Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

HALAMAN JUDUL
MENINGOENSEFALITIS + POST LAPAROTOMI EKSPLORASI
ai. APPENDISITIS PERFORASI POD 9 + GIZI KURANG

Oleh:

Fitri Suci Lestari 04054822022100


Aldo Giovanno 04054822022008
Imaniar 04054822022074
Kesuma

Pembimbing: 
dr. RM Indra, Sp. A (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Meningoensefalitis + Post Laparotomi Ekspolari Ai. Appendisitis Perforasi Pod 9 +
Gizi Kurang

Oleh:
           
Fitri Suci Lestari 04054822022100
Aldo Giovanno 04054822022008
Imaniar Kesuma 04054822022074

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ Rumah


Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang periode 4 Januari 2021 – 8 Februari
2021.
                       
Palembang,   Januari 2021

dr. RM Indra, Sp. A (K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih
dan Maha Penyayang karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus berjudul Meningoensefalitis + Post Laparotomi Ekspolari Ai.
Appendisitis Perforasi Pod 9 + Gizi Kurang
. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti kepaniteraan
klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang/Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. 
    Dengan selesainya penyusunan laporan kasus ini, perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada dr. RM Indra, Sp. A (K)
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
kritik, dan saran dalam pembuatan laporan kasus ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa senantiasa memberikan berkat-Nya kepada pembimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

                          Palembang,   Januari 2021


               

                                                                                                               Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul   …………………………………………………………………….. i

Halaman Pengesahan ……………………………………………………………... ii

Kata Pengantar  ………………………………………………………………….  iii

Daftar Isi  …………………………………………………………………………  iv

Bab I Pendahuluan ………………………………………………………………   1

Bab II Status Pasien  ……………………………………………………………...  2

Bab III Tinjauan Pustaka .…………………………………………………….    11

Bab IV Analisis Masalah …………………………………………………………  20

Daftar Pustaka  …………………………………………………………………...  23
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama


di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit infeksi pada
anak yang menjadi mendapat perhatian khusus dan membutuhkan perawatan intensif
antara lain penyakit infeksi dan inflamasi sistem saraf pusat yaitu meningitis dan
ensefalitis. Meningitis merupakan suatu reaksi peradangan yang mengenai satu atau
semua lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang,
yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa, disebabkan oleh bakteri
spesifik/non spesifik atau virus, sedangkan ensefalitis merupakan suatu peradangan
yang mengenai jaringan otak. Meningitis dan ensefalitis yang terjadi secara
bersamaan disebut meningoensefalitis.6,7
Meningitis dan ensefalitis dapat dijumpai pada semua rentang umur, dari
anak-anak hingga dewasa. Data statistik menyatakan meningoensefalitis lebih banyak
terjadi pada laki-laki dari pada perempuan. Insidens puncak penyakit ini terdapat
rentang usia 6-12 bulan. Rentang usia dengan angka mortalitas tinggi adalah dari lahir
sampai dengan 4 tahun.6,7
Gejala klinis meningitis berbeda-beda pada tiap rentang umur. Pada anak
umur lebih 2 tahun gejala lebih khas yaitu adanya panas, menggigil, muntah, nyeri
kepala, kejang, gangguan kesadaran, dan yang paling utama terdapatnya tanda-tanda
rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda Brudzinski, Kernig, dan Laseque.
Gejala klinis ensefalitis antara lain demam, kejang, kesadaran menurun, dan
dibedakan dengan meningitis dengan adanya gejala-gejala fokal kerusakan jaringan
otak. Pada keadaan ensefalitis tanpa meningitis, tidak ditemukan adanya tanda
rangsangan meningeal.1,8,9 Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan
yang dapat menyelamatkan nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum
sebagai penyedia pelayanan kesehatan primer untuk dapat mendiagnosis
meningoensefalitis serta memberikan penanganan awal pada kasus-kasus yang
membutuhkan rujukan.
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTIFIKASI
Nama : KMAH

Tanggal Lahir (Usia) : 14 Februari 2014 (6 tahun 11 bulan)

Jenis kelamin : Laki-laki

Berat badan lahir : 2800 gram

Panjang badan lahir : 48 cm

Agama : Islam

Nama Ayah : AB

Nama Ibu :N

Alamat : Sako

Suku Bangsa : Sumatera Selatan

No. Med Rec : 0001194470

MRS : 9 Januari 2021

B. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, 20 Januari 2021)
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

Keluhan Tambahan : Demam dan Sesak Napas

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak 4 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, tidak menjalar,
disertai demam tinggi, namun tidak diukur. Nyeri kepala ada, bersifat hilang timbul,
muntah menyemprot tidak ada, pandangan kabur tidak ada. Pasien kemudian berobat ke
RS Swasta, dilakukan USG abdomen dengan kesan appendisitis perforasi, pasien
kemudian menjalani operasi appendisitis di RS Swasta. Selesai operasi pasien tidak
sadarkan diri. Pasien dirujuk karena penurunan kesadaran, demam dan sesak napas.
Pasien dirawat di PICU selama 8 hari. Saat ini pasien tampak apatis, merintih dan masih
belum bisa bicara dengan jelas, demam masih ada, sesak napas sudah tidak ada. Pasien
tidak ada mual, muntah disangkal, kejang tidak ada, BAB dan BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat tonsillitis kronik telah dilakukan tonsilektomi 3 tahun yang lalu

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien berobat tanpa BPJS kesehatan. Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta. Ibu
pasien berusia 26 tahun adalah ibu rumah tangga.

Kesan: sosial ekonomi menengah

Riwayat Kehamilan

GPA : G2P1A0

Minum alcohol : Tidak ada

Merokok : Tidak ada

Riwayat obat : Tidak ada

Penyakit kehamilan : Tidak ada


Kehamilan :Rutin setiap bulan di klinik spesialis kandungan

Riwayat Persalinan

Presentasi : Kepala

Cara persalinan : Pervaginam, spontan

KPSW : Tidak ada

Riwayat demam saat persalinan : Tidak ada

Riwayat ketuban kental, hijau, bau : Tidak ada

Keadaan bayi saat lahir : Menangis spontan

Jenis kelamin : Laki-laki

Riwayat Imunisasi

Interpretasi : Imunisasi dasar lengkap

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 20 Januari 2021

Keadaan Umum

- Keadaan umum: Tampak sakit sedang, E4M5V2


- Kesadaran: Apatis
- BB: 17 kg
- TB: 116 cm
- Status gizi: Gizi kurang
o BB/U: 73,9%
o TB/U: 95,8%
o BB/TB: 80,8%
- HR: 104x/menit,
- Pernapasan: 22x/menit,
- Tekanan darah: 98/60 mmHg
- SpO2 98%
- Suhu: 37,5ºC
- Tekanan darah: 98/60 mmHg

Keadaan Spesifik

 Kepala
- Bentuk : Normal
- Rambut : Hitam, tidak rontok dan tidak mudah dicabut
- Wajah : Wajah dismorfik (-)
- Mata : Pupil bulat, ditengah, isokor, diameter pupil 3mm/3mm, refleks
cahaya (+), konjungtiva anemis(-), sklera ikterik (-)
- Hidung : Sekret (-), NCH (-)
- Mulut : Kering (+) Pucat (-) Sianosis (-), Tonsil T0/T0
- Leher : Simetris, Tidak ada perbesaran KGB

 Thorax
Paru-paru
- Inspeksi: dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi (-/-)
- Palpasi: Strem fremitus normal, KGB axila tidak ada pembesaran,
- Perkusi: Sonor
- Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung

- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : Redup
- Auskultasi : HR: 104 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal,
Murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
- Inspeksi : datar, simetris, bekas operasi apendisitis.
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani
- Lipat paha : Tidak diperiksa
- Genitalia dan anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), CRT <3 detik, sianosis (-)

Status Neurologis

Lengan Lengan Tungka Tungkai


kanan kiri i kanan kiri

Fungsi kurang kurang kurang kurang


motorik
Gerakan

Kekuata 0 0 0 0
n

Tonus Normal Normal Normal Normal


Klonus - -

Refleks 2 2 1 1
fisiologis

Refleks - - - -
patologis

- Gejala rangsang meningeal: Kaku kuduk (+), Babinski (-), Brudzinski (+), Kernig
(+)
- Fungsi sensorik : dalam batas normal
- Nervi craniales : tidak ada paresis N. craniales

 N. III, IV, VI: pupil bulat, isokor, RC+/+, diameter 3 mm


 N.VII: sudut mulut (-), lagoftalmus (-)
- Reflex Primitif :-
-

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai Nilai Satuan


Rujuka Rujuka
n n
Hematologi        
(Hb, WBC,
RBC, Plt, Ht,
DC)
Hemoglobin 12,1 12,0 – 12,0 – g/dl
(Hb) 14,4 14,4
Eritrosit 4,91* 4,75 – 4,75 – 106 /
4,85 4,85 mm3
Leukosit 9,31 4,5 – 4,5 – 106/
13,5 13,5 mm3
Hematokrit 38 %
Trombosit 458 217 - 217 - 103/uL
(PLT) 497 497
MCV 76,4* 85 - 95 85 - 95 fL
MCH 25 28 - 32 28 - 32 pg
MCHC 32* 33 - 35 33 - 35 g/dL
RDW - CV 18,70 11 - 15 11 - 15 %
*
LED 48* <15 <15 mm/ja
m
Hitung Jenis :        
• Basofil 0 0-1 0-1 %
• Eoinofil 1 1-6 1-6 %
• Neutrofil 63 50 - 70 50 - 70 %
• Limfosit 23 20 – 40 20 – 40 %
• Monosit 13 2-8 2-8 %

Pemeriksaan Hasil Nilai Satuan


Rujukan
Kimia klinik 9,5 9,2 - 11,0 mg/dL
Kalsium (Ca)
Ca koreksi 9,7 mg/dL

Hati 3,7* 3,8 - 5,4 g/dL


Albumin
Ginjal 19 16,6 – 48,5 mg/dL
Ureum
Kreatinin 0,42 0,32 – 0,59 mg/dL

Elektrolit
Elektrolit serum
Phospor 4,6 2,5 – 5,0 mg/dL

Magnesium (Mg) 2,30 1,6 – 2,6 mg/dL

Natrium (Na) 139 135 - 155 mEq/L

Kalium (K) 4,4 3,5 – 5,5 mEq/L


Klorida (Cl) 107* 96 - 106 mmol/L

CRP Kuantitatif 7*  < 5 mg/L


Kesan : peningkatan CRP (terdapat tanda infeksi)

Pemeriksaan LCS (12 Januari 2021)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


Kimia klinik -
i.
Makroskopi
Volume 2.0 mL
Analisis Tidak Transudat: kekuningan
cairan otak: berwarna Eksudat: kuning s/d
Warna merah
Kejernihan Jernih Transudat: jernih
Eksudat: keruh
Bau Tidak Transudat: tidak berbau
berbau Eksudat: berbau busuk
Berat jenis 1.005 Transudat: <1.016
Eksudat: >1.016
Bekuan Negatif Transudat: negatif
Eksudat: positif
pH 9.0 Transudat: 7.4-7.6
Eksudat: <7.3
ii.
Mikroskopi
Jumlah 34.0 Sel/L Transudat: <500
leukosit Eksudat: >500
Hitung jenis
PMN Sel 3 % Transudat: lebih sedikit
Eksudat: lebih banyak
MN Sel 97 % Transudat: lebih banyak
Eksudat: lebih sedikit

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Kimia klinik

iii. Kimia

Nonne negatif

Pandy negatif

Protein 38.8 mg/dL 20-40

LDH 30 Mg/dL Transudat: <200


Eksudat: >200
Glukosa 56.0 U/L 40-70

Klorida 121 mg/dL 98-107

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 DEFINISI

Meningoensefalitis merupakan proses inflamasi atau peradangan yang terjadi


pada parenkim otak dan selaput meningen. Manisfestasi klinis meningoensefalitis
berupa demam, nyeri kepala dan penurunan kesadaran serta kaku kuduk disebabkan
oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu virus (69%), bakteri, parasit, dan
komplikasi penyakit infeksi lain.

2. 2 EPIDEMILOGI
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa varian
hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak umur 6
bulan - 5 tahun. Insiden meningoensefalitis lebih banyak ditemui pada laki-laki
yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan 40%
berusia di atas 15 tahun. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B
encephalitis virus banyak menyerang anak berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.
Ensefalitis herpes virus dapat terjadi pada semua umur, paling banyak kurang dari
20 tahun dan lebih dari 40 tahun. Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas
15-20% dengan pengobatan dan 70-80% tanpa pengobatan. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Jika neonatus tidak memperoleh imunitas maternal
terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus
herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat
berkembang menjadi viremia. H. influenzae penyebab yang paling sering di Amerika
Serikat, mempunyai insiden tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun. Insiden
ini jauh lebih tinggi pada anak-anak Indian Navayo dan Eskimo Alaska (masing-
masing 173 dan 409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada populasi ini mungkin
juga menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah, yang beberapa cara tidak
diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap mikroorganisme ini. Insiden
dengan infeksi H. influenzae juga empat kali lebih besar pada orang kulit hitam
daripada orang kulit putih. 11,12,13
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-Amerika,
penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan. Sekitar 20.000 kasus
ensefalitis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan ensefalitis herpes
simpleks menyebabkan sekitar 10% dari kasus ini. Meningoensefalitis yang
disebabkan oleh Tick born encephalitis dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa
(1-5%). Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang tersebar luas di
Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan Kepulauan Pasifik Barat
Infeksi West Nile Virus meningkat di Amerika Serikat dengan kasus pertama
dilaporkan di New York pada tahun 1999. Tahun 2002 ada 4.161 kasus yang
dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan 8.500 kasus dilaporkan pada tahun 2003.
Infeksi Plasmodium falciparum tersebar di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara.
Taenia Solium tersebar di Amerika Latin dan Rickettsia di Amerika bagian tenggara.
11,14,15

Meningoensefalitis arbovirus sebagian besar terjadi selama bulan-bulan musim


panas karena penularan virus terjadi oleh arthropoda seperti nyamuk atau kutu yang
aktif selama waktu itu. Infeksi virus parotitis lebih sering pada akhir musim dingin
dan awal musim semi. Infeksi herpes virus dan virus imunodefisiensi manusia
terjadi sporadis selama setahun. Infeksi dengan mumps virus bersifat endemik
sepanjang tahun. Di daerah 4 musim, puncak periode terjadi pada musim dingin dan
musim semi.15,17
Bakteri dengan penyebab N. meningitidis dan S. pneumoniae yang memuncak pada
bulan-bulan musim dingin, H.influenzae memperlihatkan penyebaran bifasik yang
memuncak pada permulaan musim dingin dan musim semi, dan L. monocytogenes
yang terjadi paling sering pada bulan-bulan musim panas. Penjelasan atas pola
musiman ini terletak pada cara penularan organisme; Meningokokus, Pneumokokus,
dan Haemofilus menyebar melalui jalur pernapasan biasa, dan Listeria didapat
akibat kontaminasi melalui makanan atau akibat berkontak dengan hewan ternak.
16,13

2. 3 ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Meningoensefalitis
No Agen Penyebab
1. Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
2. Bakteri
Haemophilus influenza
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
2. 4 PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan infeksi pada otak
seperti adanya infeksi pada daerah didekat otak seperti(sinusitis, mastoiditis, otitis
media), pasien yang telah mengikuti tindakan bedah syaraf seperti pemasangan
VP Shunt, adanya trauma pada area duramater, kemudian bakteri akan
menginfeksi selaput otak melalui aliran darah secara hematogen, bakteri
penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di saluran pernafasan bagian
atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa nasofaring host sehingga
terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil masuk ke intravaskular dan
melewati sawar darah otak dan masuk ke dalam CSS lalu bereproduksi karena
mekanisme CSS yang rendah, dalam upaya mempertahankan diri terhadap invasi
bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh, hal ini menyebabkan edema pada otak dan meningkatkan TIK pada otak.
Di dalam subarakhnoid, komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade
inflamasi pada host. Komponen sitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1),
Tumor Necrosis Factor(TNF) dan berbagai sel lainnya termasuk makrofag,
mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel. Sitokin mengaktivasi migrasi
neutrofil ke CSS melalui beberapa mekanisme. Sitokin meningkatkan afinitas
pengikatan leukosit sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang
berinteraksi dengan reseptor leukosit.3,4,5
Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin
oksigen, matrix metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan secara langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas.
Kaskade inflamasi ini menyebabkan kelainan pada aliran darah otak (ADO) dan
terjadi edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat berupa edema
vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang
disebabkan oleh peningkatan cairan intraseluler diikuti perubahan dari membran
sel dan hilangnya homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut
berkontribusi pada terjadinya edema sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel
hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak. Edema interstitial disebabkan
oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena peningkatan produksi CSS
melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid atau menurunnya
reabsorpsi sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu
peradangan pembuluh darah lokal atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi
serebral fokal sehingga mengganggu autoregulasi aliran darah, dimana dapat
terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi
otak dan kematian.4,5

2. 5 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting)
diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda
neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-
gejala psikiatrik. Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Tingkat kesadaran pasien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran pasien biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila pasien sudah mengalami koma maka penilaian GCS
(The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
pasien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : compos mentis, incompos
mentis (apatis, delirium, somnolen, sopor, coma).
2. Pemeriksaan Fisik
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura jahitan, dan
kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk, tanda
kernig positif dan Brudzinski juga positif)

Gambar1 . Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari pasien
yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 % dari
pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus.
- Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan
mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol,
ptosis, saraf cerebral keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan
apnea adalah tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi
otak. Papilledema jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus vena, empiema
subdural, atau abses otak.
- Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome beberapa hari
gejala spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan
keluhan perut, yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan
perilaku, dan defisit neurologis. Kejang yang umum pada presentasi. Anak-
anak dengan ensefalitis juga mungkin memiliki ruam makulopapular dan
komplikasi parah, seperti fulminant coma, transverse myelitis, anterior horn
cell disease (polio-like illness), atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan
fisik yang umum ditemukan pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan
penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status
mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini dapat
membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi
virus West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu
terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam
eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.

3. Pemeriksaan Penunjang

Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus


dilakukan. Apabila seseorang dicurigai mengalami meningitis, pemeriksaan
darah dilakukan untuk melihat adanya peradangan (misalnya C-reactive
protein, perhitungan darah lengkap), serta kultur darah. Pemeriksaan yang
paling penting untuk mengidentifikasikan atau menyingkirkan adanya
meningitis adalah analisis likuor serebrospinalis melalui punksi lumbal (LP,
spinal tap).  Namun, punksi lumbal tidak dianjurkan bila terdapat massa di
dalam otak (tumor atau abses) atau tekanan intrakranial (TIK) yang
meningkat, karena bisa menyebabkan herniasi otak. Bila seseorang berisiko
karena adanya massa di dalam otak atau peningkataan TIK (cedera kepala
baru, gangguan sistem kekebalan tubuh yang sudah diketahui, tanda
neurologis lokal, atau bukti peningkatan TIK berdasarkan
pemeriksaan), CT scan atau MRI dianjurkan sebelum dilakukan punksi
lumbal. Hal ini terjadi pada 45% kasus pada dewasa. Bila CT scan atau MRI
diperlukan sebelum dilakukan lumbal punksi, atau bila lumbal punksi terbukti
sulit dilakukan, panduan profesional menganjurkan agar antibiotik diberikan
dahulu untuk mencegah keterlambatan pengobatan,  terutama apabila proses
ini mungkin bisa memerlukan waktu lebih dari 30 menit. CT scan atau MRI
sering dilakukan pada tahap selanjutnya untuk menilai komplikasi dari
meningitis. Pada meningitis yang berat, pemantauan elektrolit darah perlu
dilakukan; contohnya, hiponatremia biasa ditemukan dalam meningitis
bakteri, karena kombinasi berbagai faktor, termasuk dehidrasi, gangguan
ekskresi dari hormon antidiuretik (SIADH), atau infus cairan intravena yang
terlalu agresif.

Tabel 2. Gambaran cairan serebrospinal pada beberapa infeksi SSP10


Kondisi Leukosit (/μL) Protein (mg/dL) Glukosa (mg/dL)
Normal <5, 75% limfosit 20-45 >50 atau 75% glukosa
darah
Meningitis 100-10.000 atau lebih, 100-500 Terdepresi apabila
bakterial akut biasanya 300-2.000, dibandingkandengan
PMN glukosa darah; biasanya
<40(<50% glukosa serum)
Tuberculous 10-500; PMNs 100-3000 atau >; <50 biasanya; menurun
meningitis mendominasi pada lebih tinggi khususnya apabila
awalnya namun khususnya saat pengobatan tidak adekuat
kemudian limfosit dan terjadi blok cairan
monosit mendominasi serebrospinal
pada akhirnya
Viral meningitis PMNs mendominasi biasanya 50-200 Secara umum normal;
atau pada awalnya namun dapat terdepresi hingga 40
meningoencefali kemudian monosit pada beberapa infeksi
tis mendominasi pada virus (15-20% dari
akhirnya ; jarang lebih mumps)
dari 1000 sel kecuali
pada eastern equine

2. 6 DIAGNOSIS BANDING
 Meningitis
Infeksi atau peradangan pada selaput meningen
 Empiema Subdural
Peradangan pada intrakranial karena adanya akumulasi suppuratif antara
jaringan duramater dan arachnoid
 Abses Otak
Peradangan pada otak karena akumulasi nanah karena infeksi bakteri

2. 7 TATALAKSANA
Tabel 4. Initial Antimicrobial Therapy by Age for Presumed Bacterial
Meningitis
Age Recommended Treatment Alternative
Treatments
Newborns (0-28 days) Cefotaxime or ceftriaxone plus Gentamicin plus
ampicillin with or without ampicillin
gentamicin
    Ceftazidime plus
ampicillin
Infants and toddlers (1 Ceftriaxone or cefotaxime plus Cefotaxime or
mo-4 yr) vancomycin ceftriaxone plus
rifampin
Children and Ceftriaxone or cefotaxime plus Ampicillin plus
adolescents (5-13 yr) vancomycin chloramphenicol
and adults

Penatalaksanaan11,121,7,18
1. Tata laksana secara umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan jangan
berlebihan.
c. Jika gelisah diberikan sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Jika nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Jika terdapat demam dapat diberikan :
 Kompres es
 Paracetamol
 Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Jika terjadi kejang diatasi dengan :
o Diazepam
 Dewasa: dosisnya 10 – 20 mg IV
 Anak: dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
o Fenobarbital
 Dewasa: dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
 Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
o Difenil hidantoin
 Dewasa: dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak: dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Tata laksana sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta
diberantas dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan:
 Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan dapat
diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam

 Kortikosteroid
Deksametason secara IV dengan dosis pertama 10 mg lalu diulangi
dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih menimbulkan
pertentangan.

 Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan jalan


nafas.
i. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
j. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2 – 3
minggu, bila gagal dilakukan operasi.
k. Fisiotherapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa menunggu
hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika yang sesuai.
Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar daripada
konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
 Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid berarti daya
tahan host telah menurun.
 Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit dan
fagositosis tidak efektif.
 Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai spektrum
luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta dapat
melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya antibiotika diberikan
berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis:
 Neonatus:50 – 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
 Umur 1 – 2 bulan: 100 – 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian.
 Umur > 2 bulan: 300 – 400 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
 Dewasa : 8 – 12 gram/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis:
 Prematur: 5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
 Neonatus: 7,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian.
 Bayi dan dewasa: 5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis:
 Prematur: 25 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
 Bayi genap bulan: 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
 Anak : 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
 Dewasa: 4 – 8 gram/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
Sefotaksim
Dosis:
 Prematur & neonatus: 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
 Bayi & anak: 50 – 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2–4 kali pemberian.
 Dewasa: 2 gr tiap 4 – 6 jam Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
Sefuroksim
 Dosis Anak: 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
 Dewasa: 2 gr tiap 6 jam

Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotika
yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini
Tabel 5: Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab
No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain
1. H. influenzae Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumoniae Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitidis Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila
Enterobacteriaceae sensitif dan atau
ditambah
aminoglikosida
secara intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
Tobramisin
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol
Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan pengganti
dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata, patut sekresi hormone
antidiuretik, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, apnea, aritmia, dan koma.
Terapi suportif juga melibatkan pemeliharaan perfusi serebral yang memadai dihadapan edema
serebral.
Sedangkan HSV dan HIV tidak ada terapi spesifik untuk virusensefalitis.
Manajemen mendukung dan sering membutuhkan masuk ICU, yang memungkinkan
terapi agresif untuk kejang, deteksi tepat waktu kelainan elektrolit, dan, bila perlu,
pemantauan jalan napas dan perlindungan dan pengurangan peningkatan tekanan
intrakranial. IV asiklovir adalah pilihan perawatan untuk infeksi HSV. Infeksi HIV
dapat diobatidengan kombinasi ARV. Infeksi M. pneumoniae dapat diobati dengan
doksisiklin, eritromisin, azitromisin, klaritromisin atau meskipun nilai mengobati
penyakitmikoplasma SSP dengan agen ini masih diperdebatkan. Perawatan pendukung
sangat penting untuk menurunkantekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tek
anan perkusi serebral yang memadai dan oksigenasi.

PENCEGAHAN
Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko


meningoensefalitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan terhadap infeksi dilakukan dengan cara
imunisasi pasif atau aktif. Kemoprofilaksis terhadap individu rentan yang diketahui
terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indeks) serta imunisasi aktif.
Imunisasi aktif terhadap H. influenzae telah menghasilkan pengurangan dramatis
pada penyakit invasif, dengan pengurangan sebanyak 70-85% akibat organisme
tersebut. Imunisasi untuk pencegahan infeksi Haemophilus influenzae
(menggunakan vaksin H.influenzae tipe b) direkomendasikan untuk diberikan secara
rutin pada anak berusia 2, 3, dan 4 bulan. 13,14,18
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat
masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan
perjalanan penyakit. Deteksi dini anak-anak yang mengalami kelainan neurologis
sangat penting karena adanya kemungkinan untuk mengembangkan potensinya di
kemudian hari melalui program intervensi diri. Untuk mengenal kelainan
neurologik, pemeriksaan neurologik dasar merupakan bagian integral yang tidak
dapat dipisahkan. 14,18

Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan
lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang
tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli, ketidakmampuan belajar, oleh karena itu
fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi
kecacatan.14,17,18

2. 8 PROGNOSIS
Prognosis meningoensefalitis tergantung pada tingkat virulensi dari virus.
Penanganan lebih awal dan hasil ensefalogram yang normal dikaitkan dengan tingkat
harapan hidup yang lebih tinggi. Fatality rate kasus meningoencephalitis dilaporkan
sebesar 25% pada orang dewasa dan sampai 50% pada pasien usia lanjut (Fatality rate
kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis
atau kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S.
pneumonia sebesar 20% sampai 25% dan 30% sampai 40% pada
Listeriamonocytogenes). Fatality rate yang lebih tinggi terjadi pada pasien usia
ekstrim (lansia dan bayi, terutama neonatus) .Prognosis bervariasi tergantung pada
beberapa faktor: usia, adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan
dan adanya gangguan neurologis saat datang ke rumah sakit.5
BAB IV

ANALISIS MASALAH

Anak KMAH, Laki-laki usia 6 Tahun 10 Bulan dengan status gizi kurang,
datang dengan keluhan penurunan kesadaran, demam dan defisit neurologis berupa
tetraplegi di keempat ekstremitas akibat meningoensefalitis.
Riwayat 3 minggu sebelumnya anak datang ke RS Swasta dengan nyeri perut
menjalar dan didiagnosis appendisitis Perforasi, setelah dilakukan operasi laparatomi
eksplorasi anak mengalami penurunan kesadaran, sesak nafas dan dirujuk ke PICU
RSMH.

Riwayat sekarang anak mengalami keluhan demam yang tidak terlalu tinggi
dan hilang dengan sendirinya, anak juga tampak apatis, merintih dan belum bisa
bicara secara jelas pada pemeriksaan fisik didapatkan tetraplegi pada keempat
ekstremitas disertai refleks fisiologis yang meningkat, pada pemeriksaan GRM (+)
( Babinsky (+), Kaku Kuduk (+), Brudzinski (+), Kernig (+), lalu diberikan antibiotik
Cefriaxone sambil dilakukan pemeriksaan LCS dengan LP, Pada pemeriksaan LCS
tidak dijumpai kelainan pada makroskopis maupun mikroskopis hal ini dikarenakan
adanya pemberian antibiotik sebelum dilakukan pemeriksaan LCS sehingga hasil
LCS tidak dapat dinilai, berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya gejala khas
dari meningitis seperti GRM (+), demam (+) dan juga dijumpai tanda dari
encephalitis seperti penurunan kesadaran dan defisiti neurologis berupa tetraplegi di
keempat ekstremitas disertai refleks fisiologis yang meningkat oleh itu berdasarkan
gejala yang ditemukan diatas pasien dapat disimpulkan menderita meningoensefalitis.

Untuk tatalaksana medikamentosa pada pasien mulai dari memberikan terapi


cairan berupa D5 ½ NS untuk memaintenance kebutuhan cairan per hari, dan
pemberian antibiotik cefixim Syr 2 x7,5 ml karena masih adanya tanda-tanda infeksi
berupa demam, selain itu untuk mengatasi gizi kurang pada anak maka diberikan nasi
lunak dan susu entrakid dengan masing-masing kebutuhan kalori sebesar 1000 kkal,
hal ini untuk memperbaiki kebutuhan nutrisi pada anak dimana BB anak masih jauh
dari ideal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Simon DW, Da Silva YS, Zuccoli G, Clark RSB. Acute Encephalitis. Crit
Care Clin 29 (2013) 259–277. http://dx.doi.org/10.1016/j.ccc.2013.01.001
Venkatesan A. Epidemiology and outcomes of acute encephalitis. Curr Opin
Neurol. 2015 Jun;28(3):277-82. doi: 10.1097/WCO.0000000000000199
2. Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the neonatal period.
Feigin RD, Cherry JD, DemmlerHarrison GJ, Kaplan SL, penyunting.
Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia. Sauders
elsevier; 2009. h. 439-71.
3. Suchat A,Robinso K,Wenger JD. Bacterial Meningitis in The United States in
1995: Active Surveillance Team, N Engl J Med 1997;337(14):970-6.
4. Gessner BD, Sutanto A, Linehan M, Djelantik IGG, Fletcher T, Gerudug K,
dkk. Incidences of vaccinepreventable Haemophilus influenzae type B
pneumonia and meningitis in Indonesian children: hamlet-randomised
vaccine-probe trial. Lancet 2005; 365:43-52.
5. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta: 2003.
6. Saharso, D. Meningitis. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSU
Dr.Soetomo. Surabaya: 2006.
7. Mumenthaler, M. Penyakit-penyakit Inflamasi Pada Otak dan Selaput Otak
Dalam Neurologi Jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta: 1995.
8. Darsono, dkk. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia dengan UGM. UGM Press. Yogyakarta: 2005.
9. Weil ML. Textbook of Child Neurology 4th. edition. Lea & Febiger.
Philadelphia: 1990.
10. Prober CG. Central nervous system infections. Dalam Behrman RE, Kleigman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Teextbook of Pediatrics. Edisi ke-17,
Philadelphia: Saunders; 2004.h.2038-2047
11. Hom, Jeffrey.pediatric meningitis and encephalitis. Dapartement of
pediatric/emergency service. 2011. New York university school of medicine.
Available from http://emedicine.Medscape.com/article/802760.
12. Sahraso,D. Hidayati, S.N. Japanese ensefalitis. Dalam: soedarmo, S SP.
Infeksi and pediatric tropis. Jakarta: IDAI. 2010. 143-144.
13. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library
URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi23.pdf
14. Lewis, P. Glacor. Encefalitis. American Academic of pediatric: pediatric in
review.2007;26;353-356
15. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL:
http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
16. Ebaugh. Franklin, G. Infeksi sistem saraf pusat. Dalam Richard, E, Bechman,
Nelshon Textbook of pediatric 18th edition, USA: Elsivier. 2007. Chapter
169.2.
17. Cambell W, DeJong’s The Neurologic Examination Sixth edition, Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelpia, 2005;19-20,37-40,97-277
18. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis.
The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf

Anda mungkin juga menyukai