PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak usia sekolah adalah anak menginjak usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak
mulai bergabung dengan teman seuasianya, mempelajari budaya dalam masa
kanak-kanak, dan mengabungkan diri dengan kelompok seusianya. Pada usia ini
anak diharapkan memperoleh dasar – dasar pengetahuan yang dianggap penting
untuk keberhasilan penyesuaian diri anak ketika dewasa kelak (Wong, 2008).
Perkembangan yang dialami anak pada masa usia sekolah yaitu anak sudah mulai
mandiri, beberapa masalah sudah dapat di selesaikan sendiri dan anak sudah
mampu untuk menunjukan penyesuaian diri dengan lingkungan yang ada, rasa
tanggung jawab dan percaya diri dalam tugas sudah mulai terwujud. Perkembangan
kognitif, psikososial, interpersonal, moral dan spiritual sudah menunjukan
kematangan (Aziz, 2012).
Pada usia anak sekolah dasar anak mulai bergabung dengan lingkungan yang
berada di sekitarnya, berinterkasi dengan teman sebayanya, anggota keluarga dan
guru yang berada disekolah. Sering kali seorang anak mempunyai hambatan atau
bahkan melakukan perilaku yang kurang baik ketika mereka bergabung
dilingkungannya, yang dapat merugikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain. Perilaku tersebut merupakan perilaku negatif yaitu biasanya berupa kenakalan
pada anak. Kenakalan pada anak dimaknai sebagai bentuk perilaku yang kurang
sesuai dengan norma atau aturan yang berada ditengah masyarakat (Hanan, 2018).
Survey yang dilakukan oleh The Youth Risk Behavioral Survey (YRBS) selama
tahun 2011 sebanyak 33 % anak usia 9-12 tahun dilaporkan melakukan agresif fisik.
Dan precentase tertinggi terjadi pada anak usia 9 tahun (The Center for Disease
Control and Prevention (CDC), 2012) (King, 2014). Survey yang dilakukan oleh The
Youth Risk Behavioral Survey (YRBS) selama tahun 2011 sebanyak 33 % anak usia
9-12 tahun dilaporkan melakukan agresif fisik. Dan percentase tertinggi terjadi pada
anak usia 9 tahun (The Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2012)
(King, 2014).
Hingga saat ini, kasus kekerasan pada yang terjadi pada anak dengan teman
sebayanya merupakan masalah yang cukup kompleks dan mengalami peningkatan
pertahunnya. Di Indonesia Komisi Perlindungan Anak mencatat 2.637 kasus
kekerasan pada anak yang terjadi di keluarga. Kekerasan fisik yang dilakukan ayah
tiri sebanayak 91 kasus, kekerasan seksual 129 kasus dan kekerasan psikis 6
kasus. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh ayah kandung 86 kasus, kekerasan
seksual yang dilakukan oleh ayah kandung atau incest sebanyak 17 kasus dan
kekerasn psikis yang dilakukan oleh ayah kandung ada 20 kasus. Selain itu
sejumlah kekerasan fisik yang dilakukan oleh ibu kandung ada 32 kasus (Wasti,
2013). Shick, Andreas, Cierpka, & Manfred, (2016) berpendapat bahwa pada masa
anak pertengahan atau masa usia sekolah dasar anak lebih sering melakukan
perilaku negatif yaitu berupa sebuah perilaku agresif. Perilaku agresif yang
dilakukan oleh anak bisa berupa agresi fisik maupun agresi verbal, agresi fisik
seperti memukul, mendorong, mencubit, menendang, mengglitiki dan lain halnya,
kemudian perilaku agresi verbal seperti menghina, mengancam, mencaci maki,
berteriak keras, berbicara kotor dan lain halnya. Perilaku agresif pada masa anak-
anak biasanya cenderung memiliki hubungan yang kurang baik dengan sesama
teman dan pembimbing baik guru maupun dengan keluarga karena pelaku
cenderung kesulitan mengembangkan kemampuan menjalin hubungan antar
individu yang sehat (Indriyana, Lestari, & Psi, 2019).
(Santrock, 2011) menyatakan bahwa pada masa anak sekolah dasar
kebanyakan dari waktu anak dihabiskan dengan teman sebayanya, sehingga jika
kemampuan sosialisasi dari anak kurang baik anak akan sulit memperoleh teman.
Perilaku agresif pada anak sekolah dasar jika tidak ditangani dengan baik sejak dini
maka akan menghambat perkembangan sosialisasi anak pada saat remaja hingga
dewasa nanti. Selain itu juga dapat berpengaruh pada masalah akademis di
sekolah, ketika anak sibuk dengan perilaku-perilaku negatifnya anak lebih jarang
mendengarkan apa yang diperintahkan dan ditugaskan guru dan pembelajaran
yang diberikan guru sehingga anak kurang mampu mendapatkan hasil dari
pembelajaran. Sedangkan menurut penelitian (Oelfy, Basaria, dan Ananta,2018)
menyatakan bahwa perilaku agresif yang menimbulkan luka fisik (nonverbal) yaitu
antara lain memukul, menggigit, menendang, mencubit, menginjak, dan lain
sebagainya, kemudian Secara psikis (verbal), diantaranya yaitu mengucapkan kata-
kata hinaan atau mengejek, memaki dengan kata-kata kotor, melecehkan,
mengancam, membentak orang yang lebih tua, atau bahkan memerintah orang lain
seenaknya saja. Banyak sekali insiden yang terjadi sebagai manifestasi perilaku
agresif, baik secara verbal (kata-kata) maupun non verbal (action). Ekspose dari
berbagai ragam perwujudan dari perilaku agresif bisa dijumpai hampir pada setiap
media massa, dan dalam kehidupan di lingkungan sehari-hari (Susantyo, 2011).
Di Indonesia sendiri penelitian yang membahas mengenai insiden perilaku
agresif secara global belum ada tetapi terdapat beberapa penelitian yang
membahas tentang insiden perilaku agresif di beberapa daerah di Indonesia, salah
satu contohnya ialah hasil dari penelitian Fadillah di salah satu sekolah Sekolah di
kota Bandung memperoleh data perilaku agresif siswa sebanyak 33,6 % atau 39
dari 113 siswa (Kurniawan, 2014). Selain itu penelitian disalah satu Sekolah Dasar
di Bogor menunjukan sebanyak 53% dari 60 siswa pernah melakukan tindakan
agresif di sekolah, dan periaku agresif yang paling banyak ditemukan adalah
perilaku agresi verbal sebesar 87% (Latifah, 2012). Pada tahun 2014 banyak media
massa menyajikan berita di televisi tentang perilaku agresif pada anak. Salah
satunya pada tanggal 11 Oktober 2014 beredarnya video siswa sekolah di salah
satu Sekolah Dasar di Bukit Tinggi sedang melakukan agresi fisik dan agresi verbal
terhadap temannya dengan cara meninju, menghardik dan mengancam temanya
untuk memberikan uang ( Setyawan, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif sangat beragam, diantaranya
ialah faktor biologik, faktor lingkungan sosial, tayangan kekerasan. Lingkungan
keluarga dan sekolah merupakan faktor penting mengenai pembentukan suatu
karakter pada anak, lingkungan keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi,
kurangnya komunikasi antar keluarga, tidak adanya dukungan orang tua mengenai
kegiatan anak, hal-hal tersebut dapat mempengaruhi perilaku negatif pada anak.
selain itu faktor budaya yaitu berupa modelling dari orang-orang yang lebih dewasa
atau dengan lingkungan yang berada disekitarnya seperti orang tua dan juga teman
sebaya (Teresa, Jimenez, dan Estevez, 2017). Hal ini sesuai dengan teori
(Bandura,1973) “teori pembelajaran sosial”, yakni anak belajar pola kebiasaan dari
contoh orang tuanya, anak akan mengadaptasi cara berpikir orang tua untuk
mengatasi masalah. Anak yang mengalami dan melihat orang tua melakukan abuse
atau hukuman fisik kepadanya , maka ia akan belajar abuse adalah cara yang tepat
untuk menyelesaikan masalah (Dewi, Prihatsanti, Setyawan & Siswati, 2014).
Pada saat anak menginjak usia sekolah orang tua merupakan pengaruh utama
dalam membentuk kepribadian anak, membuat standar perilaku , dan menetapkan
sistem nilai. Nilai yang dianut keluarga akan mendominasi ketika anak memiliki
konflik dengan teman sebaya (Winkelstein, 2009). Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat krahe (2005), interaksi orang tua yang melakukan corporal punishment
pada anak (ancaman, hukuman atau paksaan badaniah) untuk mengontrol atau
mengubah perilaku nya, maka anak akan membuat standar perilaku yang sama
dalam kehidupan sosialnya. (Endah, 2010).
Banyak orang tua menganggap hukuman fisik pada anak adalah hal yang
wajar. Mereka berangapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak
(Herlina, 2010). Menurut Bagong (2013) contoh jelas dari tindakan kekerasan yang
dialami oleh anak-anakyang dilakukan oleh orang tua adalah kekerasan berbentuk
fisik (ditampar, ditendang, dipukul, dicekik, didorong, dicubit, diancam dengan benda
tajam, dan sebagainya), kedua kekerasan psikis (penggunaan kata-kata kasar,
penyalahgunaan kepercayaan, dipermalukan orang didepan umum, dilontarkan
ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Menurut Komisi Nasional Perlindungan
Anak, angka korban kekerasan terhadap anak di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8 persen. Pelaku kekerasan yang
paling banyak adalah orang tua dengan perbandingan di pedesaan 64,6 persen dan
di perkotaan 56.5 persen (Anak Korban Kekerasan (Fisik dan Mental) dan
Perlakuan Salah (Child Abuse) ( Situngkir 2014). Bedasarkan laporan yang masuk
ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbar kasus terbanyak terjadinya
kekerasan pada anak terjadi di daerah Pinggir Pantai dengan pelaku umumnya
adalah orang terdekat dengan umur berkisar 35-50 tahun (Armalis, 2012).
Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Hubungan Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua dengan
Agretifitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar”
B. Rumusan Masalah
“Apakah ada hubungan antara Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan
pemikiran pengetahuan untuk memperluas pemahaman bagi pengembangan
ilmu keperawatan, khususnya ilmu tentang Corporal Pumishment yang dilakukan
Orang Tua dengan Agresivitas Anak
2. Manfaat Praktisi
d. Bagi Masyarakat
TINJAUAN TEORITIS
a. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan
manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana indvidu mempelajari
dan memimkirkan lingkungannya. Perkembangan kognitif juga digunakan
dalam psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan penglohan informasi
yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan
masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis
yang berkaitan dengan individu. Selain berkaitan dengan individu juga
mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan,
menilai dan memikirkan lingkungannya (Desmita, 2015).
Mengacu pada tahap perkembangan kognitif dari Piaget, maka anak
pada masa kanak-kanak akhir berada pada tahap operasional konkret yang
berlangsung kira-kira usia 7-11 tahun (tahap operasional konkret. Pada
tahapan ini, pemikiran logis menggantikan pemikiran intuitif. Anak sudah
mampu berpikir rasional dan melakukan aktivitas logis tertentu, walaupun
masih terbatas pada objek konkret dan dalam situasi konkret. Anak telah
mampu mampu memperlihatkan keterampilan konversi, klasifikasi,
penjumlahan, pengurangan, dan beberapa kemampuan lain yang sangat
dibutuhkan anak dalam mempelajari pengetahuan dasar sekolah. Cara
berpikirnya sudah kurang egosentris yang ditandai dengan desentrasi yang
besar, yaitu sudah mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi dan juga
menghubungkan satu dengan yang lainnya (Soetjiningsih, 2012). Pada
tahap operasional konkret, anak-ank dapat memahami :
a. Konservasi, yaitu kemampuan anak untuk memahami bahwa suatu
zat/objek/benda tetap memiliki substansi yang sama walaupun mengalami
perubahan dalam penampilan. Ada beberapa macam konservasi seperti
konservasi jumlah, panjang, berat, dan volume.
b. Klasifikasi, yaitu kemampuan anak untuk mengelompokkan atau
mengklasifikasikan benda dan memahmi hubungan antarbenda tersebut.
c. Seriaton, yaitu kemampuan anak mengurutkan sesuai dimensi
kuantitatifnya. Misalnya sesuai panjang,besar dan beratnya.
d. Transitivity, yaitu kemampuan anak memikirkan relasi gabungan secara
logis. Jika ada relasi antara objek pertama dan kedua, da nada relasi
antara objek kedua dan ketiga, maka ada relasi antara objek pertama dan
ketiga.
b. Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg, perkembangan moral terjadi melalui tiga tingkatan
dan terdiri dari enam stadium, dan masing-masing stasium akan dilalui oleh
setiap anak walaupun tidak pada usia yang sama namum perkembangan
selalui melalui urutan ini (Soetjiningsih, 2012), yaitu :
1. Tingkatan I : Penalaran moral yang pra conventional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral. Pada tingkatan ini
baik dan buruk di interpretasikan melalui reward (imbalan) dan
punishment (hukuman)
Stadium 1 : moralitas heteronom
Penalaran moral terkait dengan hukuman (punishment), anak bepikir
bahwa mereka harus patuh karena takut hukuman (tingkah laku dinilai
benar bila tidak dihukum, dan sebaliknya).
Stadium 2 : individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran
Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri
sendiri
adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena
itu, menurut anak apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan
pertukaran yang setara. Mereka berpikir jika mereka akan baik terhadap
dirinya.
Jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Hurlock (2011) faktor-faktor tersebut adalah:
a. Pola asuh yang diterima orang tua waktu masih anak-anak
Orang tua mempunyai kecenderungan untuk menerapkan pola asuh yang
sama seperti pola asuh yang diterima dari orang tua mereka.
b. Pendidikan orang tua
Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung menerapkan pola asuh
yang lebih demokratif kepada anak-anaknya.
c. Kelas sosial
Adanya perbedaan kelas sosial orang tua mempengaruhi tipe pola asuh yang
diterapkan. Orang tua dari kelas sosial menengah lebih banyak menerapkan
pola asuh authoritative dibandingkan orang tua dari kelas sosial ke bawah.
d. Konsep tentang peran orang tua
Masing-masing orang tua mempunyai konsep tentang bagaimana seharusnya
mereka berperan. Orang tua yang memiliki konsep tradisional cenderung
memilih pola asuh authoritarian dibandingkan dengan konsep non tradisional.
e. Kepribadian orang tua
Kepribadian mempengaruhi orang tua dalam menginterpretasikan pola asuh
yang akan diterapkannya. Orang tua yang memiliki kepribadian tertutup dan
konservatif akan cenderung memperlakukan anaknya dengan pola asuh
authoritarian.
f. Kepribadian anak
Anak yang memiliki tipe kepribadian extrovert akan bersikap lebih terbuka
dalam menerima rangsangan yang ada dibandingkan dengan anak yang
memiliki kepribadian introvert.
g. Faktor yang dianut oleh orang tua
Kedudukan seorang anak sejajar dengan orang tua, hal itu menganut paham
‘equalitarian’.
h. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua terhadap anaknya dipengaruhi oleh usia
anak. Orang tua memberikan dukungan lebih dan dapat menerima sikap
ketergantungan pada anak usia pra sekolah dan remaja.
C. Konsep Dasar Corporal Punishment
perilaku agresif yang dikemukakan oleh para ahli. Myers (2012:69) membedakan
perilaku agresif menjadi dua tipe, yaitu: agresi sosial (social aggression) yang
ditandai dengan mengamuk; dan agresi diam (silent aggression), seperti saat
predator mengintai mangsanya. Agresi sosial dan agresi diam melibatkan bagian
otak yang berbeda. Lebih lanjut Myers (2012:69) membagi perilaku agresif dalam
merugikan.
merusak, atau merugikan, tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan lainnya.
1. Ekspresi hostility, yaitu tingkah laku yang terutama bersifat verbal atau
simbolik (misalnya, meremehkan pendapat orang lain, bergosip di belakang
mereka).
2. Sabotase, yaitu tingkah laku yang dirancang untuk menghambat atau
menyabotase kinerja target (misalnya, tidak menelpon kembali atau
menjawab memo, tidak memberikan informasi yang dibutuhkan,
mengganggu aktivitas yang penting bagi target).
3. Agresi terbuka, yaitu tingkah laku yang biasa kita kenal sebagai “kekerasan
di tempat kerja” (misalnya, kekerasan fisik, pencurian atau penghancuran
hak milik, ancaman akan kekerasan fisik). Sementara itu, Medinus dan
Johnson dalam Tri Dayakisni dan Hudaniah (2012:188) mengelompokkan
perilaku agresif menjadi empat kategori, yaitu:
a. Menyerang fisik, yang termasuk di dalamnya adalah memukul,
mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi, dan
merampas.
b. Menyerang suatu obyek, yang dimaksudkan di sini adalah menyerang
benda mati atau binatang.
c. Secara verbal atau simbolik, yang termasuk di dalamnya adalah
mengancam secara verbal, memburuk-burukkan orang lain, sikap
mengancam, dan sikap menuntut.
d. Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain.
Lebih lanjut Buss dalam Tri Dayakisni dan Hudaniah (2012:188)
mengelompokkan perilaku agresif menjadi delapan jenis, yaitu:
a. Agresi Fisik Aktif Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya dan terjadi kontak fisik
secara langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dan lain-
lain.
b. Agresi Fisik Pasif Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan
oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, namun tidak terjadi
kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, dan aksi
diam.
c. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang
dilakukan individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara
langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, seperti
merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan
lain-lain.
d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidakberhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, dan tidak terjadi kontak
fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, dan masa bodoh.
e. Agresi Verbal Aktif Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung
dengan individu/kelompok lain, seperti menghina memaki, marah, dan
mengumpat.
f. Agresi Verbal Pasif Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapandengan
individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara
langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
g. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan individu/kelompok dengan cara tidakberhadapan secara
langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, seperti
menyebar fitnah, mengadu domba.
h. Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, dan tidak terjadi kontak
verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak
menggunakan hak suara.
saja. Akan tetapi perilaku agresif pada manusia tidak selalu hanya untuk
dalam beberapa aspek dari perilaku agresif, tapi ada perbedaan dalam
kompleksitas dari perilaku agresifnya akibat faktor kebudayaan, moral dan situasi
sosial. Sejumlah penelitian telah dilakukan dalam bidang ini. Beberapa faktor
1. Naluri Agresif
Freud dalam Sofyan S. Willis (2012:122) melihat bahwa perbuatan agresif
disebabkan suatu dorongan naluri yang mewakili naluri kematian (the death
instinct). Hidup menurut freud merupakan konflik abadi antara dorongan hidup
(life instinct) dengan dorongan mati (death instinct). Sedangkan Lorenz dalam
Sofyan S. Willis (2012:122) melihat tindakan agresif manusia sebagai suatu
pertahanan diri sebagaimana terjadi juga pada binatang. Dikatakannya bahwa
faktor budaya menjadikan penahan bagi meledaknya perbuatan brutal.
2. Keadaan Sumpek (Crowding)
Pengertian fisiologis dari keadaan sumpek (crowding) adalah penuh sesaknya
manusia di suatu tempat, seperti jalanan, bus kota, kereta api, pasar, stasiun,
dan terminal bus. Keadaan sumpek secara psikologis memberi pengaruh
negatif terhadap perilaku sosial individu. Keadaan sumpek membuat individu
konflik, stres, marah, dan agresif.
3. Tindakan Agresif yang Dipelajari
Anak kecil yang selalu mendapat tekanan, lingkungan yang bertengkar, akan
menjadi anak pemarah dan agresif. Dasar perilaku pemarah dapat diperluas
dan diperkuat melalui contohcontoh dari orang dewasa dan tayang di televisi.
Orang tua yang agresif akan ditiru oleh anak-anaknya, demikian pula
masyarakat yang agresif. Sebaliknya orang tua yang permisif (masa bodoh)
cenderung membuat perilaku anak agresif karena banyak perilaku negatif
yang dibuat anak selalu dibiarkan saja tanpa ada norma evaluasi dan
pembatasan.
4. Perilaku Agresif karena Frustasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Guru
maupun siswa bisa saja mengalami frustasi di sekolah, misalnya ketika guru
menghadapi siswa yang susah diatur bisa saja menimbulkan rasa frustasi
bagi guru tersebut, atau apabila ada siswa yang merasa tidak mampu
memahami materi yang telah diberikan bisa jadi dapat menimbulkan rasa
frustasi dalam diri siswa tersebut. Perilaku agresif merupakan salah satu
respons terhadap frustrasi yang timbul tersebut dan adanya kebutuhan yang
harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya menjadi mudah
marah dan berperilaku agresif.
5. Perilaku Agresif karena Tekanan
Tekanan lingkungan terhadap individu dan kelompok menimbulkan stres.
Artinya individu merasakan pukulan hebat terhadap usaha dan tujuannya.
Kemungkinan perilaku yang terjadi akibat serangan stres antara lain:
a. Perilaku ketakberdayaan (helplessness) dan dibumbui depresi. Biasa orang
berserah diri, pasrah, menyalahkan diri sendiri, bahkan self destructive.
b. Berespons menantang lingkungan dengan nekat, lalu bertindak
menghancurkan rintangan melalui perilaku agresif.
6. Perilaku Agresif karena Balas Dendam Balas dendam merupakan proses
penyaluran frustasi melaluiproses internal yakni merencanakan pembalasan
terhadap obyek yang menghambat dan merugikannya. Biasanya balas
dendam bisa dalam bentuk yang paling ringan seperti menjahili/meliciki, dan
bisa pula dengan perusakan/penganiayaan terhadap orang lain.
Corporal
Punishment
Perilaku
Agresivitas
A. Kerangka Konsep
Perilaku
Agresivitas
: Diteliti
: Tidak Diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Corporal Pumishment yang dilakukan
Orang Tua dengan Agretivitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar
Teori ini menjelaskan tentang bagaimana interaksi anak dengan orang tua dan
lingkungannya. Sistem orang tua dan anak dipengaruhi oleh karakteristik individu
setiap anggota dan karakteristik individu tersebut yang dimodifikasi untuk
memenuhi kebutuhan sistem. Karakteristik anak, orang tua, dan lingkungan,
masing-masing mempunyai potensi untuk mempengaruhi satu sama lainnya.
Faktor yang dapat mempengaruhi interaksi orang tua yaitu pola asuh orang tua,
kemampuan psikososial, kemampuan adaptasi, status ekonomi keluarga, dan
pendidikan orang tua. Lingkungan memiliki peran dalam proses interaksi dengan
anak, faktor lingkungan meliputi budaya, dukungan sosial, masyarakat, iklim
sekolah, teman sebaya, media sosial.
Anak yang mendapatkan perilaku corporal punishment dari orang tuanya, maka
anak cenderung mengikuti perilaku yang sama seperti orang tuanya, hal ini sesuai
dengan teori yang telah dibahas di atas bahwa pola asuh orang tua berperan
penting terhadap perkembangan anak pada saat memasuki masa usia dasar. Hal
ini berdampak negatif pada anak, yang salah satu contohya menimbulkan perilaku
agresif pada anak tersebut, adapun perilaku agresif yang muncul pada diri anak
usia dasar yaitu terdapat siswa yang berkelahi dengan teman sebayanya,
menghina teman, membuat kegaduhan, merusak fasilitas sekolah
B. Hipotesis
adanya suatu hubungan, pengaruh, atau perbedaan antara dua atau lebih variabel
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunkan metode penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang
banyak menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data hingga penafsiran
terhadap data tersebut. Jenis desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Yang dimaksud analitik
observasional berarti peneliti tidak melakukan sebuah intervensi terhadap subyek
penelitian, namun dimaksudkan untuk menjelaskan suatu keadaan dan situasi.
Sedangkan cross sectional merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara melakukan suatu
pendekatan, observasi dan pengumpulan data pada variabel independen dan
dependen yang hanya satu kali dalam waktu yang sama. Peneilitian cross sectional
disebut juga jenis penelitian transversal dan merupakan metode yang paling mudah
serta sangat sederhana (Notoatmodjo, 2012).
Oleh sebab itu, penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dalam
melakukan penelitian dengan maksud dan tujuan mengetahui dan menganalisis
tentang hubungan Antara Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua dengan
Perilaku Agresivitas Anak Usia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang.
1. Populasi
Populasi merupakan subyek didalam penelitian yang memiliki kriteria sesuai
dengan yang ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2015). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa yang berusia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf
Malang
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2016). Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
yang berusia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang
3. Sampling
Sampling adalah suatu cara pengambilan sampel pada suatu penelitian.
Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan sampel yang
benar-benar sesuai dengan keseluruhan obyek penelitian (Setiadi, 2007). Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana jumlah
sampel yang diteliti sama dengan jumlah populasi.
Adapun kriteria yang dimaksud dalam penelilitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
Menurut Notoatmodjo (2012) kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang
harus dimiliki atau dipenuhi bagi setiap anggota populasi yang akan dijadikan
sampel. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Usia 10-12 tahun
2. Bertempat tinggal dengan orang tua
3. Kooperatif saat penelitian
b. Kriteria Ekslusi
Menurut Notoatmodjo (2012) kriteria eksklusi adalah kriteria atau ciri-ciri
anggota populasi yang tidak bisa dijadikan sebagai sampel dalam penelitian.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Siswa yang sedang cuti atau tidak masuk sekolah saat penyebaran
kuesioner
2. Siswa dengan orang tua yang bercerai/ broken home
3. Anak dengan kesulitan membaca dan menulis
C. Variable Penelitian
1. Variable Independen
Variable Independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahan dan timbulnya variabel dependen (Variabel
terikat). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah Corporal
Pumishment yang dilakukan orang tua (Sugiyono, 2013).
2. Varibalel Dependen
Variable dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat, karena adanya variable independen. Dalam penelitian ini
yang menjadi variabel dependen adalah Agresivitas (Sugiyono, 2013).
D. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di SDN Santo Yusuf Malang
2. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan pada 8 Febuari 2020
E. Definisi Operasional
Menurut Nursalam (2010) definisi operasional merupakan metode yang
digunakan untuk mengukur konsep dari variabel independen dan variabel
dependen.
Rentang Kelas
P=
Banyak kelas
Keterangan:
P : Panjang kelas
Rentang kelas : Selisih nilai tertinggi dan terendah
Banyak kelas : Banyaknya kategori dalam kuesioner Bila menggunakan rumus
tersebut maka didapatkan hasil dengan rentang kelas 20 dan
banyak kelas 2 sehingga P = 10. Maka didapatkan interval
perilaku agresif anak adalah:
0-10 : Perilaku agresif ringan
11-20 : Perilaku agresif berat
3. Uji Validitas dan Reliabilitas
a. Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benarbenar
mengukur apa yang di ukur (Notoatmodjo, 2012). Sebuah instrumen dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang di inginkan atau dapat
mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Kuesioner ini
dibuat sendiri oleh peneliti dan telah di validasi oleh, Bapak Walter, Ns, M.Kep,
Sp.Kep.J. Suatu instrumen dikatakan valid jika nilai Content Validity Index
(CVI) mencapai 0,70. Hasil uji validitas yang didapat kuesioner perilaku
agresif anak memiliki nilai CVI = 1 sehingga instrumen yang digunakan
peneliti telah valid.
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas instrumen pengukuran mengacu kepada kemampuanya untuk
mendapatkan hasil yang konsisten saat dipakai ulang. Suatu instrumen
dikatakan reliabel apabila koefisiennya bernilai >0.70 ( Polit& Beck, 2012)..
Penghitungan uji reliabilitas kuesioner perilaku agresif anak dilakukan dengan
teknik komputerisasi dengan menggunakan analisa Kuder Richardson-21 (KR
21) untuk item yang nilainya berskala 1 (satu) dan 0 (nol) dan memiliki jumlah
soal yang genap sehingga didapatkan nilai instrumen 1 yaitu 0.78 maka
instrumen dinyatakan reliabel.
G. Prosedur Penelitian
1. Prosedur Administrasi
a. Membuat surat permohonan ijin dengan sepengetahuan ketua Program Studi
S1 Ilmu Keperawatan STIKes Widyagama Husada .
b. Membuat proposal pengajuan penelitian kepada pihak SD Santo Yusuf
Malang
c. Mendapatkan ijin penelitian dari pihak SD Santo Yusuf Malang
d. Melakukan pemngembalian data dengan menggunakan lembar kuesioner.
e. Meminta surat telah melakukan penelitian dari pihak SD Santo Yusuf Malang
a. Data Primer
Data primer didapatkan dari hasil kuesioner adalah Corporal Pumishment dan
perilaku agresivitas yang diberikan pada anak kelas 5 SD Santo Yusuf Malang
dengan data yang diteliti adalah adalah Corporal Pumishmen dan perilaku
agresivitas yang diberikan pada usia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang.
b. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari hasil studi pendahuluan mengenai jumlah
populasi keseluruhan anak usia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang
1. Editing
Editing merupakan proses pengecekan kemabali data-data yang telah diperoleh
dalam penelitian, yang mencangkup kelengkapan data. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui lembar observasi sudah terisi lengkap atau masih ada yang belum
terisi.
3. Scoring (Penilaian)
Peneliti memberikan nilai dari data yang didapat berdasarkan skor yang telah
ditentukan dalam kuesioner
4. Tabulating
Tabulasi adalah membuat tabel-tael data, sesuai dengan tujuan penelitian atau
yang diinginkan oleh peneliti. Tabulasi merupakan proses mengklarifikasi data
menurut kriteria tertentu sehingga frekuensi dari masing-masing item, dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui karakteristik responden, Corporal
Pumishment dan perilaku agresivitas yang diberikan pada anak kelas 5 SD Santo
Yusuf Malang
7. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Suatu analisa yang digunakan untuk menganganalisa tiap variabel dari
peneilitian yang dilakukan, yang memiliki fungsi untuk meringkas kumpulan-
kumpulan data penelitian sehingga menghasilkan suatu informasi yang
berguna. Peringkasan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, jenis
pekerjaan, pendidikan, pekerjaan orang tua.
b. Analisa Bivariat
Suatu analisa yang dipergunakan untuk membuktikan Hipotesis penelitian
yaitu ada hubungan Corporal Pumishment dan perilaku agresivitas yang
diberikan pada anak kelas 5 SD Santo Yusuf Malang.
I. Etika Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2012) penelitian merupakan upaya untuk mencari
kebenran tentang semua fenomena yang terjadi dilingkungan sekitar secara
sistematis dan objektif, menyangkut kehidupan manusia. Subyek penelitian ini
adalah anak kelas 5 SD. Sebuah penelitian baru dapat dilakukan ketika telah
mendapatkan perizinan yang menekan pada masalah etika.
1. Informed Consent (Persetujuan)
Tujuan informed Consent adalah agar responden mengetahui maksud dan tujuan
penelitian selama dalam pengumpulan data jika subyek bersedia untuk diteliti
maka harus menandatangani lembar persetujuan.
2. Confidentialiy (kerahasiaan)
Peneliti akan menjaga kerahasiaan dari data yang diperoleh dan hanya akan
disajikan dalam kelompok tertentu yang berhubungan dengan penelitian,
sehingga rahasia subyek penelitian benar-benar terjamin
3. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas, peneliti tidak akan mencampur adukkan
nama subyek pada lembar persetujuan hanya diberi nomor kode tertentu.
4. Juctice dan Veracity (Keadilan dan Kejujuran)
Prinsip keadailan memenuhi prinsip keterbukaan yaitu penelitian dilakukan
dengan jujur. Hati-hati, profesioanal, berperikemanusiaan, tanpa membedakan
gender, ras, agama, etnis, social dan pendidikan
5. Manfaat dan kegunaan
Sebuah peneliti hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi
masyarakat pada umumnya. Penelitian hendaknya meminimalkan dampak yang
merugikan bagi responden.
J. Jadwal Penelitian
Terlampir
DAFTAR PUSTAKA