virus) di dalam sel. Agar virus baru dapat dihasilkan, baik genom
virus baru dan komponen virion lainnya (protein) harus dihasilkan, melalui ekspresi gen dan replikasi
dari genom, yang prosesnya beragam tergantung dari apa jenis virus. Ekspresi gen bisa berupa
sintesis mRNA virus (transkripsi) atau sintesis protein-protein virus (translasi). Kemudian disusunlah
struktur-struktur virion yang lalu mengalami maturasi membentuk virus baru yang infeksius dan siap
dilepaskan keluar sel untuk menginfeksi sel lainnya.

SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, termasuk golongan coronavirus yang merupakan family dari
virus-virus berselubung (enveloped) dengan rantai RNA tunggal positif yang dapat menginfeksi
spesies hewan dan manusia. Mirip dengan coronavirus lain, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi
saluran pernapasan dan gastrointestinal, dimana sel yang dapat menunjang pertumbuhannya (cell
tropism) adalah sel epitel hidung, pneumosit, dan makrofag alveolar di paru dan enterosit dalam
usus. Meskipun tidak terbatas hanya pada jenis sel tertentu tersebut, bukti-bukti mendukung bahwa
pengikatan sel melalui protein S virus ke reseptor inang angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2)
diperlukan untuk terjadinya infeksi.

Setelah SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel inang, kompleks virus kemudian mengalami translokasi ke
endosom, di mana protease asam endosom membelah protein S yang memediasi fusi membran.
Genom virus lalu dilepaskan dan mengalami translasi menjadi poliprotein untuk replikasi virus, PP1a
dan PP1ab, yang dipecah menjadi protein fungsional oleh protease virus. Templat (cetakan)
subgenomik untuk sintesis mRNA dan translasi protein struktural virus terjadi melalui transkripsi
diskontinyu. Replikasi genom virus lalu diperantarai oleh kompleks replikasi virus, yang mencakup
RNA-dependent RNA polymerase (RdRr), helicase, exonucleaseN, dan protein aksesori lainnya.
Perakitan nukleokapsid virus selanjutnya dari genom virus yang telah dikemas dan protein struktural
virus yang telah mengalami translasi terjadi pada kompartemen intermediat retikulum endoplasma
dan apparatus Golgi. Virion infeksius kemudian dilepaskan dari sel melalui eksositosis.
Intervensi kemoterapeutik antivirus seringkali menargetkan enzim virus spesifik atau menyerang titik
lemah replikasi virus di dalam host, misalnya menyasar RdRp. Analog nukleosida mewakili kelas agen
antivirus yang telah terbukti efektif terhadap beberapa virus, termasuk hepatitis B dan C serta HIV.
Analog nukleosida menyerupai nukleosida yang terbentuk secara alami dan cara kerjanya adalah
dengan menyebabkan terminasi rantai DNA yang baru terbentuk. Nukleosida adalah unit monomerik
penyusun asam nukleat yang terdiri dari basa nitrogen dan molekul gula.

Secara umum, golongan ini terbagi ke dalam tiga kelompok: nukleosida mutagenik, obligate chain
terminator, dan delayed chain terminator. Ribavirin, sebuah nukleosida mutagenik, menargetkan
ketergantungan virus pada RdRp untuk mengkatalisasi replikasi genom RNA dari cetakan RNA asli.
Obligate chain terminator, seperti azidothymidine (AZT), yang tidak memiliki gugus 3’-hydroxyl,
secara langsung mencegah sintesis DNA tambahan setelah inkorporasi (penggabungan materi
genetik virus dengan sel inang). Terakhir, delayed chain terminator, termasuk remdesivir, bekerja
dengan menghambat proses transkripsi. Remdesivir masih memiliki gugus 3′-hydroxyl dan dengan
demikian masih dapat membentuk ikatan fosfodiester dengan nukleotida berikutnya yang belum
mengalami inkorporasi.

Remdesivir

Agen antiviral spektrum luas, remdesivir, adalah prodrug analog nukleosida. Pada 1 Mei 2020, FDA
Amerika Serikat memperbolehkan penggunaan emergensi remdesivir untuk kasus COVID-19 berat
(suspek maupun terkonfirmasi) pada orang dewasa maupun anak yang dirawat di RS. Uji fase
pertama dari jenis inhalasi telah dimulai pada akhir Juni 2020 untuk menentukan apakah remdesivir
dapat digunakan pada kondisi rawat jalan dan pada stadium awal penyakit.

Remdesivir, pada kultur jaringan, dapat menghambat replikasi tipe coronavirus manusia yang
berhubungan dengan morbiditas yang tinggi, seperti SARS-CoV tahun 2003 dan MERS-CoV tahun
2012. Efikasi pada model hewan telah ditunjukkan terhadap SARS-CoV dan MERS-CoV.

Analisis data awal oleh Adaptive COVID-19 Treatment Trial (ACTT) dilaksanakan pada 29 April 2020
lalu. Analisis ini meliputi 1063 pasien di RS dengan kasus COVID-19 tingkat lanjut dan keterlibatan
paru. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan remdesivir pulih 31% lebih cepat
dibanding pasien serupa yang mendapatkan plasebo. Lebih spesifiknya, waktu median kepulihan
adalah 11 hari pada pasien yang mendapat remdesivir dibandingkan dengan 15 hari pada pasien
yang mendapat plasebo. Hasil studi juga menunjukkan manfaat dari sisi survival di hari
keempatbelas, dengan angka mortalitas 7,1% pada kelompok remdesivir, dibanding 11,9% pada
kelompok placebo namun tidak signifikan secara statistik.

Pada uji coba SIMPLE fase 3 (open-label) terhadap 397 pasien dengan COVID-19 berat yang tidak
memerlukan ventilasi mekanik, perbaikan serupa pada kondisi klinis terjadi pada regimen remdesivir
5 hari dibanding regimen 10 hari di hari keempatbelas. Hasil serupa juga ditunjukkan percobaan
SIMPLE II pada pasien COVID-19 derajat sedang, yang menunjukkan terapi remdesivir selama 5 hari
menghasikan 65% perbaikan klinis pada hari ke-11 dibanding perawatan standar. Data tersebut juga
menunjukkan bahwa intervensi dini dengan terapi 5 hari dapat memperbaiki outcome secara
signifikan.

Pemberian remdesivir tidak direkomendasikan bersamaan dengan klorokuin atau hidroksiklorokuin.


Berdasarkan data in vitro, klorokuin memberikan efek antagonis terhadap aktivasi metabolik
intraselular dan aktivitas antiviral remdesivir.

Referensi:

 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7202249/
 https://emedicine.medscape.com/article/2500116-overview?
fbclid=IwAR3SWYGsKVU7QCDkbeUscqPw1iBB6Ysq7B5QsH6EZ6oc-dheWuUBl3wmCY4#a2
 https://msu.edu/course/mmg/569/lifecycles.htm

Antiviral Lain yang Sedang Dalam Penelitian

Lopinavir/ritonavir (Aluvia)
Rekomendasi dari Panduan Terapi COVID-19 panel NIH (National Institutes of Health, AS) tidak
menyarankan (against) penggunaan lopinavir/ritonavir atau inhibitor protease HIV lainnya, karena
efek farmakodinamiknya yang dapat merugikan serta uji klinis belum menunjukkan adanya manfaat
pada pasien COVID-19. NIH menyatakan masih belum jelas apakah kadar obat yang adekuat untuk
menghambat protease SARS-CoV-2 dapat dicapai melalui pemberian dosis oral.

Perkiraan mekanisme kerja dan alasan rasional penggunaan lopinavir/ritonavir adalah obat tersebut
secara in vitro mampu menghambat SARS-CoV 3CLpro, salah satu enzim yang berperan penting
dalam pemecahan polyprotein virus menjadi enzim RdRp dan helicase yang krusial dalam replikasi
SARS-CoV-2. Meskipun lopinavir/ritonavir memiliki aktivitas in vitro melawan virus, obat ini diketahui
memiliki indeks selektivitas yang rendah yang mengindikasikan bahwa kadar obat yang lebih tinggi
yang bisa ditoleransi tubuh mungkin diperlukan untuk mencapai penghambatan secara in vivo.
Lopinavir diekskresikan dalam saluran cerna sehingga konsentrasi obat yang lebih tinggi mungkin
dapat berpengaruh pada enterosit yang terinfeksi virus. Efek samping selain gangguan pencernaan
yang dapt terjadi bisa berupa pemanjangan QTc pada EKG dan hepatotoksisitas.

Dalam sebuah uji coba acak, terkontrol, label terbuka pada pasien COVID-19 dewasa terkonfirmasi
yang dirawat di rumah sakit (n = 199), subyek yang diteliti meliputi pasien dengan saturasi oksigen
94% atau kurang pada udara ruangan atau rasio PaO2:FiO2 kurang dari 300 mm Hg dan menerima
berbagai mode ventilasi (misalnya, tanpa bantuan alat ventilasi mekanik, ventilasi mekanik, atau
oksigenasi membran ekstrakorporeal [ECMO]). Pasien-pasien ini secara acak menerima lopinavir /
ritonavir 400 mg / 100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari yang ditambahkan ke perawatan
standar (n = 99) atau menerima perawatan standar saja (n = 100). Hasilnya menunjukkan bahwa
waktu untuk perbaikan klinis tidak berbeda antara kedua kelompok (median, 16 hari). Tingkat
kematian pada 28 hari secara numerik lebih rendah pada populasi yang diberi lopinavir / ritonavir
dibandingkan dengan perawatan standar saja (19,2% vs 25%) tetapi tidak signifikan secara statistik.
Mual, muntah dan diare lebih banyak terjadi pada kelompok yang diterapi antiviral tersebut.

Favipiravir (Avigan)

Merupakan obat antiviral oral untuk terapi influenza di Jepang. Obat ini secara selektif menghambat
RdRp,berfungsi sebagai analog purin dan mengalami inkorporasi sebagai pengganti guanin dan
adenin. Inkorporasi dari molekul tunggal Favipiravir menghentikan elongasi dari RNA virus. Obat ini
dikonversi secara intraseluler menjadi bentuk terfosforilasi aktif dan kemudian dikenali sebagai
substrat oleh enzim RdRp virus. Obat ini memiliki spektrum aktivitas luas terhadap virus RNA
(influenza, rhino, dan respiratory syncytial virus, dll) tapi tidak untuk virus DNA (seperti Herpes).

Maret 2020, Cai et al meneliti efek Favipiravir vs Lopinavir/ritonavir pada uji klinis non-acak. 35
pasien mendapat Favipiravir (hari 1 1600mg 2x sehari; hari 2-14 600mg 2x sehari) dan 45 pasien
mendapat Lopinavir/ritonavir (hari 1-14 400mg/100mg 2x sehari). Pasien di-follow up sampai 14 hari
setelah pengobatan. Hasilnya Favipiravir secara independent berhubungan dengan klirens virus yang
lebih cepat dan perbaikan hasil pemeriksaan pencitraan toraks yang lebih cepat. Efek samping
Favipiravir jarang terjadi dan dapat ditoleransi pasien, tidak ada pasien yang harus menghentikan
pengobatan dalam penelitian ini tersebut.
Favipiravir masih perlu untuk diteliti lebih lanjut. Jepang telah melakukan uji klinis fase ketiga untuk
obat ini. Di AS, uji fase kedua akan menyertakan sekitar 50 pasien COVID-19. Di India, percobaan
fase 3 yang menggabungkan 2 agen antivirus, favipiravir dan umifenovir, dimulai pada Mei 2020.

Oseltamivir (Tamiflu)

Oseltamivir adalah inhibitor neuraminidase yang telah disetujui untuk pengobatan infuenza, namun
tidak memiliki aktivitas in vitro yang terbukti terhadap SARS-CoV-2. Wabah COVID-19 di China
awalnya terjadi selama puncak musim influenza sehingga sejumlah besar pasien mendapatkan terapi
empirik oseltamivir sampai ditemukannya SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID-19. Beberapa uji
klinis memasukkan obat ini ke dalam kelompok pembanding namun bukan sebagai intervensi
terapeutik yang disarankan. Obat ini tidak memiliki peran dalam tatalaksana COVID-19 apabila
diagnosis influenza telah disingkirkan.

Ivermectin

Ivermectin sebenarnya adalah obat antiparasit, namun menunjukkan reduksi in vitro dari RNA virus 2
jam post infeksi SARS-CoV-2. Peneliti memberi catatan bahwa penelitian awal ini tidak dapat
menjadi dasar untuk penggunaan pada manusia dan dosis efektif belum ditemukan pada penemuan
tahap awal ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah efek antiviral dapat
muncul pada manusia, karena konsentrasi pada uji coba tersebut jauh lebih tinggi daripada yang
didapat dari dosis oral normal. Data farmakokinetik yang tersedia dari penelitian dengan dosis tinggi
mengindikasikan bahwa konsentrasi ivermectin yang bermakna untuk menghambat SARS-CoV-2
cenderung tidak dapat dicapai pada manusia tanpa menimbulkan efek toksik.

Sebuah penelitian kohort retrospektif (n=280) pada pasien COVID-19 yang dirawat di 4 RS Florida
menunjukkan angka mortalitas yang lebih rendah secara signifikan pada pasien yang mendapat
ivermectin dibanding dengan perawatan biasa (15% vs 25.2%; P = 0.03). Pasien dalam kelompok
ivermectin mendapatkan sedikitnya satu dosis oral 200 mcg/kg ivermectin selain perawatan klinis
rutin. Angka kematian juga lebih rendah di antara 75 pasien dengan masalah paru berat yang
mendapat ivermectin (38.8% vs 80.7%; P = 0.001) meskipun angka keberhasilan ekstubasi tidak
berbeda secara signifikan.

Antiviral lain yang sedang dalam proses diteliti adalah nitazoxanide, merimepodib, niclosamide,
rintatolimod, beta-D-N4-hydroxycytidine, bemcentinib, umifenovir, plitidepsin, VIR-2703, EIDD-2801,
emetine hydrochloride, AT-527, trabedersen, dan stannous protoporphyrin.

Referensi:

 https://emedicine.medscape.com/article/2500116-overview?
fbclid=IwAR3SWYGsKVU7QCDkbeUscqPw1iBB6Ysq7B5QsH6EZ6oc-dheWuUBl3wmCY4#a2
 https://www.covid19treatmentguidelines.nih.gov/antiviral-therapy/lopinavir-ritonavir-and-
other-hiv-protease-inhibitors/
 Seneviratne SL, Abeysuriya V, de Mel S, Zoysa ID, Niloofa R. Favipiravir in Covid-19. IJPSAT
2020; 19: 143-145.
 Sanders JM, Monogue ML, Jodlowski TZ, Cutrell JB. Pharmacologic treatments for
coronavirus isease 2019 (COVID-19): a review. JAMA 2020;323(18):1824–1836
BAGIAN 3: IMUNOMODULATOR

Penelitian mengenai berbagai metode imunomodulasi sedang berlangsung dengan cepat,


kebanyakan dengan menggunakan kembali obat-obatan yang sudah ada, untuk menumpulkan
hiperinflamasi yang disebabkan oleh pelepasan sitokin atau disebut juga badai sitokin (cytokine
storm). Inhibitor interleukin (IL), inhibitor Janus kinase, dan interferon hanyalah beberapa obat yang
sedang diuji klinis. Untuk memahami bagaimana terapi imunomodulasi bekerja, tentu kita harus
memahami bagaimana mekanisme terjadinya badai sitokin tersebut.

Patogenesis Badai Sitokin COVID-19

Spike glikoprotein adalah bagian yang paling imunogenik dari coronavirus, yang dapat berikatan
dengan reseptor enzim pengonversi angiotensin-2 (ACE-2) untuk memasuki sel inang. Spike
glikoprotein pada SARS-CoV dan SARS-CoV-2 memiliki kemiripan. Ekspresi reseptor ACE-2 yang
terdistribusi secara intens pada permukaan sel alveolar epitelial tipe II, sel jantung, ginjal, usus, dan
endotel konsisten dengan organ target yang terlibat dan gambaran klinis pada infeksi COVID-19.

Ketika sistem imun mengenali antigen virus, antigen-presenting cells lalu memproses antigen
tersebut dan mengenalkannya kepada sel natural killer dan sel T sitotoksik positif CD8 sesuai
perannya sebagai major tissue histocompatibility (MHC). Pengenalan ini mengaktivasi baik imunitas
bawaan maupun adaptif, menyebabkan produksi sejumlah besar sitokin dan kemokin pro inflamasi.
Pada beberapa pasien, aktivasi ini menjadi sangat masif sehingga terbentuklah badai sitokin,
mengakibatkan kecenderungan terjadinya thrombosis dan kegagalan multi organ, dan akhirnya
menyebabkan kematian.

Sebagai bagian dari sistem imun bawaan, makrofag, monosit, sel dendritik dan neutrofil
mengeluarkan satu jenis reseptor pengenal pola (pattern recognition receptors/PRR) yang
mendeteksi pola molekular terkait antigen (pathogen-associated molecular patterns/PAMP), yang
dihasilkan oleh agen infeksius. Di antara PRR, famili dari reseptor mirip tol yang terikat membrane
(toll-like receptors/TLR) mengenali terutama PAMP di ekstraselular dan sedikit di dalam lingkungan
intraselular. Terpicunya proses pensinyalan ini kemudian menyebabkan pengeluaran banyak faktor
transkripsi yang menginduksi sitokin proinflamasi, seperti NF-kB, selain juga mengaktivasi faktor
regulator interferon yang memperantarai respon antiviral yang tergantung interferon tipe I.

Sekelompok sensor pengenalan patogen yang kedua terdapat di dalam sitosol dan meliputi famili
protein nucleotide-binding domain leucine-rich (NLR) (NLRP1, NLRP3, NLRP7, dan NLRC4), protein
absent in melanoma 2 (AIM2), dan pyrin. Sensor-sensor tersebut penting untuk mengenali pola
molekular terkait bahaya (danger-associated molecular patterns, DAMP) endogen yang dibentuk di
dalam sel. Pengikatan DAMP mengaktivasi NLR dan memicu pembentukan kompleks multiprotein
sitoplasmik yang disebut inflamasom, yang mengubah procaspase-1 menjadi caspase-1 yang aktif.
Selanjutnya, caspase-1 mengonversi pro IL-1β menjadi IL-1β, yang merupakan sitokin proinflamasi
yang sangat penting. Perlu diingat bahwa proses aktivasi pensinyalan yang tetap terkontrol akan
bermanfaat bagi tubuh manusia.
Pada virus, PAMP umumnya berupa asam nukleat virus tersebut. RNA virus berikatan dengan TLR-3,
TLR-7, dan reseptor sitosolik endosomal termasuk RIG-1 like receptors (RLR). Famili RLR terdiri dari
tiga anggota, yakni retinoic acid-induced gene I (RIG-I), Melanoma Differentiation-Associated Gene 5
(MDA5), dan Laboratory of Genetics and Physiology 2 (LGP2). Selain itu, RIG-1 dan MDA5 memiliki
dua CARD (N terminal caspase activation and recruitments domains). Saat RNA berikatan dengan
RLR, CARD berinteraksi dengan protein MAVS (mitochondrial adaptor antiviral signal), menghasilkan
aktivasi gen yang mengkode interferon tipe 1 (IFN). IFN tipe 1 berperan penting dalam
mengoordinasikan reaksi imunitas selular terhadap infeksi virus, sehingga berkontribusi terhadap
imunitas antiviral yang normal.

Pada kondisi normal, sel yang terinfeksi virus dihancurkan oleh sel NK dari imunitas bawaan dan sel T
sitolitik positif CD8 dari imunitas adaptif, menggunakan sekresi granulisin yang dimediasi perforin.
Hal ini menyebabkan apoptosis antigen-presenting cells dan sel T sitotoksik terkait untuk
menghindari aktivasi yang tidak diperlukan setelah aktivitas antigenik berakhir.

Akan tetapi, jika terdapat defek pada aktivitas sitolitik limfosit, baik karena masalah genetik atau
didapat, hal ini akan menyebabkan ketidakmampuan NK dan sel T CD8 sitolitik untuk melisiskan sel
yang terinfeksi dan antigen-presenting cells, sehingga terjadi pemanjangan dan meningkatnya
interaksi antara sel-sel imun bawaan dan adaptif. Dalam hal ini, banyak sitokin pro-inflamasi,
termasuk TNF, interferon-γ, IL-1, IL-6, IL-18, dan IL-33, disekresikan secara tidak terkontrol
mengakibatkan terjadinya badai sitokin, ARDS, dan kegagalan multiorgan, yang juga disebut sebagai
MAS (macrophage activation syndrome). Hal ini adalah kondisi yang mengancam nyawa dan
merupakan salah satu dari penyebab utama kematian pada pasien COVID-19. Badai sitokin sendiri
memiliki pengertian yang mirip dengan MAS, atau sHLH (secondary hemophagocytic
lymphohistiocytosis).

Faktor-faktor predisposisi untuk terjadinya badai sitokin pada infeksi COVID-19 adalah sebagai
berikut:

(1)
Gangguan klirens virus

Masalah utama pada infeksi COVID-19 adalah terganggunya pembersihan virus, seperti pada infeksi
SARS-CoV dan MERS-CoV. Virus-virus tersebut memiliki beberapa strategi untuk melawan
mekanisme pertahanan host. SARS-CoV dan MERS-CoV dapat memproduksi vesikel-vesikel dengan
membrane ganda tanpa PRR, lalu bereplikasi di dalam vesikel tersebut. Strategi ini menyebabkan
gangguan respon imun antiviral dan bersihan virus. Meskipun tes PCR negative, keberadaan badan
inkusi virus di dalam sel alveolar paru dan makrofag selama sedikitnya 2 minggu mendukung
kemungkinan gagalnya klirens virus.

(2)
Rendahnya kadar interferon tipe I

Faktor lain yang berkontribusi adalah rendahnya kadar interferon I, yang tentu sangat berperan
dalam respon antivirus dan bersihan virus. Protein selular yang mengenali asam nukleat virus
dimediasi dengan menstimulasi interferon selama infeksi virus. Pengenalan RNA virus oleh MDA5
penting untuk imunitas antiviral, dan defisiensi MDA5 menyebabkan kecenderungan infeksi virus
pada manusia. Protein aksesori MERS-CoV yang disebut 4a, berikatan dengan RNA rantai ganda,
sehingga menghambat aktivasi MDA5 dan induksi IFN. Perlu dicatat bahwa pasien yang meninggal
selama wabah influenza H5N1 tahun 1997 menunjukkan atrofi jaringan limfoid yang berhubungan
dengan tingginya titer sitokin sirkulasi, termasuk IL-6. Produksi sitokin pro inflamasi berlebih
bersamaan dengan deficit sitokin antiviral telah ditemukan pada infesi MERS-CoV.

(3)
Peningkatan neutrophil extracellular traps (NETs)

Neutrofil dapat membunuh patogen yang menginvasi termasuk virus, tidak hanya dengan menelan
mikroba, pembentukan spesies oksigen reaktif, degranulasi, dan sekresi antimikroba namun juga
melalui pembentukan NET. NET merupakan jaringan serabut ekstraselular, utamanya disusun dari
DNA neutrofil yang mengikat dan membunuh patogen ekstraselular sembari meminimalisir
kerusakan terhadap sel host. Barnes et al. mengemukakan bahwa neutrofil dapat berkontribusi pada
patogenesis COVID-19 dengan memanfaatkan NET, berdasarkan temuan otopsi. Mereka juga
menunjukkan bahwa terapi dornase alfa dapat berguna untuk tatalaksana infeksi ini. Transfer
fragmen DNA ke ruang ekstraselular dapat diakibatkan oleh pelepasan DNA mitokondria bersamaan
dengan kerusakan membran plasma atau disebabkan proses yang dikenal dengan NETosis. NETosis
adalah satu tipe pemrograman kematian sel yang berbeda dari apoptosis dan nekrosis. RNA virus
dan sitokin pro inflamasi dapat menstimulasi pembentukan baik NET dan NETosis. Meskipun peran
pasti dari NET dalam imunitas antivirus belum jelas, namun mungkin berkontribusi terhadap
patogenesis COVID-19.

(4)
Mekanisme lainnya

Pyroptosis adalah bentuk kematian sel terprogram yang sangat inflamatorik dan tergantung
Caspase-1 yang paling sering terjadi pada infeksi patogen intraseluler dan merupakan bagian dari
respons antimikroba. Telah dipostulatkan bahwa piroptosis bersama dengan ruptur membran
plasma yang cepat dan pelepasan konten proinflamasi intraseluler juga dapat berperan dalam
patogenesis COVID-19. Replikasi virus yang cepat yang menyebabkan peningkatan pyroptosis dapat
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi yang masif.

Liu et al. menekankan pentingnya antibodi terhadap spike glycoprotein (anti-S-IgG) sebagai
promotor akumulasi monosit/makrofag proinflamasi di paru. Para peneliti tersebut beranggapan
bahwa respon antibodi yang spesifik terhadap virus dapat menyebabkan perubahan patologis, yang
mungkin bertanggung jawab atas kerusakan paru yang dimediasi virus. Golonka et al. berspekulasi
bahwa protein glikoprotein S pada virus corona dapat mengalami perubahan konformasional dan
memasuki sel inang melalui wilayah Fc dari IgG. Dengan kata lain, ada kemungkinan terjadinya
peningkatan masuknya virus ke dalam sel inang bergantung pada antibodi.

Gangguan metabolisme hem mungkin menjadi salah satu penyebab tingginya kadar zat besi bebas
dalam serum dan dapat berkontribusi terhadap terjadinya inflamasi. Baru-baru ini, kematian sel yang
dimediasi zat besi, yang dikenal sebagai ferroptosis, dilaporkan berperan dalam patogenesis
bermacam-macam penyakit. Peran ferroptosis dalam patogenesis COVID-19 dan tempatnya sebagai
target pengobatan harus terus diteliti.

Selain itu, mekanisme virus untuk menghindari imunitas antiviral, bersama dengan defek genetik
atau yang didapat pada pertahanan host, dapat merusak pembersihan virus, yang mengakibatkan
MAS dan aktivasi imunitas yang tidak tepat, menyebabkan ARDS dan kegagalan multi-organ.
Penyebab perjalanan penyakit yang bervariasi mulai dari tanpa gejala sampai mematikan dapat
dijelaskan oleh faktor genetik dan host. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa angka kematian
dapat tinggi pada beberapa keluarga. Mengingat bahwa faktor genetik juga berperan dalam kasus
HLH/MAS primer, sebuah meta analisis dilakukan untuk menganalisis kedua negara dimana kasus
HLH/MAS sering dilaporkan dan frekuensi infeksi COVID-19 berat dan mematikan sangat tinggi.
Menariknya, ditemukan distribusi geografis serupa. Mutasi genetik yang menyebabkan
kecenderungan terjadinya HLH primer dapat merupakan faktor risiko untuk perjalanan penyakit
yang parah pada COVID-19. Sebaliknya, mutasi genetik yang terkait dengan familial Mediterranean
fever (FMF) diperkirakan berkontribusi dalam ringannya perjalanan penyakit, berdasarkan pada
hipotesis historis yang mengklaim bahwa mutasi tersebut dapat memberikan resistensi terhadap
beberapa patogen virus dan bakteri. Angka kematian yang memang lebih rendah pada infeksi
COVID-19 di Turki dan Israel dapat mendukung spekulasi ini. Menariknya, MAS jarang terjadi pada
FMF meskipun FMF merupakan penyakit autoinflamasi.

Referensi: https://link.springer.com/article/10.1007/s10067-020-05190-5

Imunomodulator untuk Manajemen Komplikasi Imunologis COVID-19

Selain agen anti virus, terapi untuk komplikasi imunologis termasuk badai sitokin menggunakan
obat-obatan imunosupresan dan imunomodulator yang tepat juga penting. Saat ini, ada beberapa
obat yang sebagian besarnya familiar bagi ahli rematologi, yang digunakan berdasarkan profil
farmakologisnya. Kortikosteroid, klorokuin/hidroksiklorokuin, antagonis IL-6R termasuk tocilizumab
(TCZ), antagonis IL-1 termasuk anakinra, inhibitor TNF, dan inhibitor Janus kinase merupakan
beberapa obat yang bisa digunakan. Di sisi lain, obat antiinflamasi non steroid, khususnya ibuprofen,
tidak direkomendasikan untuk terapi COVID-19 karena hasil observasi menunjukkkan bahwa obat ini
dapat memperparah gejala dengan meningkatkan ekspresi ACE-2.

Klorokuin dan hidroksiklorokuin

Kedua obat antimalaria ini memiliki efek imunomodulator dan umumnya digunakan dalam bidang
reumatologi untuk menangani pasien dengan artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik, dan
sindrom Sjogren. Di samping memiliki efek antimalaria, klorokuin dan hidroksiklorokuin dilaporkan
memiliki aktivitas antivirus melawan berbagai virus seperti dengue, ebola, SARS, dan H5N1 di masa
lampau. Saat ini, kedua obat ini juga dilaporkan bermanfaat dalam penanganan COVID-19 dan
dimasukkan ke dalam panduan di berbagai negara seperti Italia dan Cina.

Klorokuin dan hidroksiklorokuin terakumulasi di dalam lisosom dan menaikkan pH endosome, yang
dapat menghambat masuk dan/atau keluarnya virus dari sel inang. Selain itu, kedua obat ini dapat
mengganggu reseptor ACE-2, yang ekspresinya diatur oleh SARS-COV-2 untuk kemudian berikatan
dengan virus agar dapat memasuki sel. Klorokuin dan hidroksi klorokuin dapat menurunkan
glikosilasi reseptor ACE-2, sehingga mencegah SARS-CoV-2 untuk berikatan dengan sel host secara
efektif. Wenzhong et al. mengklaim bahwa antimalaria ini dapat menghambat berikatannya SARS-
CoV-2 dengan porfirin sehingga mencegah virus memasuki sel. Wang et al melaporkan bahwa
klorokuin dapat menghambat SARS-CoV-2 dengan efektif secara in vitro. Obat ini juga dapat
menghambat produksi sitokin pro-inflamasi termasuk IL-6, sehingga menghambat proses yang bisa
berakibat pada ARDS. Apapun mekanismenya, penelitian multisenter di Cina melaporkan efek
bermanfaat dari obat tersebut pada pasien COVID-19.

Hidroksiklorokuin telah diketahui lebih poten daripada klorokuin secara in vitro. Dosis yang
direkomendasikan adalah 400 mg dua kali sehari pada hari pertama, dilanjutkan 2 x 200 mg sehari
selama 4 hari berikutnya. Beberapa ahli merekomendasikan dosis yang lebih tinggi, yakni 600-800
mg per hari.

Akan tetapi, di AS, FDA mencabut otorisasi penggunaan darurat hidroksiklorokuin dan klorokuin
untuk digunakan dalam mengatasi pasien tertentu yang dirawat karena COVID-19 ketika uji klinis
belum tersedia atau partisipasi dalam uji klinis tidak layak dilakukan. Berdasarkan analisis yang terus
berlangsung dari data saintifik yang ada, FDA menyatakan bahwa hidroksiklorokuin cenderung tidak
efektif dalam mengatasi COVID-19 untuk penggunaan resmi dalam kondisi emergensi. Selain itu,
mengingat efek samping terhadap jantung dan efek samping serius lainnya, manfaat
hidroksiklorokuin tidak lagi dianggap melebihi risiko potensial yang sudah diketahui.

Penelitian UK RECOVERY dilakukan dengan uji acak pada 1542 pasien yang mendapat
hidroksiklorokuin dan 3132 pasien yang mendapat perawatan biasa. Hasil preliminari menunjukkan
tidak ada perbedaan signifikan pada angka mortalitas 28 hari (25.7% pada hidroksiklorokuin vs 23.5%
pada perawatan biasa). Selain itu tidak ada bukti manfaat terhadap durasi perawatan dan hasil
pengobatan lainnya.

Sebuah penelitian observasional terhadap 2512 pasien COVID-19 terkonfirmasi yang dirawat di
rumah sakit di New Jersey dilakukan antara 1 Maret 2020 dan 22 April 2020, dan ditindaklanjuti
hingga 5 Mei 2020. Hasilnya meliputi 547 pasien meninggal (22%) dan 1539 (61%) pulang dari RS;
426 (17%) masih dirawat di rumah sakit. Pasien yang menerima setidaknya satu dosis
hidroksiklorokuin berjumlah 1914 (76%), dan mereka yang menerima hidroksiklorokuin ditambah
azitromisin berjumlah 1473 (59%). Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam hal
mortalitas pada pasien yang tidak mendapat hidroksiklorokuin selama rawat inap, terapi tunggal
hidroksiklorokuin, atau hidroksiklorokuin dengan azitromisin. Angka kematian dalam 30 hari pada
pasien yang menerima hidroksiklorokuin saja, azitromisin saja, kombinasi, atau tidak mendapat obat
masing-masing 25%, 20%, 18%, dan 20%.

Karena temuan dari beberapa penelitian tersebut, WHO menghentikan hidroksiklorokuin dari
Solidarity Trial dan kemudian menghapus penggunaannya sepenuhnya pada 4 Juli 2020. FDA
mengeluarkan peringatan keamanan untuk penggunaan hidroksiklorokuin atau klorokuin untuk
terapi COVID-19 pada 24 April 2020, dan mencabut otorisasi penggunaan untuk kasus emergensi
pada 15 Juni 2020.

Di Indonesia sendiri, 5 organisasi profesi yang terdiri dari PDPI, PAPDI, PERKI, PERDATIN dan IDAI
tetap merekomendasikan pemberian hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat dengan pertimbangan obat
tersebut murah dan tersedia bahkan sampai pelosok Indonesia. Selain itu pertimbangan lainnya
adalah beberapa negara lain seperti India dan Bangladesh juga masih menggunakannya. Kemudian
obat definitif juga belum ada sementara pandemi di Indonesia terus meningkat. Di Indonesia juga
tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara klinis dengan efek samping fatal dan peningkatan
kematian di Indonesia meskipun penelitian harus terus dilakukan. Penelitian yang menjadi dasar
keputusan WHO pun memiliki kelemahan yakni tidak membedakan subjek secara usia dan komorbid.

5 organisasi profesi merekomendasikan bahwa kedua obat masih dapat diberikan pada pasien
COVID-19 sesuai dosis yang ada di protokol tatalaksana COVID-19 dari kelima organisasi profesi.
Pada pasien anak dengan derajat berat sampai kritis, penggunaan hidroksiklorokuin harus dengan
pemantauan da pertimbangan khusus. Selain itu hidroksiklorokuin dan klorokuin fosfat tidak
dianjurkan pada pasien usia > 50 tahun dan tidak diberikan pada pasien kritis dengan kondisi syok
dan aritmia. Pasien yang mendapatkan kedua obat harus dipantau interval QT dengan EKG rutin dan
perlu dijelaskan efek samping yang mungkin muncul. Pasien rawat jalan tidak perlu diberikan obat
ini.

Referensi:
1. https://link.springer.com/article/10.1007/s10067-020-05190-5
2. https://emedicine.medscape.com/article/2500116-overview?
fbclid=IwAR3SWYGsKVU7QCDkbeUscqPw1iBB6Ysq7B5QsH6EZ6oc-dheWuUBl3wmCY4#a14
3. Surat Rekomendasi 5 Organisasi Profesi Penggunaan Hidroksiklorokuin/Klorokuin Fosfat
pada Tatalaksana COVID-19. 4 Juni 2020.

Interleukin Inhibitors

Penghambat interleukin (IL) dapat mencegah kerusakan parah terhadap jaringan paru yang
disebabkan oleh pelepasan sitokin pada pasien dengan infeksi COVID-19 yang serius. Beberapa
penelitian telah mengungkapkan badai sitokin yang terjadi akibat pelepasan IL-6, IL-1, IL-12, dan IL-
18, beserta tumor necrosis factor alpha (TNFα) dan mediator inflamasi lainnya. Meningkatnya
respon inflamasi paru dapat mengakibatkan gangguan pertukaran udara alveolar-kapiler, sehingga
terjadi kesulitan oksigenasi pada pasien dengan penyakit yang parah.
Interleukin-6 inhibitors

IL-6 merupakan sitokin proinflamasi pleiotropic yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel, termasuk
limfosit, monosit, dan fibroblast. Infeksi SARS-CoV-2 menginduksi produksi IL-6 di sel epitel bronkial
yang jumlahnya tergantung pada konsentrasi virus. IL-6 bersama dengan IL-1 berkontribusi pada
peningkatan permeabilitas vascular, kebocoran plasma, dan DIC sehingga menyebabkan kerusakan
kerusakan paru dan ARDS serta kegagalan multi organ. Kaskade peristiwa ini merupakan alasan
rasional untuk mempelajari agen penghambat IL-6. Pada Juni 2020, panduan NIH menyatakan tidak
ada data yang cukup untuk merekomendasikan maupun melarang penggunaan inhibitor IL-6.

Konsentrasi IL-6 dalam serum pada kondisi normal sangat sedikit dan cenderung meningkat jika
terjadi infeksi atau cedera pada tubuh manusia. IL-6 merupakan salah satu sitokin pro inflamasi yang
memiliki dua jalur pensinyalan (jalur klasik dan trans) untuk memulai respon imun. Pada jalur klasik,
IL-6 berikatan dengan reseptornya seperti mIL-6R (reseptor IL-6 yang terikat membran) yang
terdapat pada permukaan sel terutama sel-sel imunogenik, kemudian kompleks ini melakukan
transdusi jalur pensinyalan melalui jalur JAK-STAT (Janus kinases-signal transducer and activator of
transcription) atau jalur MAPK/NF-κB-IL-6, yang selanjutnya mengaktivasi berbagai jenis efek
inflamasi pada sistem imun bawaan (sel natural killer [NK], neutrofil dan makrofag) dan juga sistem
imun adaptif (sel B dan T). Akan tetapi, jalur pensinyalan klasik ini hanya terbatas pada sel-sel
imunogenik. Efek pro inflamasi yang lebih besar dapat diaktifkan oleh IL-6 melalui jalur pensinyalan
lainnya, yaitu jalur pensinyalan trans.

Pada jalur pensinyalan trans, interleukin berikatan dengan reseptor yang tidak berada pada
permukaan sel, tapi pada sejenis reseptor dalam bentuk terlarut, sIL-6R, dan membentuk kompleks
dengan gp-130 dimer, yang kemungkinan terdapat pada seluruh permukaan sel, khususnya pada
berbagai jenis sel endotel yang berbeda. Jadi, melalui jalur pensinyalan trans inilah IL-6 dapat
menginduksi respon pro inflamasi yang mungkin terjadi pada setiap jenis sel yang ada dalam sistem
organ kita dan lebih lanjut lagi, sebelumnya juga telah ditemukan bahwa IL-6 hampir disekresikan
oleh seluruh jenis sel imun dan stromal.

Jadi penting untuk dicatat bahwa pensinyalan IL-6 memainkan peran penting dalam menginduksi
badai sitokin (baik jalur klasik maupun trans) pada pasien COVID kritis sehingga untuk mengontrol
pengaruh mematikan interleukin khusus ini, diperlukan agen yang dapat menghambat kedua jalur
pensinyalan tersebut. Salah satu molekul tersebut, yang dapat berperan sebagai antagonis
pensinyalan IL-6 yang efektif, yakni tocolizumab (TCZ), sebuah antibodi monoklonal, secara spesifik
dirancang untuk mengikat mIL-6R dan sIL-6R (reseptor IL-6 yang terlarut) dan dapat menghambat
baik jalur pensinyalan klasik maupun trans. Meskipun mekanisme molekular antibodi ini masil belum
jelas sepenuhnya, namun telah dilaporkan bahwa obat ini berperan penting dalam perbaikan pasien
COVID-19 yang kritis. Saat ini, efikasi obat ini telah diuji di seluruh dunia pada berbagai laboratorium
dan juga telah diizinkan oleh FDA AS untuk menjalani uji klinis fase III, namun masih memerlukan
banyak eksplorasi saintifik untuk mengonfirmasi mekanisme molekular sesungguhnya dari aktivitas
obat ini.

TCZ saat ini tidak hanya digunakan untuk terapi arthritis rheumatoid, arteritis temporal, dan banyak
penyakit rematik autoimun lainnya, namun juga untuk terapi badai sitokin. Penelitian REMDACTA
menambahkan tocilizumab pada rejimen remdesivir untuk pasien COVID-19 dengan pneumonia
berat. Penelitian COVACTA hampir menyelesaikan studinya mengenai perbandingan terapi
tocilizumab ditambah perawatan standar dibanding perawatan standar saja pada pasien dengan
COVID-19 berat. Selain itu, penelitian EMPACTA akan fokus pada percobaan untuk fasilitas yang
melayani perawatn kritis pada populasi minoritas dan tidak mampu.

Terapi tocilizumab juga telah diujikan pada pasien dengan infeksi SARS-COV-2 berat yang mengalami
badai sitokin dan ARDS. Penelitian retrospektif dari Cina melaporkan perbaikan demam dan
hipoksemia dan perbaikan kadar CRP dan gambaran CT paru. Untuk terapi badai sitokin, dosis TCZ
adalah 8 mg/kg IV sebagai dosis tunggal atau dibagi dua dosis dengan interval 12-24 jam (dosis
maksimum 800 mg). Efek samping utama terapi TCZ adalah kecenderungan terjadinya infeksi secara
umum, hepatotoksisitas, hipertrigliseridemia, dan kemungkinan terjadinya diverkulitis.

Sebuah penelitian observasional pada 239 pasien di Yale dengan COVID-19 berat menerapkan
algoritma standar yang memasukkan TCZ dalam menangani sindrom pelepasan sitokin. Observasi
dini menunjukkan, pasien yang diterapi dengan TCZ (153 orang) terdiri dari 90% dari mereka yang
mengalami penyakit yang berat, angka survivalnya serupa dengan pasien dengan penyakit yang tidak
berat (83% vs 91%). Untuk pasien dengan ventilasi mekanik yang mendapat TCZ, angka survivalnya
adalah 75%/ Oksigenasi dan penanda inflamasi biologis (seperti protein C-reaktif sensitivitas tinggi
dan IL-6), mengalami perbaikan. Sebuah studi kecil juga menunjukkan hasil serupa, dimana 27 pasien
yang mendapat TCZ dosis tunggal 400 mg IV mengalami penurunan inflamasi, kebutuhan terapi
oksigen, vasopresor, dan angka kematian.

Penelitian observasional di New Jersey menunjukkan peningkatan angka bertahan hidup pada
pasien-pasien yang mendapatkan TCZ. Di antara 547 pasien ICU, termasuk 134 pasien yang
mendapatkan TCZ, analisis eksploratorik menunjukkan tren peningkatan angka survival sebesar 56%
pada pasien dengan TCZ dibandingkan 46% pada pasien tanpa TCZ.

Pada 16 Maret 2020, Sanofi dan Regeneron mengumumkan inisiasi uji coba fase 2/3 sarilumab,
inhibitor IL-6 lainnya (Kevzara). Komponen uji coba yang berbasis di Amerika Serikat dimulai di New
York. Percobaan multisenter, double-blind, fase 2/3 ini memiliki desain adaptif yang terdiri dari dua
bagian dan diharapkan dapat meliputi jumah 400 pasien. Bagian pertama akan meniliti pasien
COVID-19 yang parah di sekitar 16 tempat perawatan AS, dan akan mengevaluasi efek sarilumab
pada demam dan kebutuhan akan suplementasi oksigen. Bagian kedua uji coba ini yang lebih besar,
akan mengevaluasi hasil jangka panjang, termasuk pencegahan kematian dan pengurangan
kebutuhan ventilasi mekanik, oksigen tambahan, dan/atau rawat inap.

Berdasarkan analisis uji coba fase 2 tersebut, desain fase 3 yang sedang berlangsung dimodifikasi
pada tanggal 27 April 2020, dengan hanya menggunakan sarilumab dosis tinggi (400 mg) atau
plasebo pada pasien kritis (yaitu membutuhkan ventilasi mekanik atau oksigenasi aliran tinggi atau
memerlukan perawatan ICU). Kecenderungan positif kecil diamati pada kelompok analisis utama
yang ditentukan sebelumnya (n = 194; pasien kritis yang diberikan sarilumab 400 mg yang mendapat
ventilasi mekanik dari awal) yang tidak mencapai signifikansi statistik, dan hasil ini disangkal oleh
tren negatif pada subkelompok pasien kritis yang tidak mendapat ventilasi mekanis pada awal.
Berdasarkan hasil tersebut, percobaan di AS dihentikan, termasuk pada kelompok pasien kedua yang
menerima dosis yang lebih tinggi (800 mg).
Referensi
 https://emedicine.medscape.com/article/2500116-overview?
fbclid=IwAR3SWYGsKVU7QCDkbeUscqPw1iBB6Ysq7B5QsH6EZ6oc-dheWuUBl3wmCY4#a3
 https://link.springer.com/article/10.1007/s10067-020-05190-5
 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0188440920307827

Kortikosteroid
Uji coba RECOVERY menunjukkan bahwa dexamethasone dosis rendah (6 mg per oral atau IV per
hari selama 10 hari) yang diberikan acak pada 2104 pasien menurunkan angka kematian 35% pada
pasien dengan ventilasi mekanik dan 20 % pada pasien yang mendapatkan suplementasi oksigen non
invasive dibandingkan dengan pasien yang mendapat perawatan standar. Manfaat tidak terlihat
pada pasien yang tidak mendapatkan bantuan pernafasan.

Kortikosteroid umumnya tidak direkomendasikan untuk terapi pneumonia viral. Manfaat


kortikosteroid pada syok sepsis dihasilkan dari kerjanya menghambat respon imun host terhadap
pelepasan toksin bakteri. Insidensi syok pada pasien COVID-19 cenderung sedikit (5% dari total
kasus), dan biasanya lebih cenderung akibat syok kardiogenik karena peningkatan kerja jantung
untuk mendistribusikan suplai darah yang teroksigenasi dan karena tekanan intra toraks selama
ventilasi mekanik. Kortikosteroid dapat menimbulkan bahaya karena efek imunosupresan selama
terapi infeksi dan gagal memberikan manfaat pada epidemi virus lainnya, seperti infeksi virus
sinsitial respiratorik, influenza, SARS, dan MERS.

Efek bermanfaat dari glukokortikoid pada beberapa infeksi virus respirasi tergantung pada pemilihan
dosis yang tepat, waktu yang tepat, dan pada pasien dengan kondisi yang tepat. Dosis yang tinggi
dapat lebih besar bahayanya dibanding manfaatnya, seperti halnya pemberian pada waktu yang
tidak tepat dimana kontrol replikasi virus sangat penting dan inflamasi masih minimal. Bersihan RNA
virus terlihat lebih lambat pada penelitian terhadap pasien SARS, MERS, dan influenza yang diterapi
dengan glukokortikoid sistemik meskipun signifikansi klinis pada temuan tersebut tidak diketahui.
Berbeda dengan SARS, dimana puncak replikasi virus terjadi pada minggu kedua penyakit,
penyebaran virus pada SARS-CoV-2 tampak lebih tinggi di awal penyakit dan menurun kemudian.
Manfaat terhadap penurunan mortalitas dari dexamethasone pada pasien COVID-19 dengan
bantuan respirasi dan pada pasien sakit di minggu pertama menunjukkan bahwa pada stadium
tersebut penyakit mungkin didominasi oleh elemen imunopatologis, dan replikasi virus aktif
memainkan peran sekunder. Hipotesis ini dapat membedakan pengaruh dexamethasone pada
pasien COVID-19 dengan pasien penyakit virus infeksi saluran nafas lainnya yang perjalanan
penyakitnya berbeda.

Guidance from the US Centers for Disease Prevention and Control (CDC)9 recommends against
corticosteroid therapy in coronavirus infections because steroids “prolonged viral replication” in
patients with MER, although the difference in time to viral clearance wasn’t statistically significant in
the primary data.610 Unlike the MERS coronavirus, SARS-CoV-2 is rarely found in blood during the
symptomatic phase of covid-19, even in people with severe disease.11 Furthermore, hypoxaemia
may develop just as the viral load in the upper respiratory tract is falling rapidly or becoming
undetectable.1213

Patients admitted to hospital with covid-19 typically report symptom onset three to five days after
exposure (fatigue, chills), progressing to fever and dry cough 48 hours later. Transition to severe
disease with hypoxaemia occurs five to seven days into the symptomatic illness, about 8-14 days
after original exposure. In the RECOVERY trial, dexamethasone was beneficial for participants
treated seven or more days into the symptomatic phase, with the onset of hypoxaemia. Importantly,
there was a non-significant trend (P=0.14) towards possible harm affecting participants without
hypoxaemia and not on mechanical ventilation. RECOVERY findings therefore support use of
dexamethasone only for patients with hypoxaemia, not those with milder disease. The data do not
support use of dexamethasone or other corticosteroids in the outpatient setting.
Corticosteroids such as dexamethasone have broad effects on innate and adaptive immunity.
Adaptive immunity may be integral to covid-19 immunopathology, as the onset of acute respiratory
distress syndrome correlates temporally with the appearance of a specific antibody against SARS-
CoV-2.14 In March 2020, a retrospective evaluation of the covid-19 clinical experience in China
reported that, in the subset of patients who progressed to ARDS, objectively sicker patients who
received methylprednisolone had lower mortality rates than patients not receiving
methylprednisolone.15 In RECOVERY, corticosteroid therapy increased 28 day survival in covid-19
patients developing acute respiratory distress syndrome. Despite concerns about the possibility of
steroid associated complications, it would not be reasonable to delay use of a widely available
treatment with a demonstrated mortality benefit.

Unresolved questions remain, however. RECOVERY investigators did not explore optimal type of
corticosteroid nor timing, dose, or duration of giving this drug class. The dose of dexamethasone
used was roughly half the functional corticosteroid dose used to prevent treatment induced acute
respiratory distress syndrome in moderate or severe pneumocystis pneumonia. Even though
dexamethasone worked, it is not clear whether corticosteroids are the best option for all patients in
the second phase of the illness or whether treatment may be less beneficial for some subsets, such
as people with diabetes. Ongoing trials of immune modulation with calcineurin inhibitors may shed
light on these questions.

Adults requiring ventilation in RECOVERY were relatively young, with a mean age of 59 years. In a
post hoc subset analysis, dexamethasone did not benefit the two older age groups, so the benefits
and risks of dexamethasone for oldest adults remain unclear. Virological measures such as viral load
were not reported and would be helpful in future studies as they may ultimately guide treatment
decisions, including timing. Longer term follow-up of the original cohort will be critical to identify
harms associated with corticosteroid use.

Early guidelines for management of critically ill adults with COVID-19 specified when to use low-dose
corticosteroids and when to refrain from using corticosteroids. The recommendations depended on
the precise clinical situation (eg, refractory shock, mechanically ventilated patients with ARDS);
however, these particular recommendations were based on evidence listed as weak. [86] The results
from the RECOVERY trial in June 2020 provided evidence for clinicians to consider when low-dose
corticosteroids would be beneficial. [83]

A study describing clinical outcomes of patients diagnosed with COVID-19 was conducted in Wuhan
China (N = 201). Eighty-four patients (41.8%) developed ARDS, and of those, 44 (52.4%) died. Among
patients with ARDS, treatment with methylprednisolone decreased the risk of death (HR, 0.38; 95%
CI, 0.20-0.72). [87]

Researchers at Henry Ford Hospital in Detroit implemented a protocol on March 20, 2020, using
early, short-course, methylprednisolone 0.5-1 mg/kg/day divided in 2 IV doses for 3 days in patients
with moderate-to-severe COVID-19. Outcomes of pre- and post-corticosteroid groups were
evaluated. A composite endpoint of escalation of care from ward to ICU, new requirement for
mechanical ventilation, or mortality was the primary outcome measure. All patients had at least 14
days of follow-up. They analyzed 213 eligible patients, 81 (38%) and 132 (62%) in pre-and post-
corticosteroid groups, respectively. The composite endpoint occurred at a significantly lower rate in
the post-corticosteroid group than in the pre-corticosteroid group (34.9% vs 54.3%; P = 0.005). This
treatment effect was observed within each individual component of the composite endpoint. A
significant reduction in median hospital length of stay was observed in the post-corticosteroid group
(8 vs 5 days; P< 0.001). [88]

Mechanism of action
Corticosteroids are endogenous hormones produced in the adrenal cortex or their synthetic
analogues. Glucocorticoids enter cells and bind to intracellular receptors. Hydrolysis of an attached
heat-shock protein releases the activated steroid-receptor complex, which is transported into the
nucleus, where it binds to DNA and modifies DNA glucocorticoid-responsive elements and
transcription factors. The modifications alter transcription of target genes in DNA into messenger
RNA; mRNA leaves the nucleus and directs the synthesis of new proteins on cytoplasmic ribosomes;
these proteins are released from the cell and elicit biological responses.

Glucocorticoids in low and high doses increase the production of anti-inflammatory compounds,
such as annexin-1, SLP1, MOP-1, IκB-α, GILZ, and nitric oxide synthase, and in high doses reduce the
production of pro-inflammatory compounds, including cytokines, chemokines, adhesion molecules,
and pro-inflammatory enzymes, such as phospholipase A2 and cyclooxygenase.

The consequences of glucocorticoid actions are widespread, and include: mobilization of glucose
through increased gluconeogenesis, causing hyperglycaemia, and thus increased insulin secretion
and increased glycogen storage; redistribution of body fat; breakdown of protein; neutrophilia and
lymphopenia; and immunosuppression. The immunosuppression arises partly from inhibition of
kinases responsible for cytokine production and partly from inhibition of the nuclear transcription
factor NF-κB, which stimulates the transcription of cytokines, chemokines, and other molecules in
the inflammatory pathway.

Glucocorticoids also activate histone deacetylase (HDAC2) by activating transcription factors such as
CREB, AP-1, and NF-κB. This activates chromatin, which increases gene transcription.

Glucocorticoids increase apoptosis in inflammatory cells such as eosinophils, T lymphocytes, mast


cells, and macrophages, reducing cellular immune responses and production of cytokines.

Proposed mechanism of action in COVID-19


The sickest patients with COVID-19 suffer a hyperinflammatory state—a cytokine storm—that has
features in common with a rare haematological condition called haemophagocytic
lymphohistiocytosis. Immune suppression should help such patients. By contrast, immune
suppression during the early phase of the viral infection might allow increased viral replication and
aggravate the disease.

The 3C-like proteinase on SARS-CoV-2 (nsp5) inhibits HDAC2 transport into the nucleus, and so
impairs the way in which it mediates inflammation and cytokine responses, so activation of histone
deacetylase by dexamethasone may directly oppose the action of SARS-CoV-2.

Referensi:
https://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJMoa2021436
https://www.bmj.com/content/370/bmj.m2648
https://www.cebm.net/covid-19/dexamethasone/

Anda mungkin juga menyukai