Anda di halaman 1dari 3

https://www.kompasiana.

com/akmal37114/5beabc6b6ddcae22b8366f83/sampah-dan-prilaku-
hidup-konsumtif?page=all

KOMPASIANA, 2018

Indonesia merupakan salah satu Negara timur yang memiliki banyak ciri khas tersendiri
seperti bersalaman dengan mencium tangan orang yang lebih dituakan yang mungkin di
negara-negara barat sana kita tidak menemukannya atau membungkuk di saat berjalan
melewati orang yang lebih tua, bergotong royong membantu sesama, bermusyawarah
mufakat dan berbagai ciri khas lainnya.

Meskipun begitu, Indonesia masih relatif mudah mendapat dampak globalisasi, baik dampak
positif maupun dampak negatif. Budaya yang masuk ke Indonesia seringkali menetap lama
dan pada akhirnya bercampur menjadi bagian dari budaya dari Negara itu sendiri. Hal ini
dikarenakan filter  dari masing-masing individu masyarakat Indonesia belum terlalu
maksimal, sehingga masyarakat seolah menerima budaya-budaya tersebut secara mentah.

Salah satu budaya yang secara tak sadar bertahan di Indonesia adalah Budaya Konsumtif.
Memang, budaya ini tidak setiap semua dimiliki oleh masyarakat Indonesia, akan tetapi
setidaknya mayoritas yang tergolong madani dan bermukim di kawasan perkotaan berprilaku
demikian. Pola konsumsi yang terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat, meskipun
dengan 'kadar' yang berbeda-beda. Remaja merupakan salah satu contoh yang paling mudah
terpengaruh dengan pola yang berlebihan (Loudon & Bitta, 1993).

Menurut Sumartono (dalam Fransisca, 2005: 176), perilaku konsumtif adalah suatu prilaku
yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya
keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional lagi. Prilaku konsumtif melekat pada
seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu di luar kebutuhan (trend) tetapi sudah kepada
faktor keinginan (want).

Di antara kebutuhan dan keinginan terdapat suatu perbedaan. Kebutuhan bersifat naluriah,
sedangkan keinginan merupakan kebutuhan buatan, yaitu kebutuhan yang dibentuk
oleh lingkungan hidupnya seperti lingkungan keluarga atau lingkungan sosial lainnya. 

Dahulu sebuah mobil hanya dibeli konsumen karena kemampuannya memenuhi kebutuhan
akan kendaraan angkutan, namun saat ini konsumen tidak lagi membeli mobil semata-mata
karena kebutuhan angkutan lagi tetapi juga untuk menunjang statusnya di masyarakat
(Ferrinadewi, 2008: 3)

Sejak berkembangnya industri-industri di Indonesia, seperti makanan, minuman, model


pakaian dan lain sebagainya yang membuat ketersediaan barang- barang kebutuhan
meningkat pesat. Bukan rahasia umum lagi jika masyarakat sekarang kebanyakan
mengonsumsi sesuatu bukan lagi dari segi fungsionalnya melainkan dari trend yang saat ini
berkembang.
Budaya konsumtif secara kasat mata jelas sekali sudah menggelayuti masyarakat dari
berbagai kalangan. Ini tidak lain juga disebabkan karena prilaku masyarakat sendiri yang
lebih senang menghabiskan waktunya untuk berbelanja, bahkan saat barang tersebut tidak
terlalu dibutuhkan. Lebih parahnya lagi dengan banyaknya produk di pasaran yang
menggunakan kemasan yang tak ramah lingkungan yang kemudian menjadi salah satu faktor
meningkatnya volume sampah di Indonesia.

Ketika tingkat konsumtif masyarakat menjadi tinggi, maka akan banyak barang yang dibeli.
Barang-barang yang dibeli ini sudah barang tentu memiliki bungkus minimal kantong plastik.
Dampak langsungnya adalah volume sampah pun akan meningkat sebagai dampak dari
bungkus-bukus tersebut. Hal ini diperparah lagi dari masih banyak masyarakat yang belum
sadar akan pengelolaan sampah, setidaknya memilah terlebih dahulu.

Prilaku konsumtif menjadi suatu masalah serius yang perlu diperhatikan oleh kita semua,
mengingat hal ini tidak bisa lagi dihindarkan karena konsumsi manusia juga tidak dapat
dihentikan. 

Di tiap kota di Indonesia, akibat prilaku konsumtif ini sampah yang ditimbulkan juga kian
menambah persoalan menjadi rumit. Meskipun sudah beragam solusi dan inovasi yang
ditawarkan, namun sampai saat ini belum ada yang betul-betul efektif untuk menangani
permasalahan ini.

Perlu diketahui, Indonesia adalah salah satu Negara penyumbang sampah plastik terbesar
kedua di dunia setelah Tiongkok. Sampah yang dihasilkan dari wilayah daratan terutama
kota-kota besar. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, produksi sampah per hari tertinggi
berada di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. 

Pada 2015, produksi sampah di Surabaya sebesar 9.475,21 meter kubik dan meningkat
9.710,61 meter kubik di 2016. Wilayah lain di luar Pulau Jawa yang angka produksi tinggi
sampah adalah Kota Mamuju, yakni 7.383 meter kubik dan Kota Makassar sebesar 5.931,4
meter kubik pada 2016.

Selain menggunungnya sampah di Indonesia, rupanya sampah juga menyimpan masalah yang
cukup serius bagi kesehatan. Perlu diketahui, penggunaan plastik dalam industri makanan
adalah kontaminasi zat warna plastik dalam makanan. Sebagai contoh adalah penggunaan
kantong plastik (kresek) untuk membungkus makanan seperti gorengan dan lain sebagainya.

Menurut Made Arcana, ahli Kimia Institut Teknologi Bandung yang dikutip Gatra Edisi Juli
2003, zat pewarna hitam kalau terkena panas (misalnya berasal dari gorengan), bisa terturai
dan terdegradasi menjadi bentuk radikal. Zat racun itu bisa bereaksi dengan cepat, seperti
oksigen dan makanan. 

Kalaupun tak beracun, senyawa tadi bisa berubah jadi racun bila terkena panas. Bentuk
radikal ini karena memilki satu electron tak berpasangan menjadi sangat reaktif dan tidak
stabil sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan terutama dapat menyebabkan sel tubuh
berkembang tidak terkontrol seperti pada penyakit kanker.

Melihat fenomena yang ditumbulkan oleh budaya konsumtif yang kian hari makin menjadi-
jadi, maka sudah sepatutnyalah kita sadar dan menyikapi budaya konsumtif agar tak lagi
menjadi salah satu supplier  sampah. Tentunya, selain dari berbagai terobosan dan inovasi
baru yang diciptakan, maka itu harus dibarengi pulalah dari dalam diri. 

Mengutamakan kebutuhan daripada keinginan dan menanamkan sikap tanggung jawab


terhadap keberadaan sampah adalah salah satu langkah konkrit untuk mengurangi lajur angka
sampah yang kian hari menjadi tumpukan dan 'pemandangan' yang seolah tak bisa dilepaskan
dari kota- kota besar di Indonesia.

Salah satu cara untuk menekan lajur angka sampah di Indonesia adalah penerapan larangan
bagi toko modern dan ritel untuk menyediakan kantong plastik. Terobosan ini diterapkan di
Kota Seribu Sungai atau Banjarmasin melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 18
Tahun 2016 tentang Larangan Penggunaan Kantong Plastik bagi Ritel dan Toko Modern
yang disahkan pada 1 Juni 2016.

Contoh konrit diatas adalah salah satu terobosan dan inovasi yang bisa diterapkan di beberapa
bahkan semua kota di Indonesia yang angka sampahnya sangat membengkak. Dengan
melibatkan semua pihak terlebih lagi pemerintah, maka bukan tidak mungkin angka sampah
di Indonesia bisa ditekan.

Namun, bukan berarti dengan diterapkannya larangan penggunaan kantong plastik bagi ritel
dan toko modern maka masyarakat sudah bisa seenaknya untuk berprilaku konsumtif. Tentu
jawabnya tidak, perubahan akan prilaku konsumtif haruslah dimulai dari diri sendiri lebih
dahulu. 

Mulai memahami bahwa kebutuhan dan keinginan adalah suatu hal yang sangat jauh berbeda.
Kebutuhan memiliki derajat yang lebih tinggi daripada keinginan. Selain itu, mengubah pola
pikir dengan tidak menjadikan barang sebagai suatu hal untuk menambah gengsi.

Dengan memulai diri untuk tidak terbiasa berprilaku konsumtif , adalah suatu tindakan yang
nyata untuk menekan angka sampah di Indonesia karena salah satu dampak dari prilaku
konsumtif itu sendiri adalah menciptakan tumpukan sampah di Indonesia.

Perubahan besar selalu dimulai dari tindakan sederhana. Pengendalian sampah bukan hanya
melalui kegiatan daur ulang atau pembuatan produk hukum tapi lebih pada menyikapi budaya
konsumtif agar tak lagi menjadi salah satu supplier sampah. Mengurangi timbulan sampah
plastik juga menjadi salah satu cara untuk mengatasinya. Sudah sepatutnya kita untuk
memikirkan keberlanjutan lingkungan dengan memperhatikan dan mengendalikan sampah
yang kita hasilkan.

Anda mungkin juga menyukai