Anda di halaman 1dari 9

Abu Hanifah juga merupakan seorang Tabi'in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu

dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Anas bin Malik dan beberapa peserta Perang
Badar yang dimuliakan Allah SWT yang merupakan generasi terbaik islam, dan meriwayatkan hadits
darinya serta sahabat Rasulullah SAW lainnya.

Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-
kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh
ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Imam Bukhari.

Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid dan metafisika. Menghadiri kajian
hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil besar dalam bidang ini.

Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih bidang fikih
sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih dengan cara berguru
kepada salah satu Syaikh ternama di Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai. Sementara
Kufah saat itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.

Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal sebagai
murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan pendapatnya, terkadang
menjadikan syaikh kesal padanya, namun karena kecintaannya pada sang murid, ia selalu mencari tahu
tentang kondisi perkembangannya. Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya sang syaikh tahu bahwa ia
selalu bangun malam, menghidupkannya dengan salat dan tilawah Al-Qur'an. Karena banyaknya
informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya Al-Watad.

Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, saat itu ia masih 22
tahun. Karena dianggap telah cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali
mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.

Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera
menggantikan gurunya.

Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi juga banyak ulama selama
perjalanan ke Makkah dan Madinah, diantaranya Malik bin Anas, Zaid bin Ali dan Ja'far ash-Shadiq yang
mempunyai konsen besar terhadap masalah fikih dan hadits.
Imam Abu Hanifah diketahui telah menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang ilmu fiqih dan dijuluki
Imam Al-A'dzhom oleh masyarakat karena keluasan ilmunya.Beliau juga menjadi rujukan para ulama
pada masa itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada masa itu dan masa selanjutnya.

Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi (bahasa Arab: ‫أبو عبد هللا محمد بن‬
‫ )إدريس الشافع ّي المطَّلِب ّي القرش ّي‬atau singkatnya Imam Asy-Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H/767 M -
Fusthat, Mesir, 205 H/820 M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i.
Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan
dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.

Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid
Imam Hanafi di sana.

Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun
Qadim dan Qaulun Jadid.

Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung
Gaza, Palestina, di mana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan.

Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia
berkata, "Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku
panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi'i bin Asy-Syaib."

Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu
dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama "asy-Syafi'i".

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah,
tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat
menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih
syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam
Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia
mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu,
maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di
Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang
bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-
Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam
beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Kemudian ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab
Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari
Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelisnya ini, Imam Syafi’i menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik,
yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-
Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin
Uyainah di Makkah.

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’
Yaman yang didatangi oleh dia ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak
lagi yang lainnya. Dari Yaman, dia melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini dia
banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga dia
mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang
lainnya.

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan.
Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir Imam Syafi'i bertemu dengan murid Imam Malik yakni Muhammad bin Abdillah bin Abdil
Hakim. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (qaul qadim). Kemudian dia pindah ke Mesir
tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (qaul jadid). Di sana dia wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir
bulan Rajab 204 H.

Ahmad bin Hanbal (bahasa Arab: ‫أحمد بن حنبل‬, lahir 20 Rabiul awal 164 H (27 November 780) - wafat 12
Rabiul Awal 241 H (4 Agustus 855))[1] adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat
ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota Baghdad, Irak. Kunyahnya
Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada usia 15 tahun, ia juga mahir baca-
tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi
belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Ia telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk
mempelajari Hadits ini, ia pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman dan negara-
negara lainnya sehingga ia akhirnya menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur'ah
mengatakan bahwa kitabnya yang sebanyak 12 buah sudah dihafalnya di luar kepala. Ia menghafal
sampai sejuta hadits. Imam Syafi'i mengatakan tentang diri Imam Ahmad, "Setelah saya keluar dari
Baghdad, tidak ada orang yang saya tinggalkan di sana yang lebih terpuji, lebih shaleh dan yang lebih
berilmu daripada Ahmad bin Hambal". Abdur Rozzaq Bin Hammam yang juga salah seorang guru dia
pernah berkata, "Saya tidak pernah melihat orang se-faqih dan se-wara' Ahmad Bin Hanbal"[2]

Keadaan fisik Sunting

Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata
Badan dia tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang
hitam. Ia senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain
mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”

Keluarga Sunting

Dia menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Ia memiliki anak-anak
yang shalih dari istri-istinya, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya
sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan Sunting

Putranya yang bernama Shalih mengatakan, ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat
saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.

Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf
Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti
kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.

Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam
Ahmad bin Hambal?” Dia menjawab, “Ahmad”. Ia masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” dia
menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena dia
hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah
mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh
yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri
lainnya.

Dawud azh-Zhahiri (816-883 M) ialah seorang ulama ahlussunnah, Imam dan pemuka dari mazhab
Zhahiri.[1] Ia banyak dianggap orang sebagai pendiri mazhab Zhahiri meskipun ia sendiri dan para
pengikutnya tidak menganggap demikian. Imam Dawud azh-Zhahiri sendiri pada awalnya adalah
pengikut mazhab Syafi'i. Keluarganya berasal dari Isfahan, ia dilahirkan di Kuffah dan tinggal di Baghdad.
Ia meninggal di Baghdad pada bulan Ramadhan dan dikuburkan disana.[2][3] Di antaramurid-muridnya
yang ternama adalah putranya sendiri bernama Muhammad bin Dawud, Abdullah putra Imam Ahmad,
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, Niftawaih dan Ruwaim.

Nama lengkap beliau Daud bin Ali bin Khalaf al- Ashbahani dikenal dengan sebutan Daud adz-dzohiry.
Beliau lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/ 883M. Ia
seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafidz dan pendiri madzhab al-dzohiry. Beliau merantau ke
Naisabur dan besar di Baghdad.

Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia.
Pada mulanya ia merupakan penganut fanatik madzhab syafi’i, dan termasuk orang yang begitu
mencintai sang Imam sehingga menulis dua buku mengenai keutamaan dan sanjungan kepada Imam
Syafi’i. Meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Hanafi. Beliau belajar tidak langsung kepada
Imam Syafi’i, akan tetapi dari murid dan sahabat Imam Syafi’i, karena ia baru berusia 4 tahun ketika
Imam Syafi’i wafat.

Di samping mempelajari fiqh Syafi’i, beliau juga mempelajari hadits dari para muhadits semasanya.
Beliau menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian berkunjung ke
Naisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhadits negeri tersebut. Beliau menyusun hadits-
hadits yang diriwayatkan di dalam bukunya sehingga-ketika berorientasi ke fiqh Zhahiri- fiqh-nya
merupakan hadits yang di riwayatkannya oleh beliau.

Namun tidak lama menganut madzhab ini beliau keluar dan berkata “ sesungguhnya sumber-sumber
hukum Islam adalah nash-nash saja”. Ia menolak dan tidak mengikuti qiyas. Ketika ditanya, bagaimana
Anda membatalkan qiyas padahal Imam syafi’i menganutnya ? beliau menjawab, ‘ saya mengikuti
argumentasi Syafi’i dalam membatalkan Istihsan, maka saya juga menemukan adanya pembatalan pada
qiyas’.
Madzhab Dzohiri berkembang pesat di wilayah Irak dan sekitarnya pada kurun abad ke 3 dan ke 4 H.
Madzhab Dzohiri adalah madzhab ke empat di negeri Timur setelah Hanafiy, Syafi’i, dan Malikiy
kemudian disusul Hambaliy. Namun pada abad ke 5 H di bawah al-Qodhi Ibn Abi Ya’la madzhab Hambali
berkembang mengalahkan Madzhab Dzohiri.

Para Fuqoha sepakat mengatakan bahwa Daud al-dzohiri merupakan orang pertama yang berpendapat
bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir. Oleh sebab itu aliran ini di sebut dengan madzhab zhahiri,
sebuah sebutan yang selalu di sandarkan kepada namanya. Madzhab ini pernah berkembang di
Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad ke 5 H, namun di abad ke 8 madzhab ini punah.

Daud al-zhohiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-qur’an dan sunnah. Beliau
berpendapat bahwa keumuman nash al-qur’an dan sunnah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak
ada nash yang menjelaskan,beliau menerapkan ijma’ termasuk ijma sahabat. Sedangkan bila tidak juga
dalam ijma biasanya menggunakan metode istishab. Beliau menolak qiyas,istihsan,sad al- zari’ah,ra’yu
dan ta’lil nushus al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil hukum beliau juga menolak
dalil taqlid.

Imam Zaid bin Ali, pendiri mazhab Zaidiyyah. Nama lengkap beliau adalah Zaid bin Ali bin Husain bin Ali
Abu Thalib. Soal tahun kelahirannya para sejarawan berbeda pendapat. Sebagian mengatakan Zaid bin
Ali dilahirkan tahun 75 H. Sementara menurut pendapat yang lain ia dilahirkan pada tahun 79 H/698 M.

Namun, menurut Muhammad Abu Zahrah, setelah meneliti dengan mendalam soal tahun kelahiran Zaid
bin Ali menyatakan, pendapat yang kuat adalah bahwa Zaid bin Ali lahir pada tahun 80 H.

Sebagian sumber menyebutkan bahwa Zaid bin Ali adalah tabiin (generasi setelah sahabat Nabi). Ia
dikenal sebagai orang yang memiliki kecerdasan mumpuni dan pendapat-pendapat, serta
argumentasinya sangat kokoh. Ia juga dikenal sebagai seorang ahli fikih, pakar tafsir dan juga seorang
penyair.

Al-Jahiz dalam al-Bayan wa at-Tabyin sebagaimana dikutip oleh Fuat Sezgin menyebutkan Zaid bin Ali
terkenal sebagai seorang orator ulung yang cukup tenar.
Imam Zaid bin Ali hidup pada masa dinasti Umayyah. Pada masa itu, sedang muncul dan berkembangnya
sekte-sekte dalam Islam. Hal itu ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok keislaman baik dalam
bidang politik maupun akidah, serta mazhab-mazhab dalam fikih. Di sisi lain, masa ini juga ditandai
dengan gelombang awal semangat keilmuan islam yang tinggi.

Cirinya dengan dimulainya tradisi awal pembukuan ilmu-ilmu keislaman seperti ilmu nahwu (gramatikal
Arab), ilmu 'arudh, ilmu fikih dan ilmu akidah.

Zaid terlahir dari keluarga ulama pecinta ilmu. Ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin, seorang ahli fikih
dengan pengetahuan yang luas dan periwayat hadis yang memiliki banyak murid. Sejak dini ia ditempa
dalam dasar-dasar pengetahuan keislaman, seperti Alquran dan hadis.

Tapi ilmu di rumahnya dirasa masih kurang. Imam Zaid bin Ali lalu mengembara ke beberapa daerah
seperti kota Bashrah di Irak. Bashrah, saat itu terkenal sebagai kota ilmu pengetahuan. Beberapa ulama
besar seperti Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, juga memperdalam ilmu kalam (teologi) dengan
beberapa ulama besar dari kota Bashrah.

Di kota ini ia sempat berguru kepada pembesar sekaligus pendiri mazhab Muktazilah, Washil bin Atha'.
Asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal menyebutkan bahwa Zaid bin Ali belajar kepada Washil bin
Atha'.

"Zaid mendalami ilmu-ilmu ushul (pokok) dan furu' (cabang) kepada Washil bin Atha'. Bahkan ia sempat
mempelajari dan mendalami mazhab Muktazilah. Meskipun ia berguru kepada Washil bin Atha’, ia
memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan gurunya,” tulis Asy-Syahrastani.

Setelah belajar kepada sejumlah ulama besar di Bashrah, Zaid bin Ali pergi ke kota Madinah untuk
memperdalam ilmu hadis dan ragam keilmuan lainnya.

Menurut Abu Zahrah dalam karyanya berjudul “al-Imam Zaid Hayatuhu wa Ashruhu wa Arauhu wa
Fiqhuhu”, Imam Zaid bin Ali merupakan sosok ulama besar keturunan Ahlul Bait yang memiliki banyak
murid. Kota Madinah membuatnya memiliki banyak murid.
Zaid bin Ali uga terkenal dengan sikapnya yang cukup terbuka dalam menerima perbedaan dengan
orang lain. Sehingga menjadikannya punya banyak teman diskusi.

Para ulama terkemuka yang semasa dengannya seperti Abdurrahman bin Abu Ya'la, Abu Hanifah an-
Nu'man, Sufyan al-Tsauri dan para ahli fikih lainnya merupakan teman diskusinya.

Syaraf ad-Din Ash-Shan'ani (w. 1221 H) penulis syarah kitab al-Majmu' menyebutkan ada puluhan murid
Imam Zaid bin Ali. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah putera-puteranya seperti Isa bin Zaid,
Muhammad bin Zaid, Husain bin Zaid, dan Isa bin Zaid.

Sejumlah murid ternama lainnya adalah Manshur bin Mu'tamir seorang ulama wirai ahli fikih dan juga
ahli hadis yang oleh sejumlah ulama besar bidang hadis kalangan sunni seperti Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan lain sebagainya menjadikan murid Imam Zaid ini sebagai periwayat yang terpercaya.

Berdasarkan catatan para sejarawan, masa pembukuan ilmu-ilmu keislaman baru dimulai di seperempat
terakhir abad kedua Hijriyah (sekitar tahun 175 H). Sedangkan imam Zaid bin Ali sendiri wafat pada
seperempat awal, tepatnya pada tahun 122 H. Oleh karena itu tak heran Imam Zaid bin Ali tidak
meninggalkan karya fikih yang utuh dan komprehensif sebagai rujukan Mazhab Zaidiyyah seperti imam
Syafi’i meninggalkan karya al-Umm dan ar-Risalah.

Namun, tradisi tulis menulis dalam dunia Islam di abad pertama dan awal abad kedua Hijriyyah sudah
berlangsung cukup banyak.

Maka, tak heran ulama-ulama yang berafiliasi ke dalam mazhab Zaidiyyah melansir sejumlah karya yang
dinisbatkan kepada Imam Zaid bin Ali sebagai sumber primer rujukan fikih mazhab Zaidiyyah. Bahkan
menurut klaim mereka, Imam Zaid bin Ali adalah orang yang pertama kali menulis karya dalam bidang
fikih.

Ja'far ash-Shadiq (Bahasa Arab: ‫)جعفر الصادق‬, nama lengkapnya adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin
Husain bin Ali bin Abu Thalib, adalah Imam ke-6 dalam tradisi Syi'ah. Ia lahir di Madinah pada tanggal 17
Rabiul Awwal 83 Hijriyah / 20 April 702 Masehi (M), dan meninggal pada tanggal 25 Syawal 148
Hijriyah / 13 Desember 765 M. Ja'far yang juga dikenal dengan julukan Abu Abdillah dimakamkan di
Pekuburan Baqi', Madinah. Ia merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Aturan-aturan
yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab Ja'fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati
dan menjadi guru bagi kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi Abu
Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab Maliki). Perbedaan tentang siapa
yang menjadi Imam setelahnya menjadikan mazhab Ismailiyah berbeda pandangan dengan mazhab Dua
Belas Imam.

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian
ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan
Muslim Syi'ah.

Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-
Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi
untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira
12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-
Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.

Selama masa keimaman Ja'far ash-Shadiq inilah, mazhab Syi'ah Dua Belas Imam atau dikenal juga
Imamiah mengalami kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk
mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam,
terutama bangkitnya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang
berdarah yang akhirnya membawa keruntuhan dan kemusnahan Bani Umayyah. Kesempatan yang lebih
besar bagi ajaran Syi'ah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam
ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan
pengetahuan Ahlul Bait. Sampai sekarang pun mazhab Syi'ah Imamiah juga dikenal dengan mazhab
Ja'fari.

Anda mungkin juga menyukai