Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Potensial Aksi 1
Sinyal listril mampu sampai dan berjalan disepanjang dendrit dan aksonal
melalui peristiwa potensial aksi. Pada keadaan istirahat, keadaan membran sangat
permeabel untuk ion kalsium. Potensial aksi merupakan perubahan potensial
membran disepanjang dendir dan akson. Perubahan terjadi dari keadaan potensial
membran negatif istirahat normal menjadi potensial positif kemudian kembali ke
keadaan semula. Adapun urutan tahap polarisasi adalah :
a. Tahap istirahat
Selama tahap ini membran dikatakan terpolarisasi dengan potensial
membran negatif sebesar -90 ml volt. Potensial ini dibentuk dari aktivitas
dari difusi ion kalium dan natrium melalui Leak Channel dan aktifitas dari
pompa ion Na+ dan K+.
b. Tahap Depolarisasi
Pada saat ini membran begitu permiabel terhadap ion natrium
sehingga sebagian besar ion antrium masuk ke akson melalui difusi.
Keadaan ini membuat potensial membran meningkat cepat ke arah positif.
Keadaan inilah yang disebut dengan depolarisasi.
c. Tahap Repolarisasi
Ion natrium yang menyebabkan peningkatan potensial memran
tiba-tiba menutup (kanal ion Na+ menutup) disertai dengan membukannya
kanal K+ dengan mengeluarkan kalium dari dalam sel untuk
mengembalikan potensial membran ke keadaan istirahat. Sinyal listrik ini
akan brjalan di sepanjang akson dan berakhir di terminal akson. Di
terminal akson, sinyal listrik harus dikonversi menjai sinyal kimia agar
dapat dilepaskan melalui celah sinaps.
Neurotransmiter 2
Ujung presinaptik suatu neuron menjalankan fungsi mengubah sinyal
listrik menjadi sinyal kimiawi. Fungsi ini dijalankan oleh suatu zat yang disebut
neurotransmitter. Transmitter yang dilepaskan ini kemudian bekerja pada
membran sel postsinaptik dan dengan cepat dipindahkan dari celah sinaptik
melalui difusi, metabolisme, dan pada beberapa keadaan dikembalikan ke neuron
postsinaptik. Seluruh proses ini disertai oleh berbagai faktor fisiologik dan secara
teori dapat diatur oleh obat-obatan.
Neurotransmitter dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya:
1. Asetilkolin
2. Amina: dopamin, norefinefrin, epinefrin, serotonin, histamin
3. Asam amino
4. Eksitasi: glutamat, aspartat
5. Inhibisi: glisin, gama-aminobutirat (GABA)
6. Polipeptida: vasopresin, oksitosin, CRH, TRH, GRH, somatostatin
7. Purin: adenosin, ATP
8. Gas: NO, CO
9. Lipid: asam arakodonik dan derivatnya
3
rasanya pahit. Curarine (C18H35N) adalah suatu alkaloid. Zat ini tidak berwarna,
rasanya sedikit pahit, dapat larut dalam air dan alkohol, sedikit larut dalam
kloroform, dan tidak larut dalam eter murni, benzol, minyak, dan karbon disulfida.
Zat ini mempunyai reaksi alkaline dan berikatan dengan asam untuk membentuk
garam kristal.
Curare hanya bereaksi bila disuntikkan atau dihirup ke dalam sirkulasi.
Bila tersentuh kulit, kulit akan teriritasi. Saat bereaksi di dalam tubuh, curare akan
melumpuhkan otot sadar maupun tidak sadar, sehingga terjadi kematian yang
disebabkan kelumpuhan sistem pernapasan. Biasanya tidak beracun pada
lambung. Kematian terjadi bila dosis curare yang diberikan cukup tinggi.
Kelumpuhan otot sadar maupun tidak sadar terjadi karena tidak
tertransmisinya impuls saraf ke saraf pusat. Larutan tubo-kurarin (yang
mengandung curarine) merupakan inhibitor kompetitif bagi asetilkolin,
neurotransmitter yang berperan untuk transmisi impuls saraf pada sinaps. Pada
proses sinaps, neurotransmitter asetikolin membawa sinyal listrik untuk
diteruskan dari saraf pre-sinaps ke saraf post-sinaps. Pada membran post-sinaps
terdapat reseptor untuk asetilkolin. Saat menempel pada reseptor tersebut, sinyal
akan diteruskan ke saraf post-sinaps. Keberadaan larutan tubo-kurarin
menginhibisi kerja asetilkolin. Tubo-kurarin menempati reseptor asetilkolin
sehingga asetilkolin tidak dapat menduduki reseptor dan saraf tidak terhantarkan.
Hal ini menyebabkan kelumpuhan pada otot.
Peran Kalsium 2
Dalam transmisi impuls saraf pada sinaps, aksi potensial yang tiba di ujung
akan membuka kanal ion kalsium, dan ion kalsium tersebut kemudian akan masuk
ke dalam ujung akson. Disamping itu, ion natrium dan senyawaan kolin serta
senyawaan asetat juga akan masuk ke dalam akson lewar pompa natrium.
Senyawa asetat akan di aktivasi menjadi koenzim A di dalam mitokondria. Kolin
bersama asetil koenzim A dan enzim kolin asetil transferase akan membentuk
asetil kolin. Asetilkolin kemudian akan dibungkus oleh vesikel sinaps yang
diinternalisasi kembali lewat proses endositosis membentuk vesikel sinaps. Ke
dalam vesikel ini juga dimasukkan ATP sebagai sumber energi. Vesikel sinaps
lalu bergerak ke membran akson terminal, menyatu dengan membran akson dan
proses ini distimulus oleh ion kalsium. Asetilkolin ini akhirnya dikeluarkan ke
dalam celah sinaps lewat proses eksositosis.
Pada serat otot rangka, serat otot rangka dipersarafi oleh serat saraf besar
dan bermielin yang berasal dari motorneuron besar pada kornu anterior medula
spinalis. Ujung-ujung saraf mrmbuat suatu sambungan disebut sambungan
neuromuskular, ketika serat otot mendekati pertengahan serat, dan potensial aksi
di dalam serat menjalar dua arah menuju ujung-ujung serat otot.
Serat saraf akan bercabang pada ujungnya untuk membentuk suatu
kompleks terminal cabang saraf, yang berinvaginasi ke dalam serat otot tetapi
terletak di luar membran plasma serat otot. Seluruh struktur ini disebut motor end
plate (lempeng akhir motorik).
Penggabungan eksitasi-konstraksi mengacu pada serangkaian kejadian
yang mengkaitkan eksitasi (adanya potensial aksi di serat otot) ke kontraksi otot
(aktivitas jembatan silang yang menyebabkan filamen-filamen tipis bergeser
mendekat satu sama lain untuk memperpendek sarkomer).
5
TUJUAN
Memahami peran asetilkolin pada penghantaran impuls dari saraf ke otak.
METODE
Gambar 1
7
14. Potong femur dekat sendi lutut. Sekarang kita peroleh sediaan otot saraf
15. Selama mengerjakan pembuatan sediaan otot – saraf, jagalah agar jaringan
yang terbuka jangan menjadi kering dengan setiap kali membasahinya
dengan larutan Ringer.
Gambar
4. Letakkan sediaan otot pada gelas 5arloji yang kosong dan carilah ambang
rangsang tak langsung dengan mengobservasi adanya kontraksi otot akibat
perangsangan tersebut. Carilah besar ambang rangsang tak langsung!
5. Rendam otot dari sediaan otot – saraf tersebut di atas dalam larutan Ringer
selama ± 3 menit.
6. Pindahkan sediaan otot – saraf tersebut dalam larutan Ringer tanpa
kalsium selama ± 10 menit.
9
7. Pindahkan sediaan otot – saraf tersebut pada gelas arloji kosong dan beri
rangsang tak langsung dengan intensitas rangsang 0,5 V lebih besar
daripada ambang batas rangsang yang didapat pada langkah 1.
8. Rendamlah kembali otot dari sediaan otot – saraf tersebut dalam larutan
Hasil
1. Ambang batas rangsangan pada
sediaan otot-saraf katak yang dilakukan pada saraf ischiadicus secara tak
langsung adalah 0,5V dan secara langsung sebesar 1V.
2. Setelah dibiarkan selama 10 menit
di dalam larutan Ringer tanpa Ca2+, sediaan diberi rangsangan tak
langsung sebesar 1V pada saraf ischiadicus, hasilnya otot berkontraksi.
3. Setelah dibiarkan selama 10 menit dalam larutan tubo-kurarin, sediaan
diberi rangsangan tak langsung sebesar 1V dan langsung sebesar 1,5V
pada saraf ischiadicus dan pada otot gastrocnemius. Hasilnya pada
rangsangan langsung maupun tak langsung, otot tetap berkontraksi.
Pembahasan
Setelah otot direndam dengan larutan Ringer tanpa kalsium, yang
diharapkan terjadi pada perangsangan tidak langsung adalah kontraksi otot yang
10
terjadi lebih lemah dibandingkan dengan yang sebelumnya pada voltase yang
sama. Untuk dapat mencapai kekuatan kontraksi yang sama diperlukan voltase
yang lebih besar.
Setelah direndam dalam larutan tubo-kurarin, perangsangan tidak langsung
tidak dapat menyebabkan kontraksi otot pada voltase yang sama. Ini dikarenakan
tubo-kurarin menjadi inhibitor pada motor end plate sehingga neurotransmitter
asetilkolin tidak dapat berfungsi karena tidak ada reseptor bebas untuk berikatan.
Namun pada rangsangan langsung, kontraksi otot masih dapat terjadi karena
potensial aksi yang dihasilkan dari rangsangan menyebar langsung di otot dan
menginduksi influx kalsium tanpa perlu sinyal dari asetilkolin yang
ditransmisikan oleh sel saraf.
Kalsium diperlukan dalam transportasi neurotransmitter pada saraf, karena
mengikat dan mengaktifkan protein yang menghubungkan vesikel ke membrane
sel sehingga dapat terjadi fusi untuk membebaskan neurotransmitter.
Asetilkolin yang dilepaskan menyebabkan perubahan permeabilitas di
serat otot dan menimbulkan potensial aksi yang dihantarkan ke seluruh
permukaan membrane sel otot. Di setiap taut antara pita A dan I, membran
permukaan menyelam masuk ke dalam serat otot membentuk tubulus transverse
yang tegak lurus dari permukaan membran ke bagian tengah serat otot. Potensial
aksi menyebar dari permukaan membrane ke tubulus transverse dan menginduksi
perubahan permeabilitas di jaringan reticulum sarkoplasma dalam serat otot.
Segmen reticulum sarkoplasma membungkus pita A dan I dengan ujung akhir tiap
segmen membentuk kantung lateral yang menyimpan kalsium. Potensial aksi ke
tubulus transverse mencetuskan pengeluaran kalsium dari reticulum sarcoplasma
ke sitosol.
Kalsium menyebabkan tempat pengikatan di molekul aktin terpajan
sehingga dapat berikatan dengan jembatan silang myosin di tempat pengikatan
komplementernya. Pengikatan aktin dan myosin di jembatan silang menyebabkan
jembatan silang menekuk, menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang
menarik filament tipis ke arah dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua
filamen tipis yang mengelilingi filament tebal memperpendek sarkomer sehingga
menyebabkan kontraksi otot.
KESIMPULAN
Dari percobaan diatas menunjukkan peran penting kalsium dalam proses
transmisi sinyal. Pada percobaan ini sediaan otot-saraf yang direndam dengan
ringer ditambahkan kalsium menunjukkan rangsangan yang lebih kuat
dibandingkan dengan sediaan otot-saraf yag direndam pada ringer tanpa kalsium.
Selain itu, percobaan ini membuktikan peran penting asetilkolin sebagai pembawa
sinyal listrik yang akan menghasilkan kontraksi otot. Hal ini ditunjukkan oleh
m.gastrocnemius yang tidak berkontraksi setelah direndam dengan larutan tubo-
kurarin terhadap perangsangan tak langsung dengan intensitas rangsang tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
Jakarta: EGC
2. Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC
11