Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Analisa Prosedur


a. Perlakuan Mencit
Praktikum ini menggunakan mencit sebagai hewan percobaan.
Mencit dipilih karena merupakan mamalia yang memiliki waktu
pertumbuhan yang relatif cepat. Selain itu, mencit juga memiliki
komponen darah yang dapat mewakili mamalia lainnya khususnya
manusia.
Nutrisi yang digunakan sebagai perlakuan berupa larutan bayam
(bayam merah dan hijau). Daun dan batang bayam merah
mengandung plastida berwarna merah. Sedangkan daun dan batang
bayam hijau mengandung plastida berwarna hijau. Menurut Somad
(2009), bayam mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalium, zat
besi, amarantin, rutin, purin, dan vitamin (A, B dan C).
Pemberian larutan bayam dilakukan dengan teknik sonde.
Teknik sonde merupakan teknik pemberian nutrisi kepada hewan uji
dengan cara menyuntikkan nutrisi langsung ke lambung melalui
rongga mulut. Teknik ini dilakukan sepaya larutan bayam dapat
langsung dicerna dalam lambung. Selain itu, teknik sonde bertujuan
supaya larutan bayam dapat dimasukkan ke tubuh mencit secara
keseluruhan.
Pemberian larutan bayam dilakukan selama 7 hari. Sebelum
pemberian, mencit ditimbang terlebih dahulu. Hal itu bertujuan
untuk mengetahui perbedaan berat badan mencit selama pemberian
larutan bayam. Selain itu, penimbangan juga bertujuan untuk
menentukan berat bayam yang diperlukan sesua dosis.
Perlakuan pertama membuat larutan bayam yang akan
disondekan pada mencit, bayam yang digunakan merupakan bayam
hijau dan bayam merah. Pertama-tama hitung berapa banyak bayam
yang akan digunakan sesuai dengan dosis dengan menghitung berat
badan mencit, kemudian bayam di cuci bersih agar debu-debu yang
melekat pada daun tidak menembah berat daun saat penimbangan,
selanjutnya air di hisap dengan tisu agar daun cepat kering dan tidak
terdapat berat air yang ikut dalam penimbangan. Selanjutnya daun
bayam di timbang sesuai dengan pembuatan dosis yang diperlukan.
Setelah dilakukan penimbangan, daun bayam di gerus menggunakan
mortar dan pestle hingga halus untuk di ekstrak, setelah halus
ditambah dengan 8 ml aquades. Kemudian akan disaring
menggunakan kertas whatmann. Selanjutnya dihomogenkan dengan
magnetic stirer selama 10 menit agar didapat larutan yang telah
homogen saat diinkubasi. Selanjutnya, larutan akan diinkubasi
selama 10 menit sebanyak 4 ml, yang akan disondekan pada mencit.
Mencit akan diberikan larutan bayam ini selama dua minggu untuk
mengetahui pengaruh dari zat besi pada bayam.
b. Koleksi Darah Mencit
Mencit yang telah diberi perlakuan, yaitu disonde dengan
aquades, larutan bayam merah dan bayam hjau selama satu minggu
dinarkose dengan Chloroform. Chloroform digunakan agar mencit
yang akan dibedah dan diambil darahnya berada dalam keadaan tidak
sadar, sehingga pembedahan dapat berjalan lancar. Selain itu,
penggunaan Chloroform ditujukan agar pada saat melakukan
pembedahan, mencit tidak mengeluarkan darah. Mencit kemudian
dibedah untuk diambil darahnya pada bagian bilik kanan jantung dari
mencit tersebut. Dikoleksi darah dari jantung dengan spuit 1 ml yang
bertujuan untuk mendapatkan darah mencit yang akan dihitung
jumlah eritrosit, leukosit dan hemoglobinnya. Darah yang telah
didapatkan kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer yang
ditambah dengan K2 EDTA (Etilen Diamine Tetraacetic Acid).
Dimasukkan ke dalam vacutainer yang berisi K2 EDTA agar tidak
terjadi reaksi aglutinasi (penggumpalan) pada darah hasil koleksi.
Vacutainer kemudian diletakkan miring agar larutan darah
bercampur dengan EDTA.
Untuk menghitung eritrosit, diambil darah sebanyak 50 µL
dan dimasukka ke dalam cawan petri. Darah digunakan sebagai
bahan yang akan dihitung jumlah eritrositnya. Dimasukkan ke dalam
cawan petri agar darah mudah untuk diamati. Ditambahkan 950 µL
larutan hayem. Larutan hayem merupakan larutan asam yang
penambahannya digunakan untuk melarutkan darah, sehingga
eritrosit mudah untuk dihitung. Selanjutnya larutan campuran
tersebut dihomogenasi untuk menghomogenkan larutan. Larutan
yang telah homogen tersebut selanjutnya diambil dengan pipet hisap
dan dimasukkan ke dalam ruang hitung haemocytometer dan
dihitung banyak sel. Pipet digunakan untuk mengambil larutan,
sedangkan dimasukkan ke dalam ruang hitung haemocytometer
untuk dihitung jumlah eritrositnya.
Untuk menghitung jumlah leukosit, diambil 50 µL darah dan
dimasukkan ke dalam cawan petri. Darah digunakan sebagai bahan
yang akan dihitung jumlah eritrositnya. Dimasukkan ke dalam cawan
petri agar darah mudah untuk diamati. Ditambahkan 950 µL larutan
turk. Larutan turk merupakan larutan asam yang penambahannya
digunakan untuk melarutkan darah, sehingga leukosit mudah untuk
dihitung. Selanjutnya larutan campuran tersebut dihomogenasi untuk
menghomogenkan larutan. Diambil dengan pipet dimana 4 tetes
pertama dibuang. Pipet digunakan untuk mengambil larutan darah
yang telah homogen. Dibuang 4 tetes pertama untuk menghindari
adanya kontaminan. Dimasukkan ruang hitung haemocytometer dan
dihitung jumlah leukositnya. Dimasukkan ke dalam ruang hitung
haemocytometer untuk dihitung jumlah leukositnya.
Untuk menghitung jumlah haemoglobin, maka digunakan
metode Sahli. Dimasukkan 5 tetes HCl 0,1 N ke dalam tabung
eppendorf. HCl digunakan untuk melisiskan membran sel eritrosit,
sehingga hemoglobin yang ada di dalam sel darah merah akan
keluar. Selain itu, penambahan HCl juga ditujukan agar hemoglobin
berubah menjadi asam hematin. Ditambah 0,02 ml darah hasil
koleksi. Darah digunakan untuk diukur jumlah haemoglobinnya.
Kemudian larutan tersebut diaduk sampai homogen. Ditambah
aquades sedikit demi sedikit yang bertujuan untuk mengetahui
kandungan haemoglobin sekaligus mengencerkan larutan, agar
larutan berwarna sama dengan warna standar. Diaduk hingga warna
larutan sama dengan warna standar. Pengadukan ditujukan untuk
mempercepat reaksi agar warna larutan yang diuji sama dengan
warna larutan standar.
Untuk meghitung kepadatan sel, haemositometer dapat
digunakan sebagai alat untuk menghitung. Selain itu, ada berbagai
macam cara untuk menghitung jumlah sel antara lain, perhitungan
dalam cawan (plate count), perhitungan langsung dibawah
mikroskop (direct microscopic count), atau perhitungan dengan
bantuan alat yang disebut penghitung Coulter (Coulter counter).
Pada metode perhitungan langsung dibawah mikroskop, sampel
diletakkan di dalam suatu ruang hitung (seperti haemositometer) dan
jumlah sel dapat ditentukan langsung dengan bantuan mikroskop
(Yunuz, 2008).
c. Pengamatan Kalsium Oksalat (CaOx)
Digunakan mencit (Mus musculus) yang telah diberi
perlakuan, yaitu disonde dengan aquades, larutan bayam merah dan
bayam hjau selama dua minggu sebagai hewan uji. Didislokasi leher
mencit tersebut yang berfungsi untuk mematikan mencit tersebut
agar mudah dalam melakukan pembedahan. Mencit tersebut dibedah
untuk diambil organ hepar dan ginjalnya. Kemudian diambil organ
hepar dan ginjal mencit. Organ hepar dan ginjal digunakan sebagai
organ yang akan diamati adanya penumpukan kristal klsium oksalat.
Organ hepar dan ginjal dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah
diberi PBS (Phosphat Buffer Saline). PBS merupakan larutan yang
mampu membersihkan sisa darah yang menempel pada ginjal dan
hepar dari mencit, sehingga kedua organ tersebut bersih. Selain itu,
PBS juga dapat berfungsi dalam menjaga kondisi fisiologis sel.
Organ ginjal dan hepar dihaluskan denga ditambah PBS dan
kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring. Kedua organ
dihaluskan untuk mendapatkan ekstrak dari kedua organ tersebut.
Disaring untuk memisahkan larutan dari filtratnya. Ekstrak hepar dan
ginjal diletakkan di atas gelas obyek. Gelas obyek digunakan untuk
meletakkan ekstrak ginjal dan hepar dari mencit, sehingga
mempermudah pengamatan dengan menggunakan mikroskop.
Diamati adanya penumpukan krista kalsium oksalat, yang bertujuan
untuk mengamati ada tidaknya penumpukan kristal kalsium oksalat.
Dihitung jumlah dan macam (bentuk) dari kristal kalsium oksalat
yang digunakan, sehingga didapatkan data hasil pengamatan.
Metode sahli merupakan satu cara penetapan hemoglobin
secara visual. Darah diencerkan dengan larutan HCl sehingga
hemoglobin berubah menjadi asam hematin. Untuk dapat
menentukan kadar hemoglobin dilakukan dengan mengencerkan
larutan campuran tersebut dengan aquadest sampai warnanya sama
dengan warna batang gelas standar (Hillman,1995).
Prinsip metode Sahli sama dengan metoda kertas lakmus,
yaitu membandingkan warna secara visual, tetapi memerlukan
peralatan dan pereaksi tertentu. Berbeda dengan metoda
sianmethemoglobin, peralatan yang digunakan sangat sederhana,
ringan, sehingga memungkinkan dibawa ke lapangan, dan tidak
tergantung pada listrik ataupun baterai (Aster, 2007).
Hemoglobin dapat ditetapkan dengan berbagai cara, antara
lain metode sahli, metode oksihemoglobin, atau metode
sianmethemoglobin. Metode sahli tidak dianjurkan karena
mempunyai kesalahan yang besar, alatnya tidak dapat distandarisasi,
dan tidak semua jenis hemoglobin dapat ditetapkan sebagai contoh
karboksihemoglobin, methemoglobin, dan sulfahemoglobin. Hanya
ada 2 metode yang dapat diterima dalam hemoglobinometri klinik,
yaitu oksihemoglobin, dan sianmethemoglobin. Keduanya
merupakan cara spektrofotometrik. Metode oksihemoglobin hanya
mengukur semua hemoglobin yang dapat diubah menjadi
oksihemoglobin, sedang karboksihemoglobin dan senyawa
hemoglobin yang lain tidak terukur (Hillman, 1995).

1.2 Data Hasil Pengamatan


Tabel 1. Hasil Perhitungan Jumlah Eritrosit, Leukosit dan
Hemoglobin.
Dosis Bayam Ʃ Eritrosit Ʃ Ʃ Hemoglobin
Leukosit
Kontrol 2.01 x 109 2.4 x 107 10.2 % G
8 6
H 35 mg/kgBB 7.9 x 10 9 x 10 19.6 % G
M 35 mg/kgBB 1.063 x 1010 4.9 x 106 21.8 % G
H 40 mg/kgBB 1.6 x 109 1.7 x 107 13.4 % G
9 7
M 40 mg/kgBB 1.35 x 10 2.8 x 10 16 % G

Tabel 2. Hasil Pengamatan Kristal Kalsium Oksalat


No Perlakuan Organ Ʃ CaOx Bentuk
1 Kontrol Hepar - -
Ginjal - -
2 H 35 Hepar 1 Rafida
mg/kgBB Ginjal 6 Bintang,
Prisma,
Drusen
3 M 35 Hepar 3 Prisma,
mg/kgBB Jarum
Ginjal 2 Jarum
4 H 40 Hepar - -
mg/kgBB Ginjal 5 Bintang
5 M 40 Hepar 1 Prisma
mg/kgBB Ginjal 1 Prisma

1.3 Analisa Hasil


1.3.1 Analisa Komponen Darah Mencit
Berdasarkan data hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka
dapat diketahui bahwa pada mencit yang diberi perlakuan dengan
penyondean bayam merah dengan dosis 35 mg/kgBB, memiliki
jumlah eritrosit yang lebih tinggi (1.063 x 1010 ) dibandingkan
dengan mencit yang diberi perlakuan dengan penyondean bayam
yang lain dan dengan dosis yang berbeda. Pada mencit yang diberi
perlakuan dengan penyondean bayam merah dengan dosis 40
mg/kgBB, memiliki jumlah leukosit yang lebih tinggi(2.8 x 107)
dibandingkan dengan mencit yang diberi perlakuan dengan
penyondean bayam yang lain dan dengan dosis yang berbeda. Kadar
hemoglobin pada mencit yang diberi perlakuan penyondean dengan
bayam merah pada dosis 35 mg/kgBB lebih besar dibandingkan
dengan kadar hemoglobin pada mencit yang diberi perlakuan
penyondean dengan bayam yang lain. Secara umum, jumlah eritrosit,
leukosit dan kadar hemoglobin pada mencit yang diberi perlakuan
penyondean dengan bayam merah memiliki jumlah yang lebih tingi
jika dibandingkan dengan mencit yang diberi perlakuan penyondean
dengan aquades, maupun bayam hijau pada dosis yang sama. Hal ini
dikarenakan kadar zat besi pada bayam merah lebih tinggi daripada
kadar besi pada bayam hijau.
Zat besi yang diperlukan oleh tubuh adalah di bawah 20
mg/kg, karena pada pengkonsumsian antara 20-60 mg/kg dapat
menyebabkan efek yang buruk terhadap tubuh, seperti terganggunya
sistem kardiovaskuler, ginjal, syaraf, liver dan prgan penting lainnya
(Benjamin, 2005).
Banyak varietas bayam, seperti bayam hijau, bayam berduri,
bayam hutan serta bayam merah. Masing-masing mempunyai
karakteristik dan manfaat yang berbeda bagi tubuh. Selain
penampilannya menarik, bayam merah (Amaranthuus sp) juga kaya
akan fitonutrien esensial. Bayam, terutama bayam merah, terkenal
mengandung zat besi yang tinggi yang berkhasiat menambah darah.
Selain itu, bayam juga mengandung vitamin A, B, C, dan K, kalium
serta fosfor. Di setiap 100 g bayam mengandung 45 kkal, protein 3.5
g, lemak 0.5 g, karbohidrat 6.5 g, kalsium 267 mg, fosfor 67 mg, besi
3.9 mg, retinol 1827 mcg, thiamine 0.08 dan asam askorbat 60 mg.
Tak kalah pentingnya, bayam mengandung betakaroten, lutein,
klorofil, asam folat dan mangan. Sedangkan kandungan zat tersebut
relatif lebih sedikit pada bayam hijau (Ari dkk., 2008).
Dari segi lemak, kolesterol dalam bayam nol, artinya bayam
aman untuk dikonsumsi sebanyak apapun tanpa ada pengaruh
kolesterol. Lemak yang terdapat dalam bayam juga termasuk lemak
yang jenisnya baik, yaitu lemak tak jenuh. Vitamin dalam bayam
sangat penting, misalnya vitamin A yang bagus untuk mata serta
mempertahankan daya tahan tubuh, sehingga orang tak mudah
terserang penyakit. Vitamin C dan E untuk antioksidan sehingga bagi
yang rajin mengkonsumsi bayam, bisa memiliki kulit yang halus.
Selain itu, antioksidan juga mampu mencegah radikal bebas.
Kemudian posfor dapat dimanfaatkan untuk pembentukan tulang dan
gigi (Cybermed, 2009).
Zat besi merupakan salah satu komponen penyusun
hemoglobin. Jika tubuh kekurangan zat besi (defisiensi zat besi),
maka akan menghambat pembentukan hemoglobin yang berakibat
pada terhambatnya pembentukan sel darah merah. Selanjutnya
timbullah anemia akibat kekurangan zat besi yang disebut dengan
anemia defisiensi zat besi.Zat besi dalam darah yang membawa
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh sangat dibutuhkan wanita,
terutama saat datang bulan dan hamil. Seorang wanita usia 19 - 54
tahun butuh asupan zat besi sekitar 12-16 miligram zat besi,
sementara pada wanita hamil wajib mengkonsumsi 10-20 miligram
zat besi. Untuk wanita usia di atas 54 tahun sebaiknya
mengkonsumsi 5-7 miligram zat besi setiap harinya. Bioavailabilitas
zat besi ditentukan oleh efisiensi penyerapan zat besi di dalam usus.
Zat besi banyak berperan dalam sistem biologi, transport oksigen,
pembentukan ATP, DNA sintetis dan klorofil sintetis. Defisiensi zat
besi dapat menyebabkan anemia, gangguan sistem imun, serta dapat
meningkatkan resiko kanker dan hepatitis. Zat besi tidak rusak oleh
proses pemanasan (kecuali heme iron), radiasi cahaya, oksigen,
maupun keasaman. Tetapi, dapat hilang oleh pemisahan secara fisik
(misal : milling pada serealia). Terdapat dua macam zat besi
berdasarkan proses penyerapannya, yaitu heme iron (zat besi yang
terdapat di dalam hemoglobin dan myoglobin) dan non heme iron.
Sumber dari heme iron adalah daging-dagingan, heme iron diserap
sebagai iron phorpyrin complex yang dipecah oleh enzim heme
oxygenase di dalam sel mukosa usus. Senyawa ini akan
meninggalkan sel mukosa dalam bentuk kimia yang sama dengan
non heme iron. Kandunagn heme di dalam heme iron dapat
terdenaturasi oleh proses pemanasan pada suhu tinggi dan waktu
yang lama sehingga berpengaruh terhadap bioavailabilitas heme iron.
Bioavailabilitas heme iron tidak dipengaruhi oleh komposisi bahan
makanan. Sedangkan non heme iron terdapat di dalam daging,
serealia, sayur dan buah-buahan. Bioavailabilitas non heme iron
dipengaruhi oleh keberadaan senyawa inhibitor (phythate, tannin,
dll). Penyerapan non heme iron akan semakin meningkat ketika
kebutuhan tubuh akan zat besi juga semakin meningkat. Jika suplai
zat besi dari makanan telah habis terserap maka proses penyerapan
zat besi akan berhenti (Rusiman, 2008).
Selain Fe bayam juga mengandung asam folat berfungsi untuk
memproduksi darah sehingga saat melahirkan persediaan darah
dalam tubuh cukup. Tidak hanya itu, kandungan asam oxalat dan
asam folat juga membuat sayur bayam dapat membantu mengatasi
berbagai macam penyakit. Misalnya mengobati eksem, asma, untuk
perawatan kulit muka, kulit kepala dan rambut, menurunkan kadar
kolesterol, serta mencegah sakit pada gusi. Selain itu untuk
mengobati rasa lesu, letih, dan kurang bergairah sebagai tanda
kurang darah atau anemia. Bayam juga sebagai sumber protein,
terutama asam amino yang baik untuk pembentukan otak. Lemak
yang terdapat dalam bayam adalah lemak tidak jenuh, vitamin dalam
bayam sangat penting, misalnya vitamin A yang bagus untuk mata
serta mempertahankan daya tahan tubuh sehingga orang tidak mudah
terserang penyakit, vitamin C dan E untuk antioksidan sehingga bagi
yang rajin mengonsumsi bayam, bisa memiliki kulit yang halus.
Selain itu, antioksidan juga mampu mencegah radikal bebas.
Kemudian fosfor dapat dimanfaatkan untuk pembentukan tulang dan
gigi (Benjamin, 2005). Sel darah merah mengandung hemoglobin
yang kaya akan zat besi. Warnanya yang merah cerah disebabkan
oleh oksigen yang diserap dari paru-paru. Pada saat darah mengalir
ke seluruh tubuh, hemoglobin melepaskan oksigen ke sel dan
mengikat karbon dioksida. Sel darah merah yang tua akhirnya akan
pecah menjadi partikel-partikel kecil di dalam hati dan limpa.
Sebagian besar sel yang tua dihancurkan oleh limpa dan yang lolos
dihancurkan oleh hati. Hati menyimpan kandungan zat besi dari
hemoglobin yang kemudian diangkut oleh darah ke sumsum tulang
untuk membentuk sel darah merah yang baru (Nursingbegin, 2008).
Dalam tubuh manusia terkandung kurang dari 5 gram zat
besi, meski hanya sedikit namun zat besi merupakan zat gizi yang
penting untuk kelangsungan hidup sel-sel tubuh manusia. Sebagian
besar zat besi ditemukan dalam 2 bentuk protein, yaitu hemoglobin
(Hb) yang terdapat di dalam darah dan mioglobin yang terdapat di
sel-sel otot (Junqueira, 1997).
Zat besi berperan dalam transport dan metabolisme oksigen,
fungsi kekebalan tubuh, perkembangan kognitif, pengaturan suhu
tubuh, metabolisme energi dan meningkatkan performa kerja
seseorang. Terdapat dua bentuk zat besi dalam makanan, yakni besi
heme, yang hanya terdapat dalam sumber makanan hewani, seperti
daging, unggas dan ikan. Yang lainnya besi non heme yang
ditemukan dalam sumber makanan hewani dan nabati atau tumbuh-
tumbuhan (Bakta, 2007).
Salah satu bagian yang menyusun sel darah merah adalah
hemoglobin. Hemoglobin merupakan suatu struktur protein yang
merupakan bagian dari sel darah merah dan yang menyebabkan
warna merah pada darah. Hemoglobin bertugas mengikat oksigen
dari paru-paru dan membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh
untuk memenuhi kebutuhan oksigen semua jaringan tubuh
(Wijayakusuma, 2008).
Hemoglobin mengikat oksigen membentuk oksihemoglobin.
Oksigen terikat pada ferum di hem. Afinitas hemoglobin dipengaruhi
oleh pH, temepratur dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3 DPG)
dalam sel darah merah. 2,3 DPG dan ion hidrogen akan bersaingan
dengan oksigen untuk berikatan dan mengoksigenasi hemoglobin \,
menurunkan afinitas hemoglobin untuk oksigen dengan mengseser
posisi4 rantai peptida. Karondioksida bereaksi dengan hemoglobin
membentuk karbonmonoksihemoglobin. Afinitas hemoglobin untuk
oksigen jauh lebih lemah dibandingkan afinitas untuk
karbondioksida, sehingga karbondioksida menggeser oksigen pada
hemoglobin dan kapasitas membaa oksigen pada darah berkurang
(Guyton dan Hall, 1988).
Kadar hemoglobin rata-rata pada laki-laki normal 16 g/dL,
sedangkan pada wanita 14 g/dL sehingga pada tubuh laki-laki seberat
70kg, terdapat kira-kira 900g hemoglobin. Setiap jam 0,3 g dari
hemoglobin tersebut akan dihancurkan dan 0,3 g hemoglobin
disintesis. Bagian hem dari hemoglobin akan disintesis menjadi
glisin dan suksinil KoA (Ganong, 1983).
Dalam pembentukan hemoglobin diperlukan zat besi. Zat
besi merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin. Jika
tubuh kekurangan zat besi (defisiensi zat besi), maka akan
menghambat pembentukan hemoglobin yang berakibat pada
terhambatnya pembentukan sel darah merah (Wijayakusuma, 2008):.
Zat besi digunakan untuk sintesis bagian hem pada hemoglobin dan
mioglobin (Montgomery, 1993).
Fungsi utama zat besi bagi tubuh adalah membawa (sebagai
carrier), oksigen dan karbondioksida, serta untuk pembentukan
darah (haemoglobin). Fungsi lainnya antara lain sebagai bagian dari
enzim, untuk produksi antibodi, dan untuk penghilangan
(detoksifikasi) zat racun di dalam hati. Berikut ini penjelasan lebih
lanjut dari fungsi –fungsi tersebut (Ari dkk., 2008):
a. Pengangkutan (carrier) O2 dan CO2
Zat besi yang terdapat dalam haemoglobin (pigmen
darah merah) dan mioglobin (pigmen daging) berfungsi
untuk mengankut O2 dan CO2, sehingga secara tidak
langsung zat besi sangat esensial untuk metabolisme
energi.
b. Pembentukan Sel Darah Merah
Hemoglobin(Hb) merupakan komponen esensial sel-sel
darah merah (eritrosit). Eritrosit dibentuk dalam
sumsum tulang. Bila jumlah sel darah merah berkurang,
hormone eritpoietin yang diproduksi oleh ginjal, akan
menstimulir pembentukan sel darah merah. Karena sel
darah merah tidak mengandung inti sel (nucleus), maka
sel tersebut tidak dapat mensitesis enzim untuk
kelangsungan hidupnya. Kehidupan sel darah merah
hanya sepanjang masih terdapatnya enzim yang masih
berfungsi (untuk membawa O2 dan CO2), dan biasanya
hanya sekitar 4 bulan. Kecepatan penghancuran sel
darah merah akan meningkat bila tubuh kekurangan
vitamin C, vitamin E atau vitamin B12 (yang
membantu pembentukan sel-sel darah merah). Karena
kehidupan eritrosit hanya berlangsung sekitar 120 hari,
maka 1/120 sel eritrositharus diganti setiap hari, yang
memerlukan sekitar 20 mg zat besi (Fe) per hari.
Karena tidak mungkin menyerap Fe dari makanan
sebanyak itu per hari, maka konversi Fe dalam tubuh
sangat penting dilakukan.
c. Fungsi Lain
Sebagian kecil Fe terdapat dalam enzim jaringan. Bila
terjadi defisiensi zat besi, enzim ini berkurang
jumlahnya sebelum Hb menurun. Zat besi diperlukan
sebagai katalis dalam konversi betakaroten menjadi
vitamin A, dalam reaksi sintesis purin (sebagai bagian
integral asam nukleat dalam RNA atau DNA), dan
dalam reaksi sintesis kolagen. Selain itu, zat besi
diperlukan dalam proses penghilangan (detoksifikasi)
zat racun dalam hati. Orang yang mengalami defisiensi
zat besi lebih sulit memerangi infeksi bakteri, karena
produksi antibodi terhambat.

Sintesis eritrosit memerlukan pasokan terus-menerus asam


amino, lipid tertentu, besi, vitamin khusus, dan nutrient renik (trace
nutrient). Kecepatan produksi eritrosit diatur terutama oleh elativ
erotropoietin (EPO). EPO adalah glikoprotein 30-39 KD yang
mengikat reseptor spesifik pada permukaan prekursor eritrosit dan
memacu diferensiasi eritrosit dan maturasi klona menjadi eritrosit
dewasa. Pada janin manusia EPO diproduksi terutama oleh sel
berasal dari monosit atau makrofag yang bermukim di hati. Pasca
lahir EPO diproduksi hampir semuanya oleh sel peritubuler ginjal.
Sumsum tulang dalam keadaan normal menghasilkan sel darah
merah, sedangkan pada kondisi yang dikenal sebagai eritropoiesis,
sumsum tulang akan memproduksi sel darah merah dengan
kecepatan luar biasa, yaitu 2 sampai 3 juta per detik untuk
mengimbangi musnahnya sel-sel tua (Bakta, 2007).
Secara garis besar perkembangan hematopoiesis dibagi dalam 3
periode (Recht, 1999) :
1. Hematopoiesis yolk sac (mesoblastik atau primitif)
2. Hematopoiesis hati (definitif)
3. Hematopoiesis medular
Hematopoiesis Yolk Sac (Mesoblastik atau Primitif)
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah
fertilisasi. Mula-mula terbentuk dalam blood island yang merupakan
pelopor dari elati vaskuler dan hematopoiesis. Selanjutnya sel
eritrosit dan megakariosit dapat diidentifikasi dalam yolk sac pada
masa gestasi 16 hari. Sel induk elative hematopoiesis berasal dari
mesoderm, mempunyai respon terhadap faktor pertumbuhan antara
lain eritropoetin, IL-3, IL-6 dan faktor sel stem. Sel induk
hematopoiesis (blood borne pluripotent hematopoetic progenitors)
mulai berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi 5-6 minggu
dan pada masa gestasi 8 minggu blood island mengalami regresi.
Hematopoiesis Hati (Definitif)
Hematopoiesis hati berasal dari sel stem pluripoten yang
berpindah dari yolk sac. Perubahan tempat hematopoiesis dari yolk
sac ke hati dan kemudian sumsum tulang mempunyai hubungan
dengan regulasi perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi
sitokin dan komponen merangsang adhesi dari matrik ekstraseluler
dan ekspresi pada reseptor. Pada masa gestasi 9 minggu,
hematopoiesis sudah terbentuk dalam hati. Hematopoiesis dalam hati
yang terutama adalah eritropoiesis, walaupun masih ditemukan
sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoiesis hati mencapai
puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami regresi
perlahan-lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor
elative tic terdapat di limpa, elati, kelenjar limfe, dan ginjal.
Hematopoiesis Medular
Merupakan periode terakhir pembentukan elati hematopoiesis
dan dimulai sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk
dalam tulang rawan dan tulang panjang dengan proses reabsorpsi.
Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum
tulang diisi jaringan hematopoietic yang aktif dan sumsum tulang
penuh berisi sel darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi
pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum tulang, sedangkan
hepar tidak berfungsi membuat sel darah lagi. Sel mesenkim yang
mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah menjadi
kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar
getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai system
retikuloendotelial.
Dalam pembentukan hemoglobin diperlukan zat besi. Zat
besi merupakan salah satu komponen penyusun hemoglobin. Jika
tubuh kekurangan zat besi (defisiensi zat besi), maka akan
menghambat pembentukan hemoglobin yang berakibat pada
terhambatnya pembentukan sel darah merah. Selanjutnya timbullah
anemia akibat kekurangan zat besi yang disebut dengan anemia
defisiensi zat besi (Dunn, 2003).
Gejala-gejala orang yang mengalami anemia defisiensi zat
besi: kelelahan, lemah, pucat dan kurang bergairah, sakit kepala dan
mudah marah, tidak mampu berkonsentrasi dan rentan terhadap
infeksi, pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti
sendok dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan
sulit menelan (Weiss, 2005).
Secara umum, anemia adalah salah satu akibat dari:
kekurangan darah dalam jumlah banyak kerusakan sel-sel darah
merah, kekurangan bahan dasar untuk membuat sel darah merah
seperti hemoglobin yang disebabkan oleh defisiensi zat besi,
kegagalan sumsum tulang untuk membuat sel darah merah dalam
jumlah yang cukup besar. Faktor-faktor penyebab terjadinya anemia
defisiensi zat besi adalah: kurangnya zat besi dalam makanan yang
dikonsumsi (Hillman, 1995).
Malabsorbsi zat besi ( penyerapan zat besi yang tidak optimal)
akibat diare kronis, pembedahan tertentu pada saluran pencernaan
seperti lambung. Zat besi diabsorpsi dari saluran pencernaan.
Sebagian besar, zat besi diabsorpsi dari usus halus bagian atas
terutama duodenum. Bila terjadi gangguan saluran pencernaan, maka
absorpsi zat besi dari saluran pencernaan menjadi tidak optimal. Hal
itu menyebabkan kurangnya kadar zat besi dalam tubuh sehingga
pembentukan sel darah merah terhambat (Adlisham, 2008).
Selain mengandung zat yang sangat bermanfaat, bayam juga
mengandung zat yang bersifat negative. Salah satunya adalah asam
oksalat yang di satu sisi bermanfaat dan di sisi lain merugikan.
Kandungan asam oksalat ini menyebabkan menurunnya penyerapan
zat zat yang bermanfaat pada bayam saat kita konsumsi, antara lain
zat besi dan kalsium. Adanya asam oksalat menyebabkan zat besi
hanya bisa diserap sekitar 53%, sedangkan kalsium hanya bisa
diserap sekitar 5 %. Oleh karena itu, mengkonsumsi bayam tidak
boleh lebih dari 5 jam dan juga tidak boleh dihangatkan agar
kandungan asam oksalat tidak semakin banyak yang keluar dan larut.
Semakin banyak asam oksalat yang keluar akan semakin sedikit
kadar zat yang bermanfaat pada bayam yang dapat diserap. Selain
itu, kandungan zat besi (Fe) yang sangat tinggi pada bayam tidak
boleh terlalu lama berinteraksi dengan udara. Karena ketika zat besi
(Fe2+) yang bermanfaat tersebut berinteraksi dengan udara, akan
berubah menjadi zat besi yang bersifat racun bagi tubuh (Fe3+)
(Rusiman, 2008).
Kandungan pada bayam lainnya yang perlu diperhatikan
adalah Nitrat (NO3). Seperti halnya dengan zat besi tadi, zat nitrat ini
akan ber-reduksi dengan udara (O2) yang akan menjadikan nitrat
menjadi nitrit (NO2). Nitrit ini bersifat racun dalam tubuh.
Kandungan Nitrat yang cukup tinggi inilah yang biasanya menjadi
sumber kekhawatiran untuk mengkonsumsi bayam. Karena nitrat
akan beroksidasi menjadi nitrit dalam tubuh. Nitrit ini akan
menghambat haemoglobin dalam mengalirkan oksigen dalam darah.
Gangguan aliran oksigen dalam darah akan menyebabkan tubuh
kekurangan oksigen yang disebut Hipoksemia. Apabila kekurangan
oksigen ini terjadi pada bayi, maka disebut blue baby syndrom,
karena gejalanya adalah kulit bayi terutama di sekitar mata dan
mulut menjadi berwarna biru (Somad, 2009).
Karena nitrit dapat terbentuk dari nitrat sedangkan zat
aktifnya adalah NO, maka umumnya nitrit lebih beracun
dibandingkan dengan nitrat. LD (lethal dose=dosis mematikan) nitrit
yang diuji pada tikus percobaan adalah 250 mg per kilogram berat
badan, sedangkan pada anjing adalah 330 mg per kilogram berat
badan. Untuk keamanan, konsumsi nitrit pada manusia dibatasi
sampai 0,4 mg/kg berat badan per hari. Oleh karena itu,
pengkonsumsian bayam tidak boleh melebihi dari dosis tersebut,
karena pada bayam juga terkandung nitrat (Martini, 1998).

1.3.2 Pengamatan Kalsium Oksalat pada Organ Hepar dan


Ginjal Mencit
Berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan, dapat
diketahui bahwa tidak terdapat adanya kalsium oksalat pada organ
hepar dan ginjal dari mencit kontrol. Pada mencit dengan perlakuan
penyondean dengan bayam hijau pada dosis 35 mg/kgBB ditemukan
adanya penumpukan kristal kalsium oksalat, yaitu pada organ ginjal
sebanyak 6 buah dengan bentuk batang, prisma dan drusen;
sedangkan pada organ hepar hanya ditemukan 1 buah kristal kalsium
oksalat dengan bentuk rafida. Pada mencit dengan perlakuan
penyondean dengan bayam merah pada dosis 35 mg/kgBB
ditemukan adanya penumpukan kristal kalsium oksalat, yaitu pada
organ ginjal sebanyak 2 buah dengan bentuk jarum; sedangkan pada
organ hepar ditemukan 3 buah kristal kalsium oksalat dengan bentuk
prisma dan rafida. Pada mencit dengan perlakuan penyondean
dengan bayam hijau pada dosis 40 mg/kgBB ditemukan adanya
penumpukan kistal kalsium oksalat, yaitu pada organ ginjal sebanyak
5 buah dengan bentuk bintang; sedangkan pada organ hepar tidak
ditemukan adanya penumpukan kristal kalsium oksalat. Pada mencit
dengan perlakuan penyondean dengan bayam merah pada dosis 40
mg/kgBB ditemukan adanya penumpukan kristal kalsium oksalat,
yaitu pada organ ginjal sebanyak 1 buah dengan bentuk prisma,;
sedangkan pada organ hepar hanya ditemukan 1 buah kristal kalsium
oksalat dengan bentuk prisma.
Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri dari
dua atom C pada masing-masing molekul, sehingga dua gugus
karboksilat berada berdampingan. Karena letak gugus karboksilat
yang berdekatan, asam oksalat mempunyai konstanta dissosiasi yang
lebih besar daripada asam-asam organik lain. Besarnya konstanta
disosiasi (K1) = 6,24.10-2 dan K2 = 6,1.10-5). Dengan keadaan yang
demikian dapat dikatakan asam oksalat lebih kuat daripada senyawa
homolognya dengan rantai atom karbon lebih panjang. Namun
demikian dalam medium asam kuat (pH <2) proporsi asam oksalat
yang terionisasi menurun (Montgomery, 1993).
Asam oksalat dalam keadaan murni berupa senyawa kristal,
larut dalam air (8% pada 10o C) dan larut dalam alkohol. Asam
oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali (NaK), yang
larut dalam air (5-25 %), sementara itu dengan logam dari alkali
tanah, termasuk Mg atau dengan logam berat, mempunyai kelarutan
yang sangat kecil dalam air. Jadi kalsium oksalat secara praktis tidak
larut dalam air. Berdasarkan sifat tersebut asam oksalat digunakan
untuk menentukan jumlah kalsium. Asam oksalat ini terionisasi
dalam media asam kuat (Montgomery, 1993).
Asam oksalat dapat ditemukan dalam bentuk bebas ataupun
dalam bentuk garam. Bentuk yang lebih banyak ditemukan adalah
bentuk garam. Kedua bentuk asam oksalat tersebut terdapat baik
dalam bahan nabati maupun hewani. Jumlah asam oksalat dalam
tanaman lebih besar daripada hewan. Diantara tanaman yang
digunakan untuk nutrisi manusia dan hewan, atau tanaman yang
ditemukan dalam makanan hewan; yang paling banyak mengandung
oksalat adalah spesies Spinacia, Beta, Atriplex, Rheum, Rumex,
Portulaca, Tetragonia, Amarantus, Musa parasisiaca. Daun teh,
daun kelembak dan kakao juga mengandung oksalat cukup banyak.
Demikian juga beberapa spesies mushrooms dan jamur (Asperegillus
niger, Baletus sulfurous, Mucor, Sclerotinia dan sebagainya.)
menghasilkan asam oksalat dalam jumlah banyak (lebih dari 4-5
gram untuk setiap 100 gram berat kering), baik dalam bentuk
penanaman terisolasi dan dalam bahan makanan atau makanan
ternak (Nuansa Persada Online, 2008).
Asam oksalat bersama-sama dengan kalsium dalam tubuh
manusia membentuk senyawa yang tak larut dan tak dapat diserap
tubuh, hal ini tak hanya mencegah penggunaan kalsium yang juga
terdapat dalam produk-produk yang mengandung oksalat, tetapi
menurunkan CDU dari kalsium yang diberikan oleh bahan pangan
lain. Hal tersebut menekan mineralisasi kerangka dan mengurangi
pertambahan berat badan. Asam oksalat dan garamnya yang larut air
dapat membahayakan, karena senyawa tersebut bersifat toksis. Pada
dosis 4-5 gram asam oksalat atau kalium oksalat dapat menyebabkan
kematian pada orang dewasa, tetapi biasanya jumlah yang
menyebabkan pengaruh fatal adalah antara 10 dan 15 gram. Gejala
pada pencernaan (pyrosis, abdominal kram, dan muntah-muntah)
dengan cepat diikuti kegagalan peredaran darah dan pecahnya
pembuluh darah inilah yang dapat menyebabkan kematian (Rahma,
2007).
Kristal kalsium oksalat terdapat di dalam sayuran. Zat ini
dapat mempengaruhi rasa pada sayuran, misalnya rafida dapat
menyebabkan rasa gatal. Pada penderita penyakit tertentu dianjurkan
untuk megurangi konsumsi sayuran yang mengandung kalsium
oksalat dengan kerapatan tinggi kerena kemungkinan akan
menyebabkan kambuhnya penyakit. Bentuk kristal yang didapat
pada umumnya bentuk roset seperti pada daun pepaya, bayam,
kangkung, singkong, belinjo, ketela rambat, kelor, katu, kenikir;
kristal bentuk prisma terdapat pada lembayung dan selada;
sedangkan bentuk jarum pada sembukan; sawi putih dan sawi hijau
tidak mengandung kristal kalsium oksalat. Kerapatan kalsium oksalat
yang paling tinggi ditemukan pada daun pepaya disusul lembayung,
bayam, singkong, kangkung sembukan, katu, beluntas, ketela rambat,
kenikir, kemangi, kelor daun selada (Nuansa Persada Online, 2008).
Kalsium oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri
dari dua atom C pada masing-masing molekul, sehingga dua gugus
karboksilat berada berdampingan. Karena letak gugus karboksilat
yang berdekatan, kalsium oksalat mempunyai konstanta dissosiasi
yang lebih besar daripada asam-asam organik lain. Besarnya
konstanta disosiasi (K1) = 6,24.10-2 dan K2 = 6,1.10-5). Dengan
keadaan yang demikian dapat dikatakan kalsium oksalat lebih kuat
daripada senyawa homolognya dengan rantai atom karbon lebih
panjang. Namun demikian dalam medium asam kuat (pH <2)
proporsi kalsium oksalat yang terionisasi menurun. Kalsium oksalat
dalam keadaan murni berupa senyawa kristal, larut dalam air (8%
pada 10o C) dan larut dalam alkohol. Kalsium oksalat membentuk
garam netral dengan logam alkali (NaK), yang larut dalam air (5-25
%), sementara itu dengan logam dari alkali tanah, termasuk Mg atau
dengan logam berat, mempunyai kelarutan yang sangat kecil dalam
air. Jadi kalsium oksalat secara praktis tidak larut dalam air.
Berdasarkan sifat tersebut kalsium oksalat digunakan untuk
menentukan jumlah kalsium, kalsium oksalat ini terionisasi dalam
media asam kuat (Nuansa Persada Online, 2008).
Urolithiasis adalah suatu kedaruratan terjadinya penumpukan
oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal.
Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah,
demam, hematuria. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanging
wanita dengan perbandingan 3:1 dalam usia 30-60 tahun. Urine
berwarna keruh seperti teh atau merah.Vesikolithiasis (batu kandung
kemih) adalah terdapatnya batu di kandung kemih.Vesikolithiasis
mengacu pada adanya batu/kalkuli dalam vesika urinaria. Batu
dibentuk dalam saluran perkemihan (vesika urinaria) ketika
kepekatan urine terhadap substansi, yaitu kalsium oksalat, kalsium
fosfat, asam urat mengalami peningkatan.Batu perkemihan
(urolithiasis) dapat timbul pada berbagai tingkat dari sistem
perkemihan (ginjal, ureter, kandung kemih), tapi yang paling sering
ditemukan di dalam ginjal (nephrollihiasis). Kira-kira satu pertiga
dari individu yang menderita pada saluran kemih atas akan
mengalami pengangkatan ginjal (Hana, 2006).
Benda ergastik merupakan hasil metabolisme tumbuhan
yang tidak terpakai atau cadangan makanan. Zat ergastik mencakup
pati, benda ergastik yang mengandung protein, misalnya: badan
aleuron dan badan lipid, dan berbagai macam kristal. Kristal dalam
berbagai bentuk ditemukan pada sel tumbuhan. Seringkali ditemukan
dalam bentuk kalsium oksalat, dan jarang ditemukan dalam bentuk
kalsium karbonat atau kalsium malat. Berdasarkan bentuknya kristal
dibagi menjadi: drusen, sferit, pasir, jarum, bintang, rafida, stiloid
dan prisma. Kristal ini dibentuk dalam vakuola. Persebaran kristal
dalam tubuh tumbuhan tidak aackmelainkan di daerah khusus,
misalnya hipodermis, dekat ikatan pembuluh, dan biasa tersusun
dalam dalam deret memanjang (Hidayat, 1995).
BAB II
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Komponen darah terdiri atas plasma darah dan sel-sel darah. Sel
darah terbagi menjadi 3 yakni sel darah merah, sel darah putih, dan
keping darah. Pada sel darah merah terdapat hemoglobin yang
berfungsi mengikat oksigen dan membentuk oksihemoglobin. Zat
besi berperan dalam sintesa hem pada hemoglobin. Bayam memiliki
zat besi yang dapat mempengaruhi jumlah sel darah merah, dan
kadar hemoglobin. Namun, bayam memiliki kadar kalsium oksalat
yang tinggi sehingga dapat menyebabkan penimbunan kristal okslat
dalam ginjal dan hepar. Secara umum, jumlah eritrosit, leukosit dan
kadar hemoglobin pada mencit yang diberi perlakuan penyondean
dengan bayam merah memiliki jumlah yang lebih tingi jika
dibandingkan dengan mencit yang diberi perlakuan penyondean
dengan aquades, maupun bayam hijau pada dosis yang sama. Hal ini
dikarenakan kadar zat besi pada bayam merah lebih tinggi daripada
kadar besi pada bayam hijau. Pada organ hepar dan ginjal mencit
yang disonde dengan larutan bayam merah dan bayam hijau, terdapat
penumpukan kristal kalsium oksalat dengan bentuk batang, prisma,
drusen, dan rafida.

2.2 Saran
Dalam melaksanakan praktikum, hendaknya diperhatikan
umur mencit yang digunakan. Selain itu, diperhatikan juga cara
menyonde yang benar agar tidak terjadi kematian pada mencit yang
disonde.
DAFTAR PUSTAKA

Adlisham, S. 2008. Perkaitan Bilangan Eritrosit pada Pesakt


Leukemia dengan Keadaan Anemia.
http://parkking85.blogspot.com/2008/06/research.html.
Diakses pada tanggal 03 Juni 2010
Ari, A, I G. A. 2008. Pengaruh Perbaikan Gizi Kesehatan Terhadap
Produktivitas Kerja. Patria Untag. Surabaya
Aster, Jon.2007.Sistem Hematopoietik dan Limfoid dalam Buku
Ajar Patologi Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Bakta, I.M ., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Benjamin, A.2005.Iron And Iron Deficiency Anemia.
http://www.nutrition.ucdavis.edu.pdf/. Diakses pada
tanggal 01 Juni 2010
Cybermed. 2009. Betulkan Bayam Kaya Zat Besi?
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/common/banner.aspx?
x=cybermed&id=18. Diakses pada tanggal 03 Juni 2010
Cybermed.2008.Ginjal.http://cybermed.cbn.net.id/.htm. Diakses
pada tanggal 03 Juni 2010
Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life:
prevalence, significance, and causes in patients receiving
palliative care. Medlineplus. 26:1132-1139.
Ganong, W. P. 1988. Review of Medical Physiologis. Long Medical
Publishing Los Atos. California.
Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
EGC. Jakarta.
Hana A. 2006. Laboratorium Normal.
http://kaahil.wordpress.com/laboratorium-normal/. Diakses
pada tanggal 01 Juni 2010
Hidayat, E.B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. ITB Press.
Bandung.
Hillman RS, Ault KA. 1995. Iron Deficiency Anemia. Hematology
in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and Management.
McGraw Hill. New York : 72-85.
Junqueira, L.C. 1997. Histologi Dasar. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta
Mardiani. 2008. Pengaruh strees oksidatif terhadap kadar
Malondialdehyde (MDA) Plasma Mencit.
http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php
?option=com_journals&sf=keyword&keyword=stres
%20oksidatif.&task=search. Diakses pada tanggal 03 Juni 2010
Martini. 1998.Fundamental of Anatomy and Physiology 4th ed.
Prentice Hall International Inc. New Jersey
Montgomery, R. 1993. Biokimia: Suatu Pendekatan Berorientasi
Kasus. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Nuansa Persada Online.2008.Gagal Batu Ginjal.
http:.//www.nuansapersadaonline.com/.htm. Diakses pada
tanggal 01 Juni 2010
Nursingbegin.2008.Hepar. http://www.NursingBegin.com/. html.
Diakses pada tanggal 03 Juni 2010
Rahma.2007.Kalsium Oksalat.http://geasy.wordpress.com/.htm.
Diakses pada tanggal 03 Juni 2010
Recht M, Pearson HA. 1999. Iron Deficiency Anemia. Dalam :
McMillan JA, DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB,
penyunting. Oski’s Pediatrics : Principles and Practice. Edisi
ke-3. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia
Rusiman. 2008. Pengaruh Pengolahan Terhadap Zat Besi.
http://rusiman.bpdas_pemalijratun.net/index.php?
view=article. Diakses pada tanggal 03 Juni 2010
Somad. 2009. Vitamin, Manfaat, Dan Zat Yang Terkandung Dalam
Bayam. http://radensomad.com/vitamin-dan-zat-zat-yang-
terkandung-dalam-sayuran-bayam.html. Diakses pada tanggal
03 Juni 2010
Weiss, G.,Goodnough, L.T., 2005. Anemia of Chronic Disease.
Nejm, 352 : 1011-1023.
Wijayakusuma, H.M.H.2008.Defisiensi Zat Besi Dengan Bahan-
Bahan Alami. http:.//www.rusiman.bpdas.net/.htm. Diakses
pada tanggal 03 Juni 2010
Yunuz, M. 2008. Haemositometer. http://yunuzmuhammad.
blogspot.com/2008/05/haemositometer.html. Diakses pada
tanggal 03 Juni 2010

Anda mungkin juga menyukai