Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak usia sekolah adalah anak menginjak usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak
mulai bergabung dengan teman seuasianya, mempelajari budaya dalam masa
kanak-kanak, dan mengabungkan diri dengan kelompok seusianya. Pada usia ini
anak diharapkan memperoleh dasar – dasar pengetahuan yang dianggap penting
untuk keberhasilan penyesuaian diri anak ketika dewasa kelak (Wong, 2008).
Perkembangan yang dialami anak pada masa usia sekolah yaitu anak sudah mulai
mandiri, beberapa masalah sudah dapat di selesaikan sendiri dan anak sudah
mampu untuk menunjukan penyesuaian diri dengan lingkungan yang ada, rasa
tanggung jawab dan percaya diri dalam tugas sudah mulai terwujud. Perkembangan
kognitif, psikososial, interpersonal, moral dan spiritual sudah menunjukan
kematangan (Aziz, 2012).
Pada usia anak sekolah dasar anak mulai bergabung dengan lingkungan yang
berada di sekitarnya, berinterkasi dengan teman sebayanya, anggota keluarga dan
guru yang berada disekolah. Sering kali seorang anak mempunyai hambatan atau
bahkan melakukan perilaku yang kurang baik ketika mereka bergabung
dilingkungannya, yang dapat merugikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain. Perilaku tersebut merupakan perilaku negatif yaitu biasanya berupa kenakalan
pada anak. Kenakalan pada anak dimaknai sebagai bentuk perilaku yang kurang
sesuai dengan norma atau aturan yang berada ditengah masyarakat (Hanan, 2018).
Survey yang dilakukan oleh The Youth Risk Behavioral Survey (YRBS) selama
tahun 2011 sebanyak 33 % anak usia 9-12 tahun dilaporkan melakukan agresif fisik.
Dan precentase tertinggi terjadi pada anak usia 9 tahun (The Center for Disease
Control and Prevention (CDC), 2012) (King, 2014). Survey yang dilakukan oleh The
Youth Risk Behavioral Survey (YRBS) selama tahun 2011 sebanyak 33 % anak usia
9-12 tahun dilaporkan melakukan agresif fisik. Dan percentase tertinggi terjadi pada
anak usia 9 tahun (The Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2012)
(King, 2014).
Hingga saat ini, kasus kekerasan pada yang terjadi pada anak dengan teman
sebayanya merupakan masalah yang cukup kompleks dan mengalami peningkatan
pertahunnya. Di Indonesia Komisi Perlindungan Anak mencatat 2.637 kasus
kekerasan pada anak yang terjadi di keluarga. Kekerasan fisik yang dilakukan ayah
tiri sebanayak 91 kasus, kekerasan seksual 129 kasus dan kekerasan psikis 6
kasus. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh ayah kandung 86 kasus, kekerasan
seksual yang dilakukan oleh ayah kandung atau incest sebanyak 17 kasus dan
kekerasn psikis yang dilakukan oleh ayah kandung ada 20 kasus. Selain itu
sejumlah kekerasan fisik yang dilakukan oleh ibu kandung ada 32 kasus (Wasti,
2013). Shick, Andreas, Cierpka, & Manfred, (2016) berpendapat bahwa pada masa
anak pertengahan atau masa usia sekolah dasar anak lebih sering melakukan
perilaku negatif yaitu berupa sebuah perilaku agresif. Perilaku agresif yang
dilakukan oleh anak bisa berupa agresi fisik maupun agresi verbal, agresi fisik
seperti memukul, mendorong, mencubit, menendang, mengglitiki dan lain halnya,
kemudian perilaku agresi verbal seperti menghina, mengancam, mencaci maki,
berteriak keras, berbicara kotor dan lain halnya. Perilaku agresif pada masa anak-
anak biasanya cenderung memiliki hubungan yang kurang baik dengan sesama
teman dan pembimbing baik guru maupun dengan keluarga karena pelaku
cenderung kesulitan mengembangkan kemampuan menjalin hubungan antar
individu yang sehat (Indriyana, Lestari, & Psi, 2019).
(Santrock, 2011) menyatakan bahwa pada masa anak sekolah dasar
kebanyakan dari waktu anak dihabiskan dengan teman sebayanya, sehingga jika
kemampuan sosialisasi dari anak kurang baik anak akan sulit memperoleh teman.
Perilaku agresif pada anak sekolah dasar jika tidak ditangani dengan baik sejak dini
maka akan menghambat perkembangan sosialisasi anak pada saat remaja hingga
dewasa nanti. Selain itu juga dapat berpengaruh pada masalah akademis di
sekolah, ketika anak sibuk dengan perilaku-perilaku negatifnya anak lebih jarang
mendengarkan apa yang diperintahkan dan ditugaskan guru dan pembelajaran
yang diberikan guru sehingga anak kurang mampu mendapatkan hasil dari
pembelajaran. Sedangkan menurut penelitian (Oelfy, Basaria, dan Ananta,2018)
menyatakan bahwa perilaku agresif yang menimbulkan luka fisik (nonverbal) yaitu
antara lain memukul, menggigit, menendang, mencubit, menginjak, dan lain
sebagainya, kemudian Secara psikis (verbal), diantaranya yaitu mengucapkan kata-
kata hinaan atau mengejek, memaki dengan kata-kata kotor, melecehkan,
mengancam, membentak orang yang lebih tua, atau bahkan memerintah orang lain
seenaknya saja. Banyak sekali insiden yang terjadi sebagai manifestasi perilaku
agresif, baik secara verbal (kata-kata) maupun non verbal (action). Ekspose dari
berbagai ragam perwujudan dari perilaku agresif bisa dijumpai hampir pada setiap
media massa, dan dalam kehidupan di lingkungan sehari-hari (Susantyo, 2011).
Di Indonesia sendiri penelitian yang membahas mengenai insiden perilaku
agresif secara global belum ada tetapi terdapat beberapa penelitian yang
membahas tentang insiden perilaku agresif di beberapa daerah di Indonesia, salah
satu contohnya ialah hasil dari penelitian Fadillah di salah satu sekolah Sekolah di
kota Bandung memperoleh data perilaku agresif siswa sebanyak 33,6 % atau 39
dari 113 siswa (Kurniawan, 2014). Selain itu penelitian disalah satu Sekolah Dasar
di Bogor menunjukan sebanyak 53% dari 60 siswa pernah melakukan tindakan
agresif di sekolah, dan periaku agresif yang paling banyak ditemukan adalah
perilaku agresi verbal sebesar 87% (Latifah, 2012). Pada tahun 2014 banyak media
massa menyajikan berita di televisi tentang perilaku agresif pada anak. Salah
satunya pada tanggal 11 Oktober 2014 beredarnya video siswa sekolah di salah
satu Sekolah Dasar di Bukit Tinggi sedang melakukan agresi fisik dan agresi verbal
terhadap temannya dengan cara meninju, menghardik dan mengancam temanya
untuk memberikan uang ( Setyawan, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif sangat beragam, diantaranya
ialah faktor biologik, faktor lingkungan sosial, tayangan kekerasan. Lingkungan
keluarga dan sekolah merupakan faktor penting mengenai pembentukan suatu
karakter pada anak, lingkungan keluarga dengan tingkat konflik yang tinggi,
kurangnya komunikasi antar keluarga, tidak adanya dukungan orang tua mengenai
kegiatan anak, hal-hal tersebut dapat mempengaruhi perilaku negatif pada anak.
selain itu faktor budaya yaitu berupa modelling dari orang-orang yang lebih dewasa
atau dengan lingkungan yang berada disekitarnya seperti orang tua dan juga teman
sebaya (Teresa, Jimenez, dan Estevez, 2017). Hal ini sesuai dengan teori
(Bandura,1973) “teori pembelajaran sosial”, yakni anak belajar pola kebiasaan dari
contoh orang tuanya, anak akan mengadaptasi cara berpikir orang tua untuk
mengatasi masalah. Anak yang mengalami dan melihat orang tua melakukan abuse
atau hukuman fisik kepadanya , maka ia akan belajar abuse adalah cara yang tepat
untuk menyelesaikan masalah (Dewi, Prihatsanti, Setyawan & Siswati, 2014).
Pada saat anak menginjak usia sekolah orang tua merupakan pengaruh utama
dalam membentuk kepribadian anak, membuat standar perilaku , dan menetapkan
sistem nilai. Nilai yang dianut keluarga akan mendominasi ketika anak memiliki
konflik dengan teman sebaya (Winkelstein, 2009). Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat krahe (2005), interaksi orang tua yang melakukan corporal punishment
pada anak (ancaman, hukuman atau paksaan badaniah) untuk mengontrol atau
mengubah perilaku nya, maka anak akan membuat standar perilaku yang sama
dalam kehidupan sosialnya. (Endah, 2010).
Banyak orang tua menganggap hukuman fisik pada anak adalah hal yang
wajar. Mereka berangapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak
(Herlina, 2010). Menurut Bagong (2013) contoh jelas dari tindakan kekerasan yang
dialami oleh anak-anakyang dilakukan oleh orang tua adalah kekerasan berbentuk
fisik (ditampar, ditendang, dipukul, dicekik, didorong, dicubit, diancam dengan benda
tajam, dan sebagainya), kedua kekerasan psikis (penggunaan kata-kata kasar,
penyalahgunaan kepercayaan, dipermalukan orang didepan umum, dilontarkan
ancaman dengan kata-kata dan sebagainya. Menurut Komisi Nasional Perlindungan
Anak, angka korban kekerasan terhadap anak di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan perkotaan yakni 3,2 berbanding 2,8 persen. Pelaku kekerasan yang
paling banyak adalah orang tua dengan perbandingan di pedesaan 64,6 persen dan
di perkotaan 56.5 persen (Anak Korban Kekerasan (Fisik dan Mental) dan
Perlakuan Salah (Child Abuse) ( Situngkir 2014). Bedasarkan laporan yang masuk
ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbar kasus terbanyak terjadinya
kekerasan pada anak terjadi di daerah Pinggir Pantai dengan pelaku umumnya
adalah orang terdekat dengan umur berkisar 35-50 tahun (Armalis, 2012).
Berdasarkan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Hubungan Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua dengan
Agretifitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar”

B. Rumusan Masalah

“Apakah ada hubungan antara Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua

dengan Agretifitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar ?”


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan hubungan antara Corporal Pumishment yang dilakukan

Orang Tua dengan Agretifitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi distribusi fruekuensi perilaku agresif anak usiasekolah di SD

b. Mengidentifikasi distribusi fruekuensi perilaku Corporal Pumishment yang

dilakukan orang tua kepada anak usia sekolah di SD

c. Menganalisa hubungan perilaku child abuse yang dilakukan orang tua

dengan perilaku agresif anak usia sekolah di SD

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan
pemikiran pengetahuan untuk memperluas pemahaman bagi pengembangan
ilmu keperawatan, khususnya ilmu tentang Corporal Pumishment yang dilakukan
Orang Tua dengan Agresivitas Anak

2. Manfaat Praktisi

a. Manfaat Tempat Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan agar dapat

mengurangi perilaku Corporal Pumishment yang berlebihan pada anak

b. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur ilmiah terkait Corporal

Pumishment dengan Agresivitas Anak

c. Manfaat Bagi Peneliti


Sebagai pengalaman nyata dalam melakukan penelitian dengan

mengaplikasikan ilmu metedologi penelitian yang diperoleh, dan hasil

penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang pengaruh Corporal

Pumishment yang dilakukan Orang Tua dengan Agresivitas Anak

d. Bagi Masyarakat

Diharapkan masyarakat, terkhususnya para orang tua agar tidak

memberikan Corporal Pumishment (hukuman fisik) pada anak


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Anak Usia Sekolah

1. Pengertian Anak Usia Sekolah


Anak sekolah dasar yaitu anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki fisik
lebih kuat yang mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung
dengan orang tua. Anak usia sekolah ini merupakan masa dimana terjadi
perubahan yang bervariasi pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang
akan mempengaruhi pemebentukan karakteristik dan kepribadian anak.
Periode usia sekolah ini menjadi pengalaman inti anak yang dianggap mula
bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan teman
sebaya, orang tua dan lannya. Selain itu usia sekolah merupakan masa dimana
anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan dalam menentukan keberhasilan
untuk menyesuaikan diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh
keterampilan tertentu (Diyantini, et al. 2015).
2. Perkembangan Anak Usia Sekolah
Perkembangan jika dalam bahasa inggris disebut development. Menurut
Santrock development is the pattern of change that begins at conception and
continues through the life span, yang artinya perkembangan adalah perubahan
pola yang dimulai sejak masa konsepsi dan berlanjut sepanjang kehidupan.
Perkembangan berorientasi pada proses mental sedangkan pertumbuhan lebih
berorientasi pada peningkatan ukuran dan struktur. Jika perkembangan
berkatan dengan hal yang bersifat fungsional, sedangkan pertumbuhan bersifat
biologis. Misalnya, jika dalam perkembangan mengalami perubahan pasang
surut mulai lahir sampai mati. Tetapi jika pertumbuhan contohya seperti,
pertumbuhan tinggi badan dimula sejak lahir dan berhenti pada usia 18 tahun
(Desmita, 2015). Beberapa komponen yang termasuk dalam perkembangan
yaitu :

a. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan
manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana indvidu mempelajari
dan memimkirkan lingkungannya. Perkembangan kognitif juga digunakan
dalam psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan penglohan informasi
yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan
masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis
yang berkaitan dengan individu. Selain berkaitan dengan individu juga
mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan,
menilai dan memikirkan lingkungannya (Desmita, 2015).
Mengacu pada tahap perkembangan kognitif dari Piaget, maka anak
pada masa kanak-kanak akhir berada pada tahap operasional konkret yang
berlangsung kira-kira usia 7-11 tahun (tahap operasional konkret. Pada
tahapan ini, pemikiran logis menggantikan pemikiran intuitif. Anak sudah
mampu berpikir rasional dan melakukan aktivitas logis tertentu, walaupun
masih terbatas pada objek konkret dan dalam situasi konkret. Anak telah
mampu mampu memperlihatkan keterampilan konversi, klasifikasi,
penjumlahan, pengurangan, dan beberapa kemampuan lain yang sangat
dibutuhkan anak dalam mempelajari pengetahuan dasar sekolah. Cara
berpikirnya sudah kurang egosentris yang ditandai dengan desentrasi yang
besar, yaitu sudah mampu memperhatikan lebih dari satu dimensi dan juga
menghubungkan satu dengan yang lainnya (Soetjiningsih, 2012). Pada
tahap operasional konkret, anak-ank dapat memahami :
a. Konservasi, yaitu kemampuan anak untuk memahami bahwa suatu
zat/objek/benda tetap memiliki substansi yang sama walaupun mengalami
perubahan dalam penampilan. Ada beberapa macam konservasi seperti
konservasi jumlah, panjang, berat, dan volume.
b. Klasifikasi, yaitu kemampuan anak untuk mengelompokkan atau
mengklasifikasikan benda dan memahmi hubungan antarbenda tersebut.
c. Seriaton, yaitu kemampuan anak mengurutkan sesuai dimensi
kuantitatifnya. Misalnya sesuai panjang,besar dan beratnya.
d. Transitivity, yaitu kemampuan anak memikirkan relasi gabungan secara
logis. Jika ada relasi antara objek pertama dan kedua, da nada relasi
antara objek kedua dan ketiga, maka ada relasi antara objek pertama dan
ketiga.

b. Perkembangan Moral
Menurut Kohlberg, perkembangan moral terjadi melalui tiga tingkatan
dan terdiri dari enam stadium, dan masing-masing stasium akan dilalui oleh
setiap anak walaupun tidak pada usia yang sama namum perkembangan
selalui melalui urutan ini (Soetjiningsih, 2012), yaitu :
1. Tingkatan I : Penalaran moral yang pra conventional
Merupakan tingkatan terendah dari penalaran moral. Pada tingkatan ini
baik dan buruk di interpretasikan melalui reward (imbalan) dan
punishment (hukuman)
Stadium 1 : moralitas heteronom
Penalaran moral terkait dengan hukuman (punishment), anak bepikir
bahwa mereka harus patuh karena takut hukuman (tingkah laku dinilai
benar bila tidak dihukum, dan sebaliknya).
Stadium 2 : individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran
Pada tahap ini penalaran individu yang memikirkan kepentingan diri
sendiri
adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena
itu, menurut anak apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan
pertukaran yang setara. Mereka berpikir jika mereka akan baik terhadap
dirinya.

2. Tingkatan II : Penalaran moral yang conventional


Individu memberlakukan standart tertentu, tetapi standar ini ditetapkan
oleh orang lain, misalnya orang tua sekolah.
Stadium 3 : Ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang
lain, dan konformitas interpersonal.
Pada tahap ini, anak menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan
terhadap orang lain sebagai dasar dari penilain moral. Anak mengadopsi
standar moral orang tua agar dianggap oleh orang tua sebagai anak yang
bak. Dengan kata lain, mereka merupakan tahap orientasi anak atau
person yang baik.
Stadium 4 : Moralitas sistem sosial
Penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di
masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban. Sebagai contoh, anak
berpikir supaya komunitas dapat bekerja dengan efektif perlu dilindungi
oleh hukum yang diberlakukan terhadap anggotanya. Dengan kata lain,
merupakan tahap orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial (aturan
sosial yang ada harus dijaga).
3. Tingkatan III : Penalaran moral yang post-conventional
Individu menyadari adanya jalur moral alternative , mengeksplorasi pilihan
ini, laly memutuskan berdasarkan kode moral personal.
Stadium 5 : kontrak atau utilitas sosial dan hak individu
Pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih utama
atau lebih luas darpada hukum. Individu mengevaluasi validitas hukum
yang ada, dan melindungi hak asasi dan nilai dasar manusia. Dengan
kata lain, merupakan orientasi control legalitas (untuk kehidupan bersama
yang teratur).
Stadium 6 : Prinsip etis universal
Individu mengembangjan standar moral berdasarkan hak asasi manusia
universal. Ketika dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hat
nurani, individu menalar bahwa harus diikuti adalah hati nurani, meskipun
keputusan ini dapat memberikan resiko. Dengan kata lain merupakan
orientasi atas dasar prinsip dan konsiensia sendiri (ukuran penilaian
adalah konsiensia sendiri) (Soetjiningsih, 2012).
Pada masa kanak-kanak akhir usia 6-12 tahun, penalaran moral anak ada
pada angkatan II, yaitu pada moral yang conventional (tahapan
selengkapnya dapat dilihat pada uraian sebelumnya tentang masa anak
awal). Pada tingkat conventional ini individu memberlakukan satndar
tertentu, tetapi standar ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua
atau pemerintah (Soetjiningsih, 2012). Perkembangan moral pada masa
kanak-kanak akhir, sebagai berikut:
a. Anak berbuat baik bukan untuk mendapatkan kepuasan fisik, tetapi
untuk mendapatkan kepuasan psikologis yang diperoleh melalui
persetujuan sosial.
b. Lingkungan merupkan ruang lingkup yang lebih luas, kaidah moral
sebagian besar lebih ditentukan oleh norma-norma yang terdapat dalam
kelompoknya.
c. Usia sekitar 10-12 tahun sudah mengenal konsep moralitas, seperti
kejujuran, keadilan, dan kehormatan.
d. Perbuatan baik buruk dilihat dari apa motif melakukan hal tersebut.

3. Tugas–tugas Perkembangan Anak Sekolah Dasar


Menurut Hurlock E.B. (2015) tugas–tugas perkembangan anak sekolah dasar
adalah sebagai berikut:
a. Mempelajari keterampilan fisik yang dipelukan untuk permainan-permaianan
yang umum
b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang
sedangtumbuh
c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya; Mulai
mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat; Mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis danberhitung
d. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan
sehari-hari
e. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai
f. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok social dan lembaga-
lembaga
g. Mencapai kebebasan pribadi.

4. Aktualisasi Diri Anak Usia Sekolah


Aktualisasi diri adalah proses menjadi dirisendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan
potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh
pengalaman dan oleh belajar khususnya dalammasa anak-anak. Aktualisasi diri akan
berubah sejalan dengan perkembangan hidupseseorang. Ketika mencapai usia
tertentu (adolensi) seseorang akan mengalamipergeseran aktualisasi diri dari fisiologis
ke psikologis (Ritandiyono & Retnaningsih, 2006). Orang yang mampu
mengaktualisasikan dirinya sangat memahami bahwa ada eksistensi atau hambatan
lain tinggal (indwelling) didalam (internal) atau di luar (eksternal) keberadaannya
sendiri yang mengendalikan perilaku dan tindakannya untuk melakukan sesuatu.
Faktor internal merupakan bentuk hambatan yang berasal dari dalam diri seseorang,
yang meliputi: Ketidaktahuan akan potensi diri; Perasaan ragu dan takut
mengungkapkan potensi diri, sehingga potensinya tidakdapat terusberkembang.
Potensi diri merupakan modal yang perlu diketahui, digali
dandimaksimalkan.Sesungguhnya perubahan hanya bisa terjadi jika kita
mengetahuipotensi yang ada dalam diri kita kemudian mengarahkannya kepada
tindakan yangtepat dan teruji(Ritandiyono & Retnaningsih, 2006). Faktor eksternal
merupakan hambatan yang berasal dari luar diri seseorang, seperti:Budaya
masyarakat yang tidak mendukung upaya aktualisasi potensi diriseseorang karena
perbedaan karakter. Pada kenyataannya lingkunganmasyarakat tidak sepenuhnya
menuunjang upaya aktualisasi diri warganya; lingkungan masyarakat berpengaruh
terhadapupaya mewujudkan aktualisasi diri.Aktualisasi diri dapat dilakukan
jikalingkungan mengizinkannya.Lingkungan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu,baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis.Pola asuhkeluarga dalam
pembentukan aktualisasi diri anak sangatlahbesar artinya. Banyak faktor dalam
keluarga yang ikut berpengaruh dalamproses perkembangan anak. Salah satu faktor
dalam keluarga yang mempunyaiperanan penting dalam pengaktualisasian diri adalah
praktik pengasuhan anak(Ritandiyono & Retnaningsih, 2006)
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak sekolah
Proses perkembangan pada anak dapat terjadi secara cepat maupun lambat
tergantung dari individu atau lingkungannya. Proses tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor perkembangan anak, yaitu :
1. Faktor Herediter
Faktor herediter dapat diartikan sebagai pewarisan atau pemindahan
karakteritik biologis individu dari pihak kedua orang tua ke anak atau
karakteristik biologis individu yang dibawa sejak lahir yang tidak diturnkan dari
pihak kedua orang tua. Kita juga dapat menyebutkan bahwa sifat-sifat atau ciri-
ciri padi aseorang anak adalah keturunan (Lestaari, 2011).
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor yang memegang perananan penting
dalam mempengaruhi perkembangan anak. Faktor lingkungan secara garis
besar dibagi menjadi faktor prenatal dan post natal. Lingkungan post natal
secara umum dapat di golongkan menjadi lingkungan biologis (ras/suku
bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap
penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, hormon), lingkungan fisik (cuaca,
musim, keadaam geografis suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah, radiasi),
lingkungan psikososial (stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau hukuman,
kelompok sebaya, stress, sekolah), dan lingkungan keluarga (Candrasari, et al.
2017).

6. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Anak


Selain adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pada
anak, terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anak
diantaranya, yakni:
1. Sekolah
Sekolah merupakan salah satu lembaga yang berperan dalam pengaruh
pembentukan perilaku siswa. Baik buruknya suasana sekolah sangat
tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah, komitmen guru, sarana
pendidkan, dan kedisiplinan dalam sekolah. Selan dari terciptanya
kedisiplinan ,yakni juga dari kebiasaan belajar, dan pengendalian diri dari siswa
(Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta, 2010)
2. Keluarga
Keluarga adalah sebagai lingkungan pertama dan yang utama bagi
perkembangan anak. Anak usia 4-5 tahun dianggap sebagai titik awal proses
identifikasi diri menurut jenis kelamin, sehingga peran ibu dan ayah atau orang
tua pengganti (seperti nenek, kakek, dan orang dewasa, dan lainnya) sangat
besar. Apabila proses identifikasi ini tidak berjalan dengan lancer, maka dapat
timbul proses identifikasi yang salah (Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta,
2010).
3. Media Massa
Abad ini adalah abad informasi, yang ditandai oleh kemajuan yang pesat
di bidang tekonologi informasi. Selain membawa kegembiraan yang
menyenangkan serta wawasan luas. Kemajuan media elektronik yang sedang
melanda saat ini membuat anak atau remaja dipenuhi dengan tayangan dan
berita yang kurang mendidik. Dikhawatirkan akan muncul nilai kehidupan yang
tidak sesuai dengan kehidupan yang ada. Selan itu juga nila yang diserap akan
mempengaruhi perilaku dan gaya hidupnya sehari-hari (Tim Penulis Poltekkes
Depkes Jakarta, 2010).

7. Masalah pada anak usia sekolah


Pada anak-anak usia sekolah dasar, umumnya berada dalam proses perkembangan
yang berlangsung dengan cepat dalam aspek fisik, emosional, intelektual dan sosial.
Dalam tahap perkembangan tersebut, tak jarang anak mengalami hambatan atau
bahkan melakukan perilaku yang keliru yang dapat merugikan mereka, baik untuk
dirinya sendiri maupun orang lain. Perilaku yang dicerminkan dapat berupa perilaku
yang positif dan perilaku yang negatif. Salah satunya yaitu berupa perilaku kenakalan.
Kenakalan pada anak dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku yang tidak sesuai
dengan norma – norma yang hidup di tengah masyarakat. Perilaku yang tidak sesuai
dengan norma itu dianggap sebagaianak yang cacat social dan kemudian masyarakat
menilai cacat tersebut dianggap sebagai sebuah kelainan sehingga perilaku mereka
pun disebut dengan kenakalan. Pada umumnya kenakalan atau istilah lain deliquency
merupakan produk konstitusi defektif dari mental dan emosi- emosi, yaitu mental dan
emosi anak muda yang belum matang (labil) dan jadi rusak (defektif) sebagai akibat
proses pengondisian oleh lingkungan yang buruk. Siswa di Sekolah Dasar (SD) akan
mengalami masalah-masalah yang berkenaan dengan: perkembangan individu;
perbedaan individu dalam hal: kecerdasan, kecakapan, hasil belajar, bakat, sikap,
kebiasaan, pengetahuan, kepribadian, cita-cita, kebutuhan, minat, pola-pola, dan
tempo perkembangan, ciri-ciri jasmaniah dan latar belakang lingkungan; kebutuhan
individu dalam hal: memperoleh kasih sayang, memperoleh harga diri, memperoleh
penghargaan yang sama, ingin dikenal, memperoleh prestasi dan posisi, untuk
dibutuhkan orang lain, merasa bagian dari kelompok, rasa aman dan perlindungan diri,
dan untuk memperoleh kemerdekaan diri; penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku;
masalah belajar. Perilaku yang sering terjadi pada anak adalah perilaku
agresif.Perilaku agresif secara psikologi cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu
yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat.
Perilaku ini terjadi pada masa perkembangan, karena pada masa inilah seorang anak
sudah mulai merasa ingin mengetahui dan ingin melakukan sesuatu yang dia inginkan
walaupun tanpa dia sadari sesuatu yang dia lakukan itu dapat berdampak negatif pada
dirinya sendiri ataupun pada orang lain (Hurlock E.B. 2015).
B. Konsep Dasar Pola Asuh Orang Tua

1. Definisi Pola Asuh Orang Tua


Menurut Petranto (Agustiawati, 34:2017) pola asuh orang tua merupakan
pola perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif konsisten dari waktu ke
waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif.
Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan
dari tiap orang tua.
Menurut Brooks (2001) pola asuh merupakan sebuah proses dimana orang
tua sebagai individu yang melindungi dan membimbing anaknya mulai dari bayi
hingga dewasa, serta menjaga perkembangan anaknya di semua periode
perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk memberikan
tanggung jawab dan perhatian yang mencakup:
a. Kasih sayang dan hubungan dengan anak yang akan berlangsung selamanya
b. Kebutuhan material, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal
c. Disiplin dan bertanggungjawab, menghindarkan diri dari kecelakaan dan kritik
yang buruk serta hukuman yang berbahaya
d. Pendidikan intelektual dan moral
e. Persiapan menjadi dewasa yang bertanggung jawab
f. Mempertanggungjawabkan tindakan anak pada masyarakat luas dan
lingkungan
Baumrind mendefinisikan pola asuh sebagai gestalt praktik pengasuhan
yang terintegrasi, paling baik dipelajari menggunakan pendekatan berbasis pola.
Pola asuh merupakan bagaimana orang tua mengontrol, membimbing, dan
mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas perkembangannya
menuju proses pendewasaan (Smetana, 2017).
Menurut Hetherington and Parke (1999) pola asuh adalah bagaimana cara
orang tua dalam berinteraksi dengan anak secara keseluruhan yang meliputi
proses pemeliharaan, perlindungan, dan pengajaran pada anak. Dari beberapa
pengertian pola asuh menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pola
asuh merupakan cara orang tua dalam berinteraksi dengan anak dalam bentuk
membimbing, mengontrol, dan mendampingi anak dengan menggunakan pola
tertentu yang bertujuan untuk mempersiapkan perkembangan anaknya di masa
depan.
2. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang tua

Jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Hurlock (2011) faktor-faktor tersebut adalah:
a. Pola asuh yang diterima orang tua waktu masih anak-anak
Orang tua mempunyai kecenderungan untuk menerapkan pola asuh yang
sama seperti pola asuh yang diterima dari orang tua mereka.
b. Pendidikan orang tua
Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung menerapkan pola asuh
yang lebih demokratif kepada anak-anaknya.
c. Kelas sosial
Adanya perbedaan kelas sosial orang tua mempengaruhi tipe pola asuh yang
diterapkan. Orang tua dari kelas sosial menengah lebih banyak menerapkan
pola asuh authoritative dibandingkan orang tua dari kelas sosial ke bawah.
d. Konsep tentang peran orang tua
Masing-masing orang tua mempunyai konsep tentang bagaimana seharusnya
mereka berperan. Orang tua yang memiliki konsep tradisional cenderung
memilih pola asuh authoritarian dibandingkan dengan konsep non tradisional.
e. Kepribadian orang tua
Kepribadian mempengaruhi orang tua dalam menginterpretasikan pola asuh
yang akan diterapkannya. Orang tua yang memiliki kepribadian tertutup dan
konservatif akan cenderung memperlakukan anaknya dengan pola asuh
authoritarian.
f. Kepribadian anak
Anak yang memiliki tipe kepribadian extrovert akan bersikap lebih terbuka
dalam menerima rangsangan yang ada dibandingkan dengan anak yang
memiliki kepribadian introvert.
g. Faktor yang dianut oleh orang tua
Kedudukan seorang anak sejajar dengan orang tua, hal itu menganut paham
‘equalitarian’.
h. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua terhadap anaknya dipengaruhi oleh usia
anak. Orang tua memberikan dukungan lebih dan dapat menerima sikap
ketergantungan pada anak usia pra sekolah dan remaja.
C. Konsep Dasar Corporal Punishment

1. Definisi dan Ruang Lingkup Hukuman Fisik Disiplin


Definisi dan Ruang Lingkup Hukuman Fisik Disiplin (Corporal Punishment)
Istilah corporal punishment pada hakekatnya lebih ditujukan pada penghukuman
fisik. Hal ini bisa dilihat dari makna dasar dari kata "corporal" yang berasal dari
bahasa Latin, yakni "corpus ", yang berarti badan. Sedangkan, punishment
sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti hukuman (Windari, 2015).
Secara teknis Edward L. Vockel mendefinisikan corporal punishment sebagai
pengenaan rasa sakit fisik yang diberikan sebagai akibat tata perilaku yang salah
(as the infliction of physical pain contingent upon the occurence of a
misbehaviour) (Straus, 2001). mendefinisikan corporal punishment sebagai
penggunaan kekerasan fisik dengan maksud menyebabkan anak-anak
mengalami rasa sakit tapi bukan luka, demi tujuan untuk memperbaiki atau
mengontrol perilaku anak-anak. Kemudian, dalam General Comment No. 8 dan
11 CRC/C/GC/March 2007, PBB mendefinisikan corporal punishment dengan
lebih sederhana sebagai setiap bentuk hukuman yang digunakan dengan
maksud menyebabkan rasa sakit atau perasaaan tidak nyaman, meskipun
derajat ringan sekalipun
Merujuk pada beberapa definisi di atas, bentuk-bentuk tindakan
penghukuman terhadap anak yang dapat dikategorikan pada perbuatan corporal
punishment pada hakekatnya bervariasi baik dalam bobot dan jenisnya. Dari
sekian banyak bentuk corporal punishment yang ada, beberapa bentuknya yang
jamak digunakan antara lain: memukul anak dengan tangan kosong, maupun
menggunakan benda-benda tertentu untuk memukul, melempar, mencakar,
memilin, mencubit, mencekik, menjewer telinga, termasuk juga memalcsa anak
untuk tetap diam dalam posisi yang tidak nyaman, atau memaksa mereka
melakukan sesuatu yang sama sekali tidak jelas manfaatnya untuk anak, semisal
menulis beberapa kalimat dalam jumlah yang tidak rasional, dan lain sebagainya
(Studi et al., 2017).
2. Karateristik Corporal Punishment
Menurut (Windari, 2015) corporal punishment terhadap anak memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. merupakan sebuah hukuman;
b. berupa pengenaan rasa sakit atau tidak nyaman, utamanya pada fisik
seseorang;
c. akibat dari perbuatan tersebut tidak sampai membuat luka yang parah;
d. bertujuan baik sebagai sarana koreksi perilaku, disiplin, atau pengendalian
perilaku anak-anak agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

3. Gambaran Singkat Penggunaan Hukuman Disiplin terhadap Anak (corporal


punishment against children) di Sekolah
Penggunaan hukuman fisik sebagai sarana mendisiplinkan atau
mengendalikan perilaku anak telah dialami manusia sejak berabad-abad
lamanya. Sejak dahulu, penggunaan corporal punishment dipandang baik dan
diterima sebagai salah satu upaya yang paling efektif untuk mendidik anak,
terlebih lagi jika anak tersebut di anggap nakal dan sering belperilaku
menyimpang. Baru sejak tahun 1979, Swedia untuk pertama melakukan
reformasi hukum besar-besaran dengan jalan melarang tegas penggunaan
sarana ini terhadap anak dalam lingkungan apapun. Pada tahun 2009, upaya
Swedia memisahkan diikuti oleh 24 negara, dan tahun 2012 diketahui telah ada
33 negara yang melarang penuh penggunaan corporal punishment di semua
lingkungan, dan dan dosa. ada sekitar 93 negara yang melarang
penggunaannya di lingkungan sekolah (Windari, 2015).

4. Perbedaan Penganiayaan (Child PhysicalAbuse) dengan Hukuman Disiplin


terhadap Anak (corporal punishment against children)
Adanya output negatif bagi tumbuh kembang anak menyebabkan
paradigma masyarakat internasional terkait dengan corporal punishment ini mulai
bergeser. Dalam hal ini, penggunaan corporal punishment tidak lagi dipandang
sebagai sarana yang patut digunakan dalam mengasuh dan mendidik anak-
anak. Banyak negara seperti Swedia dan New Zealand yang kemudian dengan
tegas melarang penggunaan sarana ini melalui legislasinya, baik secara total
melarang penggunaannya di setiap situasi, maupun yang melarang sebagian
saja. Meskipun oleh sebagian negara, penggunaan corporal punishment tidak
lagi diterima, namun masih banyak juga negara yang bersikap permisif dan
paradoksal. Di satu sisi, mereka menganggap bahwa hukuman tersebut
bukanlah bentuk kekerasan terhadap anak, lcarena mengandung tujuan baik
yakni untuk membentuk perilaku si anak tersebut. Dengan demikian, pelarangan
corporal punishment dalam sebuah aturan tidaklah dipandang cukup signifikan.
Di sisi lainnya, mereka mengakui bahwa di antara banyaknya kasus kekerasan
fisik terhadap anak yang dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, baik oleh
orang tua, kerabat ataupun oknum guru selalu berlindung pada alasan pembenar
"demi kepentingan terbaik anak".
Penganiayaan dan corporal punishment terhadap anak sebenarnya
sama-sama merupakan bentuk kekerasan fisik terhadap anak. Namun, keduanya
merupakan dua jenis perbuatan yang berbeda. Menentukan batas keduanya juga
bukan merupakan hal yang mudah. Hal ini dikarenakan banyak dijumpai juga
praktek corporal punishment yang melewati batas-batas rasional, sehingga
cenderung bersifat abusive dan mengarah pada terjadinya penganiayaan anak.
Penganiayaan anak atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
childphysical abuse, menurut Strauss dan Donnelly merupakan sebuah serangan
terhadap anak yang mengakibatkan luka. " Sedangkan, menurut Crosson —
Tower (1999) penganiayaan merupakan perbuatan yang memang sengaja
dilakukan untuk menimbulkan luka fisik pada anak (the nonaccidental injury of a
child or children inflicted by a person),' 5 dengan bobot yang bervariasi dari yang
ringan seperti goresan dan memar, hingga yang bisa mengakibat sakit, cacat,
bahkan mengakibatkan kematian. Jadi, dalam kasus-kasus penganiayaan tidak
akan ditemukan tujuan lain selain membuat anak tersebut menderita luka/sakit.
Mengingat praktek hukuman fisik disiplin yang tidak rasional dapat juga
mengakibatkan anak-anak terluka parah, maka perlu pembeda yang jelas
apakah suatu perbuatantersebut merupakan sebuah hukuman fisik disiplin,
ataukah mumi sebuah bentuk penganiayaan. Batas pembeda antara kedua
perbuatan tersebut dapat diketahui dan beberapa parameter berikut ini:
a. Bobot Luka (severity of injury)
Merujuk pada salah satu karakteristik dan corporal punishment yang
akibatnya menitik beratkan pada rasa sakit atau tidak nyaman yang dialami
anak, namun tidak sampai menimbulkan luka fisik, menunjukkan bahwa
parameter yang paling mudah untuk menentukan apakah sebuah perbuatan
tersebut merupakan corporal punishment ataukah penganiayaan murni adalah
dilihat dan bobot luka (severity of injury) yang ditimbulkan akibat suatu
perbuatan tersebut. Misalnya, j ika dalam sebuah kasus pemberian hukuman
disiplin pada anak mengakibatkan anak tersebut menderita luka fisik baik
ringan maupun berat, bahkan menimbulkan cacat atau kematian, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dipandang sebagai corporal punishment,
melainkan sudah merupakan bentuk penganiayaan terhadap anak.
b. Batas umur dan kondisi anak ( the age and developmental stage of the child)
Batas umur dan kondisi perkembangan anak juga sering dipakai untuk
menentukan kelayakan dan rasionalitas dari hukuman disiplin pada anak.
Unsur kesesuaian dan kepatutan antara hukuman dengan umur dan kondisi
anak harus dikedepankan. Pemberian hukuman yang tidak
mempertimbangkan umur dan kondisi anak cenderung akan mengarah pada
sebuah penganiayaan. Misalnya, anak yang \berumur 5 tahun dengan kondisi
keterbelakangan mental diberikan hukuman fisik yang berlebihan misalnya
dikurung di kamar mandi, hanya karena membuat gaduh saat makan.
c. Cara Disiplin (Manner of Discipline)
Cara disiplin yang dimaksud di sini adalah cara-cara yang digunakan
orang tua/guru/wali untuk mendisiplinkan atau mengotrol perilaku anak/murid.
Dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah seberapa kuat atau
seberapa banyak frekuensi hukuman yang diberikan, serta apakah cara yang
digunakan menggunakan alat ataukan tangan kosong. Parameter ini erat
hubungannya dengan bobot luka/ bahaya yang ditimbulkan. Logikanya,
semakin sering hukuman diberilcan, semakin besar kekuatan yang digunakan
dalam menjatuhlc.an hukuman tersebut menentukan seberapaparah luka
yang akan diderita anak tersebut, sehingga jika hal tersebut terjadi maka tidak
bisa lagi dikatakan sebagai sebuah hukuman disiplin, melainkan sudah
merupakan bentuk penganiayaan yang berkedok pada hukuman disiplin.
d. Akibat pada emosi dan perkembangan anak (emotional and developmental
effects)
Seperti halnya pada kasus kekerasan atau penganiayaan pada
umumnya, akibat yang dirasakan anak (korban) tidak hanya luka fisik belaka.
Biasanya akibat lanjutan yang ditimbulkan dari penganiayaan adalah luka
psikis (emosi) yang cenderung lebih susah untuk disembuhkan, dan seringkali
meninggalkan rasa takut bahkan trauma pada anak. Bahkan di beberapa
kasus penganiayaan berat, anak (korban) akan mengalami perubahan pada
konsep dirinya, kekacauan psikologis, serta cenderung imitatif, yakni memiliki
pola perilalcu meniru bertindak seperti apa yang pernah dialaminya saat anak-
anak.
e. Motivasi Pembuat (perpetrator's motivation)
Motivasi perbuatan menjadi pembeda utama antara corporal
punishment dan penganiayaan, meskipun pada kenyataannya sulit sekali
mengetahui motivasi yang dimiliki seseorang saat melakukan sebuah
perbuatan. Seperti yang pernah disampaikan sebelumnya, bahwa motivasi
pembuat saat melakukan corporal punishment adalah untuk mendidik,
mendisiplinkan, mengendalikan dan memperbaiki perilaku dari anak.
Sedangkan pada penganiayaan, motivasi yang dimiliki lebih pada sengaja
menyakiti dan membuat anak-anak terluka. Untuk mengetahui motivasi di
balik perbuatan tersebut. Perlu dilakukan evaluasi hakikat dan derajat perilaku
anak dan upaya orang tua/guru/wali/ pengasuh dalam mengatasi perilaku
anak tersebut. Dalam hal ini perlu juga dievaluasi kemunglcinan upaya lain
yang lebih ringan untuk mendidik atau mendisiplinkan anak tanpa
mengenakan hukuman fisik apapun

5. Corporal Punishment Dalam Perspektif Hukum Indonesia


Berdasarkan hasil observasi The Child Rights Information Network (CRIN) di
tahun 2012, Indonesia disebut sebagai salah satu negara di kawasan Asia
Tenggara yang belum mengatur secara tegas dan jelas larangan penggunaan
corporal punishment di semua lingkungan", termasuk di lingkungan sekolah.
Beberapa alasan yang mendukung pernyataan CRIN ini adalah sebagai berikut:
Pertama, baik dalam Konstitusi Republik Indonesia (UUD RI 1945), KUHP,
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan beberapa
undang-undang yang relevan lainnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai
ketentuan yang melarang penggunaan corporal punishment. Lebih-lebih pada
tahun 2008, Rekomendasi dari Human Rights Treaty Monitoring Body
untukmereformasi hukum yang ada dengan mengatur larangan praktek corporal
punishment telah ditolak. Argumen yang diberikan pemerintah saat itu adalah
bahwa Indonesia telah melakukan serangkaian upaya yang panjang dan
berkesinambungan guna mengatasi kekerasan terhadap anak, dan aturan
perundang-undangan yang dimiliki Indonesia saat ini telah cukup mampu
menanggulangi corporal punishment di Indonesia." Alasan yang kedua adalah
bahwasanya kondisi sosial budaya Indonesia cenderung mendukung dan
mentoleransi penggunaan corporal punishment sebagai sarana mendidik yang
paling efisien demi kepentingan terbaik anak. Pada dasamya Indonesia telah
memiliki serangkaian peraturan perundang-undangan yang melarang segala
bentuk kekerasan terhadap anak. Menurut penulis, terjadinya perbedaan
pandangan tersebut lebih disebabkan karena perbedaan sudut pandang yang
digunakan dalam memahami konsep corporal punishment itu sendiri.
Pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia belum melarang praktek
corporal punishment muncul karena tidak ada satupun aturan di Indonesia yang
secara jelas menyebutkan corporal punishment sebagai varian dari kekerasan
fisik terhadap anak. Bentuk kekerasan fisik yang dilarang balk dalam KUHP
maupun Undang-undang Perlindungan Anak adalah penganiayaan (child
physical abuse). Padahal secara konstektual, konsep penganiayaan dan corporal
punishment sendiri berbeda, meskipun dalam prakteknya, corporal punishment
yang tidak rasional berpotensi mengarah pada sebuah penganiayaan.
Sedangkan, pandangan yang kedua (pemerintah) juga tidak bisa disalahkan,
lebih-lebih jika aturan yang ada tidak memiliki batasan hukum yang tegas perihal
penganiayaan maupun corporal punishment. Dengan demikian, anggapan yang
menyamakan corporal punishment dengan penganiayaan fisik pada umumnya
juga tidak dapat dihindarkan. Konsekuensinya, pasal-pasal penganiayaan atau
kekerasan fisik pun dipandang cukup efektif dikenakan pada kasuskasuscorporal
punishment pada umumnya.

D. Konsep Dasar Perilaku Agresivitas

1. Pengertian Perilaku Agresivitas

Agresi termasuk dalam sebuah disiplin akademis psikologi sosial. Menurut


Krahe (2005:14-15) agresi merupakan fenomena sosial yang dengan akrab telah
digunakan dalam bahasa awam sama seperti yang ada dalam kosa kata teknis
psikologi sosial. Sayangnya, menggunakan istilah yang sama tidak selalu berarti
menyiratkan kesepakatan mengenai makna denotatifnya. Sebagai contoh, ketika
ditanyai tentang pemahaman mengenai agresi, orang awam sering kali menyebut
tentang agresi yang baik sebagai lawan agresi yang buruk, sebuah pemilahan
yang ditolak oleh kebanyakan pakar psikologi sosial. Sebaliknya, ada konsensus
di bidang akademis untuk mendefinisikan agresi sebagai perilaku negatif atau
antisosial yang hampir tidak ada hubungannya dengan kesehatan psikologis
maupun kesejahteraan.
Perilaku agresif merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh
setiap orang. Definisi tentang perilaku agresif telah dikemukakan oleh banyak
ahli, sehingga sangat variatif. Buss dalam Krahe (2005:15) mengemukakan
bahwa agresi adalah sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimuli
“beracun” kepada makhluk hidup yang lain. Baron dan Byrne (2005:137)
mengemukakan bahwa perilaku agresif adalah tingkah laku yang diarahkan
kepada tujuan menyakiti makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan
semacam itu.
Menurut Hasballah M. Saad (2003:14) perilaku agresif merupakan
perwujudan perilaku seseorang yang cenderung melawan suatu rintangan sekuat
apapun dan ini berakibat pada pelanggaranpelanggaran, baik pada nilai yang
berlaku dalam masyarakat maupun norma-norma yang harus dipatuhi.
Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perilaku
agresif adalah suatu perilaku yang dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti.
Perilaku agresif mengandung unsur kekerasan, serangan atau gangguan baik
secara fisik ataupun verbal, dan merusak atau mengambil hak milik orang lain
dengan tujuan dan korban tidak menghendaki perilaku tersebut. Perilaku agresif
bisa terjadi di lingkungan pendidikan yang bisa berakibat terganggunya proses
belajar di kelas

2. Jenis-Jenis Perilaku Agresif

Perilaku agresif merupakan perilaku yang kompleks. Ada beberapa jenis

perilaku agresif yang dikemukakan oleh para ahli. Myers (2012:69) membedakan

perilaku agresif menjadi dua tipe, yaitu: agresi sosial (social aggression) yang

ditandai dengan mengamuk; dan agresi diam (silent aggression), seperti saat

predator mengintai mangsanya. Agresi sosial dan agresi diam melibatkan bagian

otak yang berbeda. Lebih lanjut Myers (2012:69) membagi perilaku agresif dalam

dua jenis, yaitu:


a. Hostile aggression, yaitu agresi yang didorong oleh kemarahan dan dilakukan

dengan tujuan melampiaskan kemarahan itu sendiri. Hostile aggression

berasal dari kemarahan yang bertujuan untuk melukai, merusak, atau

merugikan.

b. Instrumental aggression, yaitu agresi yang digunakan sebagai alat untuk

mencapai tujuan yang lain. Instrumental aggression bertujuan untuk melukai,

merusak, atau merugikan, tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan lainnya.

Baron dan Byrne mengungkapkan bahwa kebanyakan perilaku agresif yang

terjadi di tempat kerja jatuh pada tiga kategori utama, yaitu:

1. Ekspresi hostility, yaitu tingkah laku yang terutama bersifat verbal atau
simbolik (misalnya, meremehkan pendapat orang lain, bergosip di belakang
mereka).
2. Sabotase, yaitu tingkah laku yang dirancang untuk menghambat atau
menyabotase kinerja target (misalnya, tidak menelpon kembali atau
menjawab memo, tidak memberikan informasi yang dibutuhkan,
mengganggu aktivitas yang penting bagi target).
3. Agresi terbuka, yaitu tingkah laku yang biasa kita kenal sebagai “kekerasan
di tempat kerja” (misalnya, kekerasan fisik, pencurian atau penghancuran
hak milik, ancaman akan kekerasan fisik). Sementara itu, Medinus dan
Johnson dalam Tri Dayakisni dan Hudaniah (2012:188) mengelompokkan
perilaku agresif menjadi empat kategori, yaitu:
a. Menyerang fisik, yang termasuk di dalamnya adalah memukul,
mendorong, meludahi, menendang, menggigit, meninju, memarahi, dan
merampas.
b. Menyerang suatu obyek, yang dimaksudkan di sini adalah menyerang
benda mati atau binatang.
c. Secara verbal atau simbolik, yang termasuk di dalamnya adalah
mengancam secara verbal, memburuk-burukkan orang lain, sikap
mengancam, dan sikap menuntut.
d. Pelanggaran terhadap hak milik atau menyerang daerah orang lain.
Lebih lanjut Buss dalam Tri Dayakisni dan Hudaniah (2012:188)
mengelompokkan perilaku agresif menjadi delapan jenis, yaitu:
a. Agresi Fisik Aktif Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan
individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya dan terjadi kontak fisik
secara langsung, seperti memukul, mendorong, menembak, dan lain-
lain.
b. Agresi Fisik Pasif Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan
oleh individu/kelompok dengan cara berhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, namun tidak terjadi
kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, dan aksi
diam.
c. Agresi Fisik Aktif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang
dilakukan individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan secara
langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, seperti
merusak harta korban, membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan
lain-lain.
d. Agresi Fisik Pasif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidakberhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, dan tidak terjadi kontak
fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, dan masa bodoh.
e. Agresi Verbal Aktif Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan individu/kelompok dengan cara berhadapan secara langsung
dengan individu/kelompok lain, seperti menghina memaki, marah, dan
mengumpat.
f. Agresi Verbal Pasif Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara berhadapandengan
individu/kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara
langsung, seperti menolak bicara, bungkam.
g. Agresi Verbal Aktif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan individu/kelompok dengan cara tidakberhadapan secara
langsung dengan individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, seperti
menyebar fitnah, mengadu domba.
h. Agresi Verbal Pasif Tidak Langsung, yaitu tindakan agresi verbal yang
dilakukan oleh individu/kelompok dengan cara tidak berhadapan dengan
individu/kelompok lain yang menjadi tergetnya, dan tidak terjadi kontak
verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan, tidak
menggunakan hak suara.

3. Penyebab Perilaku Agresif

Apabila kita memperhatikan motif atau sebab timbulnya perilaku agresif,

maka perilaku agresif tidak selalu dianggap sebagai tindakan yang

menghancurkan. Perilaku agresif bisa dianggap tindakan untuk melindungi diri

seperti pada orang yang mempertahankan diri terhadap serangan. Pada

binatang, perilaku agresif merupakan tindakan untuk kepentingan kelanjutan

hidup binatang dan spesiesnya, bukan hanya untuk kesenangan membunuh

saja. Akan tetapi perilaku agresif pada manusia tidak selalu hanya untuk

kepentingan mempertahankan hidup dan spesiesnya, melainkan sering untuk

kesenangan dan kepuasan saja. Walaupun manusia mirip dengan binatang

dalam beberapa aspek dari perilaku agresif, tapi ada perbedaan dalam

kompleksitas dari perilaku agresifnya akibat faktor kebudayaan, moral dan situasi

sosial. Sejumlah penelitian telah dilakukan dalam bidang ini. Beberapa faktor

yang memudahkan timbulnya perilaku agresif pada manusia di antaranya

alkohol, obat-obatan, rasa sakit atau ketidaknyamanan, frustasi dan berita

kekerasan dalam media massa. Sofyan S. Willis (2012:121-126) menyebutkan

bahwa perilaku agresif disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Naluri Agresif
Freud dalam Sofyan S. Willis (2012:122) melihat bahwa perbuatan agresif
disebabkan suatu dorongan naluri yang mewakili naluri kematian (the death
instinct). Hidup menurut freud merupakan konflik abadi antara dorongan hidup
(life instinct) dengan dorongan mati (death instinct). Sedangkan Lorenz dalam
Sofyan S. Willis (2012:122) melihat tindakan agresif manusia sebagai suatu
pertahanan diri sebagaimana terjadi juga pada binatang. Dikatakannya bahwa
faktor budaya menjadikan penahan bagi meledaknya perbuatan brutal.
2. Keadaan Sumpek (Crowding)
Pengertian fisiologis dari keadaan sumpek (crowding) adalah penuh sesaknya
manusia di suatu tempat, seperti jalanan, bus kota, kereta api, pasar, stasiun,
dan terminal bus. Keadaan sumpek secara psikologis memberi pengaruh
negatif terhadap perilaku sosial individu. Keadaan sumpek membuat individu
konflik, stres, marah, dan agresif.
3. Tindakan Agresif yang Dipelajari
Anak kecil yang selalu mendapat tekanan, lingkungan yang bertengkar, akan
menjadi anak pemarah dan agresif. Dasar perilaku pemarah dapat diperluas
dan diperkuat melalui contohcontoh dari orang dewasa dan tayang di televisi.
Orang tua yang agresif akan ditiru oleh anak-anaknya, demikian pula
masyarakat yang agresif. Sebaliknya orang tua yang permisif (masa bodoh)
cenderung membuat perilaku anak agresif karena banyak perilaku negatif
yang dibuat anak selalu dibiarkan saja tanpa ada norma evaluasi dan
pembatasan.
4. Perilaku Agresif karena Frustasi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Guru
maupun siswa bisa saja mengalami frustasi di sekolah, misalnya ketika guru
menghadapi siswa yang susah diatur bisa saja menimbulkan rasa frustasi
bagi guru tersebut, atau apabila ada siswa yang merasa tidak mampu
memahami materi yang telah diberikan bisa jadi dapat menimbulkan rasa
frustasi dalam diri siswa tersebut. Perilaku agresif merupakan salah satu
respons terhadap frustrasi yang timbul tersebut dan adanya kebutuhan yang
harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya menjadi mudah
marah dan berperilaku agresif.
5. Perilaku Agresif karena Tekanan
Tekanan lingkungan terhadap individu dan kelompok menimbulkan stres.
Artinya individu merasakan pukulan hebat terhadap usaha dan tujuannya.
Kemungkinan perilaku yang terjadi akibat serangan stres antara lain:
a. Perilaku ketakberdayaan (helplessness) dan dibumbui depresi. Biasa orang
berserah diri, pasrah, menyalahkan diri sendiri, bahkan self destructive.
b. Berespons menantang lingkungan dengan nekat, lalu bertindak
menghancurkan rintangan melalui perilaku agresif.
6. Perilaku Agresif karena Balas Dendam Balas dendam merupakan proses
penyaluran frustasi melaluiproses internal yakni merencanakan pembalasan
terhadap obyek yang menghambat dan merugikannya. Biasanya balas
dendam bisa dalam bentuk yang paling ringan seperti menjahili/meliciki, dan
bisa pula dengan perusakan/penganiayaan terhadap orang lain.

4. Perkembangan Perilaku Agresif


Loeber dan Hay dalam Krahe (2005:78) mengemukakan bahwa sampai
batas tertentu agresi bersifat normatif-umur (age-normatif) di kalangan anak-
anak dan remaja. Ini berarti bahwa perilaku agresif diperlihatkan, paling tidak
sekali-sekali, oleh banyak atau kebanyakan anggota kelompok umur ini. Tetapi
ada sejumlah anak dan remaja yang menyimpang dari proses perkembangan
normal ini.Mereka memperlihatkan tingkat perilaku agresif yang tinggi dan
menetap yang tidak dapat lagi dianggap sebagai normatif-umur. Perilaku mereka
inilah yang paling menarik untuk dipahami oleh analisis perkembangan agresi.
a. Manifestasi perilaku agresif sejak masa kanak-kanak hingga remaja. Krahe
(2005:79-80) mengemukakan bahwa pertanda pertama perilaku agresif yang
bisa dikenali bayi sejak mereka berusia sekitar tiga bulan adalah ekspresi
kemarahan di wajah orang dewasa. Ini diikuti dengan ekspresi kemarahan
anak sebagai responsnya terhadap frustasi, yang dimulai pada paruh kedua
tahun pertama usia mereka. Pola-pola perilaku agresif dalam konflik dengan
teman sebaya dan orang dewasa muncul selama tahun kedua dan ketiga
kehidupan seseorang dalam bentuk temper tantrum (luapan emosi yang
kuat yang disertai kemarahan, perilaku agresif, menangis, memukul-
mukulkan telapak kaki dan tangan ke tanah atau lantai, biasa dijumpai pada
anak-anak yang berusia sekitar 2-3 tahun (Chaplin dalam Krahe, 2005:79))
dan penggunaan kekuatan fisik (seperti memukul, mendorong, dan
menendang). Pada tahun-tahun awal masa sekolah, perbedaan gender
dalam hal agresi menjadi tampak jelas. Anak laki-laki pada umumnya
memperlihatkan tingkat agresi fisik yang lebih tinggi daripada anak
perempuan. Anak perempuan memperlihatkan agresi substansial dalam
bentuk agresi verbal. Perilaku agresif cenderung menurun dari awal sampai
pertengahan masa kanak-kanak sebagai fungsi peningkatan keterampilan
mengatur diri sendiri dan sosial. Loeber dan Hay dalam Krahe (2005:80)
mengemukakan bahwa perilaku agresif berubah tingkat dan polanya pada
masa remaja dan pada masa dewasa awal. Perilaku agresif cenderung lebih
merugikan karena tingginya prevalensi senjata api dan senjata lain di
kalangan remaja laki-laki (Verlinder, Hersen, dan Thomas dalam Krahe,
2005:80-81). Perubahan penting pada pola perilaku agresif dari masa kanak-
kanak ke masa remaja adalah bahwa agresi dan kekerasan itu cenderung
menjadi lebih terorganisasi secara sosial.
b. Stabilitas perilaku agresif sejak masa kanak-kanak hingga masa remaja dan
masa dewasa awal. Penelitian longitudinal memperlihatkan bahwa perilaku
agresif relatif stabil dari waktu ke waktu. (Lamb dan Lauritsen dalam Krahe,
2005:82). Loeber dan Hay dalam Krahe (2005:82- 83) menyatakan bahwa
stabilitas akan paling tinggi di kalangan individu-individu yang mewakili
ekstrem-ekstrem kontinum agresi, yaitu mereka yang paling kurang agresif
atau yang paling agresif pada Waktu Pengukuran 1.
c. Eskalasi perilaku agresif.
Secara umum, ada temuan bahwa agresi terus menurun sebagaimana
fungsi umur. (Loeber dan Stouthamer-Loeber dalam Krahe, 2005:84). Lebih
lanjut menurut Krahe (2005:84) berhentinya agresi mungkin mencerminkan
pola perkembangan perilaku normatif-umur dalam hubungannya dengan
perilaku agresif, tetapi ada proporsi yang cukup substansial di antara anak-
anak agresif yang tetap membawa serta perilaku agresifnya ketika umur
mereka semakin bertambah. Karena agresi memanifestasikan diri dalam
berbagai macam bentuk beserta berbagai tingkat kekerasan yang terlibat di
dalamnya.
d. Anteseden emosional dan kognitif perilaku agresif.
Krahe (2005:86) menyebutkan isu sentral lain dalam memahami perbedaan
individualdalam perilaku agresif pada masa kanak-kanak dan remaja
berkaitan dengan peran karakteristik pribadi, terutama kontrol emosional dan
fungsi kognitif. Anak-anak yang memperlihatkan defisit dalam hal pengaturan
afeksi dan pengotrolan impuls lebihberkemungkinan untuk mengembangkan
dan mempertahankan pola-pola perilaku agresif. Anak-anak ini sering
dipersepsi sebagai anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan sulit
mengatur impuls-impuls agresifnya dengan cara yang sesuai dengan
umurnya (Kingston dan Prior dalam Krahe, 2005:86-87). Perbedaan
temperamen muncul pada usia dini dan memengaruhi cara perlakuan
lingkungan sosial terhadap anak-anak. Lebih lanjut Krahe (2005:87)
menyatakan bahwa pada tingkat fungsi kognitif secara umum, dampak yang
mungkin timbul dari tingkat kecerdasan yang rendah dan gangguan
pemusatan perhatian (attention deficit disorders/ADD) belum banyak diteliti.
Temuan-temuan yang ada menunjukkan bahwa kedua variabel itu mungkin
berhubungan dengan agresi, tapi sifat hubungan dan interaksi pastinya
dengan berbagai variabel lain masih memerlukan klarifikasi. Erdley dan
Asher dalam Krahe (2005:87) menemukan bahwa anak-anak yang melihat
agresi sebagai bentuk perilaku sosial yang dapat dibenarkan menunjukkan
tingkat perilaku agresif aktual yang lebih tinggi.
e. Pengaruh sosial terhadap perkembangan agresi.
Krahe (2005:89) mengemukakan bahwa berbagai kondisi sosial yang
merugikan telah ditelaah sebagai penyebab potensial untuk menimbulkan
perbedaan individual dalam agresi. Disiplin orangtua yang keras memiliki
hubungan tinggi dengan agresivitas anak-anaknya, antara lain karena anak-
anak itu menganggap hukuman badan sebagai bentuk tindakan mengatasi
konflik yang dapat diterima. Selain itu, anak-anak yang dianiaya dan
ditelantarkan juga memperlihatkan tingkat agresi yang lebih tinggi (Coie dan
Dodge; Englander dalam Krahe, 2005:89). Peran belajar melalui
pengamatan juga digarisbawahi oleh temuan-temuan yang berhubungan
dengan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan secara langsung dalam
keluarga atau secara tidak langsung melalui tayangan-tayangan media
meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku agresif (Wilson dalam Krahe,
2005:89).

5. Dampak Perilaku Agresif


Handayani (2004) mengemukakan beberapa hal dampak perilaku agresif
diantaranya adalah :
a. Dampak bagi pelaku
Anak akan dijauhi oleh teman-temannya, mendapat label sebagai anak nakal,
serta dibenci oleh teman-temannya. Dari hal tersebut berdampak juga pada
konsep diri anak tersebut. Anak tersebut menjadi memiliki konsep diri yang
negatif karena lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan serta
membuat dirinya merasa terisolasi.

b. Dampak bagi korban


Bagi korban akan memberikan efek korban menjadi selalu merasa ketakutan,
terancam dan merasa tidak nyaman, serta apabila bertemu dengan pelaku
akan cenderung menghindar. Beberapa kasus disekolah adalah sampai
enggan untuk berangkat ke sekolah. Selain itu juga akan membuat hubungan
sosialisasi menjadi kurang sehat Ronen (Safaria, 2004) mengatakan anak
yang agresif mengalami kesulitan dalam kemampuan kognisi sosial,
ketrampilan sosial, dan kesulitan penyesuaian diri. Hal tersebut tentu akan
sangat menggangu tugas perkembangan yang harusnya dapat dilewati
dengan baik oleh individu tersebut. Penanganan yang tepat akan sangat
membantu begitu melihat salah satu indikasi yang muncul yang kemungkinan
anak tersebut akan melakukan tindakan agresif. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif akan sangat merugikan baik bagi
pelaku maupun korban. Oleh sebab itu, perhatian bagi setiap pendidik di
sekolah apabila melihat indikasi salah satu seorang siswanya untuk
melakukan tindakan agresif hendaknya dapat segera memberikan
penanganan segera, karena perilaku agresif apabila telah menjadi suatu
kebiasaan akan membuat pelaku merasa bahwa hal tersebut telah menjadi
sifat bagi dirinya.

6. Perilaku Agresif Siswa di Kelas


Perilaku agresif pada masa kanak-kanak dan remaja dapat juga
diperlihatkan di lingkungan sekolah, karena perilaku agresif anakanak bisa terjadi
dalam hubungan antar teman sebaya. Perilaku agresif di sekolah bisa terjadi
pada siswa di dalam kelas, seperti akibat siswa susah dalam menerima dan
memahami materi yang disampaikan sehingga kesulitan dalam menjawab soal-
soal yang diberikan. Hal ini dapat menyebabkan rasa frustasi siswa muncul,
apalagi dalam usia remaja yang memudahkan munculnya perilaku agresif siswa
di kelas seperi ramai di kelas, tidak memperhatikan materi yang diajarkan guru,
membolos sekolah, mengganggu teman, dan sikap-sikap lain yang menjurus
penolakan terhadap pelajaran dan peraturan di sekolah.

7. Indikator Perilaku Agresif Siswa di Kelas


Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan indikator yang
mengindikasikan bahwa siswa telah berperilaku agresif. Hal ini dapat kita lihat
berdasarkan dari gejala-gejala yang tampak yaitu yang bersifat fisik atau verbal,
aktif atau pasif, dan langsung atau tidak langsung. Dari gejala-gejala tersebut
dapat dirumuskan indikator bahwa siswa telah berperilaku agresif, yaitu:
mengganggu teman; mengambil barang orang lain tanpa ijin; melakukan aktivitas
yang tidak sesuai dengan pelajaran; tidak mau mengerjakan tugas;tidak menaati
jam pelajaran; mengejek orang lain; memarahi orang lain; membuat suasana
gaduh; menceritakan kejelekan orang lain; dan tidak mau diajak berinteraksi
dengan orang lain.
E. Kerangka Teori

Corporal

Punishment

Faktor Yang Mempengaruhi Faktor Yang Mempengaruhi Pola


Perilaku Anak Asuh Orang Tua
1. Keluarga 1. Tingkat pendidikan
2. Sekolah 2. Tingkat ekonomi
3. Media Sosial 3. Kepribadian orang tua
4. Kepribadian anak
5. Konsep peran orang tua
6. Usia anak
7. Pola asuh yang diterima
orang tua saat Kecil

Perilaku

Agresivitas

Karakteristik Corporal Punishment Jenis Perilaku Agresivitas


1. Berupa hukuman 1. Agresi fisik aktif langsung
2. Berupa pengenaan rasa sakit, tidak 2. Agresi fisik pasif langsung
nyaman, terutama pada fisik 3. Agresi fisik aktif tidak langsung
seseorang 4. Agresi fisik pasif tidak langsung
3. Akibat dari coporal punishment 5. Agresi verbal aktif langsung
tidak sampai membuat luka yang 6. Agresi verbal pasif langsung
parah 7. Agresi verbal aktif tidak
4. Bertujuan baik sebagai sarana atau langsung
pengendalin perilaku anak-anak 8. Agresi verbal pasif tidak
sesuai dengan norma yang berlakuDampak Perilaku Agresifitas langsung
1. Dampak bagi pelaku :
- Di jauhi, dan di benci temannya
- Mendapat label (cap) anak nakal
2. Dampak bagi korban :
- Selalu merasa ketakutan,
terancam, dan tidak nyaman
- Pelaku cenderung menghindar
- Kesulitan dalam bersosialisasi
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Perilaku
Agresivitas

Faktor Yang Lingkungan


Mempengaruhi 1. Keluarga
Perilaku Anak 2. Iklim sekolah
1. Keluarga 3. Teman sebaya
2. Sekolah 4. Budaya
3. Media Sosial 5. Media sosial
6. Perilaku teman sebaya

Kedua orang tua saya


Corporal Pumishment Orang Tua
1. Berupa hukuman menampar saya ketika saya
2. Memukul dengan tangan Ya
kosong Kedua orang tua saya
3. Memukul menggunakan
Tidak
benda-benda tertentu memarahi saya ketika saya
4. Melempar
5. Mencakar Kedua orang tua saya
6. Menjewer
7. Mencubit, dll menggunakan hukuman

sebagai cara untuk


Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Antara Corporal Pumishment yang dilakukan
Orang Tua dengan Agretivitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar
Teori ini menjelaskan tentang bagaimana interaksi anak dengan orang tua dan
lingkungannya. Sistem orang tua dan anak dipengaruhi oleh karakteristik individu
setiap anggota dan karakteristik individu tersebut yang dimodifikasi untuk
memenuhi kebutuhan sistem. Karakteristik anak, orang tua, dan lingkungan,
masing-masing mempunyai potensi untuk mempengaruhi satu sama lainnya.
Faktor yang dapat mempengaruhi interaksi orang tua yaitu pola asuh orang tua,
kemampuan psikososial, kemampuan adaptasi, status ekonomi keluarga, dan
pendidikan orang tua. Lingkungan memiliki peran dalam proses interaksi dengan
anak, faktor lingkungan meliputi budaya, dukungan sosial, masyarakat, iklim
sekolah, teman sebaya, media sosial.
Anak yang mendapatkan perilaku corporal punishment dari orang tuanya, maka
anak cenderung mengikuti perilaku yang sama seperti orang tuanya, hal ini sesuai
dengan teori yang telah dibahas di atas bahwa pola asuh orang tua berperan
penting terhadap perkembangan anak pada saat memasuki masa usia dasar. Hal
ini berdampak negatif pada anak, yang salah satu contohya menimbulkan perilaku
agresif pada anak tersebut, adapun perilaku agresif yang muncul pada diri anak
usia dasar yaitu terdapat siswa yang berkelahi dengan teman sebayanya,
menghina teman, membuat kegaduhan, merusak fasilitas sekolah

B. Hipotesis

Hipotesis yaitu jawaban sementara dari rumusan masalah. Hipotesis alternatif

(Ha/H1) merupakan hipotesis dalam suatu penelitian. Hipotesis ini menyatakan

adanya suatu hubungan, pengaruh, atau perbedaan antara dua atau lebih variabel

dalam suatu penelitian (Nursalam, 2015).

H1 : Ada Hubungan Antara Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua

dengan Agretivitas Anak Pada Siswa Sekolah Dasar.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunkan metode penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang
banyak menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data hingga penafsiran
terhadap data tersebut. Jenis desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Yang dimaksud analitik
observasional berarti peneliti tidak melakukan sebuah intervensi terhadap subyek
penelitian, namun dimaksudkan untuk menjelaskan suatu keadaan dan situasi.
Sedangkan cross sectional merupakan suatu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara melakukan suatu
pendekatan, observasi dan pengumpulan data pada variabel independen dan
dependen yang hanya satu kali dalam waktu yang sama. Peneilitian cross sectional
disebut juga jenis penelitian transversal dan merupakan metode yang paling mudah
serta sangat sederhana (Notoatmodjo, 2012).
Oleh sebab itu, penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dalam
melakukan penelitian dengan maksud dan tujuan mengetahui dan menganalisis
tentang hubungan Antara Corporal Pumishment yang dilakukan Orang Tua dengan
Perilaku Agresivitas Anak Usia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi merupakan subyek didalam penelitian yang memiliki kriteria sesuai
dengan yang ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2015). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa yang berusia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf
Malang

2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2016). Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa
yang berusia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang
3. Sampling
Sampling adalah suatu cara pengambilan sampel pada suatu penelitian.
Sampling adalah suatu cara yang ditempuh dengan pengambilan sampel yang
benar-benar sesuai dengan keseluruhan obyek penelitian (Setiadi, 2007). Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, dimana jumlah
sampel yang diteliti sama dengan jumlah populasi.
Adapun kriteria yang dimaksud dalam penelilitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
Menurut Notoatmodjo (2012) kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang
harus dimiliki atau dipenuhi bagi setiap anggota populasi yang akan dijadikan
sampel. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Usia 10-12 tahun
2. Bertempat tinggal dengan orang tua
3. Kooperatif saat penelitian
b. Kriteria Ekslusi
Menurut Notoatmodjo (2012) kriteria eksklusi adalah kriteria atau ciri-ciri
anggota populasi yang tidak bisa dijadikan sebagai sampel dalam penelitian.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Siswa yang sedang cuti atau tidak masuk sekolah saat penyebaran
kuesioner
2. Siswa dengan orang tua yang bercerai/ broken home
3. Anak dengan kesulitan membaca dan menulis

C. Variable Penelitian

1. Variable Independen
Variable Independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi
atau yang menjadi sebab perubahan dan timbulnya variabel dependen (Variabel
terikat). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah Corporal
Pumishment yang dilakukan orang tua (Sugiyono, 2013).

2. Varibalel Dependen
Variable dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat, karena adanya variable independen. Dalam penelitian ini
yang menjadi variabel dependen adalah Agresivitas (Sugiyono, 2013).
D. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di SDN Santo Yusuf Malang

2. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan pada 8 Febuari 2020

E. Definisi Operasional
Menurut Nursalam (2010) definisi operasional merupakan metode yang
digunakan untuk mengukur konsep dari variabel independen dan variabel
dependen.

Tabel 4.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Corporal Pemberian Kuesioner Kuesioner Ordinal
Pumishment hukuman dari Parenting terdiri dari 32
orang tua untuk Style and pernyataan. 1=
anaknya berupa Dimension tidak pernah, 2=
rasa sakit fisik yang Questionn sesekali, 3=
diberikan sebagai aire kadang-kadang,
akibat tata perilaku (PSDQ) 4= sangat
yang salah sering, 5=
selalu.
Skor penilaian akhir:
Baik : 76-100%
Cukup : 56-75%
Kurang : < 55%
(Arikunto, 2006).

Perilaku mengidentifikasika Kuesioner Kategori penilaian Nominal


Agresivitas n Perilaku 0-10 : Perilaku
bentuk perilaku Agresiv agresif ringan
agresif yang (Sulastri, 11-20 : Perilaku
dilakukan anak 2017) agresif berat
secara verbal yang (Sulastri, 2017)
diukur
berdasarkan 5
aspek verbal yaitu
mengejek, memaki,
memaksa,
membentak, dan
menakut-nakuti.
F. Instrument Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur
fenomena alam maupun sosial yang diamati, secara spesifik semua fenomena ini
disebut variabel penelitian (Sugiyono, 2016). Instrumen merupakan alat untuk
pengumpulan data, dalam penelitian ini instrumen yang digunakan yaitu kuesioner.
Kuesioner tersebut meliputi:
1. Kuesioner Parenting Style and Dimension Questionn Aire (PSDQ)
Kuesioner The Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) yang
dibuat oleh Robinson et al. (2001) dengan mengadaptasi dari Parenting Practice
Questionnaire (PPQ). Alat ukur ini disusun berdasarkan teori parenting style dari
Baumrind yang bertujuan untuk melihat intensitas munculnya perilaku tertentu
dari orang tua terhadap anaknya. PSDQ diisi oleh anak yang menjadi responden,
dimana kuesioner ini terdiri dari 32 item pernyataan yang tidak mempunyai item
favorable dan unfavorable. Kuesioner ini rerdapat 3 subskala yang masing-
masing mengukur pola asuh orang tua authoritative (15 item), authoritarian (12
item) dan permissive (5 item). 15 item dalam authoritative terdiri dari tiga
subskala yaitu: connection, regulation, dan autonomy granting. 12 item dalam
authoritarian dikelompokkan menjadi tiga subskala yaitu: physical coercion,
verbal hostility, dan non-reasoning/punitive. 5 item dalam permissive meliputi
subskala indulgent dimension. Skala kuesioner ini menggunakan skala likert.
Setiap item memiliki pilihan jawaban dengan skor 1 sampai 5. Skor 1 untuk
jawaban responden yang memilih tidak pernah, skor 2 untuk pilihan jawaban
sesekali, skor 3 untuk kadangkadang, skor 4 untuk sangat sering, dan skor 5
untuk selalu. Skala pola asuh authoritative terdapat pada pernyataan nomor 1, 3,
5, 7, 9, 11, 12, 14, 18, 21, 22, 25, 27, 29, 31. Skala pola asuh authoritarian
terdapat pada pernyataan nomor 2, 4, 6, 10, 13, 16, 19, 23, 26, 28, 30, 32. Skala
pola asuh permissive terdapat pada pernyataan nomor 8, 15, 17, 20, 24. Pada
masing-masing item pernyataan pola asuh orang tua dilakukan skoring dengan
cara menghitung rata-rata pada setiap jenis pola asuh orang tua.
Selanjutnya dicari nilai rerata tertinggi dari ketiga jenis pola asuh untuk
menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua. Apabila didapatkan dua
pola asuh yang memiliki nilai tertinggi yang sama maka dikategorikan sebagai
gabungan antara dua pola asuh tertinggi tersebut (Robinson, C. C., Mandleco,
B., Olsen, S. F., & Hart, C. H., 2001).
4. Kuesioner perilaku agresif
Kuesioner perilaku agresif anak bertujuan untuk mengidentifikasikan bentuk
perilaku agresif yang dilakukan anak secara verbal yang diukur berdasarkan 5
aspek verbal yaitu mengejek, memaki, memaksa, membentak, dan menakut-
nakuti. Kuesioner ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan dari bentuk perilaku
agresif anak dalam bentuk verbal menurut teori Hamalik (2007). Kuesioner
perilaku agresif menggunakan Skala Guttman dengan duapuluh pertanyaan dan
pilihan Ya bernilai satu (1) dan Tidak bernilai nol (0). Nilai tertinggi yang dapat di
peroleh adalah dua puluh (20) dan nilai terendah adalah nol (0). Skala ukur yang
digunakan dalam variabel ini adalah skala ordinal, dimana nilai panjang/lebar
kelas interval antara kategori didapatkan dengan menggunakan rumus statistik
(Wahyuni 2011) yaitu:

Rentang Kelas
P=
Banyak kelas

Keterangan:
P : Panjang kelas
Rentang kelas : Selisih nilai tertinggi dan terendah
Banyak kelas : Banyaknya kategori dalam kuesioner Bila menggunakan rumus
tersebut maka didapatkan hasil dengan rentang kelas 20 dan
banyak kelas 2 sehingga P = 10. Maka didapatkan interval
perilaku agresif anak adalah:
0-10 : Perilaku agresif ringan
11-20 : Perilaku agresif berat
3. Uji Validitas dan Reliabilitas
a. Uji Validitas
Uji validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benarbenar
mengukur apa yang di ukur (Notoatmodjo, 2012). Sebuah instrumen dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang di inginkan atau dapat
mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Kuesioner ini
dibuat sendiri oleh peneliti dan telah di validasi oleh, Bapak Walter, Ns, M.Kep,
Sp.Kep.J. Suatu instrumen dikatakan valid jika nilai Content Validity Index
(CVI) mencapai 0,70. Hasil uji validitas yang didapat kuesioner perilaku
agresif anak memiliki nilai CVI = 1 sehingga instrumen yang digunakan
peneliti telah valid.
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas instrumen pengukuran mengacu kepada kemampuanya untuk
mendapatkan hasil yang konsisten saat dipakai ulang. Suatu instrumen
dikatakan reliabel apabila koefisiennya bernilai >0.70 ( Polit& Beck, 2012)..
Penghitungan uji reliabilitas kuesioner perilaku agresif anak dilakukan dengan
teknik komputerisasi dengan menggunakan analisa Kuder Richardson-21 (KR
21) untuk item yang nilainya berskala 1 (satu) dan 0 (nol) dan memiliki jumlah
soal yang genap sehingga didapatkan nilai instrumen 1 yaitu 0.78 maka
instrumen dinyatakan reliabel.

G. Prosedur Penelitian
1. Prosedur Administrasi
a. Membuat surat permohonan ijin dengan sepengetahuan ketua Program Studi
S1 Ilmu Keperawatan STIKes Widyagama Husada .
b. Membuat proposal pengajuan penelitian kepada pihak SD Santo Yusuf
Malang
c. Mendapatkan ijin penelitian dari pihak SD Santo Yusuf Malang
d. Melakukan pemngembalian data dengan menggunakan lembar kuesioner.
e. Meminta surat telah melakukan penelitian dari pihak SD Santo Yusuf Malang

2. Prosedur Pengumpulan Data


Prosedur pengumpulan data pada penelitian yang dilakukan yaitu dengan
menggunakan data primer dan data sekunder (Notoatmodjo, 2012).

a. Data Primer
Data primer didapatkan dari hasil kuesioner adalah Corporal Pumishment dan
perilaku agresivitas yang diberikan pada anak kelas 5 SD Santo Yusuf Malang
dengan data yang diteliti adalah adalah Corporal Pumishmen dan perilaku
agresivitas yang diberikan pada usia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang.
b. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari hasil studi pendahuluan mengenai jumlah
populasi keseluruhan anak usia 10-11 tahun di SD Santo Yusuf Malang

H. Pengolahan dan Analisa Data

1. Editing
Editing merupakan proses pengecekan kemabali data-data yang telah diperoleh
dalam penelitian, yang mencangkup kelengkapan data. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui lembar observasi sudah terisi lengkap atau masih ada yang belum
terisi.

2. Coding (Pemberian Kode)


Peneliti memberikan kode pada setiap variabel yang didata, berguna untuk
mempermudah proses penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini peneliti
memberikan kode pada setiap variabel-variabel yang diteliti yang tujuannya untuk
mempermudah dalam proses tabulasi dan analisis data

3. Scoring (Penilaian)
Peneliti memberikan nilai dari data yang didapat berdasarkan skor yang telah
ditentukan dalam kuesioner

4. Tabulating
Tabulasi adalah membuat tabel-tael data, sesuai dengan tujuan penelitian atau
yang diinginkan oleh peneliti. Tabulasi merupakan proses mengklarifikasi data
menurut kriteria tertentu sehingga frekuensi dari masing-masing item, dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui karakteristik responden, Corporal
Pumishment dan perilaku agresivitas yang diberikan pada anak kelas 5 SD Santo
Yusuf Malang

5. Entry (Memasukkan Data)


Data yang sudah masuk dalam bentuk kode kemudian langkah selanjutnya
memasukkan data tersebut ke aplikasi komputer, apliaksi yang sering digunakan
dalam penelitian yaitu SPSS16.
6. Cleaning (Pembersihan Data)
Apabila semua data yang didapat telah dimasukkan, perlu dilakukan
pengecekkan kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan dari
pengkodean yang dilakukan.

7. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Suatu analisa yang digunakan untuk menganganalisa tiap variabel dari
peneilitian yang dilakukan, yang memiliki fungsi untuk meringkas kumpulan-
kumpulan data penelitian sehingga menghasilkan suatu informasi yang
berguna. Peringkasan dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, jenis
pekerjaan, pendidikan, pekerjaan orang tua.
b. Analisa Bivariat
Suatu analisa yang dipergunakan untuk membuktikan Hipotesis penelitian
yaitu ada hubungan Corporal Pumishment dan perilaku agresivitas yang
diberikan pada anak kelas 5 SD Santo Yusuf Malang.

I. Etika Penelitian
Menurut Notoatmodjo (2012) penelitian merupakan upaya untuk mencari
kebenran tentang semua fenomena yang terjadi dilingkungan sekitar secara
sistematis dan objektif, menyangkut kehidupan manusia. Subyek penelitian ini
adalah anak kelas 5 SD. Sebuah penelitian baru dapat dilakukan ketika telah
mendapatkan perizinan yang menekan pada masalah etika.
1. Informed Consent (Persetujuan)
Tujuan informed Consent adalah agar responden mengetahui maksud dan tujuan
penelitian selama dalam pengumpulan data jika subyek bersedia untuk diteliti
maka harus menandatangani lembar persetujuan.

2. Confidentialiy (kerahasiaan)
Peneliti akan menjaga kerahasiaan dari data yang diperoleh dan hanya akan
disajikan dalam kelompok tertentu yang berhubungan dengan penelitian,
sehingga rahasia subyek penelitian benar-benar terjamin
3. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas, peneliti tidak akan mencampur adukkan
nama subyek pada lembar persetujuan hanya diberi nomor kode tertentu.
4. Juctice dan Veracity (Keadilan dan Kejujuran)
Prinsip keadailan memenuhi prinsip keterbukaan yaitu penelitian dilakukan
dengan jujur. Hati-hati, profesioanal, berperikemanusiaan, tanpa membedakan
gender, ras, agama, etnis, social dan pendidikan
5. Manfaat dan kegunaan
Sebuah peneliti hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi
masyarakat pada umumnya. Penelitian hendaknya meminimalkan dampak yang
merugikan bagi responden.

J. Jadwal Penelitian
Terlampir

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S.2006.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Bandung:


Rineka Cipta
Armalis. (2012). Hubungan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Emosional
Terhadap Kesehatan Jiwa Anak Usia Sekolah di Sekolah Dasar Negeri 09 Berok
Kec Padang Barat Padang. Skripsi: Fkep Unand.
Bagong, Suyanto.Dr. (2013). Masalah Sosial Anak. ed Revisi (17-100).Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Bandura, A. (1986). Social Learning Theory. New Jersey : Prentice – Hall, Inc
Brooks, J. (2001) The Process of Parenting. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Dewi, K. S., Unika, Prihatsanti., Imam, Setyawan., Siswati. (2014). Children`s
agresivve behavior tendency in central java coastal region : the role of parent-child
interaction, father`s affection, and media exposure: international conference on
tropical coastal region eco-development2014. Procedia enviromental sciences. 23.
192-198.
Hanan, F., Basaria, d., & Yanuar, S. (2018). Penerapan group art therapy bagi
anak-anak masa pertengahan yang memiliki kecenderungan agresi verbal. Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni.
Hanan, F., Basaria, D., & Yanuar, S. (2018). Penerapan group art therapy bagi
anak-anak masa pertengahan yang memiliki kecenderungan agresi verbal. Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 2(10), 97-107.
Hasballah M. Saad. (2003). Perkelahian Pelajar: Potret Siswa SMU di DKI
Jakarta. Yogyakarta: Galang Press.
Herlina, L. S. (2010). Defenisi Kekerasan Terhadap Anak. Diakses dari
repository.usu.ad.id/bitstream/123456789/33206/3/chapter%20II.Pdf pada tanggal
3 maret 2015.
Hurlock, E. B.(2002) .Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Hurlock, E. (2011) Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. (2015). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan E.d. 5. Jakarta: Erlangga.
Indriyana, P., Lestari, R., & Psi, S. (2019). Perilaku Agresif Pada Anak Sekolah
Dasar.
King.K.K. (2014). Violence in the school setting : a school nurse perspective.
Diakses pada tanggal 3 Maret 2015. Dari
http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories/ANAMarketplace/ANAPeriodical
s/OJIN/TableofContents/Vol-19-2014/No1-Jan- 2014/Child-Maltreatment.html
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak
Kurniawan, Arif. (2014). Efektifitas Konselling KelompokTeman Sebaya dalam
Mereduksi Perilaku Agresis Siswa.Respiratory.UPI.Edu. : Universitas Pendidikan
Indonesia.
Latifa, Fika. (2012). Hubungan Karakteristik Anak Usia Sekolah dengan
Kejadian Bullying di Sekolah Dasar x di Bogor. Skripsi : FIK UI.
Krahe, Barbara. (2005). The Social Psychology of Aggression (Buku Panduan
Psikologi Sosial: Perilaku Agresif). Penerjemah: Drs. Helly Prajitno Soetjipto, M.A.
& Dra. Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
McCabe, Kimberly A., Child Abuse and The Criminal Justice System, Peter
Lang Publishing, New York, 2003
Myers, David G. (2012). Psikologi Sosial. Ed. 10., Jil. 2. (Alih Bahasa: Aliya
Tusyani, Lala Septiani Sembiring, Petty Gina Gayatri, & Putri Nurdina Sofyan).
Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, J. W. (2002) Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup.
Ed.5. alih Bahasa Juda Damanik & Chusairi, A. Jakarta: Erlangga
Santrock, J. W. (2007) Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Kencana.
Santrock, J. W. (2009) Perkembangan Anak. 11th edn. Jakarta: Erlangga.
Setyawan, david. (2014). KPAI : Kasus Bulying dan pendidikan karakter.
Diakses pada tanggal 15 Februari 2015. Dari
http://www.kpai.go.id/berita/kpaikasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/
Smetana, J. G. (2017) ‘Current research on parenting styles, dimensions, and
beliefs’, Journal of Current Opinion in Psychology, 15, pp. 19–25.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.copsyc.2017.02.012.
Sofyan S. Willis. (2012). Remaja dan Masalahnya: Mengupas Berbagai
Bentuk Kenakalan Remaja, Narkoba, Free Sex, dan Pemecahannya. Cet. 3.
Bandung: Alfabeta.
Strauss, Murray A., Prevalence, Societal Causes, And Trends in Corporal
Punishment By Parents in World Perspective, Jurnal Law and contemporary
Problems, Vol.73:1, Februari 2001
Studi, P., Agama, P., Pendidikan, J., Islam, A., Ilmu, F., Dan, T., … Ibrahim,
M. (2017). Pengaruh Hukuman ( Punishment ) Terhadap Prestasi Belajar Siswa
Madrasah Aliyah Negeri Prestasi Belajar Siswa Madrasah Aliyah Negeri.
Taylor, E. Shelley, dkk. (2009). Psikkologi Sosial.Edisi 12. Jakarta:
Kencana
Tri Dayakisni & Hudaniah. (2012). Psikologi Sosial. Cet. 5. Malang: UMM
Press.
Videbeck, S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta. Penerbit
Kedokteran EGC
Wasti, R. M. (2013). Miris, Kekerasan Terhadap Anak diKeluarga.Pusat
Advokasi Hukum & hak Asasi Manusia.
Windari, R. (2015). Penggunaan hukuman disiplin (corporal punishment)
pada anak di lingkungan sekolah dalam perspektif hukum pidana Indonesia.
Jurnal Hukum, 4(3). Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/81334-ID-penggunaan-hukum-
disiplin-corporal-punis.pdf
Wong D. L., (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa
sunarsono, Agus dkk. Edisi 6 volume 1. Jakarta: EGC Universitas
Wong, Donna L,Marylin Hockennberry-Eaton, David Wilson, Marylin L
Winkelstein, Patricia Schwartz. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Jakarta
: EGC.

Anda mungkin juga menyukai