Anda di halaman 1dari 6

NAMA : DEVI PRAVITASARI SUKMAWATI

NIM : B200200056

KELAS :B

DOSEN : EKO SUPRIYANTO

1. Periode Abad Pertengahan oleh para ahli sering dikonotasikan sebagai


“Zaman Kegelapan Eropa”. Abad Pertengahan adalah sebutan bagi sebuah
periode sejarah yang terjadi di kawasan Eropa Barat, kecuali wilayah
Andalusia (Spanyol) yang masih berada di bawah kekuasaan Dinasti
Umayyah. Secara garis besar periode Abad Pertengahan dimulai ketika
wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Romawi Barat mulai bersatu pada abad
ke-5 M, hingga dimulainya era Renaisans yang ditandai dengan
dimulainya penjelajahan samudera, kebangkitan ilmu pengetahuan, dan
kembalinya humanisme.Istilah Zaman Kegelapan muncul setelah
perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan di kawasan Eropa
mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran akibat dari kuatnya posisi
gereja di segala bidang kehidupan masyarakat Eropa saat itu. Tidak ada
satupun masyarakat yang diperbolehkan menyebarkan pengaruhnya
melebihi pengaruh gereja. Oleh karenanya pada masa ini tidak banyak
menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh, terutama untuk perkembangan
ilmu pengetahuan modern. Abad Pertengahan juga sering diartikan sebagai
periode kekuasaan agama, karena agama sangat mendominasi kepentingan
masyarakat Eropa. Segala hal yang tidak berhubungan dengan agama
dianggap melanggar hukum. Hal itu semakin menghambat perkembangan
ilmu pengetahuan empiris dan teori-teori baru.
2. Menurut pandangan saya, seharusnya para pihak yang berwenang lebih
tegas terhadap kedua acara tersebut. Karena kita sendiri tahu bahwa pasien
covid-19 di Indonesia setiap hari selalu bertambah. Untuk menghindari hal
tersebut, seharusnya pihak-pihak terkait lebih bijak dalam menindaklanjuti
kedua acara tersebut. Acara tersebut bisa ditunda terlebih dahulu sampai
vaksin untuk virus tersebut ditemukan dan efektif untuk mencegah
penyebaran virus tersebut.
Pihak yang berwenang lebih sadar akan tanggungjawabnya untuk
menegakkan keadilan, mengetatkan hukum yang sama disetiap daerah bagi
pelanggaran yang sama.
3. Perbedaan antara zaman modern dan zaman kontemporer yaitu zaman
modern adalah era perkembangan ilmu pengetahuan yang berawal sejak
sekitar abad ke-15. Sedangkan zaman kontemporer adalah era
perkembangan terakhir yang terjadi hingga sekarang. Perkembangan ilmu
di zaman ini meliputi hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu
social seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan
politik serta ilmu eksata seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-
aplikasi dibidang teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi.
Zaman kontemporer identic dengan rekonstruksi, dekonstruksi dan
inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang. Karena semakin
berkembangnya zaman, canggihnya tekonologi, gaya hidup masyarakat di
suatu Negara tersebut, pandangan orang terhadap masa depan, dan
keinginan manusia tersebut untuk hidupnya agar lebih sejahtera dari yang
sekarang.
4. Konsep geoekonomi dalam tulisan ini merujuk pada definisi yang
disampaikan oleh Bob William dan Jennifer Harris pada buku yang
berjudul “War with Other Means”, yang secara garis besar mengartikan
geoekonomi sebagai penggunan instrumen ekonomi untuk tujuan
geopolitik. Yakni untuk mencapai tujuan pemerintah atau kepentingan
geopolitik suatu bangsa, mencakup bantuan luar negeri, kebijakan
perdagangan, embargo ataupun sanksi ekonomi. Bahkan didalam bukunya
tersebut, Bob dan Jennifer mengklasifikasikan negara-negara yang
dikategorikan “mahir” untuk penerapannya. Cina sebagai negara yang
paling tepat dalam penggunaan strategi geokonomi tersebut, bahkan
mengalahkan AS yang hanya fokus menggunakan kekuatan ekonomi
negaranya untuk memberikan bantuan dalam bidang militer bahkan
memberikan sanksi-sanksi tegas dalam bentuk kekerasan atau aksi-aksi
militernya, meski belum bisa dikatakan sempurna dalam penerapan
geoekonominya. Untuk membuktikan analisa kedua penulis diatas, maka
akan dikaji perihal produk ekonomi Cina yang saat ini sedang popular
terutama bagi negara-negara berkembang yakni pada tawaran bantuan
ekonomi “One Belt One Road (OBOR)”, yang diperkenalkan oleh Xi
Jinping pada tahun 2013 dengan tujuan awal untuk menggunakan devisa
Cina yang melimpah agar lebih produktif dengan cara meminjamkannya
kepada negara-negara berkembang. Pinjaman tersebut kemudian
ditranslasikan menjadi proyek pembanguna infrastruktur dan lainnya.
Dalam 13th Five-Year Plan nya dijelaskan bahwa program tersebut
bertujuan untuk membangun masyarakat makmur pada 2020 dengan
output per-kapita dua kali lipat dari tahun 2010. Targetnya adalah 65
(enam puluh lima) negara di Asia, Afrika dan Eropa dengan total nilai
kerjasama USD$ 4.4 triliun. Mekanisme program OBOR ini adalah
dengan cara membuka proposal kerjasama pada negara-negara yang
menjadi target OBOR dalam dua bidang, yakni Silk Road Economic Belt
(SREB) dan Maritime Silk Road (MSR). Akan tetapi, negara-negara lain
juga dapat mengajukan proposal kerjasama dalam rangka memperluas
cakupan OBOR. Tenor atau jangka waktu peminjamannya adalah selama
20 tahun dengan interest rate atau bunga maksimal sebesar 3%. Mengenai
persyaratan pinjamannya, tidaklah baku karena akan disesuaikan dengan
masing-masing negara atau dengan kata lain persyatan di negara Malaysia
belum tentu berlaku sama di negara Indonesia. Jika dianalisa dari tujuan
program nya, bahwa dengan adanya OBOR diharapkan dapat membangun
masyarakat makmur dengan output perkapita dua kali lipat dari tahun 2010
ke tahun 2020, maka yang menjadi pertanyaan adalah masyarakat siapa
yang dimaksud? Dunia kah? Negara berkembang kah? atau masyarakat
negara pemilik modal itu sendiri alias Cina?Skeptisme muncul jika kita
analisa secara ekonomi bahwa ketersediaan modal awal untuk memberikan
pinjaman bagi negara berkembang, bukan berasal dari dana sosial
melainkan bersumber dari hasil devisa Cina itu sendiri, tentu saja harus
mempertimbangkan laporan laba rugi (profit & loss) dimana dana tersebut
wajib untuk dikembalikan bahkan dalam jumlah yang jauh berlipat ganda
guna memperoleh keuntungan. Selain itu, jika tujuan program ini murni
untuk membangun kesejahteraan Negara berkembang, maka seharusnya
prinsip kerjasama yang diberlakukan program ini adalah kemitraan.
Artinya bahwa setiap pinjaman yang diberikan tidak menggunakan sistem
bunga atau rate atas pinjaman secara tetap, dimana pinjaman plus bunga
wajib dibayarkan ke Cina meskipun proyek yang dibangun dari dana
tersebut mengalami kerugian dan tentu saja pinjaman tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan malapetaka bagi negara yang menjadi
peminjam. Seharusnya program OBOR Cina ini menggunakan sistem
syariah, dimana perhitungan pengembalian dana pinjamannya
menggunakan margin, yakni persentase keuntungan yang akan dibayarkan
kepada pemilik dana akan disesuaikan dengan perkembangan proyek yang
dijalankan dari dana tersebut. Dengan demikian, baik Cina maupun negara
yang menjadi peminjam akan sama-sama maksimal menggunakan dan
memonitor dana sesuai tujuan awal proyek karena kerugian pun akan
sama-sama dirasakan atau menjadi tanggung jawab bersama. Side
Streaming atau penyalahgunaan dana atas pinjaman sangat rentan terjadi
terutama pada negara-negara yang tingkat korupsi yang sangat tinggi,
sehingga tujuan pinjaman tidak sesuai dengan Rancangan Awal Biaya
(RAB). Selain itu, faktor kesalahan analisa proyek juga bisa menjadi
pemicu kegagalan bayar (default payment) atas pinjaman, dimana nominal
pinjaman tidak sesuai dengan kebutuhan proyek (over financing) sehingga
dana tersebut akan beralih ketujuan lainnya yang belum tentu akan
menghasilkan keuntungan yang sesuai dengan perhitungan awal pinjaman.
Sri Lanka sebagai salah satu negara yang menjadi korban atas program ini
contohnya, ketika pemerintahnya tidak dapat mengembalikan pinjaman
dari program OBOR Cina sebesar 1,5 miliar dolar beserta bunga nya, Cina
malah mendapat kendali penuh (disewakan) atas pelabuhan laut di Sri
Lanka selama 99 tahun [2]. Dana tersebut pada awalnya digunakan oleh
Sri Lanka untuk bandara baru Sri Lanka Airlines karena bandara lamanya
sudah melewati batas kemampuan, dimana bandara baru ini diharapkan
dapat menjadi kawasan industri dan proses ekspor, stadion kriket di area
hotel serta hiburan yang terkoneksi dengan jalan tol terbaik di Sri Lanka.
Kenyataannya, setelah beberapa bulan berjalan bahkan sudah membuka
beberapa penerbangan baru, permintaan atas penerbangan tersebut sangat
sedikit, yakni sekitar 7 penumpang per penerbangan. Proyek ini pun pada
akhirnya mengalami kerugian dan tidak sanggup untuk mengembalikan
dana atas pinjaman ke Cina, yang pada akhirnya bandara baru ini pun
dijual ke India. Hal yang sama pun terjadi pada pelabuhan Gwandar di
Pakistan Selatan dimana Cina mendapatkan hak konsensi pengelolaan
selama 44 tahun. Mengkaji program OBOR Cina yang sudah
dimanfaatkan oleh beberapa negara ini, akan mengarahkan pada
pertanyaan-pertanyaan yang mencurigakan “apa tujuan Cina dibalik
progam tersebut? Mengapa Negara berkembang yang menjadi target pasar
nya? Bukankah terlalu berisiko untuk memberikan pinjaman pada negara
yang memang sudah dikategorikan tidak mampu bayar? Apa yang menjadi
garansi atau jaminan jika terjadi gagal bayar? Maka perlu kita kaji secara
geoekonomi dan kembali pada definisi geokonomi sebagai penggunaan
alat-alat ekonomi untuk mencapai tujuan politik baik dari sisi Eksternal
maupun

internal.

Investasi Cina dalam program OBOR ini secara geoekonomi memberikan

keuntungan dan posisi strategis Cina dalam konstelasi geopolitik

khususnya di kawasan Asia, sehingga mampu mempengaruhi power AS

dalam bidang ekonomi. Negara-negara yang diberikan pinjaman oleh Cina

akan mengalami ketergantungan dan kehilangan kendali atas wilayahnya.

Inisiatif OBOR ini juga bisa dianalisakan sebagai agenda keamanan

kawasan, yakni dalam rangka menjaga stabilitas dinamika dan politik

internasional di kawasan berdasarkan pemikiran liberal dalam hubungan


internasional.

Bahwa dengan membangun kerjasama ekonomi, negara-negara

cenderung akan menciptakan saling ketergantungan dan menyepakati

peraturan bersama sehingga dapat mengatur perilakunya dalam

lingkungan internasional, lebih dapat memprediksi dan mengurangi

kecurigaan atau kesalahpahaman antar negara, yang pada akhirnya

konflik dapat dihindari dan dunia akan lebih damai.

Jalur perdagangan yang terintegrasi dalam OBOR melalui negara-negara

yang berada dalam wilayah Eurasia seperti Laut Kaspia, Asia Tengah dan

Siberia yang diprediksi oleh beberapa ahli sebagai wilayah yang kaya

akan energi (gas alam). Secara kebutuhan domestiknya, Cina memiliki

ketergantungan yang cukup besar akan batu alam (70%), dan OBOR

dipercaya dapat memberikan konstribusi bagi Cina untuk pembangunan

jalur transportasi pipa gas dari negara-negara Asia Tengah yang pada

akhirnya akan dihubungkan ke Cina sebagai bagian dari kebutuhan

energinya.

Proyek infrastruktur yang didukung oleh dana OBOR Cina juga membuat

mudah untuk masuknya investasi ke Cina, kemudahan untuk akses pasar

dan jalur perdagangan sehingga secara geopolitik pun Cina akan menjadi

kekuatan yang dominan di Eurasia, sebaliknya kekuatan AS akan

memudar dan kesulitan untuk melakukan intervensi ekonomi maupun

militer karena negara-negara tersebut sudah bergantung dengan Cina.

Secara Internal, jalur perdagangan ini tentu akan mendorong

pertumbuhan ekonomi Cina lebih maju. Suplai logistik Cina atas energi

terutama gas alam pada dasarnya merupakan salah satu elemen


kekuatan nasional suatu negara. Hal-hal tersebutlah yang pada dasarnya

menjadi alasan utama Cina dikategorikan berani untuk mengambil risiko

memberikan pinjaman pada negara-negara yang cenderung tidak stabil

seperti di wilayah Asia Tengah, dimana negara-negara di wilayah Barat

enggan untuk berinvestasi. Cina secara bijak mampu memanfaatkan risiko


tersebut menjadi peluang

bahkan keuntungan sehingga dikategorikan sebagai negara pelaksana

Geo-ekonomi yang paling mahir didunia meski belum sempurna, menurut

Bob William dan Jennifer Harris pada buku mereka yang berjudul “War

with Other Means”

Anda mungkin juga menyukai