Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung
yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-
mediator kimia pada saat terpapar kembali dengan alergen tersebut. Menurut
WHO-ARIA (Allergic Rinitis its Impact on Asthma), rinitis alergi merupakan
suatu peradangan yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) yang terlibat
menyebabkan suatu peradangan alergi bila terpapar kembali oleh alergennya.1
Gejala khas pada rinitis alergi yaitu terdapatnya bersin yang berulang bisa
disertai gejala lain seperti rinore yang encer, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal disertai lakrimasi yang banyak, biasanya keluhan hidung tersumbat
sebagai satu – satunya gejala.2
Dari data WHO tahun 2000 mengenai epidemiologi rinitis alergi di
Amerika Utara dan Eropa Barat, terjadi peningkatan prevalensi rinitis alergi
dari 13-16% menjadi 23-28% dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan prevalensi
rinitis alergi pada usia anak sekolah di Eropa Barat menjadi dua kali lipat.
Prevalensi rinitis alergi seasonal dan perennial di USA meningkat mencapai
14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahun.2
Pada tahun 2008 State of World Allergy memperkirakan bahwa
400 juta orang menderita rinitis alergi. Sedangkan di Amerika Serikat
diperkirakan 30-60 juta menderita kelainan ini dan prevalensi anak-anak
lebih banyak dari dewasa. Sedangkan di Filipina, Abong JM dkk
menyatakan dalam penelitiannya bahwa prevalensi keseluruhan dari 7.202
orang objek penelitian yang pernah memiliki gejala rinitis alergi adalah
28,3% dan 20% mengalami gejala rinitis tersebut dalam waktu 12 bulan
terakhir dari waktu penelitian dilakukan.3,4

1
Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari hasil penelitian yang
dilakukan di Poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad
Pekanbaru periode Januari 2006-Desember 2006. terhadap 221 kasus rinitis
alergi menunjukkan kasus rinitis alergi terbanyak pada umur 15-24 tahun
(22,3%) dan lebih banyak pada perempuan 128 (57,92%). Gejala klinis rinitis
alergi pada kelompok umur 2-14 tahun adalah rinore sebanyak 29 kasus
(50,88%), hidung tersumbat 14 kasus (24,56%). Sedangkan gejala klinis pada
penderita dengan kelompok umur 15-24 tahun hingga kelompok umur >65
tahun adalah hidung tersumbat.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung
1. Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian mulai dari atas ke bawah: kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat
digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar berbentuk seperti piramid dengan bagian –

2
bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung
(dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang
hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os
maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.1

Gambar 1. Rangka dan Tulang Rawan Hidung5


2. Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding
lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara
konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya

3
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas
konka media disebut meatus superior.1

Gambar 2. Anatomi Hidung Dalam5


a. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri.
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila,
krista palatine serta krista sfenoid.1
b. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari : 1
 Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila
dan prosesus horizontal os palatum.
 Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid,
dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius

4
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior.
 Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media
yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
 Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah
konka ; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut
meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka
suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila
bagian superior dan palatum.
c. Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus
sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.1
d. Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat

5
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di
balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus
frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.1
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.1
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi
dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri
septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina
horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh
prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di
bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas
sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya
menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus

6
paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara
yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk
oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.1
g. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid
anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan
koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di
antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum
karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksilaris akan dialirkan dulu
ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung.
Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit
resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari
resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum
etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.1
3. Vaskularisasi Rongga Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh darah pada

7
septum nasi bagian anterior.4 Pembuluh darah yang membentuknya adalah
arteri nasalis septum anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri
labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan menyebabkan
epistaksis anterior.4

Gambar 3. Vaskularisasi Septum dan Dinding Lateral Hidung 5


4. Innervasi Rongga Hidung
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris
dari nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga
hidung bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxillaris.
Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior
inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis

8
berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada
cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung,
terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel
pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan
selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.4

Gambar 4. Innervasi Hidung5


B. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur
kondisi udara (air conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra
penghidu; 5) resonansi suara; 6) proses bicara; 7) refleks nasal.4

9
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.4

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)4


Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung4
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan

10
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu4
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara4
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara4
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal4
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

11
C. Rinitis Alergi
1. Definisi
Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin –
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.5
2. Patofisiologi1,10
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi
alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen
sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL


13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E
(IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel

12
mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT
D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan
melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil
dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja,
tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag
Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat
gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan
kelembapan udara yang tinggi.

13
Gambar 5. Mekanisme Imunologik pada Rinitis Alergi1

Berdasarkan cara masuknya alergi dibagi atas : 1


1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau dan debu rumah, kecoa, serihan epitel kulit binatang (
kucing, anjing ), rerumputan, serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan,yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya
penilisin dan sengatan serangga.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya kosmetik dan perhiasan.

14
Gambar 6. Macam-macam alergen 7

3. Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya, yaitu : 1

a. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak


dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora
jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino
konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung
dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).1

b. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan,
terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama
adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor).

15
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih
ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih
persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.1

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi


dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma)
tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi6:

a. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu


atau kurang dari 4 minggu.6

b. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih
dari 4 minggu.6

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi1
a. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.1
b. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut di atas.1
4. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis1
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar

16
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya
riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali
gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

b. Pemeriksaan Fisik1
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala
persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena
stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic
shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic
salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

17
(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

Gambar 7. (a) allergic shiner, (b) cobblestone appearance, (c) allergic


salute, (d) facies adenoid, (e) geographic tongue,(f) allergic crease1

Gambar 8. Gambaran konka livid pada rinitis alergi7


c. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Kulit Cukit (Skin Prick Tes)
Tes kulit digunakan secara luas sebagai salah satu alat
untuk diagnosis alergi terhadap alergen dan merupakan indikator
yang aman, mudah dilakukan, hasil cepat didapat, biaya yang

18
relatif murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring. Tes cukit dapat mendiagnosis rhinitis
alergi akibat allergen inhalasi berderajat sedang sampai derajat
berat, tetapi pada penderita dengan sensitivitas rendah,
kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi dengan
gejala klinik. Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya
alergi, sedangkan tes kulit negatif tindakan yang perlu dilakukan
adalah (1) periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes,
(2) periksa adakah penyebab hasil negatif palsu, (3) observasi
pasien selama adanya paparan alergen yang tinggi,(4) lakukan tes
provokasi atau tes intradermal (bila fasilitas tersedia)

Gambar 9. Tes cukit7


2. Tes Intradermal
Tes ini memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tes cukit, walaupun reaksi positif palsu atau reaksi
anafilaksis lebih sering terjadi. sebaiknya yang dilakukan tes
intradermal hanya yang memberikan hasil negatif palsu pada tes
cukit.
SET (Skin Endpoint Titration) merupakan pengembangan tes
intradermal larutan tunggal (disebut juga pengenceran larutan
berganda), dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikan

19
alergen dalam berbagai konsentrasi. selain dapat mengetahui
alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis
awal untuk imunoterapi.

Gambar 10. SET (Skin Endpoint Titration)7


3. IgE Serum Total
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal,
kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma
bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi.1

4. IgE Serum Spesifik


Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan
RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil

20
(>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

5. Nasal Challenge Test


Dilakukan bila ada keraguan dan kesulitan dalam
mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif
tetapi hasil tes alergi selalu negatif. 6 Untuk alergi makanan, uji
kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku
emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu 5 hari. Karena itu pada tes ini, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1
6. Radiologi
Pemeriksaan gambaran foto polos sinus paranasalis, CT
Scan atau MRI dapat dilakukan bila ada indikasi keterlibatan sinus
paranasal, misalnya pada komplikasi rinosinusitis, menilai respon
terhadap terapi dan jika direncanakan tindakan operasi.

d. Penatalaksanaan7,8,9
1) Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak
dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.1

2) Medikamentosa1
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1,
yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel

21
target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering dipakai
sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
per oral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti
histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus
sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara
lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical
adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif
mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-
sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat
seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian
mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah
loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian

22
secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi
dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja
pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat
topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion
kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons
fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil
terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

23
Gambar 11. Algoritma tatalaksana rinitis alergi menurut WHO1

3) Irigasi Nasal Larutan Garam


Irigasi nasal atau nasal lavage atau nasal douche adalah
suatu prosedur yang bertujuan mencuci rongga hidung untuk
mengeluarkan mukus dan debris yang berlebihan dari hidung dan
sinus. Dari beberapa tes klinis menunjukkan bahwa prosedur ini
aman dan menguntungkan dengan tanpa menimbulkan efek
samping yang signifikan.

24
Irigasi nasal larutan garam (INLG) adalah suatu prosedur
yang sederhana dan murah yang telah sering digunakan bertahun-
tahun untuk terapi keadaan sinus dan hidung. Irigasi nasal larutan
garam atau saline nasal irrigation merupakan suatu terapi adjuvan
untuk kelainan dalam hidung, untuk membersihkan rongga
hidung dengan garam yang diberikan secarasemprotan (spray),
larutan atau nebulizer. Irigasi nasal larutan garam berasal dari
tradisi medik Ayurveda yang disebut jala neti. Neti merupakan
bahasa Sansekerta yang artinya pembersihan hidung. Cara ini telah
mulai dilaporkan di Lancet pada tahun 1902.
Irigasi nasal larutan garam dianggap sebagai salah satu
komponen penting dalam prevensi terjadinya rinosinusitis dan
merupakan komponen penting dalam terapi RSK. Hal ini
disebabkan karena dengan seringnya INLG dilakukan maka akan
mencegah kumulasi krusta dalam hidung dan memperbaiki
transpor silia.
Mekanisme kerja INLG yang pasti belum diketahui dengan
jelas. Rusaknya fungsi protektif dari mukosa hidung tampaknya
memegang peranan penting pada sebagian besar penyakit-penyakit
sinonasal. Dalam hal ini, INLG dapat memperbaiki fungsi mukosa
hidung dengan melakukan irigasi pembersihan, membuang
mediator inflamasi, melembabkan kavum nasi dan memperbaiki
fungsi mukosiliar yang ditunjukkan dengan meningkatnya
frekuensi gerak siliar (ciliary beat frequency). Garam dapat
meningkatkan tebal dan pekatnya lapisan sol mukus dan
menurunkan viskositas mukus.
Penggunaan garam yang hipertonik dilaporkan
meningkatkan mucociliary transport time. Larutan hipertonik dapat
mengurangi udem melalui difusi gradien osmolar, sehingga dapat

25
memperbaiki transpor mukosiliar dan memperbaiki patensi ostium
sinus. Disamping itu, karena larutan hipertonik adalah larutan
alkali ringan, maka lingkungan yang alkali dapat menyebabkan
mukus dalam keadaan sol.
Garam, dalam bentuk semprot hidung maupun bentuk
irigasi, bertindak sebagai dekongestan ringan yang diduga dengan
mengurangi aliran darah hidung secara refleksif.
Irigasi nasal larutan garam digunakan pada RSK dan gejala
nasal lainnya, sebagai terapi tambahan (adjuvan) yang efektif.
Terapi ini dilaporkan dapat meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi penggunaan obat-obatan termasuk antibiotik. Selain
itu, beberapa laporan menyebutkan bahwa INLG dapat membantu
meringankan hay-fever dan common cold. Penggunaan INLG
untuk asma, poliposis nasal dan rinitis pada kehamilan belum
banyak dilaporkan tetapi gejala dari beberapa kondisi
inidiharapkan dapat berkurang dengan cara yang sama.
Menurut penelitian 10 tahun terakhir ini, RSK merupakan
indikasi yang utama untuk INLG. Indikasi lainnya yang sedang
berkembang adalah infeksi saluran napas atas karena virus, rinitis
alergi, pregnancy rhinitis derajat sedang – berat, rinosinusitis akut
dan perawatan pasca bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF),
walaupun untuk
ini belum banyak penelitianpenelitian dikerjakan selain
terhadap RSK. Prosedur INLG aman digunakan pada dewasa
maupun anak-anak dan belum ada laporan mengenai efek samping
serius selama alergen potensial seperti iodium atau kontaminan
seperti jamur tidak ada pada Na Cl, air atau bahan buffer yang
digunakan. Yang perlu diperhatikan adalah garam meja
mengandung iodium, sementara garam laut mengandung algae atau

26
kontaminan lain. Pedoman terapi di Kanada dan United State saat
ini menggunakan INLG untuk semua kasus rinosinusitis dan untuk
pembersihan pasca operasi kavum nasi.
4) Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat.

5) Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan
gejala yang berat dan sudah berlagsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang
umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.
Imunoterapi merupakan intervensi pengobatan berupa
tindakan pemberian atau penyuntikan alergen yang berulang
dengan dosis meningkat bertahap pada pasien yang menujukkan
tanda alergi dengan tujuan memberi perlindungan terhadap
timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat paparan
alergen.

27
e. Komplikasi1
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1) Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung
merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung
dan kekambuhan polip hidung.
2) Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3) Sinusitis paranasal.

28
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin – bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
2. Rinitis alergi dapat disebabkan oleh alergen inhalan, alergen ingestan, alergen
injektan dan alergen kontaktan yang menimbulkan reaksi alergi.
3. Penanganan utama rinitis alergi adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen penyebab (avoidance) dan eliminasi. Pemberian obat – obatan seperti
antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid dapat menghilangkan gejala
rinitis alergi. Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah konkotomi
parsial dan konkoplasti.
B. Saran

Imunoterapi spesifik pada pengobatan rinitis alergi yang dijalankan sesuai


jadwal terbukti dapat menurunkan gejala rinitis alergi secara sangat bermakna.
Selain itu imunoterapi spesifik juga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita
rinitis alergi dan menurunkan kuantitas pemakaian obat AH-1 secara bermakna.
Diharapkan melalui referat ini teman sejawat bisa lebih mudah mengenali
gejala-gelaja rinitis alergi menenali tanda-tanda objektif rinitis alergi dalam garis
besar berupa : (a) allergic shiner, (b) cobblestone appearance, (c) allergic salute,
(d) facies adenoid, (e) geographic tongue,(f) allergic crease . Sehingga
mempermudah dalam menegakkan diagnosis dan edukasi untuk pasien yang akan
kita temui.

29

Anda mungkin juga menyukai