MASA KINI
Oleh: Florentinus Nurtitus, S.Si.T., RD.
Ahli Gizi / Dietisien RS St. Elisabeth Semarang
Apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut (60 tahun atau lebih), maka salah satu
upaya utama adalah mempertahankan atau membawa status gizi pada kondisi optimum
agar kualitas hidupnya tetap baik. Perubahan status gizi pada lansia disebabkan perubahan
lingkungan maupun kondisi kesehatan. Perubahan ini akan makin nyata pada kurun usia 70-
an. Faktor lingkunagn antara lain meliputi perubahan kondisi sosial ekonomi yang terjadi
akibat memasuki masa pensiun dan isolasi sosial berupa hidup sendiri setelah pasangannya
meninggal. Faktor kesehatan yang berperan dalan perubahan status gizi antara lain adalah
naiknya insidensi penyakit degenerasi maupun non-degenerasi yang berakibat dengan
perubahan dalam asupan makanan, perubahan dalam absorpsi dan utilisasi zat-zat gizi di
tingkat jaringan, dan beberapa kasus dapat disebabkan oleh obat-obat tertentu yang harus
diminim para lansia oleh karena penyakit yang sedang dideritanya.
Penyakit periodonsia dan gigi palsu yang tidak tepat akan makin memberikan rasa sakit dan
tak nyaman saat mengunyah. Selain itu sekresi ludah juga menurun hingga terjadi
gangguan pengunyahan dan penelanan.
Hipoklorhidria yang terjadi oleh karena berkurangnya sel-sel parietal mukosa lambung akan
mengakibatkan penurunan absorpsi kalsium dan non-hem-iron.
Terjadi pula overgrowth bakteri yang akan menurunkan bioavailability B12, malabsorbsi
lemak, fungsi asam empedu yang menurun dan diare. Selain itu terjadi penurunan motilitas
usus, hiungga terjadi konstipasi.
4. Metabolisma
Pada lansia dapat terjadi penurunan toleransi glukosa yang akan mengakibatkan kenaikan
glukosa di dalam plasma sekitar 1,5 mg/dl untuk tiap dekade umur. Hal ini terjadi mungkin
karena penurunan produksi insulin atau karena respon jaringan terhadp insulin yng
menurun.
Metabolisma basal (BM) menurun sekitar 20% antara usia 30-90 tahun. Hal ini terjadi karena
berkurangnya lean body mass pada lansia.
5. Ginjal
Fungsi ginjal menurun sekitar 50 % antara usia 30-80 tahun. Reaksi respon asam basa
terhadap perubahan-perubahan metabolik melambat. Pembuangan sisa-sia metabolisma
protein dan elektolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri.
6. Fungsi jaringan
Pad usia sekitar 75 tahun, maka prosentasenya fungsi jaringan yang tertinggal adalah 82 %
untuk cairan/air tubuh, 56% glomerulus, 63 % serat syaraf, 36 % taste buds dan 56 % berat
otak.
Gangguan Gizi
Gangguan gizi yang dapat muncul pada usia lanjut dapat berbentuk gizi kurang maupun gizi
lebih. Gangguan ini dapat menyebabkan munculnya penyakit atau terjadi sebagi akibat
adanya penyakit tertentu. Oleh karena itu langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan terlebih dahulu ada tidaknya gangguan gizi, mengevaluasi faktor-faktor yang
berhubungan dengan gangguan gizi serta merencakan bagaimana gangguan gizi tersebut
dapat diperbaiki.
Metabolisme Energi
Produksi energi untuk tiap m2 luas tubuh menurun secara progresif dengan bertambahnya
usia. Rata-rata penurunanya dalah 12 kal/m2/jam untuk tiap tahun antara usia 20 90 tahun.
Penurunan ini terjadi oleh karena berkurangnya jaringan aktif (metabolizing tissue) sejalan
dengan bertambahnya usia.
Produksi energi ini merupakan produksi untuk metabolisme basal ditambah dengan energi
untuk aktifitas. Kebutuhan energi untuk aktivitas menurun lebih besar daripada untuk
metabolisme basal, terutama pada lansia.
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami baik keadaan gizi lebih
maupan kekurangan gizi.Terjadi kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang
bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan isolasi sosial,
hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan inderra,
gangguan mental, kemiskinan dan iatrogenik. Sebab-sebab sekunder meliputi gangguan
nafsu makan/selera, gangguan mengunyah, malabsorpsi, obat-obatan, peningkatan
kebutuhan zat gizi serta alkoholisme. Ketidaktahuan dapat dibawa sejak kecil atau
disebabkan olah pendidikan yang sangat terbatas. Isolasi sosial terjadi pada lansia yang
hidup sendirian, yang kehilangan gairah hidup dan tidak ada keinginan untuk masak.
Gangguan fisik terjadi pada lansia yang mengalami hemiparese/hemiplegia, artritis dan
ganggun mata. Gangguan mental terjadi pada lansia yang demensia dan mengalami
depresi. Kondisi iatrogenik dapat terjadi pada lansia yang mendapat diet lambung untuk
jangka waktu lama, hingga terjadi kekurangan vitamin C. selanjutnya gangguan selera,
mengunyah dan malabsorbsi terjadi sebagi akibat penurunan fungsi alat pencernaan dan
pancaindera, sebagai akibat penyakit berat tertentu, pasca operasi, iskemik dinding perut
dan sensitifitas yang meningkat terhadap bahan makanan tertentu seperti cabai, santan,
lemak dan tepung yang mengandung gluten tinggi (misalnya ketan). Kebutuhan yang
meningkat terjadi pada lansia yang mengalami keseimbangan nitrogen negatif dan
katabolisme protein yang terjadi pada mereka yang harus berbaring di tempat tidur untuk
jangka waktu lama dan yang mengalami panas yang tinggi.
Kondisi kekurangan gizi pada lansia dapat terbentuk KKP (kurang kalori protein) kronik, baik
ringan sedang maupun berat. Keadaan ini dapat dilihat dengan mudah melalui penampilan
umum, yakni adanya kekurusan dan rendahnya BB seorang lansia dibanding dengan baku
yang ada. Kekurangan zat gizi lain yang banyak muncul adalah defisiensi besi dalam bentuk
anemia gizi, defisiensi B1 dan B12.
Kelebihan gizi pada lansia biasanya berhubungan dengan afluency dengan gaya hidup pada
usia sekitar 50 tahun. Dengan kondisi ekonomi yang membaik dan tersedianya berbagai
makanan siap saji yang enak dan kaya energi. Utamanya sumber lemak, terjadi asupan
makan dan zat-zat gizi melebihi kebutuhan tubuh. Keadaan kelebihan gizi yang dimulai pada
awal usia 50 tahun-an ini akan membawa lansia pada keadaan obesitas dan dapat pula
disertai dengan munculnya berbagai penyakit metabolisme seperti diabetes mellitus dan
dislipidemia. Penyakit-penyakit tersebut akan memerlukan pengelolaan dietetik khusus yang
mungkin harus dijalani sepanjang usia yang masih tersisa.
Khusus untuk Indonesia, Departemen Kesehatan telah menerbitkan Pedoman Umum Gizi
Seimbang (PUGS) (DepKes, 1995) yang berisi 13 pesan dasar gizi seimbang bagi lansia
dengan dasar PUGS dan dengan mempertimbangkan pengurangan berbagai resiko
penyakit degenerasi yang dihadapi para lansia.