Anda di halaman 1dari 132

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam perkembangan sistem keuangan Indonesia dikenal suatu jenis

lembaga keuangan yang disebut Lembaga Keuangan Bukan Bank (Nonbank

Financial Institution). Pendirian lembaga keuangan ini didasarkan pada

Keputusan Menteri Keuangan No. 792/MK/IV/12/70 tanggal 7 Desember

1970, yang kemudian diubah dan ditambah dengan Keputusan Menteri

Keuangan No. 38/MK/IV/I/72 tanggal 18 Januari 1972.1

Lembaga keuangan bukan bank adalah badan usaha yang melakukan

kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung

menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan

menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan.

Lembaga keuangan bukan bank diatur dengan undang-undang yang mengatur

masing-masing bidang jasa keuangan beberapa bukan bank.

Lembaga keuangan bukan bank sangat berperan penting dalam

perkembangan perekonomiannya. Lembaga keuangan bukan bank mendorong

pergerakan ekonomi secara umum memang memiliki tugas untuk menyimpan

dan menyalurkan perputaran perekonomian.2 Lembaga keuangan yang

merupakan lembaga perantara dari pihak yang memiliki kelebihan dana

(surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds),


1
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hal. 11.
2
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, ed. 1, cet. 2, Ban
dung: Alumni, 2006, hal. 183.

1
memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat (financial

intermediary).3 Salah satu lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga

pembiayaan.

Menurut Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang

Lembaga Pembiayaan menyebutkan bahwa lembaga pembiayaan adalah

badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan

dana atau barang modal.4 Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk

usaha di bidang lembaga keuangan bukan bank yang mempunyai peranan

sangat penting dalam pembiayaan. Kegiatan lembaga pembiayaan ini

dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak

menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,

tabungan, dan surat sanggup bayar.

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan

tersebut, lembaga pembiayaan mempunyai peran yang penting sebagai salah

satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang

pertumbuhan perekonomian nasional.5 Selain lembaga keuangan bukan bank

dalam menunjang pertumbuhan perekonomian nasional, terdapat pula

lembaga keuangan yang berbentuk bank, sebagaimana diatur dalam Pasal 1

angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang

menyatakan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari


3
Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal. 111. Lihat pula:
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Refika Ditama, 2010, hal.
2.
4
Anita Christiani, Hukum Perbankan Analisis Independensi Bank Indonesia, Badan Supervisi,
LPJK, Bank Syariah, dan Prinsip Mengenal Nasabah, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010, hal. 1.
5
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktik, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005, hal. 21.

2
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat

dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Salah satu kegiatan lembaga

keuangan baik yang berbentuk bank ataupun bukan bank adalah pemberian

kredit.

Pengertian kredit menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga.6 Berdasarkan ketentuan ini dalam pembukaan kredit harus

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau ketentuan

lain yang harus didahului dengan persetujuan kredit. Kredit yang diberikan

tentu saja mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus

memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko

tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan

kesanggupan debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang di

perjanjikan adalah faktor penting yang harus dipikirkan oleh pemberi kredit.

Jaminan kredit biasanya bisa juga digunakan sebagai pendorong

motivasi debitur agar pengikatan jaminan kredit yang berupa harta hak milik

debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang bersangkutan

takut akan kehilangan hartanya tersebut. Hal ini akan mendorong debitur

berupaya untuk melunasi kreditnya kepada bank agar katanya yang akan
6
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 11.

3
dijadikan jaminan kredit tersebut tidak hilang karena harus di cairkan oleh

pemberi kredit.

Agunan atau jaminan tambahan hanya salah satu syarat yang

diharuskan dalam pemberian fasilitas kredit selain bank juga harus menilai

watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Dalam

hal ini agunan kredit dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:7

1. Agunan pokok adalah agunan yang pengadaannya bersumber dari dana

kredit bank berupa barang proyek tanah dan bangunan, mesin-mesin,

persediaan, piutang dagang, dan lain-lain). Agunan kredit dapat hanya

berupa agunan pokok bila berdasarkan aspek-aspek lain dalam jaminan

utama (watak, kemampuan, modal dan prospek) diperoleh keyakinan atas

kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya.

2. Agunan tambahan adalah agunan yang tidak termasuk dalam batasan

agunan pokok, contoh: aktiva tetap di luar prosen yang dibiayai, surat

berharga, surat rekta, garansi resiko, jaminan pemerintah, lembaga

penjamin dan lain-lain. Agunan tambahan menjadi wajib dipenuhi bila

tidak dapat menutup kecukupan jaminan, yang disebabkan adanya

kesulitan dalam pengikatan dan penguasaan agunan pokok sebagai agunan

kredit, sehingga tidak dapat memberikan hak mendahulu (preference) bagi

bank.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diartikan bahwa agunan bukan

sesuatu yang harus atau mutlak disediakan debitur. Namun agunan

merupakan “benteng” terakhir dalam upaya pengembalian kredit apabila


7
Sinungan M, Managemen Dana Bank, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 3.

4
terjadi kegagalan pembayaran kredit yang bersumber dari arus kas debitur.

Oleh karena itu, nilai agunan sangat penting sebagai indikator pembayaran

kembali kegagalan pembayaran kredit. Tidak semua benda bisa dijadikan

agunan tetapi harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu mempunyai nilai

ekonomis, bisa diperjualbelikan, harus ditunjuk undang-undang dan haknya

harus terdaftar.

Menurut Subekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara

seorang piutang kreditur dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya

kewajiban si berhutang debitur. Pihak ketiga bahkan dapat di adakan di luar

tampak si berhutang tersebut. Menurut Subekti bahwa maksud ada jaminan

ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang yang dijamin

pemenuhannya suruh atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si

penanggung menjamin dapat di sita dan di lelang menurut ketentuan pihak

pelaksana eksekusi putusan pengadilan. Salah satu bentuk jaminan tersebut

diwujudkan dalam bentuk jaminan fidusia.

Jaminan dalam fidusia itu mengambil wujud “penyerahan hak milik

secara kepercayaan (fides)” atau lazim disebut dengan Fiduciare Eigendom

Overdracht. Faktor kepercayaan dalam penyerahan hak milik secara

“kepercayaan” ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara bertimbal

balik oleh satu pihak kepada pihak lain, bahwa apa yang “keluar ditampakkan

sebagai pemindahan milik”, sebenarnya (ke dalam, intern) hanya sebagai

5
suatu “jaminan” saja untuk suatu hutang, kepercayaan debitor kepada kreditor

bahwa hak miliknya akan kembali setelah hutang-hutangnya dilunasi.8

Dalam upaya mengadakan jaminan fidusia penyerahan dilakukan secara

constitution possessorium akan suatu bentuk penyerahan dimana barang yang

diserahkan dibiarkan tetap berada dalam penguasaan pihak yang

menyerahkan, jadi yang diserahkan hanya hak miliknya saja. Penyerahan

demikian tidak dikenal dalam KUHPerdata, akan tetapi penyerahan

constitution possessorium itu dapat dilakukan secara sah karena pada

dasarnya para pihak bebas menjanjikan apa yang mereka kehendaki.9

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia mengatur bahwa:

(1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor


lainnya.
(2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi obyek Jaminan
Fidusia.
(3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena
adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.

Seperti jaminan kebendaan yang lain, jaminan fidusia lahir dari

terwujudnya perjanjian utang piutang yang diikuti dengan perjanjian secara

fidusia. Sifat perjanjian jaminan fidusia adalah accesoir karena menginduk

pada perjanjian utang piutang selaku perjanjian pokoknya. Berdasarkan

bentuknya, perjanjian fidusia lazimnya dituangkan dalam bentuk tertulis,

8
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut
Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 66.
9
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991,
hal. 170.

6
bahkan tidak jarang dituangkan dalam akta notaris dengan tujuan untuk

memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi kreditor.

Perjanjian fidusia dilakukan secara tertulis dengan tujuan agar kreditor

pemegang fidusia demi kepentingannya bisa menuntut dengan cara yang

paling mudah untuk membuktikan adanya penyerahan jaminannya tersebut

terhadap debitor. Hal paling penting lainnya dibuatnya perjanjian fidusia

secara tertulis adalah untuk mengantisipasi hal-hal diluar dugaan dan diluar

kekuasaan manusia seperti debitor meninggal dunia, sebelum kreditor

memperoleh haknya. Tanpa akta jaminan fidusia yang sah akan sulit bagi

kreditor untuk membuktikan hak-haknya terhadap ahli waris debitor.10

Dalam jaminan fidusia, berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor

42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, mengatur bahwa sertifikat jaminan

fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan hal

tersebut, maka berdasarkan titel eksekutorial, Penerima Fidusia dapat

langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek

jaminan fidusia tanpa melalui proses pengadilan seperti pada umumnya.

Dalam suatu perjanjian pemberian kredit harus terdapat persetujuan dari

pihak kreditur dan debitur, karena kedua belah pihak harus dapat

melaksanakan hak dan kewajiban mereka dengan baik sesuai yang

diperjanjikan. Dengan demikian adanya jaminan dapat mencegah

10
Tiong Oey Hoey, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2006, hal. 47.

7
kemungkinan apabila debitur beritikad buruk untuk tidak melunasi hutangnya

tersebut.

Permasalahan timbul ketika terbit Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang memutuskan bahwa keberlakuan Pasal 15

ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,

sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Hal ini sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang

tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan

menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka

segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat

Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan

eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Tidak hanya itu, terhadap frasa “cidera janji” sebagaimana diatur dalam

Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan frasa "cidera janji" tersebut

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa

"adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan

atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya

hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji". Dengan demikian, dap

at dipahami bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PU

8
U-XVII/2019, apabila debitur melakukan wanprestasi dan menolak untuk

menyerahkan objek jaminan fidusianya, maka kreditur sebagai pemegang

jaminan fidusia, tidak dapat segera melakukan eksekusi, tetapi harus melalui

mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini tentunya akan

mereduksi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia, yang mengatur sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan

eksekutorial.

Dalam penelitian yang berkaitan dengan jaminan fidusia, telah

dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, yaitu:

1. Wikan Triargono, mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

tahun 2017 dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur

Dengan Jaminan Fidusia”. Adapun permasalahan dalam penelitian tersebut

adalah:

a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditor dengan jaminan

fidusia pada PT. Bank Perkreditan Rakyat “Artha Agung” Yogyakarta?

b. Bagaimana upaya-upaya hukum yang dimiliki oleh kreditor setelah

debitor wanprestasi?

Hasil dalam penelitian tersebut adalah:

a. Perlindungan hukum terhadap kreditor dengan jaminan fidusia pada PT.

BPR “Arta Agung” Yogyakarta jika debitor wanprestasi, dengan UUJF

adalah diberikannya hak preferent atas piutangnya dan maka sesuai

9
ketentuan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Fidusia, maka hasil

pengalihan dan/atau tagihan yang timbul, demi hukum menjadi objek

jaminan fidusia pengganti dari objek jaminan fidusia yang dialihkan

tersebut. Dengan adanya pencantuman terhadap nilai barang atau benda

yang dijadikan objek jaminan fidusia adalah apabila benda yang

dijadikan objek jaminan fidusia tersebut tidak ada atau tidak tersedia

sesuai dengan yang dicantumkan dalam lampiran, maka pihak penerima

fidusia dalam hal ini kreditor dapat menuntut pihak pemberi fidusia

untuk memenuhi kewajibannya yaitu sejumlah nilai yang dijaminkan

tersebut sebagaimana diatur Pasal 6 UUJF.

b. Upaya-upaya hukum yang dimiliki oleh kreditor setelah debitor

wanprestasi, yang dilakukan pada PT. BPR Arta Agung adalah

penyelesaian sengketanya. Pertama-tama dilakukan dengan cara

memberikan peringatan berupa teguran, kemudian dilanjutkan dengan

memberikan surat peringatan kepada debitor, namun jika debitor tetap

tidak memenuhinya maka kreditor dapat melakukan tindakan

selanjutnya yaitu melalui non litigasi dan cara litigasi.11

2. Shinta Andriyani, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas

Diponegoro Semarang tahun 2007, dengan judul penelitian “Pelaksanaan

Eksekusi Jaminan Fidusia di Perum Pegadaian Kota Semarang (Study di

Pegadaian Cabang Mrican Dan Cabang Depok)”. Adapun permasalahan

dalam penelitian tersebut adalah:


11
Wikan Triargono, “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dengan Jaminan Fidusia”, Tesis
Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, 2017.

10
a. Bagaimana pelaksanaan eksekusi Jaminan fidusia berdasarkan Pasal 29

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 di Perum

Pegadaian Cabang Depok dan Cabang Mrican?

b. Bagaimana keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan oleh

Perum Pegadaian di Perum Pegadaian Cabang Depok dan Cabang

Mrican?

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa:

a. Eksekusi Jaminan Fidusia berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor : 42 Tahun 1999 di Perum Pegadaian

Cabang Depok dan Cabang Mrican Dalam hal debitur wanprestasi

maka pihak pegadaian tidak akan langsung melakukan eksekusi

terhadap obyek jaminan dari debitur. Disini langkah awal yang akan

ditempuh oleh pegadaian lebih ke upaya persuasif dan lebih

mengedepankan musyarawarah agar tetap terjalin hubungan baik

dengan nasabah. Praktek di lapangan membuktikan bahwa pelaksanaan

eksekusi jaminan fidusia yang di gunakan pihak pegadaian cenderung

melakukan penjualan di bawah tangan dengan berdasar pada

kesepakatan para pihak. Alasan ini untuk mencari pembeli yang tepat

dengan harapan agar diperoleh harga yang tinggi. Selain itu juga cara

ini dianggap tidak menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu.

Eksekusi Jaminan Fidusia atas dasar title eksekutorial maupun melalui

pelelangan umum akan memakan waktu yang lama dan biaya yang

cukup mahal. Eksekusi Jaminan Fidusia dengan cara penjualan dibawah

11
tangan lebih disukai oleh pihak pegadaian karena debitur bisa mencari

sendiri pembeli yang mau membeli barang jaminan berupa kendaraan

bermotor baik roda dua/empat dengan harga yang tinggi / dikehendaki

oleh pihak pegadaian. Dengan demikian akan memakan waktu yang

singkat dan biaya yang murah.

b. Keabsahan eksekusi di bawah tangan yang dilakukan oleh Perum

Pegadaian di Perum Pegadaian Cabang Depok dan Cabang Mrican.

Penjualan di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum yang sama

dengan eksekusi Jaminan Fidusia atas dasar title eksekutorial ataupun

melalui parate eksekusi, karena ketiga cara ini sudah diatur dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia dalam Pasal 29 mengenai eksekusi jaminan fidusia.

Apalagi dengan adanya akta pernyataan dan akta kuasa menjual, di

mana pemberi fidusia dapat menjual jaminan kendaraan bermotor

tersebut tanpa harus ada persetujuan lagi dari pemberi fidusia yang

bertujuan untuk pelunasan hutang.12

3. Maharani Oktora, mahasiswa Fakultas Hukum Program Magister

Kenotariatan Universitas Indonesia tahun 2012 dengan judul penelitian

“Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia Atas Obyek

Piutang di Bank X Jakarta”. Adapun permasalahan dalam penelitian

tersebut adalah:

a. Bagaimana proses penjaminan fidusia atas daftar piutang?


12
Shinta Andriyani, “Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia di Perum Pegadaian Kota
Semarang (Study di Pegadaian Cabang Mrican Dan Cabang Depok)”, Tesis Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang, 2007.

12
b. Bagaimana perlindungan hukum bagi bank selaku kreditur (penerima

fidusia) dalam hal debitur wanprestasi?

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa:

a. Proses penjaminan fidusia atas daftar piutang yang terjadi di Bank X

terbagi ke dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama, prosedur

pemberian fasilitas kredit kepada perusahaan pembiayaan

(multifinance) dengan jaminan fidusia berupa daftar piutang. Tahap

kedua, pelaksanaan pembebanan fidusia dengan jaminan kredit berupa

daftar piutang.

b. Perlindungan hukum bagi bank selaku kreditur (penerima fidusia)

diatur dalam pasal-pasal UUJF, yaitu Pasal 15 ayat (2), Pasal 17, Pasal

20, Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 27 dan Pasal 29 yang isinya

menegaskan bahwa adanya lembaga pendaftaran jaminan fidusia, yang

tidak lain adalah untuk menjamin kepentingan pihak yang menerima

fidusia; Adanya larangan pemberi fidusia untuk memfidusiakan ulang

obyek jaminan fidusia; Adanya ketentuan bahwa Pemberi Fidusia tidak

diperbolehkan untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan;

Adanya ketentuan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda jaminan,

kalau kreditur hendak melaksanakan eksekusi atas obyek jaminan

fidusia; Adanya ketentuan pidana dalam Undang-undang Jaminan

Fidusia.13

13
Maharani Oktora, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia Atas Obyek
Piutang di Bank X Jakarta”, Tesis Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas
Indonesia, 2012.

13
Berdasarkan 3 (tiga) penelitian sebelumnya, maka terdapat perbedaan

antara penelitian Penulis dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut

terlihat dari objek penelitiannya, yang pada penelitian Penulis terfokuskan

pada pembebanan jaminan fidusia setelah terbitnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, sedangkan pada penelitian

sebelumnya terfokuskan pada pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia,

dan jaminan fidusia atas obyek piutang serta perlindungan hukum bagi

kreditur dengan jaminan fidusia.

Berdasarkan uraian di atas, Penulis bermaksud melakukan penelitian

dengan judul TINJAUAN YURIDIS PEMBEBANAN DAN

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA LKBB MENURUT

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-

XVII/2019.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitia

n ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan pembebanan dan eksekusi jaminan fidusia di

Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia?

2. Bagaimana kepastian hukum bagi kreditur yang memegang jaminan

fidusia setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019?

14
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji pengaturan pemberian pembebanan dan eksekusi jaminan

fidusia di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia.

2. Untuk mengkaji kepastian hukum bagi kreditur yang memegang jaminan

fidusia setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-

XVII/2019.

Manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Secara teoretis adalah:

a. Hasil penelitian yang dituangkan dalam penelitian ini menjadi bahan

pemikiran lebih lanjut mengenai pembebanan jaminan fidusia pada

bank dan LKBB menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

18/PUU-XVII/2019.

b. Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat atau

praktisi hukum dan instansi terkait tentang kasus-kasus tentang

pembebanan jaminan fidusia, sehingga tercipta penyelesaian sengketa

yang baik.

2).Secara praktis adalah:

15
a. Bagi Penulis, yaitu sebagai sarana untuk mempertajam daya analisis,

menganalisis data secara ilmiah serta dapat mengaplikasikan teori yang

telah di dapat dibangku kuliah.

b. Bagi Pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini akan dapat

memberikan masukan untuk penyempurnaan pengaturan hukum tentang

jaminan fidusia.

1.4. Sistematika Penulisan

Penulisan ini menggunakan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi uraian mengenai Lembaga Pembiayaan, Jaminan Perjanjian

Kredit, Jaminan Fidusia, Kepastian Hukum.

BAB III METODE PENELITIAN

Berisi uraian mengenai Metode Penelitian, Jenis Penelitian,

Teknik Pengumpulan Data, Pendekatan, Analisa Hukum,

Hambatan dan Kendala.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Berisi analisis permasalahan terhadap pengaturan pemberian

pembebanan dan eksekusi jaminan fidusia di Indonesia

berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia, dan kepastian hukum bagi kreditur yang

16
memegang jaminan fidusia setelah terbitnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan dan saran.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

2.1.1 Kepastian Hukum

Salah satu tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum, yaitu

ketegasan penerapan hukum itu sendiri dimana hukum tersebut berlaku

terhadap semua orang tanpa pandang bulu. Kepastian hukum merupakan

syarat mutlak untuk terlaksananya supremasi hukum di dalam suatu negara

hukum. Suatu negara baru dinyatakan sebagai negara hukum apabila negara

tersebut menganut konsep supremasi hukum, adanya persamaan di muka

hukum, dan negara berlandaskan atas konstitusi. Supremasi hukum bermakna

bahwa semua permasalahan yang ada dikembalikan keadaan hukum itu

sendiri.14

Baik Hans Kelsen maupun John Austin berpendapat bahwa hukum

adalah perintah penguasa yang berdaulat dan bersifat memaksa dari otoritas

atau kekuasaan tertinggi di suatu negara. Hart meneruskan ide ini menjadi

aturan primer dan sekunder yang dipahami aturan dalam ranah-ranah yang

lebih luas dan lebih sempit atau aturan-aturan yang oleh Friedman

digambarkan sebagai aturan yang mengatur sebuah aturan dan sebagainya.15

Berdasarkan hal tersebut, maka pandangan positivis terhadap hukum

yang memberikan landasan kepada teori kepastian hukum dalam


14
Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia Publishing, 2011, hal. 33.
15
Ibid., hal. 41.

18
penerapannya, antara lain hukum dipahami sebagai perintah penguasa kepada

seluruh rakyat atau dengan kata lain bahwa hukum dipahami sebagai

seperangkat perintah; yang dibuat oleh penguasa tertinggi (negara); ditujukan

kepada warga masyarakat; hukum berlaku lokal (dalam yurisdiksi negara

pembuatnya); hukum harus dipisahkan dan moralitas; selalu tersedia sanksi

eksternal bagi pelanggar hukum. Oleh sebab itu, demi kepastian hukum,

sebuah kaidah atau norma yang diyakini dan diberlakukan secara tidak resmi

oleh sekelompok masyarakat menjadi tidak memiliki daya keberlakuan

karena dengan melalui formalisme norma sajalah sebuah aturan menjadi

memiliki daya jangkau dan keberlakuan yang valid.16

Gustaf Radbuch mengemukakan adanya tiga cita dalam hukum yaitu

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, Keadilan menuntut agar hukum

selalu mengedepankan keadilan, kemanfaatan menuntut agar hukum selalu

mengedepankan manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntut terutama

adanya peraturan hukum. Kepastian hukum dalam artian undang-undang

maupun suatu peraturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan

pasti oleh pemerintah. Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut

agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap

pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga.17

L.J. van Apeldoorn berpendapat, pengertian kepastian hukum adalah

kepastian suatu undang-undang. Namun kepastian hukum tidak menciptakan

keadilan oleh karena nilai pasti dalam undang-undang mewajibkan hal yang

16
Ibid., hal. 41.
17
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: Refika Aditama, 2004, hal. 21.

19
tentu, sedangkan kepentingan manusia/penduduk tidak pernah pasti. Misal:

undang-undang antar penduduk dibuat secara umum, yaitu memberi

peraturan-peraturan yang umum, walaupun alasannya tidak selalu tepat,

karena beranekawarnanya urusan-urusan manusia sangat tidak tentu, padahal

undang-undang harus menetapkan sesuatu yang tentu. Tidak sempurnanya

hukum, dalam praktik untuk sebagian tertampung, karena hakim pada

melakukan hukum dalam hal-hal yang nyata, dalam mentafsirkan peraturan-

peraturan, dapat mempergunakan tafsiran bebas untuk menghilangkan atau

mengurangkan ketidakadilan. Tetapi usaha itu mengurangi kepastian hukum

dan tak selamanya dapat dilakukan. Jadi hukum terpaksa harus

mengorbankan keadilan sekedarnya guna kepentingan daya guna, karena itu

ia terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan ada terdapat sejumlah besar

peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan keadilan,

melainkan semata-mata didasarkan pada kepentingan daya guna.18

Rochmat Soemitro berpendapat berbeda, kepastian hukum adalah

keadilan oleh karena kepastian hukum yang terwujud dalam undang-undang

sudah mengakomodasi nilai keadilan. Kepastian hukum merupakan certainty,

yakni tujuan setiap undang-undang. Dalam membuat undang-undang dan

peraturan-peraturan yang mengikat umum harus diusahakan supaya ketentuan

yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung

arti ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain.19

18
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan, Diterjemahkan Oleh: Oetarid
Sadino, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2009, hal. 14-15.
19
Rochmat Soemitro, Op.Cit., hal. 21—22.

20
Kepastian hukum banyak bergantung pada susunan kalimat, susunan

kata, dan penggunaan istilah yang sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan

tersebut penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan. Karena

bahasa hukum adalah juga bahasa Indonesia. Maka kepastian hukum juga

banyak bergantung kepada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan

benar. Penggunaan bahasa Indonesia tunduk kepada norma-norma bahasa

yang sudah baku. Dalam menyusun undang-undang yang baik perlu terlebih

dahulu dikuasai asas-asas hukum yang sudah diterima secara umum oleh

kalangan orang yang berprofesi hukum, seperti:

1. Lex specialis derogat lex generalis, adalah salah satu asas hukum yang

mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan

mengesampingkan aturan hukum yang umum.

2. Lex posterior derogat lex priori, adalah pada peraturan yang sederajat,

peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.

3. Pacta sunt servanda, adalah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap

perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang

melakukan perjanjian.

4. Lex loci contractus, adalah asas mengenai dimana suatu perjanjian

kontrak dibuat dan disepakati oleh pihak-pihak.

5. Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali, adalah tidak

mungkin dijatuhkan sanksi pidana jika sebelumnya tidak ada ketentuan

pidana yang diterapkan.

21
6. Asas Non diskriminasi, adalah asas untuk menghargai persamaan derajat

tidak membeda-bedakan, baik para pihak dalam pertempuran maupun

korban perang (termasuk tawanan perang), atas dasar agama, ras, etnis,

suku bangsa, warna kulit, status sosial, afiliasi atau ideologi, dan lain

sebagainya.

7. Domisili, sumber, kebangsaan adalah asas yang mendasarkan diri pada

kekuasaan negara terhadap warga negaranya.

8. Asas keajegan, adalah asas keteraturan yang tetap dan tidak berubah

sebagai hasil dari hubungan antara tindakan, nilai, dan norma sosial yang

berlangsung terus menerus.

9. Asas kontinuitas adalah asas yang menjamin keberlangsungan

berlakunya suatu keputusan walaupun pejabat yang menandatangani

berganti.

10. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

warga negara tanpa kecuali.20

Dalam kerangka teknik perundang-undangan, sejumlah masalah bidang

teori hukum yang relevan dapat dipelajari untuk kemudian

dioperasionalisasikan adalah kegunaan dan pentingnya kodifikasi hukum,

sifat khas dari bahasa hukum, ihwal menetapkan definisi-definisi serta

pengertian-pengertian dalam undang-undang sendiri, ihwal penggunaan fiksi-

fiksi dalam perundang-undangan, bangunan logikal dan perundang-undangan,

rasionalitas perundang-undangan, jalinan kaidah-kaidah hukum dengan


20
Ibid., hal. 34.

22
kaidah-kaidah teknikal, masalah berlimpahnya aturan-aturan perundang-

undangan, kemungkinan dan kegunaan berdasarkannya kepatuhan terhadap

perundang-undangan dapat lebih baik dijamin dan hukum, atau makna

ekonomi bagi pembentukan hukum, dan seterusnya.21

Tiap tata hukum mempresentasikan diri pertama-tama sebagai

kompleksitas pengaturan-pengaturan yang berlaku, penyelesaian-

penyelesaian yang diakui, serta ajaran-ajaran yang berpengaruh. Yuris

berupaya mencari pertautan pada apa yang sudah ada pada apa yang

sekurang-kurangnya sudah diindikasikan (dirumuskan) oleh undang-undang,

putusan lembaga peradilan (yurisprudensi) atau ilmu. Jangkauan (strekking)

dan sebuah tata hukum dapat dicari didalamnya, sehingga tuntutan-tuntutan

keberlakuan tertentu dapat ditempatkan di luar diskusi. Hukum itu, dengan

demikian primer dan dapat dipahami sebagai pranata yang menciptakan

kepastian hukum. Jadi, di dalam pengacuan pada hukum sebagai putusan

lembaga peradilan yang memiliki otoritas juga dapat ditemukan argumen-

argumen yang menampilkan ke muka “kehendak” pembentuk undang-

undang.22

Dengan dasar itulah, pemikiran Friedman mengenai pandangan Hart

tentang positivisme hukum mengenai aturan primer dan sekunder tadi melalui

pemahaman total terhadap aliran ini serta teknik perundang-undangan dan

ilmu hukum selalu memberikan uraian mengenai hukum itu, dapat berupa

ketentuan yang menggariskan suatu peristiwa hukum dan bukan hukum serta

21
Ibid., hal. 42.
22
Ibid., hal. 42.

23
bagaimana peristiwa hukum tadi dikuatkan melalui mekanisme hukum. Jadi,

kepastian hukum diperoleh oleh adanya sebuah pemikiran mengenai due

process the law, yang mengandung pengertian procedural due process and

substantive due process, yakni pemaknaan demikian mempedomani bahwa

kepastian hukum hanya dapat diperoleh manakala hukum bukan saja dapat

mengatur apa yang diperintahkan, apa yang diperbolehkan, serta apa yang

dilarang, tetapi juga bagaimana ketentuan hukum menegakkannya.23

Sederhananya, bahwa kepastian hukum menurut pandangan positivis

adalah setiap pernyataan preskriptif yang dapat dikualifikasi sebagai hukum

positif itu mesti dirumuskan dalam suatu kalimat yang menyatakan adanya

hubungan kausal yang logis-yuridis antara suatu peristiwa hukum atau

perbuatan hukum (judex factie) dengan akibat yang timbul sebagai

konsekuensi peristiwa itu (judex juris), yang terbentuk sebagai hasil

kesepakatan kontraktual oleh para hakim yang berkepentingan di ranah

publik, sebagaimana dirupakan dalam bentuk undang-undang.24

Demi kepastian hukum juga, setiap perubahan hukum dimungkinkan

untuk memenuhi harapan masyarakat untuk menghadapi apa yang dinamakan

ketidakberdayaan hukum dalam penerapannya dalam menyerasikan nilai-nilai

yang ada. Perubahan tersebut harus memberikan pemahaman baru terhadap

unsur-unsur yang dikehendaki oleh hukum tanpa menimbulkan prasangka

yang menentang hukum positif, kemudian harus ada proses internalisasi

pembuat peraturan dengan pengembala peraturan dan transformasi nilai

23
Ibid., hal. 43.
24
Ibid., hal. 44.

24
kepada masyarakat agar ada proses penjiwaan terhadap peraturan.

Selanjutnya, masyarakat harus mengakui adanya kewibawan hukum dan

wewenang atributif dan ketentuan tersebut untuk menegakkannya, agar setiap

proses perubahan hukum yang menjamin kepastian hukum tidak mengalami

retensi atau penolakan, yang akan memberikan harapan hari yang cerah

(enlightment). Di samping itu, antara kepastian hukum, keadilan, dan

kemanfaatan hukum sebenarnya interkoneksi atau interrelasi dengan

peraturan hukum, perubahan hukum, penegakan hukum, dan harapan

masyarakat akan bekerjanya hukum.25

Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa masyarakat mengharapkan

manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum itu untuk

manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi

manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena

hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di

dalam masyarakat itu sendiri.26

Hukum bukan hanya urusan (a bussiness of rules), tetapi juga perilaku

(matter of behavior). Perilaku masyarakat dalam mematuhi dan melaksanakan

hukum secara empirik berada dalam suatu budaya hukum yang korup dan

ekonomi biaya tinggi menambah carut marutnya penegakan hukum. Sebaik

apa pun aturan hukum yang dibuat, tidaklah menjamin akan dilaksanakan

oleh masyarakat, kecuali ada kesadaran hukum masyarakat dalam mematuhi

aturan-aturan tersebut.
25
Ibid., hal. 45.
26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986, hal.
161.

25
Kesadaran hukum masyarakat haruslah dibina dan ditata secara terus

menerus oleh penyelenggara negara yang profesional yang mempunyai

integritas yang teruji dan disiplin yang tinggi, sehingga antara kata dan

perbuatan terlaksana dengan baik, peningkatan kesadaran hukum masyarakat

akan dapat merubah budaya hukum masyarakat yang permisif terhadap

perilaku koruptif, menjadi perilaku (budaya) hukum yang menjunjung tinggi

hukum dan keadilan, kesadaran hukum masyarakat kiranya dapat menjamin

masyarakat mematuhi skema hukum yang dibuatnya, sehingga tidak

tergelincir dari skema hukum yang dibuatnya sendiri, kesadaran hukum

masyarakat banyak ditentukan dari perilaku penyelenggara negara, terutama

dari sektor penegakan hukum jaksa, hakim, polisi, dan advokat dan juga

pelayanan hukum, seperti bea dan cukai, imigrasi, pajak, badan pemerintahan

negara dan lain sebagainya.27

Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum Eropa

Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah adanya

perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian

kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan

(wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan.

Konsep negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial

(welfare state), kini juga bergerak ke arah dimuatnya ketentuan perlindungan

hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal

tersebut negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan

27
Soerjono Soekanto, Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia
Suatu Tinjuan Secara Sosiologis, Jakarta: UI Press, 1983, hal. 66.

26
memberikan keadilan sosial maka negara juga harus memberikan

perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam Pasal 28 I

ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum

yang Demokratis.28

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan negara hukum

memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan

hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah

kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang

luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif

dan legislatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral

baik dan bermoral yang teruji sehingga tidak mudah terjatuh di luar skema

yang diperuntukan baginya.

Doktrin mengenai rule of law29 merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari pembahasan konsep “negara hukum”. Istilah atau pengertian rule of law

paling sedikit dapat dipakai dalam dua arti, yaitu dalam arti formil dan

materiil (atau ideologis). Di dalam arti formil, maka rule of law dimaksudkan

sebagai kekuasaan publik yang terorganisir, yang berarti bahwa setiap sistem

kaidah-kaidah yang didasarkan pada hierarki perintah merupakan rule of law.

Dalam arti yang formil ini, maka rule of law mungkin menjadi alat yang

paling efektif dan efisien untuk menjalankan pemerintahan yang tiranis. Rule

of law dalam arti materiil atau ideologis mencakup ukuran-ukuran tentang


28
Konstitusi kita menganut konsep Negara Hukum yang Demokratis dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 28 I ayat (5) yang berbunyi: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. hasil perubahan
kedua.
29
Ibid., hal. 67.

27
hukum baik dan hukum yang buruk antara yang antara lain mencakup aspek-

aspek sebagai berikut:

1. Ketaatan dari segenap warga masyarakat terhadap kaidah-kaidah hukum

yang dibuat serta diterapkan oleh badan-badan legislatif, eksekutif dan

yudikatif.

2. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia.

3. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial

yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi manusia dan

penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia.

4. Terdapatnya tata-cara yang jelas dalam proses mendapatkan keadilan

terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa.

5. Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat

memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari

badan-badan eksekutif dan legislatif.

Aspek-aspek tersebut telah dituangkan ke dalam suatu perumusan yang

dihasilkan oleh kongres International Commision of Jurists pada tahun 1959

di New Delhi. Tegasnya tujuan rule of law dalam arti materiil adalah untuk

melindungi warga-warga masyarakat terhadap tindakan-tindakan penguasa

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia.30

Positivisme hukum sebagai cikal bakal kepastian hukum dikenal

sebagai suatu teori hukum yang menganggap bahwa pemisahan antara hukum

dan moral merupakan hal yang teramat penting. Positivisme membedakan


30
Fachmi, Op.Cit., hal. 23.

28
secara tajam antara “norma untuk apa diadakan menjadi sebuah standar

hukum yang sah” dengan “norma untuk apa diadakan menjadi sebuah standar

moral yang sah”. Jadi, ada perbedaan antara membuat sebuah norma menjadi

standar yang valid dengan membuat norma menjadi standar moral yang valid.

Kendati sebuah norma harus melawan kepentingan yang luhur bagi

kaum positivis, tetap berlaku, asalkan tetap dihasilkan oleh sebuah

formalisme hukum. Namun, tentunya tidak semua kaum positivisme

sepandangan dengan Kelsen yang memisahkan antara norma dengan moral

atau berpandangan bahwa tidak ada kaitan sebuah norma dengan moral.

Pandangan seperti demikian berlawanan dengan paham responsif yang lebih

mengkritisi bahwa sebuah norma apa jadinya apabila tanpa moral di

dalamnya, termasuk keadilan didalamnya.31

Bukankah penegakan hukum lebih dapat memberikan arti manakala

sebuah ketentuan undang-undang secara lengkap memberikan panduan

kepada setiap orang untuk mematuhi dan mempertahankannya? Selain

daripada itu, bukankah ketaatan terhadap hukum, termasuk undang-undang,

menurut Kelsen, lebih kepada ukuran yang ditetapkan oleh sebuah ide dasar

bagaimana setiap orang memandang sebuah undang-undang? Jadi, demi

kepastian hukum, sebuah undang-undang harus paripurna, agar tidak

disepelekan, baik oleh pengembala hukum maupun masyarakat hukum.32

Oleh sebab itu, dapat diakui sifatnya yang intersubjektif-objektif (objective-

intersubjective), netral alias tidak memihak, untuk kemudian difungsikan

31
Ibid., hal. 41.
32
Ibid., hal. 43.

29
sebagai sarana kontrol, yang pengelolaan pendayagunaannya dan

pengembangan doktrinnya dipercayakan kepada suatu kelompok khusus yang

profesional, yang disebut lawyer atau jurist.

Problematika antara kepastian hukum dan keadilan yang sering kali

dipermasalahkan adalah ketidaksinergian. Sebenarnya, kedua-duanya harus

mengalami pembaruan dan perubahan progresif melalui proses kreatif, karena

pelanggaran hukum dipicu oleh konflik antara masalah nilai-nilai peraturan

dengan nilai-nilai keadilan dan menurut pandangan ini, hukum harus menjadi

panglimanya sehingga persoalan antinomi, diskrepansi antara nilai-nilai

hanya dapat diserasikan melalui penegakan hukum yang berlandaskan hukum

yang ajeg dan nilai-nilai keadilan yang progresif, karena kepastian hukum dan

keadilan merupakan sekeping mata uang logam.

Satjipto Rahardjo memberikan pendapatnya tentang apa itu kriteria

kepastian hukum. Menurut ajaran hukum progresif “Hukum adalah suatu

institusi yang bertujuan mengantarkan manusia, yang secara ideal, kepada

kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.”33 Pernyataan

tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya memuncak pada tuntutan

bagi kehadiran hukum progresif. Pernyataan tersebut mengandung paham

mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta tujuannya. Hal tersebut sekaligus

merupakan ideal hukum yang menuntut untuk diwujudkan. Sebagai

konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terus-menerus

membangun dirinya menuju ideal tersebut. Inilah esensi hukum progresif.34


33
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009, hal. 2.
34
Ibid.

30
Satjipto Rahardjo menentang pendapat L.J. van Apeldoorn maupun

Rochmat Soemitro. Kepastian hukum bukan terletak pada pastinya suatu

undang-undang, namun kepatuhan masyakarat kepada undang-undang.

Demikian juga bahwa kepastian hukum bukan kristalisasi keadilan. Hukum

selalu dibicarakan dalam kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu,

kepastian hukum sudah menjadi primadona dalam wacana mengenai hukum.

Kepastian hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari

perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.35

Menurut Satjipto Rahardjo, ini merupakan beban berlebihan yang

diletakkan di pundak hukum. Lebih daripada itu, pemahaman dan keyakinan

yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk menyesatkan. Ini

karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi ideologi dalam hukum.

Maka pemahaman tentang kepastian seperti tersebut di atas tidak bisa

diterima. Opsi tersebut menempatkan hukum pada satu sudut (saja) dalam

jagat ketertiban yang luas sekali. Pemahaman tentang hukum yang demikian

itu berimbas pula pada pemahaman tentang kepastian hukum. Sejak posisi

hukum dalam jagat ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai

institut yang lain dalam masyarakat, maka kaitan antara hukum dan kepastian

hukum menjadi relatif.36

2.2. Kerangka Konseptual

2.2.1. Lembaga Pembiayaan

35
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2007, hal. 79.
36
Ibid.

31
2.2.1.1. Pengertian Lembaga Pembiayaan

Istilah lembaga pembiayaan mungkin belum sepopuler dengan istilah

lembaga keuangan dan lembaga perbankan. Belum akrabnya dengan

istilah ini bisa jadi karena dilihat dari eksistensinya lembaga pembiayaan

memang relatif masih baru jika dibandingkan dengan lembaga keuangan

konvensional, yaitu bank. Tidak seperti lembaga keuangan bank yang

sudah dikenal lama, lembaga pembiayaan ini baru tumbuh dan

berkembang seiring dengan adanya Paket Deregulasi Tahun 1988, yaitu

Paket Deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88) dan Paket Deregulasi 20

Desember 1988 (Pakdes 88).37

Meskipun lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan

bersama-sama dengan lembaga perbankan, namun dilihat dari padanan

istilah dan penekanan kegiatan usahanya antara lembaga pembiayaan dan

lembaga keuangan berbeda. Istilah lembaga pembiayaan merupakan

padanan dari istilah bahasa Inggris financing institution. Lembaga

pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih menekankan pada fungsi

pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal

dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.38

Adapun lembaga keuangan merupakan padanan dari istilah bahasa

Inggris financial institution. Sebagai badan usaha, lembaga keuangan

menjalankan usahanya di bidang jasa keuangan, baik penyediaan dana

untuk membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa

37
Sunaryo, Op.Cit., hal. 1.
38
Ibid., hal. 1.

32
keuangan bukan pembiayaan. Jadi, dalam kegiatan usahanya lembaga

keuangan lebih menekankan pada fungsi keuangan, yaitu jasa keuangan

pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan. Dengan demikian,

istilah lembaga pembiayaan lebih sempit pengertiannya dibandingkan

dengan istilah lembaga keuangan. Lembaga pembiayaan adalah bagian

dari lembaga keuangan.39

Kebijakan di bidang pengembangan kegiatan lembaga pembiayaan

diatur berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga

Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Menurut Pasal 1 angka (2) Keppres No. 61 Tahun 1988 jo. Pasal 1 huruf

(b) SK. Menkeu No. 1251/KMK.013/1988 yang dimaksud dengan

lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan

pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan

tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.40

Berdasarkan definisi di atas, dalam pengertian lembaga pembiayaan

terdapat unsur-unsur sebagai berikut.

a. Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan

untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga

pembiayaan.

39
Ibid., hal. 2.
40
Budi Rachmat, Multi Finance: Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen,
Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002, hal. 32.

33
b. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan

cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang

membutuhkan.

c. Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan uang untuk suatu

keperluan.

d. Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu

atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya.

e. Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking) artinya tidak

mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro, deposito,

tabungan, dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai

jaminan utang kepada bank yang menjadi kreditornya.

f. Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat,

yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.41

2.2.1.2. Peranan Lembaga Pembiayaan

Lembaga pembiayaan adalah salah satu bentuk usaha di bidang

lembaga keuangan bukan bank yang mempunyai peranan sangat penting

dalam pembiayaan. Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam

bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana

secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan,

dan surat sanggup bayar. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh

lembaga pembiayaan tersebut, lembaga pembiayaan mempunyai peran

41
Sunaryo, Op.Cit., hal. 2.

34
yang penting sebagai salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif

yang potensial untuk menunjang pertumbuhan perekonomian nasional.42

Dikatakan penting karena siapa pun orangnya baik pribadi ataupun

badan usaha tentu memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhannya.

Kebutuhan dana bagi sektor usaha, terlebih bagi usaha kecil masih sangat

dirasakan. Lembaga pembiayaan dikatakan sebagai sumber pembiayaan

alternatif karena di luar lembaga pembiayaan masih banyak lembaga

keuangan lain yang dapat memberi bantuan dana, seperti pegadaian, pasar

modal, bank, dan sebagainya. Meskipun demikian, dalam kenyataannya

tidak semua pelaku usaha dapat dengan mudah mengakses dana dan setiap

jenis sumber dana tersebut. Kesulitan memperoleh dana tersebut

disebabkan oleh masing-masing lembaga keuangan ini menerapkan

ketentuan yang tidak dengan mudah dapat dipenuhi oleh pihak yang

membutuhkan dana.43

Bank yang selama ini sudah dikenal luas oleh masyarakat ternyata

tidak mampu memenuhi berbagai keperluan dana yang dibutuhkan oleh

masyarakat. Kesulitan masyarakat mengakses dana dari bank ini

disebabkan antara lain jangkauan penyebaran kredit bank yang belum

merata, keharusan bank menerapkan prinsip prudent banking, keharusan

debitur untuk menyerahkan jaminan, dan terbatasnya kemampuan

permodalan bank sendiri. Mengingat banyaknya kendala untuk

memperoleh dana dari bank ini lembaga pembiayaan merupakan salah satu

42
Munir Fuady, Loc.Cit.
43
Ibid., hal. 21.

35
sumber dana alternatif yang penting dan potensial yang patut

dipertimbangkan. 44

Di samping berperan sebagai sumber dana alternatif, lembaga

pembiayaan juga mempunyai peranan penting dalam hal pembangunan,

yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk

berperan aktif dalam pembangunan. Aspirasi dan minat masyarakat dalam

pembangunan (ekonomi) ini bisa terwujud jika ada pihak yang

memfasilitasinya. Lembaga pembiayaan sebagai sumber pembiayaan dapat

memberikan kontribusinya dalam bentuk bantuan dana guna

menumbuhkan dan mewujudkan aspirasi dan minat masyarakat tersebut.

Dengan bantuan dana dari lembaga pembiayaan ini diharapkan masyarakat

(pelaku usaha) dapat mengatasi salah satu faktor krusial yang umum dia

alami, yaitu faktor permodalan.45

2.2.1.3. Bentuk Hukum Perusahaan Pembiayaan

Lembaga pembiayaan dalam menjalankan kegiatannya dilaksanakan

oleh perusahaan pembiayaan. Menurut Pasal 1 angka (5) Keppres No. 61

Tahun 1988 yang dimaksud dengan perusahaan pembiayaan adalah badan

usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus

didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha

lembaga pembiayaan. Perusahaan pembiayaan dimaksud, menurut Pasal 3

ayat (2) Keppres No. 61 Tahun 1988 berbentuk Perseroan Terbatas atau

44
Sunaryo, Op.Cit., hal. 3.
45
Ibid., hal. 4.

36
Koperasi. Dengan demikian, untuk dapat menjalankan usaha di bidang

pembiayaan maka perusahaan pembiayaan hams berbentuk badan hukum

baik berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi.

Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas, Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang

didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan

modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan

pelaksanaannya.

Berdasarkan definisi di atas ada lima unsur pokok, yaitu

a. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum;

b. didirikan berdasarkan perjanjian;

c. menjalankan usaha tertentu;

d. memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham;

e. memenuhi persyaratan undang-undang.46

2.2.1.4. Kedudukan Lembaga Pembiayaan Dalam Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam

ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan.

Sistem keuangan ini merupakan suatu jaringan pasar keuangan di mana

terdapat rumah tangga, badan usaha dan sektor pemerintah sebagai peserta

sekaligus pihak yang berwenang mengatur sistem keuangan tersebut.

Fungsi utama sistem keuangan adalah mentransfer dana dari pihak yang

46
Ibid., hal. 4

37
mengalami surplus dana kepada pihak-pihak yang mengalami kekurangan

dana (defisit unit), baik dan unit rumah tangga, badan usaha, maupun dan

pemerintah. Dalam perkembangannya, dewasa ini lembaga keuangan

menawarkan berbagai jenis jasa keuangan, seperti pemberian kredit,

mekanisme pembayaran, transfer dana, penyimpanan, penyertaan modal,

investasi dalam surat-surat berharga, program asuransi, dan program

pensiun.47

Secara garis besar, lembaga keuangan dapat diklasifikasikan menjadi

3 (tiga) kelompok besar, yaitu:

a. Lembaga Keuangan Bank

Lembaga keuangan bank (bank finance institution) adalah badan

usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan dengan

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau

bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan pengertian tentang bank tersebut dapat diketahui bahwa

bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan,

artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan.48

Lembaga Keuangan Bank ini diatur dalam Undang-Undang No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Undang-Undang No. 10 Tahun

1998 tentang Penyempurnaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, dan

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Peraturan

47
Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2012, hal. 16.
48
Sunaryo, Op.Cit., hal. 10.

38
Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum, Peraturan

Pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Syariah.

Dilihat dari fungsinya, bank dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu

Bank Indonesia, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank

Indonesia berfungsi sebagai Bank Sentral. Menurut Pasal 4 Undang-

Undang No. 23 Tahun 1999 Bank Indonesia juga mempunyai 3 (tiga)

macam status, yaitu sebagai Bank Sentral, lembaga negara independen,

dan badan hukum publik.49

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 10

Tahun 1998, Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang

dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Dengan demikian, Bank Umum berfungsi sebagai bank yang dapat

menjalankan segala jenis usaha di bidang jasa perbankan.

Dalam menjalankan usahanya. Baik Bank Umum maupun Bank

Perkreditan Rakyat menerapkan dua cara, yaitu:

a. Konvensional, artinya menjalankan usaha di bidang jasa perbankan

menurut cara yang lazim atau biasa, dengan memperoleh keuntungan

berupa bunga;

49
Ibid., hal. 10.

39
b. Prinsip syariah, artinya menjalankan usaha di bidang jasa perbankan

menurut aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam, dengan

memperoleh keuntungan bukan berupa bunga.50

Adapun menurut Pasal 1 angka (4) Undang-Undang No. 10

Tahun 1998 ditentukan, bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah bank

yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan demikian, Bank Perkreditan

Rakyat berfungsi sebagai bank yang menjalankan usaha di bidang jasa

perbankan tidak termasuk jasa lalu lintas pembayaran, terutama untuk

melayani usaha kecil dan rakyat pedesaan.51

b. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Dalam perkembangan sistem keuangan Indonesia pernah dikenal

suatu jenis lembaga keuangan yang disebut Lembaga Keuangan Bukan

Bank (Nonbank Financial Institution). Pendirian lembaga keuangan ini

didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan No. 792/MK/IV/12/70

tanggal 7 Desember 1970, yang kemudian diubah dan ditambah dengan

Keputusan Menteri Keuangan No. 38/MK/IV/I/72 tanggal 18 Januari

1972.52

Lembaga Keuangan Bukan Bank adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau

tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat


50
Ibid., hal. 10.
51
Ibid., hal. 10.
52
Ibid., hal. 11.

40
berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai

investasi perusahaan. Lembaga Keuangan Bukan Bank diatur dengan

undang-undang yang mengatur masing-masing bidang jasa keuangan

bukan bank. Bidang usaha yang termasuk Lembaga Keuangan Bukan

Bank adalah asuransi, pegadaian, dana pensiun, reksa dana, dan bursa

efek.53

Usaha perasuransian (insurance) di Indonesia diatur dengan

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Jenis

usaha perasuransian yang diatur dalam undang-undang tersebut dapat

digolongkan lagi menjadi:

1) Usaha asuransi, yang terdiri atas asuransi kerugian, asuransi jiwa,

asuransi sosial, dan reasuransi;

2) Usaha penunjang asuransi, terdiri atas pialang asuransi, pialang

reasuransi, penilai kerugian, konsultan aktuaria, dan agen asuransi.

Pegadaian merupakan salah satu bentuk lembaga perkreditan

dengan sistem gadai yang diperuntukkan bagi masyarakat luas

berpenghasilan rendah yang membutuhkan dana dalam waktu segera.

Usaha pegadaian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

1990 tentang Pengalihan Bentuk Perjan Pegadaian Menjadi Perum

Pegadaian. Kegiatan operasional Perum Pegadaian yang dilakukan saat

ini antara lain meliputi:

53
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2011, hal. 24.

41
1) Menyalurkan uang pinjaman kepada masyarakat berdasarkan hukum

gadai;

2) Menerima jasa taksiran bagi masyarakat yang ingin mengetahui

besarnya nilai nil barang miliknya;

3) Menerima jasa penitipan bagi masyarakat yang akan menitipkan

barang-barangnya;

4) Bekerja sama dengan pihak ketiga dalam memanfaatkan aset

perusahaan dalam bidang bisnis properti, seperti dalam

pembangunan gedung dengan sistem BOT (build, operate and

transfer);

5) Kredit pegawai, yaitu kredit yang diberikan kepada pegawai yang

berpenghasilan tetap.54

Dana pensiun (pension fund) pada prinsipnya merupakan salah

satu alternatif untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada

karyawan. Dasar hukum dana pensiun adalah Undang-Undang No. 11

Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Menurut undang-undang tersebut

yang dimaksud dengan dana pensiun adalah badan hukum yang

mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat

pensiun. Penyelenggaraan program pensiun ini dapat dilakukan oleh

pemberi kerja atau dengan menyerahkan kepada lembaga keuangan lain

yang menawarkan jasa pengelolaan program pensiun, misalnya bank

umum atau perusahaan asuransi jiwa.55

54
Ibid., hal. 24.
55
Sunaryo, Op.Cit., hal. 12.

42
Reksa dana (investment fund) diatur dalam Undang-Undang No. 8

Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Menurut undang-undang tersebut

yang dimaksud dengan reksa dana adalah wadah yang dipergunakan

untuk menghimpun dana dan masyarakat pemodal untuk selanjutnya

diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi.

Berdasarkan definisi tersebut terdapat tiga unsur penting dalam reksa

dana, yaitu adanya kumpulan dana masyarakat atau pool offund,

investasi dalam bentuk portofolio efek, dan manajer investasi sebagai

pengelola dana. Dana yang dikelola oleh manajer investasi adalah dana

milik investor.56

c. Lembaga Pembiayaan

Lembaga pembiayaan (financing institution) adalah badan usaha

yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana

atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari

masyarakat. Kegiatan lembaga pembiayaan diatur dengan Keppres No.

61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri

Keuangan No. 1251 Tahun 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Berdasarkan kedua peraturan

tersebut yang dapat melakukan kegiatan dalam lembaga pembiayaan

adalah bank, lembaga keuangan bukan bank, dan perusahaan

pembiayaan. Perusahaan-perusahaan pembiayaan ini harus berbentuk

badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi.57

56
Ibid., hal. 12.
57
Ibid., hal. 12.

43
Bidang-bidang usaha yang masuk dalam lingkup lembaga

pembiayaan adalah sebagai berikut.

1) Sewa guna usaha (leasing).

2) Modal ventura (venture capital).

3) Anjak piutang (factoring).

4) Usaha kartu kredit (credit card).

5) Pembiayaan konsumen (consumer finance),

6) Pembiayaan proyek (project finance).58

Sebagai perusahaan pembiayaan yang menjalankan kegiatan di

bidang lembaga pembiayaan menurut ketentuan dilarang:

1) Menghimpun dana dari masyarakat secara langsung dalam bentuk

giro, deposito dan tabungan;

2) Menerbitkan surat sanggup bayar (promissory notes), kecuali

sebagai jaminan atas utang pada bank yang menjadi kreditornya.

Surat sanggup tersebut tidak dapat dialihkan dan dikuasakan kepada

pihak manapun (non- negotiable);

3) Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.

Di samping larangan di atas, ada batasan lain bagi perusahaan

pembiayaan dalam menjalankan usahanya. Pembatasan kegiatan

tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.

606/KMK.017/1995 yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Perusahaan pembiayaan dalam melakukan pinjaman dari berbagai

sumber diatur sebagai berikut:


58
Ibid., hal. 13.

44
a) Perusahaan pembiayaan dapat menerima pinjaman baik dan

dalam maupun luar negeri.

b) Jumlah pinjaman maksimum 15 x jumlah modal sendiri setelah

dikurangi penyertaan.

c) Jumlah pinjaman luar negeri maksimum 5 x jumlah modal sendiri

setelah dikurangi penyertaan.

2) Perusahaan pembiayaan hanya dapat melakukan penyertaan pada

perusahaan di sektor keuangan dengan ketentuan:

a) Penyertaan pada setiap perusahaan maksimum 25% dan modal

disetor perusahaan yang disertainya.

b) Jumlah seluruh penyertaan modal maksimum 40% dan modal

sendiri perusahaan pembiayaan.

c) Perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan kepada Menteri

Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia tentang

laporan keuangan bulanan; laporan kegiatan usaha semesteran;

dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan

publik.

Penyampaian laporan keuangan bulanan selambat-lambatnya

tanggal 10 pada setiap bulan berikutnya. Laporan kegiatan usaha

semesteran disampaikan selambat-lambatnya satu bulan setelah periode

semesteran yang bersangkutan.59

59
Ibid., hal. 13.

45
2.2.2. Perjanjian Pembiayaan

2.2.2.1. Pengertian Pembiayaan

Pembiayaan konsumen dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah

consumer finance. Pembiayaan konsumen ini pada hakikatnya sama saja

dengan kredit konsumen (consumer credit). Bedanya hanya terletak pada

lembaga yang membiayainya. Pembiayaan konsumen biaya diberikan oleh

perusahaan pembiayaan (financing company), sedangkan kredit konsumen

biaya diberikan oleh bank.60

Unsur-unsur yang terdapat dalam pengerian pembiayaan konsumen

adalah:

a. Subjek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum

pembiayaan konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen

(kreditur), konsumen (debitur), dan penyedia barang (pemasok,

supplier).

b. Objek adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai

untuk keperluan hidup atau keperluan rumah tangga, misalnya televisi,

kulkas, mesin cuci, alat-alat dapur, perabot rumah tangga, kendaraan.

c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang diadakan

antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli

antara pemasok dan konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-

dokumen.

d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen

wajib membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen


60
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 96.

46
dan membayarnya secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib

membayar secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen,

dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen.

e. Jaminan, yaitu terdiri atas jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan

tambahan. Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen

(debitur) bahwa konsumen dapat dipercaya untuk membayar

angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara fidusia berupa

barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen dimana

semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan

pembiayaan konsumen (fiduciary transfer of ownership) sampai

angsuran terakhir dilunasi.61

Adapun jaminan tambahan berupa pengakuan utang (promissory

notes) dari konsumen. Berdasarkan defenisi dan unsur-unsur yang telah

diuraikan, dapat diidentifikasi karakteristik dari pembiayaan konsumen.

Karakteristik dari pembiayaan konsumen adalah sebagai berikut:

a. Sasaran pembiayaan jelas, yaitu konsumen yang membutuhkan barang-

barang konsumsi.

b. Objek pembiayaan berupa barang-barang untuk kebutuhan atau

konsumsi konsumen.

c. Besarnya pembiayaan yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan

konsumen kepada masing-masing konsumen relatif kecil.

61
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan
Pembiayaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 246.

47
d. Risiko pembiayaan relatif lebih aman karena pembiayaan tersebut

kepada banyak konsumen.

e. Pembayaran kembali oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan

konsumen dilakukan secara berkala/angsuran.62

Dasar hukum pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada

tahun 1988, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 61 Tahun 1988

tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan

Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan tersebut merupakan titik awal

sejarah perkembangan pengaturan pembiayaan konsumen sebagai lembaga

bisnis pembiayaan di Indonesia. Saat ini dasar hukum pembiayaan

konsumen di Indonesia diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 35 /POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan

Pembiayaan.

Transaksi pembiayaan konsumen dilakukan tidak hanya berdasarkan

kehendak para pihak saja, yaitu antara perusahaan pembiayaan konsumen

dan konsumen yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, tetapi juga diatur

oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang bersifat publik

administratif. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati berpendapat

bahwa pembiayaan konsumen sebagai salah satu bentuk bisnis pembiayaan

bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun

perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber hukum utama pembiayaan

62
Sunaryo, Op.Cit., hal. 97.

48
konsumen dari segi perdata, sedangkan perundang-undangan adalah

sumber hukum utama pembiayaan konsumen dari segi publik.63

2.2.2.2. Perjanjian Pembiayaan

Perjanjian pembiayaan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat

antara pemberi fasilitas dengan penerima fasilitas, dalam hal ini pemberi

fasilitas menyediakan dana untuk membeli barang dari penjual barang,

untuk digunakan oleh si penerima fasilitas, dan penerima fasilitas

berkewajiban untuk membayar pinjaman itu, baik berupa pokok dan

bunga, sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan oleh kedua belah

pihak.64

Di dalam praktek perjanjian konsumen umumnya dibuat dalam

bentuk perjanjian baku atau disebut juga perjanjian standar (standard

contract, standar segremeent). Menurut Purwahid Patrik perjanjian baku

adalah “suatu perjanjian yang di dalamnya terdapat syarat-syarat tertentu

yang dibuat oleh salah satu pihak”.65

J. Satrio merumuskan perjanjian standar sebagai “perjanjian tertulis,

yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang

mengandung syarat-syarat baku, yang oleh salah satu pihak kemudian

disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui”. 66 Ciri dari perjanjian

standar adalah adanya sifat uniform atau keseragaman dari syarat-syarat

63
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Op.Cit., hal. 214.
64
Salim HS, Hukum Kontrak Perjanjian, Pinjaman dan Hibah, Jakarta: Sinar Grafika, 2015,
hal. 47.
65
Purwahid Patrik, “Peranan Perjanjian Baku dalam Masyarakat”, Makalah dalam Seminar
Masalah Standar Kontrak dalam Perjanjian Kredit, Surabaya, 11 Desember 1993, hal. 1.
66
J. Satrio, “Beberapa Segi Hukum Standarisasi Perjanjian Kredit”, Seminar Masalah Standar
Kontrak dalam Perjanjian Kredit, Surabaya, 11 Desember 1993, hal. 1.

49
perjanjian untuk semua perjanjian untuk sifat yang sama. Perjanjian baku

(standard) ini dianggap mengikat setelah ada kesepakatan antara kedua

belah pihak dan masing-masing pihak menandatangani perjanjian tersebut.

Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen terdapat 3 (tiga) pihak

yaitu:

a. Pihak Perusahaan Pembiayaan

Pihak perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan

dana bagi kepentingan konsumen. Perusahaan pembiayaan konsumen

ini sesuai dengan Pasal 87 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

35 /POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan

Pembiayaan harus berbentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas

atau Koperasi. Dalam transaksi pembiayaan konsumen, perusahaan

pembiayaan konsumen berkedudukan sebagai kreditur, yaitu pihak

pemberi biaya kepada konsumen.67

b. Pihak Dealer/Supplier

Pihak dealer/supplier adalah penjual, yaitu pihak yang menjual

atau menyediakan barang yang dibutuhkan konsumen dalam rangka

pembiayaan konsumen. Barang-barang yang disediakan pemasok

adalah barang konsumsi. Pembayaran atas harga barang-barang yang

dibutuhkan konsumen tersebut dibiayai atau dilakukan oleh perusahaan

pembiayaan konsumen kepada pemasok.

c. Pihak Konsumen

67
Sunaryo, Op.Cit., hal. 10.

50
Pihak konsumen adalah pihak yang membeli barang yang

dananya disediakan oleh perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen

dapat berupa perseorangan maupun badan usaha. Dalam transaksi

pembiayaan konsumen, konsumen berkedudukan sebagai debitur, yaitu

pihak penerima dana dari perusahaan pembiayaan konsumen selaku

kreditur.

Hubungan para pihak dalam pembiayaan konsumen adalah:

a. Hubungan Pihak Kreditur dengan Konsumen

Terjadinya hubungan antara perusahaan pembiayaan konsumen

dan konsumen karena sebelumnya telah terlebih dahulu dilakukan

kontrak, yaitu kontrak pembiayaan konsumen. Atas dasar kontrak yang

sudah mereka tanda tangani, secara yuridis para pihak terikat akan hak

dan kewajiban masing-masing. Konsekuensi yuridis selanjutnya adalah

kontrak tersebut harus dilakukan dengan iktikad baik (in good faith)

dan tidak dibatalkan secara sepihak (unilateral unavoidable).68

Hubungan antara pihak kreditur dengan konsumen adalah

hubungan kontraktual dalam hal ini kontrak pembiayaan konsumen. Di

mana pihak pemberi biaya sebagai kreditur dan pihak penerima biaya

(konsumen) sebagai pihak debitur. Pihak pemberi biaya berkewajiban

utama untuk memberi sejumlah uang untuk pembelian sesuatu barang

konsumsi, sementara pihak penerima biaya (konsumen) berkewajiban

utama untuk membayar kembali uang tersebut secara cicilan kepada

pihak pemberi biaya.


68
Ibid., hal. 106.

51
Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan kontraktual antara

pihak penyedia dana dengan pihak konsumen adalah sejenis perjanjian

kredit. Sehingga ketentuanketentuan tentang perjanjian kredit dalam

(KUHPerdata) berlaku, sementara ketentuan perkreditan yang diatur

dalam peraturan perbankan secara yuridis formal tidak berlaku

berhubung pihak pemberi biaya bukan pihak bank sehingga tidak

tunduk kepada peraturan perbankan.69

b. Hubungan Pihak Konsumen dengan Supplier

Hubungan antara perusahaan pembiayaan konsumen dan pemasok

tidak ada hubungan kontraktual. Antara perusahaan pembiayaan

konsumen dan pemasok tidak ada hubungan hukum khusus, kecuali

hanya perusahaan pembiayaan konsumen sebagai pihak ketiga yang

disyaratkan. Maksud persyaratan tersebut adalah pembayaran atas

barang-barang yang dibeli konsumen dari pemasok akan dilakukan oleh

pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen.70

Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu

hubungan jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, di mana pihak

supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku

pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga

yaitu pihak pemberi biaya. Syarat tersebut mempunyai arti bahwa

apabila karena alasan apapun pihak pemberi biaya tidak dapat

69
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 166.
70
Sunaryo, Op.Cit., hal. 107.

52
menyediakan dananya, maka jual beli antara pihak supplier dengan

pihak konsumen sebagai pembeli akan batal.71

c. Hubungan Penyedia Dana dengan Supplier

Dalam hal ini antara pihak penyedia dana (pemberi biaya) dengan

pihak supplier (penyedia barang) tidak mempunyai sesuatu hubungan

hukum yang khusus, kecuali pihak penyedia dana hanya pihak ketiga

yang disyaratkan, yaitu disyaratkan untuk menyediakan dana untuk

digunakan dalam perjanjian jual beli antara pihak supplier dengan pihak

konsumen.72

2.2.3. Jaminan Fidusia

2.2.3.1. Pengertian Jaminan Fidusia

Fidusia berasal dari kata ’fiduciair’ yang berarti ’secara

kepercayaan’, ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara timbal

balik oleh suatu pihak kepada yang lain bahwa apa yang keluar

ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya ke dalam (intern)

hanya suatu jaminan saja untuk suatu utang.73 Pengertian ini mengandung

arti bahwa yang terjadi adalah hanya pengalihan kepemilikan atas benda

yang didasari oleh kepercayaan mengingat benda itu tidak diserahkan

kepada Kreditor melainkan tetap dipegang Debitor. Namun demikian


71
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 167.
72
Ibid.
73
A.Hamzah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia dan Penerapannya di Indonesia,
Jakarta: Indhill Co., 1987, hal. 11.

53
dengan adanya pengalihan ini, status benda itu hak miliknya adalah berada

di tangan Kreditor, bukan lagi ditangan Debitor meskipun Debitor

menguasai benda itu. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka posisi

benda menjadi benda dengan Jaminan Fidusia.

Fidusia merupakan lembaga jaminan yang sudah lama dikenal dalam

masyarakat Romawi yang berakar dari hukum kebiasaan, kemudian lahir

dalam yurisprudensi dan sekarang ini diformalkan dalam undang-undang.

Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang

eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil

law.74

Pada saat hukum Romawi diresepsi oleh hukum Belanda, lembaga

fidusia tidak turut diambil alih. Oleh karena itu, tidak mengherankan

bahwa fidusia sebagai lembaga jaminan tidak terdapat dalam Burgelijk

Wetboek (BW). Dengan berkembangnya gadai, lembaga fidusia yang

berasal dari Romawi ini tidak populer dan tidak digemari lagi hilang dari

lalu lintas perkreditan.75 Namun demikian setelah sekian lama praktek

Jaminan Fidusia tidak lagi digunakan, pada abad ke-19 di Eropa terjadi

kelesuan ekonomi akibat kemerosotan hasil panen, sehingga semua

perusahaan-perusahaan pertanian membutuhkan modal. Di sisi lain agar

petani dapat mengambil kreditnya pihak perbankan juga meminta jaminan

lain dalam bentuk gadai, akan tetapi para petani tidak dapat menyerahkan

barang-barangnya karena dibutuhkan untuk proses produksi pertanian,

74
Ibid., hal. 11.
75
Ibid., hal. 12.

54
disisi lain pihak bank juga tidak membutuhkan barang-barang tersebut

untuk diserahkan kepada pihak bank sebagai jaminan hutang.76

Konsekuensi dari statisnya sektor hukum perkreditan dan lembaga

jaminan tersebut melahirkan upaya-upaya untuk mencari jalan keluar dan

terobosan secara yuridis, maka di Belanda mulailah dihidupkan kembali

konstruksi hukum pengalihan hak kepemilikan secara kepercayaan atas

barang-barang bergerak sebagaimana telah dipraktekkan oleh masyarakat

Romawi yang dikenal dengan fiducia cum ceditore.

Pengakuan terhadap eksistensi Jaminan Fidusia bermula dari adanya

yurisprudensi melalui putusan pertamanya tentang fidusia dalam perkara

yang dikenal dengan nama Bier Brouwrij Arrest tanggal 25 Januari 1929

yang menyatakan bahwa Jaminan Fidusia tidak dimaksudkan untuk

menyelundupkan/menggagalkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh

undang-undang dengan secara tidak pantas.

Sistem hukum Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan

hukum Belanda karena adanya pertautan sejarah yang didasarkan kepada

asas konkordasi (concordantie beginsel).77 Seperti halnya di Belanda,

keberadaan fidusia di Indonesia juga diakui oleh yurisprudensi

berdasarkan keputusan Hooggerrecht (HGH) tanggal 18 Agustus 1932

dalam kasus sebagai berikut:

”Pedro Clignent meminjam uang dari Bataafsche Petroeum


Maatschapji (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil
76
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis), Jakarta: Rajawali
Pers, 2001, hal. 7.
77
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1982, hal. 198.

55
berdasarkan kepercayaan. Clignent tetap menguasai mobil itu atas
dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignent lalai
membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil BPM.
Ketika Clignent benar-benar tidak melunasi utang-utangnya pada
waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari
Clignent, namun ditolaknya dengan alasan perjanjian yang dibuat
tidak sah. Menurut Clignent perjanjian yang ada adalah gadai, tetapi
karena barang gadai dibiarkan tetap dalam kekuasaan Debitor maka
gadai tersebut menjadi tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2)
BW. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignent bukanlah
gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau
fidusia yang telah diakui oleh Hoggeraad dalam Bierbrouwerij
Arrest, Clignent diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada
BPM.”78

Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang

cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para

pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah

sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sudah diterima

bahwa penerima fidusia hanya sebagai pemegang jaminan saja.

Tidak hanya sampai disitu, perkembangan selanjutnya juga

menyangkut kedudukan Debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan

mengenai objek Jaminan Fidusia. Mengenai objek Jaminan Fidusia ini,

Hoogeraad Belanda maupun Mahkamah Agung Indonesia secara

konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan terhadap

barang-barang bergerak saja. Namun pada praktek kemudian orang juga

melakukan fidusia terhadap barang tidak bergerak, apalagi sejak

diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun

1960) perbedaan antara bergerak dengan tidak bergerak menjadi kabur

karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan

78
Ibid., hal. 198.

56
tanah dan bukan tanah.79 Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan

Fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan hak-hak atas

tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

Jaminan Fidusia sesuai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang

tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi

Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan tertentu yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap Kreditor

lainnya.

2.2.3.2. Objek Jaminan Fidusia

Menurut Pasal 1 angka 2 dan 4 yang dapat dijadikan objek Jaminan

Fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki, dan hak kepemilikannya

itu dapat dialihkan. Benda-benda dimaksud dapat berupa benda berwujud

maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak

maupun tidak bergerak. Khusus untuk benda tidak bergerak dikenai

persyaratan Benda-benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak

tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT yaitu hak tanggungan

yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan

79
Ibid., hal. 199.

57
perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda

tersebut wajib didaftar.80

Sedangkan untuk benda-benda bergerak, benda-benda tersebut tidak

dapat dibebani dengan gadai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1150

KUH Perdata. Selanjutnya Pasal 9 UUF menentukan dalam ayat (1) bahwa

Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis

benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan

maupun yang diperoleh kemudian.81

Tentang piutang (receivables) ini menurut Fred Tumbuan, Jaminan

Fidusia sebagaimana diatur dalam UUF telah menggantikan fidusia bentuk

lama (FEO) dari cessie jaminan atas piutang-piutang (zekerheidscessie van

schuldvorderingen/flduciairy assignment of receivables) yang dalam

praktek pemberian kredit banyak digunakan. Sedangkan tentang benda

yang diperoleh kemudian, ini berarti bahwa benda tersebut demi hukum

akan dibebani dengan Jammnan Fidusia pada saat benda dimaksud

menjadi milik pemberi Fidusia. Lebih jauh ayat (2) Pasal 9 tersebut

menetapkan bahwa pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang

diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu

dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Ini tidak lain oleh karena

sudah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda tersebut.82

80
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberikan Jaminan,
Jilid 2, Jakarta: Ind Hill-Co, 2009, hal. 70.
81
Ibid., hal. 70.
82
Ibid., hal. 71.

58
Dalam penjelasan atas Pasal 9 dinyatakan bahwa ketentuan dalam

Pasal ini dipandang dari segi komersial. Ketentuan yang secara tegas

membolehkan Jaminan Fidusia mencakup benda yang diperoleh di

kemudian hari menunjukkan bahwa undang-undang ini menjamin

fleksibilitas yang berkenaan dengan hal ihwal benda yang dapat dibebani

Jaminan Fidusia bagi pelunasan hutang.

Selain itu Pasal 10 UUF menyatakan bahwa Jaminan Fidusia

meliputi hasil dari benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia serta

meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia diasuransikan. Sementara itu menurut Pasal 25 ayat (2) UUF,

musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak

menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud di atas. Dengan

demikian dapat diartikan bahwa klaim asuransi tersebut akan

menggantikan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila benda

tersebut musnah. 83

Sehubungan dengan objek yang dijaminkan itu timbul pertanyaan,

siapakah yang bertanggung jawab atas semua akibat yang ditimbulkan dan

yang harus memikul semua risiko yang terjadi berkenaan dengan

pemakaian dan keadaan/ kondisi benda yang dijaminkan tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 24 UUF, Penerima Fidusia tidak

menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi

Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari

perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan


83
Ibid., hal. 71.

59
pengalihan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian

yang harus bertanggung jawab dan memikul semua risiko adalah Pemberi

Fidusia karena dialah yang tetap menguasai secara fisik, memakainya

bahkan merupakan pihak yang sepenuhnya memperoleh manfaat ekonomis

dari pemakaian benda yang bersangkutan.84

Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) menyatakan bahwa Pemberi Fidusia

dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia

dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.

Namun hal itu tidak berlaku jika telah terjadi cidera janji/wanprestasi oleh

debitur dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga (ayat 2). Benda yang

menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) wajib digantikan oleh Pemberi Fidusia dengan

objek yang setara (ayat 3). Sedangkan dalam hal Pemberi Fidusia cidera

janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena

pengalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), demi hukum menjadi

objek Jaminan Fidusia pengganti dari objek Jaminan Fidusia yang

dialihkan (ayat 4).

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa ketentuan Pasal 21

menegaskan kembali bahwa Pembeni Fidusia dapat mengalihkan benda

persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Namun demikian untuk

menjaga kepentingan Penerima Fidusia, maka benda yang dialihkan

tersebut wajib diganti dengan objek yang setara. 85 Yang dimaksud dengan
84
Ibid, hal. 73.
85
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia,
Bandung: Alumni, 2007, hal. 26.

60
“mengalihkan” antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam

rangka kegiatan usahanya. Yang dimaksud dengan “setara” tidak hanya

nilainya tetapi juga jemsnya. Yang dimaksud dengan “cidera janji” adalah

tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok,

perjanjian Jaminan Fidusia maupun perjanjian Jaminan lainnya.

Pembeli benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang merupakan

benda persediaan, menurut ketentuan Pasal 22 UUF bebas dari runtutan

meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia

itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga

penjualan benda tersebut sesuai dengan harga pasar.86 Dengan tidak

mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, menurut

Pasal 23 ayat (1), apabila Penerima Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia

dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur, atau mengalihkan

benda atau hasil dari benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, atau

menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang,

maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Peneriima Fidusia

melepaskan Jaminan Fidusia. Namun berdasarkan Pasal 23 ayat (2) ada

larangan bagi Pemberi Fidusia untuk mengalihkan, menggadaikan, atau

menyewakan kepada pihak lain benda persediaan, kecuali dengan

persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.87

86
Frieda Husni Hasbullah, Op.Cit., hal. 74.
87
Ibid., hal. 74.

61
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara alamiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Secara umum tujuan

penelitian ada tiga macam, yaitu yang bersifat penemuan, pembuktian, dan

pengembangan. Penemuan berarti data yang diperoleh dari penelitian itu

adalah data yang betul-betul baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.

62
Pembuktian berarti data yang diproleh itu digunakan untuk membuktikan

adanya keragu-raguan terhadap informasi atau pengetahuan tertentu.88

Pengembangan berarti memperdalam dan memperluas pengetahuan

yang ada. Melalui penelitian manusia dapat menggunakan hasilnya. Secara

umum data yang diperoleh dari penelitian dapat digunakan untuk memahami,

memecahkan dan mengantisipasi masalah. Memahami berarti memperjelas

suatu masalah atau informasi yang tidak diketahui dan selanjutnya menjadi

tahu. Memecahkan berarti meminimalkan atau menghilangkan masalah,

sedangkan mengantisipasi adalah mengupayakan agar masalah tidak terjadi.

Dari sisi keilmuan, hukum merupakan objek penyelidikan dan penelitian

berbagai disiplin keilmuan, sehingga dikatakan bahwa hukum adalah ilmu

bersama (rechts is mede wetenschap).89

Penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki diartikan sebagai

suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Selain itu masih menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum berfungs

i untuk mencari kebenaran koherensi, yaitu mendapatkan sesuatu yang secara

aksiologis merupakan nilai atau ketetapan/aturan sebagai referensi untuk ditel

aah.90

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum ialah suatu kegiatan

ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu,

88
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 1 Malang: Bayumedia
Publishing, 2005, hal. 33.
89
Ibid., hal. 33.
90
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2016, hal. 33.

63
yang mempunyai tujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu. Para sosiolog mengartikan hukum sebagai perilaku yang teratur dan

diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang bertujuan untuk mencapai

kedamaian dalam masyarakat.91

3.2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan penelitian hukum yuridis

normatif, penelitian yang memberi pemahaman terhadap permasalahan norma

yang dialami oleh ilmu hukum dogmatif dalam kegiatannya mendeskripsikan

norma hukum, merumuskan norma hukum (membentuk peraturan perundang-

undangan), dan menegakkan norma hukum (praktik yudisial), 92 sehingga

dapat diperoleh suatu gambaran mengenai permasalahan pembebanan dan

eksekusi jaminan fidusia pada LKBB menurut putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Terdapat dua jenis data dalam penelitian ilmiah, yaitu data primer dan

data sekunder. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan

data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data

sekunder mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut:

1) Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap (ready-made);

91
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, Jakarta: Universitas Indonesia
Pers, 2007, hal. 43.
92
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Huk
um, Jakarta: Prenada Media Group, 2016, hal. 84.

64
2) Bentuk dan isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti

terdahulu;

3) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan

tempat.

Data primer adalah data yang harus diperoleh peneliti melalui penelitian

langsung terhadap faktor-faktor yang menjadi latar belakang penelitiannya.

Oleh karenanya data primer seringkali menjadi data dasar penelitian hukum

empiris. Dalam metode pengumpulan data primer yang umum dipakai dalam

penelitian hukum normatif-empiris, dikenal tiga jenis, yaitu observasi, dimana

kegiatan peninjauan yang dilakukan di lokasi penelitian dengan pencatatan,

pemotretan, dan perekaman mengenai situasi dan kondisi serta peristiwa

hukum di lokasi. Kemudian wawancara, yaitu kegiatan pengumpulan data

primer yang bersumber langsung dari responden penelitian di lapangan, yang

akan memberikan peneliti informasi mengenai, antara lain, yaitu:

1) Pengetahuan, pengalaman, perasaan, perlakuan, tindakan, dan pendapat

responden mengenai gejala yang ada atau peristiwa hukum yang terjadi;

2) Subjek pelaku dan objek perbuatan dalam peristiwa hukum yang terjadi;

3) Proses terjadi dan berakhirnya suatu peristiwa hukum;

4) Solusi yang dilakukan oleh pihak-pihak, baik tanpa konflik, maupun dalam

hal terjadi konflik;

5) Akibat yang timbul dari peristiwa hukum yang terjadi.

65
Kemudian kuisioner, yaitu daftar pertanyaan yang disusun secara

tertulis berdasarkan proposal penelitian, digunakan untuk mengumpulkan

data primer langsung dari responden yang ditunjuk di lokasi penelitian.

Berdasarkan penguraian di atas, Penulis memutuskan menggunakan

metode pengumpulan data sekunder dengan pertimbangan data dapat

diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat dan dalam

keadaan siap (ready-made). Pada data sekunder yang dibagi menjadi 3 (tiga)

kelompok, yaitu:

1) Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang mempunyai

kekuatan yang mengikat, meliputi peraturan perundang-undangan, yakni:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang melengkapi

bahan hukum primer, yakni buku dan karya tulis dalam jurnal hukum.

3) Bahan Non Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus

hukum.

3.4. Pendekatan

Peter Mahmud Marzuki menguraikan pendekatan-pendekatan yang

digunakan di dalam penelitian hukum tersebut sebagai berikut:93

1) Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

93
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 93.

66
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang

dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini

akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah

konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-

undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar

atau antara regulasi dan undang-undang.

Dalam penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu mencari

ratio legis dan dasar ontologis lahirnya suatu undang-undang. Dengan

mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti

sebenarnya mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang

undang-undang itu sehingga peneliti akan dapat menyimpulkan mengenai

ada tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang

dihadapi.

2) Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Yang

menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau

reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu

putusan.

67
3) Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang

dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.

Telaah demikian diperlukan manakala peneliti memang ingin mengungkap

filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.

4) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan peraturan-

peraturan dan satu negara dengan negara lainnya mengenai hal yang sama.

Disamping undang-undang, putusan pengadilan dan negara lain juga dapat

diperbandingkan. Mengingat terdapat dua sistem hukum di dunia yaitu

civil law dan common law.

Kegunaan pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan

perbedaan di antara undang-undang yang diperbandingkan. Hal ini untuk

menjawab mengenai isu antara ketentuan undang-undang dengan filosofi

yang melahirkan undang-undang tersebut. Namun, pendekatan

perbandingan harus dilakukan terhadap dua hal yang sejajar (comparing

apple to apple), yaitu peraturan atau regulasi pada tingkat yang sama.

5) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari gagasan atau teori yang ideal

yang kemudian berkembang menjadi tesis atau antitesis sehingga menjadi

doktrin. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di

dalam ilmu hukum tersebut, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan

asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

68
Pendekatan hukum di dalam penelitian hukum merupakan instrumen

bagi peneliti untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu

yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.94 Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach).

Dalam metode pendekatan perundang-undangan, pemahaman akan hierarki

dari perundang-undangan adalah penting mengingat hierarki menunjukkan

suatu struktur dan pada struktur tersebut, masing-masing bagian dalam

struktur terdapat kedudukannya masing-masing, sehingga dengan memahami

hierarki dari suatu perundang-undangan maka akan terlihat kedudukan dari

peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang Penulis fokuskan

dalam penelitian ini adalah segala peraturan yang disebutkan dalam Bahan Hu

kum Primer. Penulis fokus kepada peraturan perundang-undangan tersebut

guna dapat memahami substansi yang mendasari serta latar belakang

perundangan yang berkaitan dalam rangka pembebanan dan eksekusi

jaminan fidusia pada LKBB menurut putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019.

3.5. Analisa Hukum

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penalaran deduktif untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah dan

ditarik kesimpulan, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang

94
Ibid., hal. 93.

69
bersifat khusus untuk menggambarkan mengenai pembebanan dan eksekusi

jaminan fidusia pada LKBB menurut putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 18/PUU-XVII/2019.

3.6. Hambatan dan Kendala

3.6.1. Hambatan dan Kendala dalam Penelitian

Hambatan dan kendala dalam penelitian ini adalah terkait dengan data

sekunder, yaitu penelitian ini dibuat pada saat wabah Covid 19 melanda

Indonesia, khususnya Jakarta. Hal tersebut menjadi kendala dikarenakan

Penulis menjadi sangat terbatas untuk pengumpulan bahan pustaka dan juga

bimbingan dengan dosen pembimbing secara tatap muka.

3.6.2. Penanggulangan Hambatan

Dalam upaya menanggulangi hambatan di atas, maka Penulis

mengumpulkan bahan pustaka dengan menggunakan jasa ekspedisi, dan

berkaitan dengan bimbingan tesis, dilakukan melalui telephone.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

4.1 Pengaturan Tentang Pembebanan dan Eksekusi Jaminan Fidusia di

Indonesia Menurut Peraturan Undang-Undang yang Berlaku

4.1.1 Jaminan Fidusia di Indonesia

70
KUHPerdata sebagai terjemahan dari burgerlijk wetboek

merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diperlakukan pada

tahun 1984 berdasarkan Asas konkordansi. Ketentuan hukum jaminan

dapat dijumpai dalam buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai

hukum kebendaan. Ditilik dari sistematika KUHPerdata pada prinsipnya

hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan. Dalam buku II

KUHPerdata diatur mengenai pengertian, cara membedakan benda - benda

dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.95

4.1.2 Terjadinya Jaminan Fidusia

Hak jaminan Fidusia dapat terjadi melalul proses atau tahap-tahap

sebagai berikut:96

a. Antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia dilakukan janji untuk

serah terima benda sebagai Jaminan Fidusia yang dicantumkan dalam

perjanjian pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok. Janji di

sini masih bersifat konsensual obligatoir oleh karena itu masih

merupakan hak perorangan (persoonlijkrecht).

b. Kemudian dilakukan perjanjian pembebanan/pemberian Jaminan

Fidusia. Pembebanan benda dengan jaminan Fidusia dibuat dengan

Akta Notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan

Fidusia (Pasal 5 ayat 1). Dalam Akta Jaminan Fidusia selain

dicantumkan hari dan tanggal juga dicantumkan mengenai waktu (jam)

pembuatan akta tersebut.


95
Ibid, hal.35.
96
R. Soebekti, Op.Cit., hal. 43.

71
c. Sebagai tahap terakhir dilakukan Pendaftaran benda yang dibebani

dengan Jaminan Fidusia yang dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia

(Pasal 11 dan Pasal 12). Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian mencatat

Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia (Pasal 13 ayat 3). Dengan

dicatatnya jaminan Fidusia dalana Buku Daftar Fidusia, maka sejak

tanggal itu pula Jaminan Fidusia lahir (Pasal 14 ayat 3).

4.1.3 Ciri-Ciri dan Sifat-Sifat Jaminan Fidusia

Ciri-ciri dan sifat-sifat jaminan fidusia adalah:

a. Jaminan Kebendaan (Zakelijkezekerheid/security right in rem)

Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, namun jika dikaitkan

dengan hak yang didahulukan/diutamakan yang dimiliki Penerima

Fidusia terhadap kreditur lainnya (Pasal 1 angka 2 UUF) serta adanya

ketentuan bahwa benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib

didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 11 dan 12 UUF)

maka dengan sendirinya melekat di dalamnya unsur kebendaan karena

melalui pendaftaran berarti ada pemberitahuan kepada umum (asas

publisitas) yang mengisyaratkan bahwa Jaminan Fidusia adalah jaminan

kebendaan. Demikian juga berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUF yang

mengisyaratkan adanya sifat droit de suite, yaitu tetap mengikuti benda

yang dijaminkan di tangan siapapun benda tersebut berada.97

b. Accessoir

97
Ibid., hal. 75.

72
Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok

yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu

prestasi (Pasal 4 UUF). Akibatnya menurut Pasal 25 ayat (1) a, Jaminan

Fidusia hapus demi hukum bilamana utang yang dijamin dengan

jaminan Fidusia hapus.98

c. Droit de Suite

Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia

dinyatakan Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun berada, kecuali keberadaannya

pada tangan pihak ketiga berdasarkan pengalihan hak atas piutang atau

cessie berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata. Dengan demikian, hak atas

Jaminan Fidusia merupakan hak kebendaan mutlak atau in rem bukan

hak in personam.99

98
Ibid., hal. 75.
99
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2002, hal. 18.

73
d. Droit de Preference

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Penerima Fidusia mempunyai

kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur lainnya. Kemudian

menurut Pasal 27 ayat (1), Penerima Fidusia memiiki hak yang

didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak yang didahulukan tersebut

adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya

atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia (ayat 2).

Menurut Penjelasan atas ayat (1), hak yang didahulukan dihitung

sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kemudian hak yang didahulukan dan

Peneruna Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau

likuidasi

Pemberi Fidusia (ayat 3). Ketentuan dalam ayat ini menurut

Penjelasannya berhubungan dengan ketentuan bahwa Jaminan Fidusia

merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Di

samping itu ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan

menentukan bahwa benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berada

di luar kepailitan dan atau likuidasi. Dengan demikian apabila Pemberi

Fidusia jatuh pailit, maka hak yang didahulukan dan Penerima Fidusia

tidak hapus karena benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak

termasuk dalam harta pailit Pemberi Fidusia. Hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:

74
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan
atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan.”

Sebaliknya jika Penerima Fidusia dinyatakan pailit, apakah benda

yang dijadikan objek Jaminan Fidusia yang hak kemilikannya telah

beralih ke tangan Penerima Fidusia juga termasuk dalam harta pailit?

Untuk itu ketentuan Pasal 33 UUF menyatakan dengan tegas bahwa,

setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk

memiiki benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitur

cidera janji, batal demi hukum. Ketentuan ini adalah tiada lain untuk

melindungi Pemberi Fidusi terutama dalam hal nilai objek jaminan

fidusia melebihi besarnya utang Pemberi Fidusia kepada Penerima

Fidusia. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam lembagai gadai (Pasal

1154 KUHPerdata) dan lembaga Hak Tanggungan Pasal 12 UUHT).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

objek Jaminan Fidusia tidak menjadi bagian harta pailit Penerima

Fidusia, oleh karena hak milik atas benda yang dijaminkan itu hanyalah

merupakan hak milik sementara/terbatas dari Penerima Fidusia dan hak

kemilikan yang diperolehnya itu semata-mata hanyalah sebagai jaminan

pelunasan hutang oleh Pemberi Fidusia (Debitur).

Selanjutnya ketentuan Pasal 28 menyebutkan bahwa apabila atas

benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu)

perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana

75
dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu

mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.100

e. Constitutum Possessorium

Dalam jaminan Fidusia terjadi suatu pengalihan hak milik atas

suatu benda atas dasar kepercayaan namun benda yang hak

kemilikannya dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan Pemberi

Fidusia. Pengalihan hak kemiikan atas benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia tersebut dilakukan dengan cara constitution

possessorium artinya pengalihan hak milik atas suatu benda dengan

melanjutkan penguasaan atas benda yang bersangkutan.

Di sini Pemberi Fidusia akan menguasai benda tersebut untuk

kepentingannya sendiri misalnya untuk melanjutkan suatu usaha

maupun untuk kepentingan Penerima Fidusia yaitu sebagai jaminan

pelunasan utang jika si Pemberi Fidusia sudah memiliki cukup dana

untuk melunasi utangnya. Dengan demikian inti atau hakekat Jaminan

Fidusia adalah pengalihan hak kemilikan atas suatu benda secara

constitutum possessorium.101

f. Jaminan Pelunasan Hutang

Pasal 1 angka 2 menyatakan dengan tegas bahwaJaminan Fidusia

atas suatu benda adalah sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu.

Sedangkan angka 7 Pasal tersebut menyatakan bahwa utang adalah

kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang

100
Frieda Husni Hasbullah, Op.Cit., hal. 77.
101
Ibid., hal. 78.

76
baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara

langsung maupun kontinjen yaitu utang yang akan timbul dikemudian

hari. Selanjutnya Pasal 7 mengatur lebih lanjut utang yang

pelunasannya dapat dijamin dengan Jaminan Fidusia, yaitu berupa:

1) Utang yang telah ada

2) Utang yang akan timbul ikemudian han yang telah diperjanjikan

dalam junilah tertentu, atau

3) Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya

berdasarkan peijanjian pokok yang menimbulkan kewajiban

memenuhi suatu prestasi.102

g. Asas Publisitas

Menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1), benda yang dibebani dengan

jaminan Fidusia wajib didaftarkan. Dalam Penjelasannya dinyatakan

bahwa pendaftaran benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia

dilaksanakan di tempat kedudukan Pemben Fidusia, dan pendaftarannya

mencakup benda baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah

negara Republik Indonesia untuk memenuhi publisitas sekaligus

merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai

benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia.

Kemudian Pasal 13 ayat (1) menyatakan permohonan pendaftaran

Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penenima Fidusia, kuasa atau wakilnya

dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaininan Fidusia.

102
Ibid., hal. 78.

77
Pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut dilakukan pada Kantor

Pendaftaran Fidusia (KPF) (Pasal 12 ayat (1)).

Setelah itu KPF mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar

Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran (Pasal 13 ayat 3). Maksud dilakukannya

pendaftaran kemudian pencatatan dalam Buku Daftar Fidusia

mengisyaratbn agar pihak ketiga atau masyarakat/publik dapat

mengetahui bahwa suatu benda telah dijadikan jaminan Fidusia

(openbaarheid). Hal ini ditekankan dalam Pasal 18 UUF bahwa segala

keterangan mengenai benda yang menjadi objek Jammnan Fidusia yang

ada pada KPF terbuka untuk umum.103

h. Asas Spesialitas

Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia menurut Pasal 5 ayat

(1) dibuat dengan Akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan

Akta Jaminan Fidusia. Dalam Akta Jaminan Fidusia menurut

Penjelasannya selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan

mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut.

Akta Jaminan Fidusia menurut Pasal 6 UUF sekurang-kurangnya

memuat:

1) Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia.

2) Data Perjanjian pokok yang dijamin Fidusia.

3) Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

4) Nilai penjaminan.
103
Ibid., hal. 79.

78
5) Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Kemudian Pasal 11 ayat (1) mewajibkan benda yang dibebani

dengan Jaminan Fidusia didaftarkan. Pernyataan pendaftaran ter-sebut

berarti bentuk perjanjianJaminan Fidusia harus tertulis.104

i. Dapat diberikan kepada lebih dari seorang Penerima Fidusia (kreditur)

Sebagai jaminan pelunasan utang, menurut Pasal 8, Jaminan

Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau

kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut. Sudah tentu asalkan

diberikan pada saat yang sama. Dalam Penjelasannya dinyatakan

maksud ketentuan Pasal 8 adalah diberikan oleh Pemberi Fidusia

kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam rangka pembiayaan

kredit konsorsium. Sebagai contoh adalah dalam rangka pinjaman

sindikasi (syndicated Loan). Dimungkinkannya Jaminan Fidusia

diberikan kepada lebih dari seorang Penerima Fidusia juga dapat

disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka (2) yang antara lain

menyebutkan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

Penerima Fidusia terhadap kreditur-kreditur lainnya.105

4.1.4 Pembebanan Jaminan Fidusia

Pembebanan atau pengikatan jaminan Fidusia melalui beberapa

tahapan sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang dimaksud dengan

104
Ibid., hal. 80.
105
Ibid., hal. 81.

79
tahapan- tahapan pengikatan atau pembebanan Fidusia adalah rangkaian

perbuatan hukum dari dibuatnya perjanjian pokok yang berupa perjanjian

kredit atau perjanjian utang, pembuatan akta jaminan Fidusia sampai

dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia sampai mendapatkan

Sertifikat Jaminan Fidusia.

4.1.5 Tidak boleh ada Fidusia Ulang (Ganda)

Larangan diadakannya Fidusia ulang ditegaskan dalam. Pasal 17

yaitu bahwa Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap

benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Tidak

dimungkinkannya Fidusia ulang atas benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia oleh pemberi Fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak ketiga

adalah oleh karena hak milik atas benda tersebut telah beralih kepada

Penerima Fidusia. Dengan demikian karena bukan lagi merupakan

pemiliknya, maka Pemberi Fidusia tidak berhak membebankan Jaminan

Fidusia yang kedua atas benda yang bersangkutan.

Jika dikaitkan dengan Pasal 28, maka apa yang ditegaskan dalam

Pasal 17 berikut Penjelasannya menimbulkan suatu tanda tanya sebab

Pasal 28 tersebut menyatakan

“Apabila atas benda yang sama menjadi objek Jaminan Fdusia lebih
dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang
lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia”.

Sehubungan dengan itu bukankah benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia yang sudah didaftar berdasarkan ketentuan Pasal 17 tidak

80
dapat difidusiakan kembali. Sedangkan hak mendahulu bagi kreditur

preferen baru timbul jika ada lebih dari satu kreditur Pemegang Fidusia

yang memperoleh bagiannya dari hasil penjualan benda yang dijadikan

jaminan dalam hal terjadi eksekusi. Padahal waktu terjadi eksekusi

berdasarkan Pasal 17 tidak mungkin ada kreditur Pemegang Fidusia yang

kedua karena pasti tidak diizinkan atau ditolak oleh Kantor Pendaftaran

Fidusia.106

4.1.6 Parate Eksekusi (Eigenmachtige Verkoop)

Salah satu ciri Jaminan Fidusia adalah kemudahan dalam

pelaksanaan eksekusinya yaitu apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji.

Oleh karena itu, dalam UUF dipandang perlu diatur secara khusus tentang

eksekusi Jaminan Fidusia melalui lembaga parate eksekusi. Apabila

debitur cidera janji menurut Pasal 15 ayat (3), Penerima Fidusia

mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

atas kekuasaannya sendiri. Kemudian menurut Pasal 19 ayat (1) b,

penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

Penerima Fidusia sendiri dilakukan melalui pelelangan umum serta

mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan benda yang

bersangkutan.107

4.1.7 Pendaftaran Jaminan Fidusia

106
Ibid., hal. 82.
107
Ibid.

81
Aturan baru yang sangat penting dalam Undang-Undang Fidusia

adalah mengenai pendaftaran Jaminan Fidusia. Dulu sebelum berlakunya

UUF, dalam FEO tidak dikenal ketentuan tentang pendaftaran Jaminan

Fidusia. Oleh karena itu dalam prakteknya menimbulkan kelemahan, yaitu

tidak adanya kepastian hukum demikian juga bagi kreditur khususnya dan

pihak ketiga serta masyarakat pada umumnya tidak ada perlindungan

hukum karena benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tetap berada

dalam kekuasaan debitur selaku pemberi Fidusia.108

Setelah berlakunya UUF, maka kewajiban mendaftarkan benda yang

dibebani dengan Jaminan Fidusia dituangkan dalam Pasal 11 ayat (1) dan

dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia/ KPF (Pasal 12 ayat 2).

Kewajiban ini juga berlaku dalam hal benda tersebut berada di luar

wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 11 ayat 2).

Permohonan pendaftarannya dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa

atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan

Fidusia (Pasal 13 ayat 1). Setelah itu Kantor Pendaftaran Tanah mencatat

Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama

dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (Pasal 13 ayat 3).

Selanjutnya KPF menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang di

dalamnya tercantum kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa” pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan

permohonan pendaftaran (Pasal 14 ayat 1). Sertifikat tersebut kemudian

diserahkan kepada Penerima Fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia yang


108
Eddy P. Soekandi, Mekanisme Leasing, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000, hal. 39.

82
merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia memuat catatan tentang hal-

hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), yaitu:

a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia.

b. Tanggal, nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan

notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia.

c. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia.

d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

e. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.109

Berbeda dengan Fidusia dalam FEO (Fiduciare Eigendom

Overdracht)  dan cessie jaminan yang pada dasarnya lahirnya Fidusia

adalah pada waktu perjanjian dibuat antara debitur dan kreditur, maka

lahirnya jaminan Fidusia menurut UUF adalah pada tanggal Jaminan

Fidusia dicatat dalam Buku Daftar Fidusia (Pasal 14 ayat 3). Sertifikat

Jaminan Fidusia yang diterbitkan pada tanggal yang sama dengan tanggal

penerimaan permohonan pendaftaran, merupakan bukti bagi Penerima

Fidusia (Kreditur) bahwa ia merupakan Pemegang Jaminan Fidusia (Pasal

14 ayat 1). Hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 28 bahwa apabila atas

benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu)

perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan diberikan kepada

pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran

Fidusia.110

109
Frieda Husni Hasbullah, Op.Cit., hal. 83.
110
Ibid. hal.55.

83
Kemudian dulu sebelum berlakunya UUF, pada umumnya objek

jaminan Fidusia adalah benda-benda bergerak yang tidak terdaftar,

sehingga tidak jelas siapa pemilik sesungguhnya. Bahkan dengan adanya

ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata, maka barang siapa yang

menguasai benda bergerak, ia dianggap sebagai pemiliknya sesuai dengan

asas yang terkandung didalamnya “bezit atas benda bergerak berlaku

sebagai alas hak yang sempurna” (bezit geldt als volkomen titel).

Ketentuan pasal ini di samping ada keuntungannya misalnya orang

tidak perlu repot-repot mencari alat bukti apakah yang menguasainya

merupakan pemilik sebenarya atau tidak, tapi juga banyak menimbulkan

kerugian karena si pemegang benda yang bersangkutan belum tentu adalah

pemilik sejatinya. Dapat saja terjadi benda tersebut merupakan hasil

curian, hal ini memungkinkan pemegangnya mengalihkan benda itu tanpa

sepengetahuan dan tanpa ada perlindungan bagi pemilik sejatinya.111

Memang berdasarkan Legitimatie Theory dari P. Sholten, bezit

tidaklah sama dengan eigendom tetapi siapa saja yang dengan jujur

menguasai benda bergerak maka ia dilindungi (aman). Tetapi

sesungguhnya yang dilindungi di sini bukanlah pemilik sejati melainkan

adalah pihak ketiga. Namun demikian, ketentuan Pasal 1977 ayat (1)

KUHPerdata tidak disinggung dalam UUF berarti masih dimungkinkan

perlindungan bagi pihak-pihak yang menguasai benda-benda bergerak

yang tidak terdaftar. Oleh karena itu dengan adanya pendaftaran Jaminan

Fidusia dalam UUF, walaupun masih dapat diterobos oleh pihak yang
111
Ibid. hal.56.

84
menguasai secara fisik bendanya sehubungan tidak tertampungnya Pasal

1977 ayat (1) tersebut dalam UUF, namun setidak-tidaknya ada kewajiban

untuk mendaftarkan benda-benda bergerak di samping benda tidak

bergerak yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Hal ini akan menjamin

suatu kepastian hukum di samping akan memberi rasa aman dan

perlindungan hukum baik bagi kreditur Penerima Fidusia maupun bagi

pihak ketiga dan masyarakat pada umumnya.112

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan

mendaftarkan benda yang dibebani dengan jaminan Fidusia antara lain

adalah:

a. Untuk melahirkan Jaminan Fidusia bagi Penerima Fidusia dan

menjamin pihak yang mempunyai kepentingan atas benda yang

dijaminkan.

b. Untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada

Penerima dan Pemberi Fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan.

c. Memberikan hak yang didahulukan terhadap Kreditur preferent.

d. Untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas.

e. Untuk memberikan kepastian tentang status Fidusia sebagai Jaminan

Kebendaan.

f. Memberikan rasa aman kepada Kreditur Penerima jaminan Fidusia dan

pihak ketiga yang berkepentingan serta masyarakat pada umumnya.113

112
Ibid., hal. 85.
113
Ibid.hal.35.

85
Ketentuan terkait dengan pendaftaran jaminan fidusia saat ini

mengalami perubahan pasca terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran

Jaminan Fidusia Secara Elektronik (selanjutnya disebut Permenkum HAM

No. 9 Tahun 2013) dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor 10 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia

Secara Elektronik (selanjutnya disebut Permenkum HAM No. 10 Tahun

2013) dengan mengubah tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang

awalnya dilakukan secara manual menjadi secara elektronik sebagaimana

diatur dalam Pasal 3 Permenkum HAM No. 9 Tahun 2013 yang mengatur

bahwa pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik dapat dilakukan

melalui kios pelayanan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik di

seluruh kantor pendaftaran fidusia.

Adapun tahap-tahap pengikatan (pembebanan) jaminan Fidusia

sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pertama (Pembuatan Perjanjian Pokok):

a. Tahap pertama didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok yang

berupa perjanjian kredit atau perjanjian utang. Perjanjian pokok yang

berupa perjanjian kredit dapat dibuat dengan akta di bawah tangan

artinya dibuat oleh Kreditor dan Debitor sendiri atau akta otentik

artinya dibuat oleh dan di hadapan Notaris;

b. Didahuluinya pembuatan perjanjian pokok yang berupa perjanjian

kredit ini sesuai sifat accessoir dari Jaminan Fidusia yang artinya

86
pembebanan Jaminan Fidusia merupakan ikutan dari perjanjian

pokok. Pasal 4 UUJF menegaskan Jaminan Fidusia merupakan

perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi;

c. Perjanjian jaminan sebagai perjanjian ikutan (tambahan)

dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu

yaitu perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang telah disepakati dan

yang hanya memiliki sifat relatif.

2. Tahap Kedua (Pembuatan Akta Jaminan Fidusia):

a. Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan Fidusia

yang ditandai dengan pembuatan Akta Jaminan Fidusia

ditandatangani Kreditor sebagai penerima Fidusia dan pemberi

Fidusia (debitor atau pemilik benda tetapi bukan debitor). Dalam

Akta Jaminan Fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal

pembuatan juga dicantumkan mengenai waktu atau jam pembuatan

akta tersebut;

b. Bentuk Akta Jaminan Fidusia adalah akta otentik yang dibuat oleh

dan dihadapan Notaris. Pengikatan atau pembebanan Fidusia

dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut “Akta

Jaminan Fidusia”;

c. Akta jaminan Fidusia ini haruslah dibuat dengan akta Notaris (Pasal

5 ayat (1) UUJF);

87
d. Akta jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud, haruslah berisikan

sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:

1) Identitas pihak pembeli Fidusia, berupa: Nama lengkap; Agama;

Tempat tinggal atau tempat kedudukan; Tempat lahir; Tanggal

lahir; Jenis kelamin; Status perkawinan; Pekerjaan; Identitas

pihak penerima Fidusia, yakni tentang data seperti tersebut di

atas; Haruslah dicantumkan hari, tanggal dan jam pembuatan akta

Fidusia.

2) Data perjanjian pokok yang dijamin dengan Fidusia;

3) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia,

yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti

kepemilikannya. Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda

dalam persediaan (inventory), haruslah disebutkan tentang jenis,

merek, dan kualitas dari benda tersebut;

4) Berapa nilai penjaminannya;

5) Berapa nilai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.

3. Tahap Ketiga (Pendaftaran Jaminan Fidusia):

Pada tahap ketiga, terjadi perubahan dalam tata cara pendaftaran

antara yang diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan

Permenkum HAM No. 9 Tahun 2013 jo Permenkum HAM No. 10

Tahun 2013. Adapun perubahan utama dalam tata cara pendaftaran

jaminan fidusia menurut Permenkum HAM No. 9 Tahun 2013 adalah

88
dilakukan secara elektronik melalui kios pelayanan Pendaftaran

Jaminan Fidusia Secara Elektronik diseluruh kantor pendaftaran fidusia.

Hal tersebut berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1)

Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pendaftaran

jaminan Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan

pemberi Fidusia (domisili debitor atau pemilik benda jaminan Fidusia).

Berikut adalah tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan

secara elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Permenkum HAM

No. 10 Tahun 2013, yaitu:

a. Pendaftaran permohonan Jaminan Fidusia secara elektronik

dilakukan dengan mengisi formulir aplikasi. Pengisian formulir

aplikasi meliputi:

1) identitas Pemohon;

2) identitas pemberi fidusia;

3) identitas penerima fidusia;

4) akta Jaminan Fidusia;

5) perjanjian pokok;

6) nilai penjaminan; dan

7) nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia;

b. Pemohon mencetak bukti pendaftaran setelah selesai melakukan

pengisian formulir aplikasi. Bukti pendaftaran memuat:

1) nomor pendaftaran;

2) tanggal pengisian aplikasi;

89
3) nama Pemohon;

4) nama Kantor Pendaftaran Fidusia;

5) jenis permohonan; dan

6) biaya pendaftaran permohonan Jaminan Fidusia sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Berdasarkan bukti pendaftaran, Pemohon melakukan pembayaran

biaya pendaftaran permohonan Jaminan Fidusia melalui Bank

Persepsi;

d. Setelah melakukan pembayaran, Pemohon mencetak sertifikat

Jaminan Fidusia yang telah ditandatangani secara elektronik oleh

Pejabat Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Adapun tujuan pendaftaran jaminan Fidusia adalah:

a. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang

berkepentingan;

b. Memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima

Fidusia terhadap kreditor yang lain. Ini disebabkan sertifikat jaminan

Fidusia memberikan hak kepada penerima Fidusia untuk tetap

menguasai bendanya yang menjadi objek jaminan Fidusia

berdasarkan kepercayaan;

c. Sertifikat jaminan Fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar

Fidusia. Hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan Fidusia

adalah: Dalam judul sertifikat jaminan Fidusia dicantumkan kata-

kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

90
MAHA ESA”; Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Apabila debitor cidera

janji, penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang

menjadi objek jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri;

d. Di dalam sertifikat jaminan Fidusia dicantumkan hal-hal berikut ini:

Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia; Tempat, nomor akta

jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang

membuat akta jaminan Fidusia; Data perjanjian pokok yang dijamin

Fidusia; Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi objek

jaminan Fidusia; Nilai penjaminan; Nilai benda yang menjadi objek

benda jaminan Fidusia; Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang

sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar

Fidusia.

Berdasarkan hal di atas, maka jaminan Fidusia baru sah lahir saat

telah didaftarkan, dan sebagai bukti pendaftaran akan diterbitkan sertifikat.

Sertifikat itu mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana dalam

Pengaturan Pasal 15 UUJF. Permasalahan timbul berkaitan dengan adanya

perubahan tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang awalnya dilakukan

secara manual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jaminan

Fidusia, kemudian berubah menjadi elektronik sebagaimana diatur dalam

Permenkum HAM No. 9 Tahun 2013 jo Permenkum HAM No. 10 Tahun

2013.

91
Penulis berpendapat, ketentuan dalam Permenkum HAM No. 9

Tahun 2013 jo Permenkum HAM No. 10 Tahun 2013 tentunya

menimbulkan norma baru dalam hukum jaminan fidusia. Hal tersebut

dikarenakan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, tidak ada pengaturan

terkait dengan pendaftaran jaminan fidusia dimungkinkan untuk dilakukan

secara elektronik.

Penulis menyadari bahwa semangat dalam Permenkum HAM No. 9

Tahun 2013 jo Permenkum HAM No. 10 Tahun 2013 adalah dalam upaya

mendukung program pemerintah untuk percepatan ekonomi, sehingga

memangkas birokrasi yang terkenal dengan kerumitannya dan dapat

mempermudah para pelaku usaha dalam berusaha guna memberikan

kontribusi dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia. Selain

daripada itu, melalui pendaftaran jaminan fidusia secara elektronik, maka

sistem tersebut dapat saling terintegrasi, sehingga mencegah terjadinya

double pendaftaran fidusia dengan objek jaminan yang sama.

Semangat tersebut perlu didukung oleh masyarakat. Namun

demikian, semangat yang positif pun haruslah sesuai dengan kaidah

hukum yang berlaku di Indonesia, khususnya berkaitan dengan

pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan tersebut

berkepastian hukum. Diketahui bahwa Indonesia merupakan negara civil

law, sehingga segala kebijakan pemerintah diatur dalam hukum positif

atau hukum tertulis, meskipun hukum tidak tertulis dan juga yurisprudensi

tetap berlaku, namun porsinya sangatlah sedikit.

92
Hukum tertulis yang berlaku di Indonesia menganut sistem hirarki

sebagaimana pemikiran dari Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa norma

itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki. Pengertiannya,

norma hukum yang dibawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari

norm yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber dan

berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai

berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar

(Grundnorm).114

Menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma yang dinamis.

Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga

otoritas-otoritasnya yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma

yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat

dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), pada akhirnya

hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu

Hierarki.115

Ketentuan hirarki dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang saat ini sudah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan. Di dalam Pasal 5 huruf c mengatur bahwa dalam

membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan


114
Aziz Syamsuddi, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Jakarta: Sinar Grafika,
2011, hal. 14-15.
115
Ibid.

93
pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang

meliputi kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan.

Hirarki tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa:

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Kedudukan peraturan menteri dalam konstitusi Indonesia diatur

dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dengan ketentuan

bahwa peraturan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Berdasarkan hal tersebut, apabila dikaitkan dengan Permenkum HAM No.

9 Tahun 2013 jo Permenkum HAM No. 10 Tahun 2013, maka kedua

peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di

atasnya, yaitu Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Hal tersebut dikarenakan Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak

mengatur tentang kewenangan menteri untuk membuat peraturan berkaitan

dengan tata cara pendaftaran jaminan fidusia. Ketentuan yang ada

berkaitan dengan tata cara pendaftaran jaminan fidusia dalam Undang-

Undang Jaminan Fidusia adlaah diatur dalam Pasal 13 ayat (4) yang

94
mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan

Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan fakta di atas, maka Permenkum HAM No. 9 Tahun

2013 jo Permenkum HAM No. 10 Tahun 2013 tentunya menimbulkan

norma baru dalam hukum jaminan fidusia, sehingga meskipun tujuan dari

pembentukan Permenkum HAM No. 9 Tahun 2013 jo Permenkum HAM

No. 10 Tahun 2013 adalah hal yang baik, namun demikian, apabila

peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang di atasnya, maka

peraturan tersebut berpotensi dapat dibatalkan ketika ada pihak yang

menggugat ke Mahkamah Agung.

4.1.8 Pengaturan Eksekusi Jaminan Fidusia

Perlu diketahui bahwa jaminan Fidusia merupakan jaminan khusus

kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan terhadap

penerima jaminan Fidusia, dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.

Hak khusus yang dimiliki penerima Fidusia atau kreditur tentunya berbeda

dengan kreditur lainnya yang tidak memiliki benda yang ditunjuk secara

khusus sebagai jaminan maupun alasan lain yang sah untuk didahulukan.

Mereka yang tidak memiliki benda yang secara khusus ditunjuk

sebagai jaminan atau memiliki alasan yang sah didahulukan disebut

dengan kreditur konkuren. Berbeda dengan kreditur preferen yang

memiliki hak untuk didahulukan dalam hal pelunasan hutang, terhadap

kreditur konkuren mereka memiliki kedudukan yang sama dengan kreditur

lainnya dan memiliki hak yang seimbang sesuai dengan besar kecilnya

95
piutang yang dimilikinya dalam hal pelunasan hutang. Mengenai ini secara

jelas diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata. Adapun Pasal 1131

KUHPerdata menjelaskan sebagai berikut:

“Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak


bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru maka ada di
kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perorangan.”

Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua orang


yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda - benda
itu dibagi bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara berarti
utang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.:

Dikarenakan jaminan Fidusia merupakan jaminan khusus

kebendaan sebagaimana jaminan khusus kebendaan lainnya seperti gadai,

hipotik dan hak tanggungan, maka penerima jaminan Fidusia kreditur

memiliki hak-hak khusus yang diberikan Undang-Undang dibanding-

bandingkan dengan kreditur konkuren sebagai pemegang jaminan umum.

Hak khusus yang dimiliki oleh penerima jaminan Fidusia atau kreditur

adalah kemudahan dalam hal melakukan eksekusi apabila pemberi Fidusia

atau debitur wanprestasi guna mendapatkan pelunasan utang sebagaimana

juga yang akan berlaku terhadap penerima jaminan khusus kebendaan

lainnya.

Hal ini yang menyebabkan kreditur lebih suka memberikan

pinjaman kepada debitur yang bersedia menyediakan benda-benda tertentu

untuk ditunjuk sebagai jaminan hutang dibandingkan dengan bentuk

96
jaminan lainnya. Lembaga perbankan mensyaratkan adanya kolateral atau

anggunan sebagai syarat pemberian kredit atau pinjaman.

Jaminan Fidusia telah lama diterapkan di Indonesia sejak jaman

Belanda berdasarkan yurisprudensi. Jaminan Fidusia muncul guna

mengatasi permasalahan jaminan gadai yang mensyaratkan adanya

pelepasan benda dari kekuasaan pemberi gadai atau kreditur sebagai syarat

sahnya gadai. Persyaratan tersebut tentunya sulit untuk dipenuhi oleh

debitur dalam hal debitur memerlukan benda yang dijaminkan guna

menjalankan kegiatan bisnisnya.

Guna mengatasi permasalahan tersebut maka lembaga Fidusia

yang pernah ada pada jaminan Romawi diperlakukan kembali. Pemberi

jaminan atau kreditur tidak perlu melepaskan penguasaan terhadap benda

yang dijadikan jaminan, akan tetapi cukup menyerahkan kepemilikan

bendanya saja secara kepercayaan sehingga lembaga jaminan ini dikenal

dengan nama Fiduciare Eigendom (FEO) yang selanjutnya disingkat

menjadi Fidusia.

Meskipun lembaga jaminan Fidusia dan setelah dapat

menyelesaikan permasalahan terkait dengan obyek jaminan yang tidak

perlu dilepaskan dari kekuasaan debitur akan tetapi lembaga jaminan

tersebut menyisakan permasalahan terkait dengan eksekusi benda yang

dijadikan jaminan. Ketiadaan aturan mengenai eksekusi benda yang

dijadikan jaminan Fidusia mengakibatkan lembaga jaminan tersebut tidak

menarik bagi para kreditur atau pemberi dana. Oleh karenanya guna

97
memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk pemberi fidusia (debitur), maka diaturlah

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-

Undang Fidusia telah mengatur cara khusus atau benda yang menjadi

obyek jaminan Fidusia. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Fidusia dapat diketahui bahwa apabila debitur atau

pemberi Fidusia cedera janji eksekusi terhadap benda yang menjadi objek

jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Eksekusi berdasarkan gross sertifikat jaminan Fidusia atau Titel

eksekutorial secara siap eksekusi yang terdapat dalam sertifikat jaminan

Fidusia yang dilakukan oleh penerima Fidusia.

2. Eksekusi berdasarkan pelaksanaan Paratha eksekusi melalui pelelangan

umum oleh penerima Fidusia.

3. Eksekusi secara penjualan di bawah tangan oleh kreditur pemberi

Fidusia sendiri.

Eksekusi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan ketentuan

yang telah diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha

Perusahaan Pembiayaan yang menyatakan bahwa:

“Eksekusi agunan oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi


ketentuan sebagai berikut:
a. Debitur terbukti wanprestasi;
b. Debitur sudah diberikan surat peringatan; dan
c. Perusahaan Pembiayaan memiliki sertifikat jaminan fidusia,
sertifikat hak tanggungan, dan/atau sertifikat hipotek.”

98
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka syarat untuk dapat

dilakukannya eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditur adalah adanya

wanprestasi dari pihak debitur. Selain daripada itu, kreditur telah

mengirimkan surat peringatan kepada debitur berkaitan dengan

keterlambatan pembayaran angsuran. Apabila debitur tidak memiliki itikad

baik untuk melaksanakan kewajibannya, maka kreditur yang memiliki

sertifikat jaminan fidusia, dapat melakukan eksekusi atas objek jaminan

fidusia tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-

Undang Jaminan Fidusia.

Ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia tidak

disebutkan cara eksekusi Fidusia lewat gugatan biasa. Namun tetapi

tentunya pihak kreditur dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat

gugatan biasa ke pengadilan sebab keberadaan Undang-Undang Fidusia

dengan modal eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang

umum, tetapi untuk menambah ketentuan yang ada dalam hukum acara

umum. Tidak ada indikasi sedikit pun dalam Undang-Undang Fidusia,

khususnya tentang cara eksekusi umum lewat gugatan biasa ke pengadilan.

Tambahan pula bukanlah keberadaan model-model eksekusi khusus

tersebut untuk mempermudah dan membantu pihak kreditur untuk

menagih utangnya yang mempunyai jaminan Fidusia dengan jalan

mengeksekusi jaminan fidusia tersebut. Disebabkan oleh eksekusi Fidusia

lewat dua tahun dan dengan prosedur yang berbelit. Hal ini disebut sama

tidak efisien bagi hutang dengan jaminan Fidusia tersebut.116


116
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016) hal. 230.

99
Ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Fidusia

merupakan suatu ketentuan syarat yang baru berlaku apabila syarat yang

disebutkan di sana dipenuhi syarat atau pemberi Fidusia sudah cedera

janji. Di sini bisa berupa debitur memenuhi kewajiban pelunasan pada saat

utangnya sudah matang atau ditagih maupun tidak dipenuhi janji-janji

yang di perjanjikan, baik dalam perjanjian maupun perjanjian

penjaminanya, kalaupun utangnya sendiri pada saat itu belum matang

untuk ditagih. Dalam peristiwa seperti itu maka kreditor bisa

melaksanakan efek usia atas benda jaminan Fidusia kalo debitur dan

pemberi Fidusia itu dulu orang yang berlainan, cedera janji debitur

tentunya ada pada perjanjian pokok, sedang cedera janji pemberi jaminan

terhadap perjanjian penjaminan. Dalam hal ini dan kewajiban tertentu

kepada pemberi Fidusia.117

Peraturan pasal-pasal yang mengatur tentang pelaksanaan eksekusi

atas benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:

(Pasal 29)

(1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan
cara:
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia.
b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
para pihak.
117
Ibid, hal. 230.

100
(2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh Pemberi dan atau Penerima Fidusia kepada pihak-
pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua)
surat kabar yang tersebar di daerah yang bersangkutan.

(Pasal 30)

Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.

(Pasal 31)

Dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia terdiri atas benda

perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,

penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(Pasal 32)

Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum.

(Pasal 33)

Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Pemberi Fidusia untuk

memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor

cidera janji, batal demi hukum.

(Pasal 34 )

101
(1) Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia

wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.

(2) Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor

tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.

Demikian beberapa ketentuan mengenai lembaga jaminan Fidusia

dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 yang disertai dengan

penjelasannya. Ketentuan lain yang juga terdapat dalam Undang-Undang

tersebut mengatur tentang beberapa istilah pada ketentuan umum.118

Sebagaimana dikemukakan ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 31

Undang-Undang Fidusia telah mengatur mengenai cara mengeksekusi

benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia, yaitu:

a. Secara eksekusi Titel eksekutorial yang ada pada sertifikat jaminan

Fidusia.

b. Secara parate ekseukusi melauli pelelangan umum

c. Secara penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi

Fidusia dan penerima Fidusia.

d. Penjualan di pasar atau bursa perdagangan bagi benda perdagangan atau

efek yang dapat diperdagangkan.

Pengeksekusian benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia

dengan cara di atas, ternyata bersifat mengikat dan tidak dapat

dikesampingkan oleh para pihak pemberi dan penerima Fidusia,

dikarenakan diancam dengan pembatalan secara hukum. Dengan kata lain

118
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2007) hal. 166.

102
pemberi Fidusia dan penerima Fidusia tidak dapat menempuh atau

memperjanjikan cara lain untuk mengeksekusi benda yang menjadi obyek

jaminan. Selain daripada cara - cara sebagaimana telah disebutkan dalam

ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 Undang-Undang Fidusia.

Ketentuan dalam Pasal 32 Undang-Undang Fidusia secara tegas

menentukan setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda

yang menjadi obyek jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan

dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31,

batal demi hukum.119 Artinya dapat ditafsirkan, antara pemberi Fidusia dan

penerima Fidusia dapat saja memperjanjikan cara pengeksekusian benda

yang menjadi obyek jaminan Fidusia secara tersendiri artinya dapat

ditafsirkan, antara pemberi Fidusia dan penerima Fidusia dapat saja

memperjanjikan cara pengeksekusian benda yang menjadi obyek jaminan

Fidusia secara tersendiri, namun sepanjang cara pengeksekusian benda

yang menjadi obyek jaminan Fidusia yang di perjanjikan tersebut tidak

bertentangan dengan cara pengeksekusian benda yang menjadi obyek

jaminan Fidusia sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 29 dan

Pasal 31 Undang -Undang Fidusia.

Perlu diketahui, bahwa ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-

Undang Fidusia merupakan suatu ketentuan bersyarat, yang baru berlaku

apabila syarat yang disebutkan di sana dipenuhi, itu syarat bahwa debitur

atau pemberi Fidusia sudah cedera janji.

119
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016) hal. 267.

103
Cedera janji di sini bisa berupa lalainya debitur memenuhi

kewajiban pelunasannya pada saat utangnya sudah matang untuk ditagih,

maupun di penuhi janji - janji yang dijanjikan, baik dalam perjanjian

pokok maupun perjanjian Penjaminannya, sekalipun utangnya sendiri pada

saat itu belum matang untuk ditagih. Dalam peristiwa seperti itu maka

kreditor bisa melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan Fidusia

debitur dan pemberi Fidusia itu dua orang yang berlainan, cedera janji

debitur tentunya ada pada perjanjian pokok sedangkan cedera janji

pemberi jaminan ada perjanjian Penjaminan. Dalam hal ini Undang-

Undang Fidusia telah meletakkan kewajiban kewajiban tertentu kepada

pemberi Fidusia.120

1. Eksekusi obyek jaminan Fidusia berdasarkan gross atau dengan titel

eksekutorial sertifikat jaminan Fidusia yaitu sesuai dengan ketentuan

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Fidusia, maka eksekusi terhadap

obyek jaminan Fidusia dapat dilakukan berdasarkan bro sertifikat

jaminan Fidusia atau dengan titel eksekutorial sertifikat jaminan

Fidusia yang diberikan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Fidusia.

2. Eksekusi obyek jaminan Fidusia berdasarkan paratha eksekusi melalui

pelelangan umum yaitu sebagai dikemukakan sebelumnya ketentuan

dalam Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Fidusia menentukan bahwa

apabila debitur cidrea janji, penerima Fidusia mempunyai hak untuk

menjual benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia atas kekuasaannya

sendiri. Ini merupakan salah satu ciri jaminan Fidusia yang kuat dan
120
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016) hal. 230

104
pasti, bahwa adanya kemudahan dalam melaksanakan eksekusinya

apabila pihak debitur cidera janji dan sebagai perwujudan dari

kedudukan yang mendahului dari kreditor. Oleh karena itulah, dalam

Undang-Undang Fidusia telah diatur secara khusus tentang eksekusi

atas obyek jaminan Fidusia berdasarkan parate eksekusi lewat atau

melalui pelelangan umum.

3. Eksekusi obyek jaminan Fidusia berdasarkan kesepakatan pemberi dan

penerima Fidusia melalui penjualan di bawah tangan yaitu : selain itu,

eksekusi atas benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia dapat

dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, sepanjang terdapat

kesepakatan antara pemberi Fidusia dan penerima Fidusia. Penjualan

di bawah tangan dapat saja dilakukan walaupun penjualan melalui

pelelangan umum telah dilakukan namun kurang menguntungkan bagi

para pihak ini. Ini berarti eksekusi atas benda yang menjadi obyek

jaminan Fidusia secara parate eksekusi tidak harus melalui

pengembangan umum, diberi kemungkinan melalui eksekusi atas

benda obyek jaminan Fidusia melalui penjualan di bawah tangan.

4. Eksekusi jaminan Fidusia atas benda perdagangan dan efek yang dapat

diperdagangkan yaitu : dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan

Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat

diperdagangkan di pasar atau bursa, eksekusi atas benda tersebut dapat

dilakukan dengan cara penjualannya di pasar atau di bursa sebagai

105
tempat perdagangan atas benda perdagangan atau efek, sesuai dengan

peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Kewajiban pemberi dan penerima Fidusia bertalian dengan

pelaksanaan eksekusi Fidusia yaitu: berhubung benda yang menjadi obyek

jaminan Fidusia secara fisik berada dalam penguasaan debitur, kendati

sebelumnya telah terjadi peralihan hak pemilikan secara kepercayaan atas

benda menjadi obyek jaminan Fidusia tersebut dari debitur kepada kreditur

maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Fidusia

debitur diwajibkan untuk menyerahkan secara nyata benda yang menjadi

obyek jaminan Fidusia dimaksud dalam rangka pelaksanaan eksekusi

jaminan Fidusia.

Sebagaimana dikemukakan ketentuan dalam Pasal 29 dan Pasal 31

Undang-Undang Fidusia telah mengatur mengenai cara mengeksekusi

benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia, yaitu:

a. Secara FIAT eksekusi melalui eksekutorial yang ada pada sertifikat

jaminan Fidusia

b. Secara parathe eksekusi melalui pelelangan umum

c. Secara penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi

Fidusia dan penerima Fidusia.

d. Penjualan di pasar atau bursa perdagangan bagi benda perdagangan

atau efek yang dapat diperdagangkan.

Pengeksekusian benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia

dengan cara di atas, ternyata bersifat mengikat dan tidak dapat

106
dikesampingkan oleh para pihak pemberi dan penerima Fidusia,

dikarenakan diancam dengan kebatalan secara hukum dengan kata pemberi

Fidusia dan penerima Fidusia tidak dapat menempuh dan memper janjikan

cara lain untuk mengeksekusi benda yang menjadi obyek jaminan, selain

daripada cara sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 29 dan

Pasal 31 Undang-Undang Fidusia.121

Walaupun tidak disebutkan dalam Undang-Undang Fidusia, tetapi

tentunya pihak kreditor dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat

gugatan biasa ke pengadilan. Sebab keberadaan Undang-Undang Fidusia

dengan model model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum

secara umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam Undang-Undang

Fidusia, khususnya tentang cara eksekusinya, yang bertujuan untuk

meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat

gugatan biasa ke pengadilan negeri yang berwenang.122

Pada kasus ini pengaturan pembebanan jaminan Fidusia di

Indonesia sudah berjalan sesuai dengan semestinya, namun pada

prakteknya putusan MK No 18/PUU-XVII/2019 menciptakan sistem

pengaturan jaminan Fidusia dengan ketentuan yang berbeda. Pada

peraturan Perundang-Undangan jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999

memberikan penjelasan mengenai pembebanan jaminan Fidusia bahwa

jaminan Fidusia tersebut bisa dibebankan atau di eksekusi sesuai dengan

ketentuan peraturan Undang-Undang. Pada Pasal 15 Undang-Undang

121
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016) hal. 242
122
Ibid, hal.245.

107
Jaminan Fidusia menjelaskan mengenai sertifikat jaminan Fidusia

dimaksud ayat 1 mempunyai “kekuatan eksekutorial” yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Hal tersebut menjelaskan “kekuatan eksekutorial” berarti eksekusi

terhadap jaminan Fidusia tersebut bersifat pasti dikarenakan memiliki

tingkat kepastian hukum yang setara dengan putusan pengadiln sehingga

apabila cidera janji eksekusinya bisa langsung di lakukan. Sedangkan,

setelah terbitnya putusan MK No 18/PUU-XVII/2019 pengaturan

pembebanan jaminan Fidusia menjadi berubah tidak sesuai dengan

Undang-Undang Jaminan Fidusia.

Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia menjelaskan secara pasti

mengenai hak dan kewajiban kreditur dan debitur sedangkan, pada putusan

MK MK No 18/PUU-XVII/2019 tidak memberikan kepastian atas

kewajiban dan hak kreditur dan debitur. Sehingga di dalam pengaturan

menimbulkan keuntungan sebelah pihak terhadap debitur. Di mana

putusan MK No 18/PUU-XVII/2019 hanya memberikan kepastian hukum

kepada debitur. Namun, tidak memberikan kepastian kepada kreditur

sedangkan seharusnya kepastian hukum harus diberikan secara terlebih

dahulu kepada pihak kreditur sebelum adanya atau terjadinya suatu

kegiatan yang menimbulkan pembebanan jaminan Fidusia. Jadi dapat

diartikan bahwa sebelum adanya kegiatan yang menimbulkan pembenan

suatu jaminan Fidusia terlebih dahulu, kepastian hukum dari pihak kreditur

jaminan Fidusia nya terjamin secara sah atau tertulis di suatu kontrak atau

108
perjanjian yang sah di hadapan hukum. Kreditur adalah salah satu yang

harus mendapatkan kepastian hukum karena kreditur adalah yang

memberikan pembiayaan sehingga dalam hal kerugian kreditur adalah

orang yang paling mengalami kerugian apabila debitur mengalami cedera

janji.

4.2 Kepastian Hukum Bagi Kreditur yang Memegang Jaminan Fidusia

Setelah Terbitnya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

4.2.1 Kasus Posisi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

Dalam prakteknya pelunasan kredit terdapat berbagai macam

masalah salah satunya yaitu proses pelunasan kredit yang berjalan tidak

sesuai maka dari itu peneliti akan membahas permasalahan yang ada pada

putusan MK nomor 18 / PUU-XVII / 2019. Bahwa pada 10 November

2017 wakil dari PT Astra Sedaya finance yang mengaku sebagai

perwakilan dari PT Astra finance dengan membuat surat kuasa yang

ditandatangani penjabat dari mendatangi rumah penggugat dengan maksud

ingin mengambil kendaraan merek Toyota tipe Alphard lima model dua

empat milik pemohon satu dengan dalil pemohon satu telah wanprestasi.

Tindakan PT Astra sedaya finance pada 15 November 2018 yang

berulang kali mencoba mengambil kendaraan satu di rumah pemohon satu

yaitu Apriliani Dewi. Merasa tidak diperlakukan dengan adil, Apriliani

Dewi dan Suri Agung Prabowo sebagai pemohon satu merupakan istri dari

Pemohon II dan pemohon dua merupakan suami dari Pemohon I merasa

109
tidak diperlakukan dengan adil menggugat menggunakan Undang-Undang

Jaminan Fidusia ke mahkamah Konsitusi.

Sesuai pembiayaan multiguna tersebut, maka pemohon satu

mempunyai kewajiban untuk membayar utang kepada pihak leasing

sebesar Rp.222.696.000,00 yang akan dibayar selama 35 bulan mulai dari

18 November 2016sampai 18 juli 2017, pemohon membayarkan angsuran

secara taat. Namun sejak bulan Agustus, September dan Oktober 2017

debitur tidak melakukan pembayaran secara taat dan tepat waktu sehingga

pada tanggal 10 November 2017, pihak leasing mengirim perwakilan

dengan membawa surat kuasa dari leasing untuk mengambil kendaraan

pemohon dengan dalih wanprestasi.

Atas pengajuan tersebut Aprilia Dewi merasakan keberatan namun,

tidak ditanggapi sehingga datang debt collector. Sesuai dengan putusan

pengadilan negeri Jakarta Selatan nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.sel ini

ya Takan bahwa tindakan penerima Fidusia sebagaimana dijelaskan di

atas, merupakan perbuatan melawan hukum.

Tidak terima dengan hal ini, Apriliani meminta keadilan ke MK.

Dalam putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Januari 2020, maka

menyatakan bahwa penerima hak Fidusia atau kreditur tidak boleh

melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan

pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri.

Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewa

n Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterim

110
a Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Mei 2019, yang pada pokokny

a bahwa ketentuan UU Jaminan Fdusia yang dimohonkan pengujian terhad

ap UUD 1945 Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan p

engujian terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fi

dusia yang dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat

(1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Bahwa isi ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia ad

alah sebagai berikut: Pasal 15 (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama den

gan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3)

Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menj

ual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Berdasarkan uraian permohonannya, para Pemohon dalam

Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:

Dalam Pokok Perkara

1. Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian materiil ini untuk

seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidu

sia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Unda

ng-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ti

dak dimaknai “segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksan

aan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sa

111
ma dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkek

uatan hukum tetap”;

3. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jami

nan Fidusia sepanjang frasa “sama dengan putusan pengadilan yang be

rkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “dal

am hal terdapat putusan pengadilan terkait objek perjanjian turunan da

n perjanjian pokoknya, maka eksekusi terhadap objek jaminan fidusia,

merujuk pada putusan pengadilan terkait”; Menyatakan Pasal 15 ayat

(3) UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia sepanjang frasa “cidera

janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik In

donesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam hal penetuan ad

anya tindakan “cidera janji” dapat dilakukan oleh Penerima Fidusia (K

reditur) dalam hal tidak ada keberatan dan melakukan upaya hukum, at

au paling tidak dalam hal adanya upaya hukum maka melalui putusan

pengadilan berkekuatan hukum tetap; Memerintahkan pemuatan putus

an ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, m

ohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Amar putusan yaitu permohonan para pemohon dikabulkan,

menyatakan :

1. Menyatakan Pasal 15 ayat 2 Undang - Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang jaminan Fidusia sepanjang kekuatan eksekutorial dan frase

112
sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

bertentangan dengan Undang - Undang dasar negara republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat dan tidak di maknai terhadap jaminan Fidusia yang tidak ada

kesepakatan tentang cedera janji dan debitur keberatan menyerahkan

secara suka rela obyek yang menjadi jaminan Fidusia, maka segala

mekanisme dan prosedur hukum dalam melaksanakan eksekusi

sertifikat jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan

pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan Fidusia harus dilakukan dan

berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap.

2. Menyatakan Pasal 15 ayat 3 Undang - Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang jaminan Fidusia sepanjang cedera janji bertentangan dengan

Undang - Undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat sepanjang dan tidak

dimaknai bahwa adanya cedera janji tidak ditentukan secara pihak

oleh kreditur memainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur

dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah

terjadinya cedera janji.

3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang – Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang jaminan Fidusia (Lembaga Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Indonesia

Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan

113
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh

kreditur melainkan atas dasar upaya hukum yang menentukan telah

terjadinya cidera janji”.

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang – Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaga Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara

Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial”

bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan Fidusia yang

tidak ada kesepakatan tentang cedera janji dan debitur keberatan

menyerahkan secara sukarela obyek yang menjadi jaminan Fidusia,

maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan

eksekusi sertifikat jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama

dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap.

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republic

Indonesia sebagaimana mestinya.

6. Menolak permohonan Para pemohon untuk selain dan selebihnya.

4.2.2 Analisis Kepastian Hukum Bagi Kreditur Dengan Adanya Putusan

MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

114
Analisis Atas Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

Setiap kegiatan bisnis, tidak terkecuali transaksi jual beli, selalu

memerlukan bingkai hukum, pada kasus di atas, jual beli yang dilakukan

antara kreditor dan debitor mengalami cedera janji. Bila disangkutpautkan

dengan kepastian hukum kreditor maka kreditor harus melakukan beberapa

hal agar kreditur mendapatkan kepastian hukum:

Pada kasus diatas menjelaskan mengenai adanya penarikan barang

atau sebuah mobil yang dilakukan oleh pihak kreditur karena debitur

cedera janji. Namun, terbitnya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

mejelaskan bahwa kreditur tidak boleh langsung mengambil barang yang

menjadi jaminan Fidusia. Dapat diketahui terlebih dahulu mengenai

jaminan Fidusia.

Jaminan Fidusia adalah jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam undang undang nomor empat tahun 1996

tentang hak tanggungan, sebagai Anggunan bagi Pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia

terhadap kreditor lainnya (pasal 1 angka 2) undang-undang jaminan

fidusia.

Berdasarkan Perumusan ketentuan dalam pasal satu angka dua

undang undang jaminan Fidusia, unsur unsur dari jaminan Fidusia, yaitu:

1. Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan dan hak yang diutamakan.

115
2. Kebendaan bergerak sebagai obyek nya.

3. Kebendaan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani

dengan hak tanggungan juga menjadi obyek jaminan Fidusia.

4. Kebenda menjadi obyek jaminan Fidusia tersebut dimaksudkan

sebagai anggunan.

5. Untuk Pelunasan suatu hutang tertentu.

6. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia

terhadap kreditor lainnya.

Maka dapat diartikan antara pihak kreditur dan debitur artinya

dalam Fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam

kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar Fidusia dengan

syarat syarat bahwa benda yang kepemilikannya diserahkan kepada

penerima Fidusia tetap dalam penguasaan (pemilik benda). Bahwa hak

kepemilikannya berpindah penguasaan atas benda tersebut (mobil) masih

bisa digunakan oleh pemilik benda. Debitur mengajukan pembiayaan

terhadap pihak leasing yang dipergunakan untuk pembelian sebuah mobil.

Pengertian leasing dapat diketahui melalui presiden nomor 9 tahun

2009 tentang lembaga pembiayaan. Leasing adalah kegiatan pembiayaan

dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan

hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi untuk

digunakan oleh Penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu

berdasarkan pembayaran secara angsuran. Sehingga terjadilah suatu

116
pengajuan kredit terhadap pihak leasing sesuai dengan pengawasan

pengertian leasing.

Hal ini menjelaskan bahwa yang menjadi jaminan Fidusia nya

sendiri terhadap proses leasing pada jual beli yang dilakukan Aprilia dan

suaminya terhadap PT. Astra Sedaya Finance Adalah mobil tersebut

sehingga dalam proses terjadi maka pihak kreditur berhak melakukan

eksekusi terhadap jaminan fidusianya sesuai dengan ketentuan pasal 15

ayat 2 yaitu : sertifikat jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat

satu mempunyai kekuatan eksekutorreal yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. ”Kekuatan

eksekutorial” pada kasus ini menjelaskan bahwa kreditur berhak menarik

dan mengeksekusi langsung jaminan fidusia tersebut apabila terjadi cedera

janji secara tidak langsung dapat diartikan bahwa kredit itu berlindung atau

di lindungin di dalam Pasal 15 ayat (2) UU No 42 tahun 1999. Eksekusi

jaminan Fidusia ini dapat dilakukan dalam berbagai cara sebagai berikut:

1. Eksekusi berdasarkan gross sertifikat jaminan Fidusia atau Titel

eksekutor real yang terdapat dalam sertifikat jaminan Fidusia, yang

dilakukan oleh penerima Fidusia yaitu jaminan Fidusia mempunyai

kekuatan eksekutor real sama seperti putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, namun sertifikat jaminan Fidusia

bukan merupakan atau pengganti dari putusan pengadilan, sehingga

walaupun bukan putusan pengadilan karena sertifikat jaminan Fidusia

mempunyai kekuatan eksekutor real yang sama dengan putusan

117
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka

pelaksanaan eksekusi obyek jaminan Fidusia berdasarkan gross

sertifikat jaminan Fidusia atau dengan Titel eksekutorial sertifikat

jaminan Fidusia mengikuti pelaksanaan suatu putusan pengadilan.123

Selain akta jaminan Fidusia sertifikat jaminan Fidusia, terdapat

beberapa akta atau sertifikat yang juga mempunyai Titel eksekutorial,

yang disebut dengan istilah gross akta. Akta akta yang dimaksud yaitu:

a. Akta Berdasarkan ketentuan dalam pasal 224 HIR atau 258RBG

b. Akta akta pengakuan utang berdasarkan ketentuan dalam pasal 224

HIR atau 258 RBG

c. Akta pemberian hak tanggungan berdasarkan undang undang nomor

empat tahun 1996.

2. Eksekusi berdasarkan pelaksanaan Parate eksekusi melalui pelelangan

umum oleh penerima Fidusia

Ketentuan dalam pasal satu lima ayat tiga undang undang Fidusia

menentukan bahwa apabila debitur cedera janji, penerima Fidusia

mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan

Fidusia atas kekuasaan sendiri nya. Ini merupakan salah satu ciri

jaminan Fidusia yang kuat dan pasti, bahwa adanya kemudahan dalam

pelaksanaan eksekusi nya apabila debitur pemberi Fidusia cedera janji

dan sebagai perwujudan dari dalam undang undang Fidusia telah diatur

secara khusus tentang eksekusi atas obyek jaminan Fidusia berdasarkan

Paratha eksekusi lewat atau melalui pelelangan umum.


123
Ibid, hal. 56.

118
3. Eksekusi secara penjualan di bawah tangan oleh kreditor pemberi

Fidusia sendiri

Eksekusi atas benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia dapat

dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, sepanjang terdapat

kesepakatan antara pemberi Fidusia dan penerima Fidusia. Penjual buah

tangan dapat dilakukan walaupun penjualan melalui pelelangan umum

telah dilakukan namun kurang menguntungkan bagi para pihak. Ini

berarti eksekusi atas benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia secara

Paratex aku sih tidak harus melalui diberi kemungkinan melakukan

eksekusi atas benda jaminan Fidusia melalui penjualan dibawah tangan.

4. Eksekusi jaminan Fidusia atas benda dagangan dan efek yang dapat

diperdagangkan. Dalam hal ini terdiri atas benda benda perdagangan

atau efek yang dapat diperdagangkan di pasar atau di busa Khushi atas

benda tersebut dapat dilakukan dengan cara penjualan nya di pasar atau

di bursa sebagai tempat perdagangan perdagangan atau efek sesuai

dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

5. Penerima Fidusia bertalian dengan pelaksanaan eksekusi jaminan

Fidusia. Berhubung benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia secara

fisik berada dalam penguasaan debitur, kendati sebelumnya telah terjadi

peralihan hak kepemilikan secara kepercayaan atas benda yang menjadi

obyek jaminan Fidusia tersebut dari debitur kepada kreditur maka

sesuai dengan ketentuan dalam pasal 30 undang undang Fidusia debitur

diwajibkan untuk menyerahkan secara nyata benda menjadi obyek

119
jaminan Fidusia dimaksud dalam rangka pelaksanaan eksekusi

Sembilan Fidusia.

Hal hal tersebut merupakan cara cara mengeksekusi jaminan

Fidusia. Namun pada praktiknya pihak kreditur sering sekali melakukan

mengeksekusi jaminan Fidusia melalui jasa debt collector dengan cara

menyewa jasa debt collector tersebut sehingga membuat pihak debitur

tidak merasa nyaman. Hal ini yang membuat permasalahan jaminan

Fidusia semakin tidak Berujung. Sehingga terbitnya putusan MK NO 18

PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa jaminan fidusia tidak lagi di

eksekusi melalui sitem penarikan langsung, harus melalui putusan

pengadilan negeri dengan melalui proses syarat-syarat sebagai berikut :

a. Surat Permohonan.

b. Foto Copy KTP Principal.

c. Surat Kuasa Khusus Bagi Yang Menggunakan Kuasa.

d. Foto Copy Salinan Putusan Pengadilan Negeri.

e. Foto Copy Salinan Putusan Pengadilan Tinggi.

f. Foto Copy Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung.

g. Foto Copy Salinan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung.

h. Foto Copy Relaas Pemberitahuan Putusan Terakhir.

i. Foto Copy Akta Perdamaian j. Surat Keterangan Berkekuatan Hukum

Tetap (INKRACHT).

120
j. Pendapat dari Panmud Perdata, Panitera, Jurusita, dan Ketua PN. l.

Surat Kuasa Untuk Membayar Atau Panjar Biaya Permohonan

Eksekusi , Lain-Lain

Setelah melalui syarat syarat yang dijelaskan diatas maka, proses

pengeksekusian jaminan Fidusia dapat dilakukan sesuai dengan putusan

MK nomor no 18 PUU-XVII/2019. Pasal 15 ayat 2 dan 3Undang-Undang

no 42 tahun 1999 tentang jamina fidusia memperjelas kedudukan kreditur

dan debitur.bahwa dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstisusi sudah

memberikan kepastian hukum terhadap kreditur dikarenakan putusan MK

nomor no 18 PUU-XVII/2019 tidak mengesampingkan pasal 15 ayat 2 dan

3 justru memperjelas kedudukan kreditur dan debitur. Apabila hanya

debitur yang mendapatkan kepastian hukum di dalam putusan MK nomor

no 18 PUU-XVII/2019 maka yang terjadi adalah debitur bisa saja

melanggar kewajibanya dalam proses pelunasan kredit. Dalam prakteknya

seringkali terjadi cedera janji terhadap pihak debitur di mana debitur sering

sekali melakukan telat bayar dalam proses Pelunasan kredit. Maka dari itu

apabila debitur dilindungi secara penuh maka yang mengalami kerugian

tentu saja pihak kreditur. Karena kreditur lah yang memberikan Anggunan

atau pinjaman dalam proses jual beli leasing pada kasus Ini. Sehingga,

kedudukan debitur dan kreditur haruslah sama dalam kepastian hukum.

Setelah terbitnya putusan MK nomor no 18 PUU-XVII/2019 bukan hanya

pihak debitur yang mendapat kepastian hukum karena terbitnya keputusan

MK nomor no 18 PUU-XVII/2019 bahwa pengeksekusian jaminan

121
Fidusia tidak boleh dilakukan secara langsung melainkan harus melalui

pengadilan negeri. Kepastian hukum pada kreditor juga didapatkan setelah

terbitnya putusan MK nomor no 18 PUU-XVII/2019 yaitu kreditur tetap

berlindung pada pasal 15 ayat 2 dan 3 dikarenakan, pada pasal 15 ayat 2

menjelaskan:

Sertifikat jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ayat 3 Apabila debitur cedera janji, penerima Fidusia mempunyai

hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia atas

kekuasaannya sendiri.

Sesuai dengan penjelasan mengenai “apabila debitur cedera janji,

penerima Fidusiak mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi

obyek jaminan atas kekuasaannya sendir”. Dengan adanya kata cedera

janji sendiri apabila disangkutpautkan dengan putusan MK nomor no 18

PUU-XVII/2019 maka eksekusi terhadap jaminan Fidusia tetap bisa

dilakukan karena kekuatan sertifikat jaminan Fidusia pun setara dengan

keputusan pengadilan negeri. Dapat diketahui bahwa kepastian hukum

pada kreditur tetap terjamin pada pasal 15 ayat 2 dan 3 putusan MK nomor

no 18 PUU-XVII/2019 hanya memperjelas kedudukan masing masing

debitur dan kreditur bukan mengesampingkan pasal 15 ayat 2 dan 3 hanya

saja proses eksekusinya yang melalui proses.tetapi, terus ada kejelasan

bahwa pihak debitur Wanprestasi terhadap kredit tersebut.

122
Melihat kasus diatas, maka menurut ahli kepastia hukum Gustaf

Radbuch mengemukakan adanya tiga cita dalam hukum yaitu keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum, Keadilan menuntut agar hukum selalu

mengedepankan keadilan, kemanfaatan menuntut agar hukum selalu

mengedepankan manfaat, sedangkan kepastian hukum menuntut terutama

adanya peraturan hukum. Kepastian hukum dalam artian undang-undang

maupun suatu peraturan setelah diperundangkan akan dilaksanakan dengan

pasti oleh pemerintah.

Kepastian hukum berarti setiap orang dapat menuntut agar hukum

dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap

pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi hukum juga.124

Maka, setelah pengertian kepastian hukum menurut ahli kepastian hukum

bagi kreditur sudah ditentukan dan dijelaskan sesuai dengan Pasal 15

Undang-Undang Jaminan Fidusia. Sehingga setelah terbitnya putusan MK

No 18/PUU-XVII/2019 tidak mengesampingkan Pasal 15 Undang-Undang

Jaminan Fidusia malainkan memperjelas Pasal 15 Undang-Undang

Jaminan Fidusia itu sendiri.

124
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: Refika Aditama, 2004, hal. 21.

123
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pengaturan pembebanan dan eksekusi jaminan fidusia di Indonesia

berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

sudah diatur dan berjalan sebagaimana mestinya. Namun pada praktiknya

setelah terbitnya putusan MK No 18/PUU-XVII/2019 menciptakan suatu

pengaturan baru yaitu di mana pengaturan pembebanan dan pengeksekusian

jaminan fidusia tidak lagi berjalan sesuai dengan ketentuan undang-undang

nomor 42 tahun 1999. Pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

menjelaskan bahwa pembebanan dan pengeksekusian jaminan Fidusia bisa

dilakukan secara langsung. Setelah terbitnya putusan MK No 18/PUU-

XVII/2019 sudah tidak dilaksanakaan secara langsung lagi melainkan harus

124
melalui pengadilan negeri dulu dan juga proses yang harus berdasrkan alat

bukti yang menunjukan bahwa debitur wanprestasi.

Kepastian hukum bagi kreditur yang memegang jaminan fidusia setelah

terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019

menjelaskan bahwa penarikan jaminan Fidusia tidak boleh menggunakan

sistem penarikan secara langsung. Namun apabila setiap pengeksekusian

harus melalui pengadilan negeri dahulu, maka harus melalui proses-proses

yang tidak efisien dalam arti memakan banyak waktu karena dalam prosesnya

mengajukan permohonan ke pengadilan negeri bukanlah hal yang gampang

tetapi harus melalui proses yang memerlukan biaya yang mahal. Apabila

setiap pengeksekusian harus melalui pengadilan negeri terlebih dahulu. Hal

ini dapat merugikan kreditur karena biaya yang dikeluarkan tidak sesuai apa

yang didapatkan. Pada prosesnya apabila kreditur harus mengajukan

permohonan terlebih dahulu ke pengadilan negeri maka kreditur harus

menyewa seorang pengacara. Dengan menyewa pengacara tersebut maka

kreditur harus membayar biaya pengacara untuk mengajukan permohonan

jaminan Fidusia yang menurut peneliti biaya untuk proses mengeksekusi

jaminan Fidusia tidak sesuai dengan biaya jaminan Fidusia tersebut karena

merugikan kreditur.

Putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019 tidak mengesampingkan Pasal

15 ayat 2 yang memperjelas karena dalam undang-undang jaminan Fidusia

No 42 tahun 1999 tidak mengatur kedudukan debitur apabila terjadi

Wanprestasi atau cedera janji. Hingga apabila debitur wanprestasi maka

125
undang-undang jaminan Fidusia tidaklah memberi pengaturan mengenai

debiitur. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 memberikan penjelasan

bahwa kekuatan hukum antara debitur dan kreditur menjadi jelas dan

kedudukannya sama dikarenakan pihak kreditur tidak perlu melakukan

penarikan melalui debt collector lagi, melainkan bisa langsung ke pengadilan

negeri. Namun harus melalui proses untuk membayar seorang pengacara.

Dari sisi debitur terlindungi dalam hal debitur tidak perlu merasa takut akan

bertemu dengan debt collector maupun pihak ke 3 yang di utus untuk

mengambil barang jaminan Fidusia.

5.2. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah:

Terhadap Pemerintah dan DPR, perlu merevisi Undang-Undang

Jaminan Fidusia dengan memasukkan pengaturan tentang pendaftaran

jaminan fidusia secara elektronik. Hal tersebut perlu dilakukan agar

pendaftaran jaminan fidusia yang saat ini dilakukan secara elektronik

memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga sertifikat jaminan fidusia tersebut

tidak kehilangan marwah kepastian hukumnya.

Terhadap Pemerintah, perlu dibentuknya lembaga khusus dalam

menangani jaminan fidusia. Lembaga tersebut diperlukan agar ketika kreditur

akan melakukan eksekusi objek jaminan fidusia, tidak memerlukan penetapan

pengadilan negeri lagi, dikarenakan sifat dari sertifikat jaminan fidusia yang

sebanding dengan putusan berkekuatan hukum tetap.

126
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A. Hamzah dan Senjun Manullang, Lembaga Fidusia dan Penerapannya di


Indonesia, Jakarta: Indhill Co., 1987.

Anita Christiani, Hukum Perbankan Analisis Independensi Bank Indonesia,


Badan Supervisi, LPJK, Bank Syariah, dan Prinsip Mengenal Nasabah,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010.

Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan, Diterjemahkan


Oleh: Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2009.

Budi Rachmat, Multi Finance: Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,


Pembiayaan Konsumen, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002.

C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1982.

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2011.

Eddy P. Soekandi, Mekanisme Leasing, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

127
Fachmi, Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia
Publishing, 2011.

Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang


Memberikan Jaminan, Jilid 2, Jakarta: Ind Hill-Co, 2009.

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia (Seri Hukum Bisnis),
Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Hartono Hadisoeprapto, Seri Hukum Perdata: Pokok-Pokok Hukum Perdata


dan Hukum Jaminan, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Herowati Poesoko, Dinamika Hukum Parate Executie Obyek Hak


Tanggungan, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013.

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifi


kasi Teori Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra


Aditya Bakti, 1991.

__________, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung:


PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 1


Malang: Bayumedia Publishing, 2005.

Mahadi, Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Bandung:


Bina Cipta, 2003.

Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan


Fiducia, Bandung: Alumni, 2007.

Martono, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Yogyakarta: Ekonisia, 2012.

Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktik,


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Bandung:


Refika Ditama, 2010.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2016.

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika,


2009.

128
Rochmat Soemitro. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: Refika Aditama,
2004.

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pe


rs, 2012.

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia,


Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

__________, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2007.

Sinungan M, Managemen Dana Bank, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Soerjono Soekanto, Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di


Indonesia Suatu Tinjuan Secara Sosiologis, Jakarta: UI Press, 1983.

__________, Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, Jakarta: Universitas


Indonesia Pers, 2007.

Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak


Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta:


Liberty, 1986.

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, e


d. 1, cet. 2, Bandung: Alumni, 2006.

Tiong Oey Hoey, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Jakarta:


Ghalia Indonesia, 2006.

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:


Kencana, 2010.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Jakarta:


Intermasa, 2006.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

129
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2013
tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2013
tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.

Keputusan Kementrian Keuangan No. 38/MK/IV/I/72.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35 /POJK.05/2018 tentang


Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Tesis

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Wikan Triargono,
“Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dengan Jaminan Fidusia”, Tesis
Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2017.

Shinta Andriyani, “Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia di Perum


Pegadaian Kota Semarang (Study di Pegadaian Cabang Mrican Dan
Cabang Depok)”, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang, 2007.

Maharani Oktora, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Jaminan Fidusia


Atas Obyek Piutang di Bank X Jakarta”, Tesis Fakultas Hukum
Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2012.

Makalah

Mariam Darus Badrulzaman, “Beberapa Permasalahan Hukum Hak


Jaminan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi UU No. 42

130
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diselenggarakan oleh BPHN
Departemen Hukum dan Perundangundangan RI Bekerjasama dengan
PT. Bank Mandiri (Persero), Jakarta, 9-10 Mei 2000.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Juwita Ratna Sari

Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 3 Agustus 1994

Alamat : Jl. Kerinci I No. 8 Kebayoran, Baru Jakarta Selatan

Nama Orang Tua : 1. Ayah : Soepomo

2. Ibu : Hj. Mariyanti, SH

Pendidikan :

1. TK Patra Jakarta Tahun 1999 – 2001

2. SD Muhammadiyah Jakarta Tahun 2001 – 2006

3. SMP Negeri 11, Jakarta Tahun 2006 – 2009

131
4. SMA Negeri 29, Jakarta Tahun 2009 – 2012

5. Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta Tahun 2012 – 2018

6. Magister Kenotariatan Universitas Pelita Harapan Tahun 2018 - 2020

132

Anda mungkin juga menyukai