MENINGOENSEFALITIS Word
MENINGOENSEFALITIS Word
HALAMAN JUDUL
MENINGOENSEFALITIS + POST LAPAROTOMI EKSPLORASI
ai. APPENDISITIS PERFORASI POD 9 + GIZI KURANG
Oleh:
Pembimbing:
dr. RM Indra, Sp. A (K)
Laporan Kasus
Meningoensefalitis + Post Laparotomi Ekspolari Ai. Appendisitis Perforasi Pod 9 +
Gizi Kurang
Oleh:
Fitri Suci Lestari 04054822022100
Aldo Giovanno 04054822022008
Imaniar Kesuma 04054822022074
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih
dan Maha Penyayang karena berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus berjudul Meningoensefalitis + Post Laparotomi Ekspolari Ai.
Appendisitis Perforasi Pod 9 + Gizi Kurang
. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti kepaniteraan
klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang/Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Dengan selesainya penyusunan laporan kasus ini, perkenankanlah penulis untuk
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada dr. RM Indra, Sp. A (K)
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
kritik, dan saran dalam pembuatan laporan kasus ini. Semoga Tuhan Yang Maha
Kuasa senantiasa memberikan berkat-Nya kepada pembimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………….. i
Daftar Isi ………………………………………………………………………… iv
Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………… 1
Daftar Pustaka …………………………………………………………………... 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. IDENTIFIKASI
Nama : KMAH
Agama : Islam
Nama Ayah : AB
Nama Ibu :N
Alamat : Sako
B. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, 20 Januari 2021)
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
Sejak 4 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, tidak menjalar,
disertai demam tinggi, namun tidak diukur. Nyeri kepala ada, bersifat hilang timbul,
muntah menyemprot tidak ada, pandangan kabur tidak ada. Pasien kemudian berobat ke
RS Swasta, dilakukan USG abdomen dengan kesan appendisitis perforasi, pasien
kemudian menjalani operasi appendisitis di RS Swasta. Selesai operasi pasien tidak
sadarkan diri. Pasien dirujuk karena penurunan kesadaran, demam dan sesak napas.
Pasien dirawat di PICU selama 8 hari. Saat ini pasien tampak apatis, merintih dan masih
belum bisa bicara dengan jelas, demam masih ada, sesak napas sudah tidak ada. Pasien
tidak ada mual, muntah disangkal, kejang tidak ada, BAB dan BAK normal.
Pasien berobat tanpa BPJS kesehatan. Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta. Ibu
pasien berusia 26 tahun adalah ibu rumah tangga.
Riwayat Kehamilan
GPA : G2P1A0
Riwayat Persalinan
Presentasi : Kepala
Riwayat Imunisasi
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 20 Januari 2021
Keadaan Umum
Keadaan Spesifik
Kepala
- Bentuk : Normal
- Rambut : Hitam, tidak rontok dan tidak mudah dicabut
- Wajah : Wajah dismorfik (-)
- Mata : Pupil bulat, ditengah, isokor, diameter pupil 3mm/3mm, refleks
cahaya (+), konjungtiva anemis(-), sklera ikterik (-)
- Hidung : Sekret (-), NCH (-)
- Mulut : Kering (+) Pucat (-) Sianosis (-), Tonsil T0/T0
- Leher : Simetris, Tidak ada perbesaran KGB
Thorax
Paru-paru
- Inspeksi: dinding dada simetris statis dan dinamis, retraksi (-/-)
- Palpasi: Strem fremitus normal, KGB axila tidak ada pembesaran,
- Perkusi: Sonor
- Auskultasi: Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Abdomen
- Inspeksi : datar, simetris, bekas operasi apendisitis.
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani
- Lipat paha : Tidak diperiksa
- Genitalia dan anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Ekstremitas : akral hangat, pucat (-), CRT <3 detik, sianosis (-)
Status Neurologis
Kekuata 0 0 0 0
n
Refleks 2 2 1 1
fisiologis
Refleks - - - -
patologis
- Gejala rangsang meningeal: Kaku kuduk (+), Babinski (-), Brudzinski (+), Kernig
(+)
- Fungsi sensorik : dalam batas normal
- Nervi craniales : tidak ada paresis N. craniales
Pemeriksaan Penunjang
Elektrolit
Elektrolit serum
Phospor 4,6 2,5 – 5,0 mg/dL
Kimia klinik
iii. Kimia
Nonne negatif
Pandy negatif
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 DEFINISI
2. 2 EPIDEMILOGI
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosa varian
hominis dapat terjadi pada segala umur, yang tersering adalah pada anak umur 6
bulan - 5 tahun. Insiden meningoensefalitis lebih banyak ditemui pada laki-laki
yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak. Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan 40%
berusia di atas 15 tahun. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Japanese B
encephalitis virus banyak menyerang anak berusia antara 3 tahun dan 15 tahun.
Ensefalitis herpes virus dapat terjadi pada semua umur, paling banyak kurang dari
20 tahun dan lebih dari 40 tahun. Ensefalitis herpes virus memiliki angka mortalitas
15-20% dengan pengobatan dan 70-80% tanpa pengobatan. Neonatus masih
mempunyai imunitas maternal. Jika neonatus tidak memperoleh imunitas maternal
terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus
herpes simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat
berkembang menjadi viremia. H. influenzae penyebab yang paling sering di Amerika
Serikat, mempunyai insiden tahunan 32-71/100.000 anak di bawah 5 tahun. Insiden
ini jauh lebih tinggi pada anak-anak Indian Navayo dan Eskimo Alaska (masing-
masing 173 dan 409/100.000/tahun). Insiden yang tinggi pada populasi ini mungkin
juga menggambarkan status sosio-ekonomi yang rendah, yang beberapa cara tidak
diketahui dapat mengurangi daya tahan terhadap mikroorganisme ini. Insiden
dengan infeksi H. influenzae juga empat kali lebih besar pada orang kulit hitam
daripada orang kulit putih. 11,12,13
Frekuensi penyakit yang tinggi dilaporkan pada orang-orang Afrika-Amerika,
penduduk asli Amerika, dan masyarakat di daerah pedesaan. Sekitar 20.000 kasus
ensefalitis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan ensefalitis herpes
simpleks menyebabkan sekitar 10% dari kasus ini. Meningoensefalitis yang
disebabkan oleh Tick born encephalitis dengan CFR di Asia yaitu 20% dan di Eropa
(1-5%). Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Ensefalitis Jepang tersebar luas di
Asia Timur dari Korea sampai Indonesia, Cina, India dan Kepulauan Pasifik Barat
Infeksi West Nile Virus meningkat di Amerika Serikat dengan kasus pertama
dilaporkan di New York pada tahun 1999. Tahun 2002 ada 4.161 kasus yang
dilaporkan di 41 negara, dan dari catatan 8.500 kasus dilaporkan pada tahun 2003.
Infeksi Plasmodium falciparum tersebar di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara.
Taenia Solium tersebar di Amerika Latin dan Rickettsia di Amerika bagian tenggara.
11,14,15
2. 3 ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Meningoensefalitis
No Agen Penyebab
1. Virus
Togaviridae
Alfavirus
Virus Ensefalitis Equine Eastern
Virus Ensefalitis Equine Western
Virus Ensefalitis Equine Venezuela
Flaviviridae
Virus Ensefalitis St. Louis
Virus Powassan
Bunyaviridae
Virus Ensefalitis California
Virus LaCrosse
Virus Jamestown Canyon
Paramyxoviridae
Paramiksovirus
Virus Parotitis
Virus Parainfluenza
Morbilivirus
Virus Campak
Orthomyxoviridae
Influenza A
Influenza B
Arenaviridae
Virus khoriomeningitis limfostik
Picornaviridae
Enterovirus
Poliovirus
Koksakivirus A
Koksakivirus B
Ekhovirus
Reoviridae
Orbivirus
Virus demam tengu Colorado
Rhabdoviridae
Virus Rabies
Retroviridae
Lentivirus
Virus imunodefisiensi manusia tipe 1 dan tipe 2
Onkornavirus
Virus limfotropik T manusia tipe 1
Virus limfotropik T manusia tipe 2
Herpesviridae
Herpes virus
Virus Herpes simpleks tipe 1
Virus Herpes simpleks tipe 2
Virus Varisela zoster
Virus Epstein Barr
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus manusia
Adenoviridae
Adenovirus
2. Bakteri
Haemophilus influenza
Neisseria menigitidis
Streptococcus pneumonia
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes
Escherichia coli
2. 4 PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan infeksi pada otak
seperti adanya infeksi pada daerah didekat otak seperti(sinusitis, mastoiditis, otitis
media), pasien yang telah mengikuti tindakan bedah syaraf seperti pemasangan
VP Shunt, adanya trauma pada area duramater, kemudian bakteri akan
menginfeksi selaput otak melalui aliran darah secara hematogen, bakteri
penyebab meningitis pada umumnya berkolonisasi di saluran pernafasan bagian
atas dengan melekatkan diri pada epitel mukosa nasofaring host sehingga
terhindar dari sistem komplemen host dan berhasil masuk ke intravaskular dan
melewati sawar darah otak dan masuk ke dalam CSS lalu bereproduksi karena
mekanisme CSS yang rendah, dalam upaya mempertahankan diri terhadap invasi
bakteri maka kaskade inflamasi akan teraktivasi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh, hal ini menyebabkan edema pada otak dan meningkatkan TIK pada otak.
Di dalam subarakhnoid, komponen bakteri dalam CSS akan memicu kaskade
inflamasi pada host. Komponen sitokin proinflamasi seperti interleukin 1 (IL 1),
Tumor Necrosis Factor(TNF) dan berbagai sel lainnya termasuk makrofag,
mikroglia, sel meningeal, dan sel-sel endotel. Sitokin mengaktivasi migrasi
neutrofil ke CSS melalui beberapa mekanisme. Sitokin meningkatkan afinitas
pengikatan leukosit sel endotel, dan menginduksi adhesi molekul yang
berinteraksi dengan reseptor leukosit.3,4,5
Selain itu neutrofil CSS melepaskan substansi prostaglandin, metabolit toksin
oksigen, matrix metalloproteinases (MMP) yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan secara langsung dapat juga menyebabkan neurotoksisitas.
Kaskade inflamasi ini menyebabkan kelainan pada aliran darah otak (ADO) dan
terjadi edema serebral. Edema serebral yang timbul dapat berupa edema
vasogenik akibat dari peningkatan permeabilitas SDO atau edema sitotoksik yang
disebabkan oleh peningkatan cairan intraseluler diikuti perubahan dari membran
sel dan hilangnya homeostasis seluler. Sekresi hormon antidiuretik turut
berkontribusi pada terjadinya edema sitotoksik dengan membuat cairan ekstrasel
hipotonik dan meningkatkan permeabilitas otak. Edema interstitial disebabkan
oleh meningkatnya volume CSS, baik oleh karena peningkatan produksi CSS
melalui meningkatnya aliran darah pada pleksus koroid atau menurunnya
reabsorpsi sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran CSS. Selain itu
peradangan pembuluh darah lokal atau trombosis dapat menyebabkan hipoperfusi
serebral fokal sehingga mengganggu autoregulasi aliran darah, dimana dapat
terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi
otak dan kematian.4,5
2. 5 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Kebanyakan pasien meningoensefalitis menunjukkan gejala-gejala
meningitis dan ensefalitis (demam, sakit kepala, kekakuan leher, vomiting)
diikuti oleh perubahan kesadaran, konvulsi, dan kadang-kadang tanda
neurologik fokal, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-
gejala psikiatrik. Kualitas kesadaran pasien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Tingkat kesadaran pasien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut tingkat
kesadaran pasien biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila pasien sudah mengalami koma maka penilaian GCS
(The Glasgow Coma Scale) sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
pasien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan keperawatan.
Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : compos mentis, incompos
mentis (apatis, delirium, somnolen, sopor, coma).
2. Pemeriksaan Fisik
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura jahitan, dan
kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk, tanda
kernig positif dan Brudzinski juga positif)
b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari pasien
yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 % dari
pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus.
- Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan
mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol,
ptosis, saraf cerebral keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan
apnea adalah tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi
otak. Papilledema jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus vena, empiema
subdural, atau abses otak.
- Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome beberapa hari
gejala spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, dan
keluhan perut, yang diikuti dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan
perilaku, dan defisit neurologis. Kejang yang umum pada presentasi. Anak-
anak dengan ensefalitis juga mungkin memiliki ruam makulopapular dan
komplikasi parah, seperti fulminant coma, transverse myelitis, anterior horn
cell disease (polio-like illness), atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan
fisik yang umum ditemukan pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan
penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status
mental, fungsi neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini dapat
membantu mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi
virus West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu
terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam
eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.
3. Pemeriksaan Penunjang
2. 6 DIAGNOSIS BANDING
Meningitis
Infeksi atau peradangan pada selaput meningen
Empiema Subdural
Peradangan pada intrakranial karena adanya akumulasi suppuratif antara
jaringan duramater dan arachnoid
Abses Otak
Peradangan pada otak karena akumulasi nanah karena infeksi bakteri
2. 7 TATALAKSANA
Tabel 4. Initial Antimicrobial Therapy by Age for Presumed Bacterial
Meningitis
Age Recommended Treatment Alternative
Treatments
Newborns (0-28 days) Cefotaxime or ceftriaxone plus Gentamicin plus
ampicillin with or without ampicillin
gentamicin
Ceftazidime plus
ampicillin
Infants and toddlers (1 Ceftriaxone or cefotaxime plus Cefotaxime or
mo-4 yr) vancomycin ceftriaxone plus
rifampin
Children and Ceftriaxone or cefotaxime plus Ampicillin plus
adolescents (5-13 yr) vancomycin chloramphenicol
and adults
Penatalaksanaan11,121,7,18
1. Tata laksana secara umum
a. Penderita dirawat di rumah sakit.
b. Cairan diberikan secara infus dalam jumlah yang cukup dan jangan
berlebihan.
c. Jika gelisah diberikan sedativa seperti Fenobarbital atau penenang.
d. Jika nyeri kepala diatasi dengan analgetika.
e. Jika terdapat demam dapat diberikan :
Kompres es
Paracetamol
Asam salisilat
Pada anak dosisnya 10 mg/kg BB tiap 4 jam secara oral
f. Jika terjadi kejang diatasi dengan :
o Diazepam
Dewasa: dosisnya 10 – 20 mg IV
Anak: dosisnya 0,5 mg/kg BB IV
o Fenobarbital
Dewasa: dosisnya 6 – 120 mg/hari secara oral
Anak : dosisnya 5 – 6 mg/kg BB/hari secara oral
o Difenil hidantoin
Dewasa: dosisnya 300 mg/hari secara oral
Anak: dosisnya 5 – 9 mg/kg BB/hari secara oral
g. Tata laksana sumber infeksi yang menimbulkan meningitis purulenta
diberantas dengan obat – obatan atau dengan operasi
h. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan:
Manitol
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan dapat
diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Deksametason secara IV dengan dosis pertama 10 mg lalu diulangi
dengan 4 mg setiap 6 jam. Kortikosteroid masih menimbulkan
pertentangan.
2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa menunggu
hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika yang sesuai.
Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar daripada
konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid berarti daya
tahan host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit dan
fagositosis tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai spektrum
luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta dapat
melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya antibiotika diberikan
berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.
Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :
a. Ampisilin
Diberikan secara intravena
Dosis:
Neonatus:50 – 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan: 100 – 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan: 300 – 400 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis:
Prematur: 5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus: 7,5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa: 5 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis:
Prematur: 25 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan: 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa: 4 – 8 gram/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
d. Sefalosporin
Diberikan secara intravena
Sefotaksim
Dosis:
Prematur & neonatus: 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi & anak: 50 – 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2–4 kali pemberian.
Dewasa: 2 gr tiap 4 – 6 jam Bila fungsi ginjal jelek, dosis diturunkan.
Sefuroksim
Dosis Anak: 200 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa: 2 gr tiap 6 jam
Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotika
yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini
Tabel 5: Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab
No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain
1. H. influenzae Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumoniae Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitidis Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila
Enterobacteriaceae sensitif dan atau
ditambah
aminoglikosida
secara intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
Tobramisin
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol
Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan pengganti
dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata, patut sekresi hormone
antidiuretik, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, apnea, aritmia, dan koma.
Terapi suportif juga melibatkan pemeliharaan perfusi serebral yang memadai dihadapan edema
serebral.
Sedangkan HSV dan HIV tidak ada terapi spesifik untuk virusensefalitis.
Manajemen mendukung dan sering membutuhkan masuk ICU, yang memungkinkan
terapi agresif untuk kejang, deteksi tepat waktu kelainan elektrolit, dan, bila perlu,
pemantauan jalan napas dan perlindungan dan pengurangan peningkatan tekanan
intrakranial. IV asiklovir adalah pilihan perawatan untuk infeksi HSV. Infeksi HIV
dapat diobatidengan kombinasi ARV. Infeksi M. pneumoniae dapat diobati dengan
doksisiklin, eritromisin, azitromisin, klaritromisin atau meskipun nilai mengobati
penyakitmikoplasma SSP dengan agen ini masih diperdebatkan. Perawatan pendukung
sangat penting untuk menurunkantekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tek
anan perkusi serebral yang memadai dan oksigenasi.
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan
lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang
tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli, ketidakmampuan belajar, oleh karena itu
fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi
kecacatan.14,17,18
2. 8 PROGNOSIS
Prognosis meningoensefalitis tergantung pada tingkat virulensi dari virus.
Penanganan lebih awal dan hasil ensefalogram yang normal dikaitkan dengan tingkat
harapan hidup yang lebih tinggi. Fatality rate kasus meningoencephalitis dilaporkan
sebesar 25% pada orang dewasa dan sampai 50% pada pasien usia lanjut (Fatality rate
kasus meningitis bakteri yang disebabkan oleh H. influenzae atau N. meningitidis
atau kelompok streptokokus B, sebesar 3% sampai 7%. Sedangkan pada S.
pneumonia sebesar 20% sampai 25% dan 30% sampai 40% pada
Listeriamonocytogenes). Fatality rate yang lebih tinggi terjadi pada pasien usia
ekstrim (lansia dan bayi, terutama neonatus) .Prognosis bervariasi tergantung pada
beberapa faktor: usia, adanya komorbiditas, bakteri penyebab dan tingkat keparahan
dan adanya gangguan neurologis saat datang ke rumah sakit.5
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Anak KMAH, Laki-laki usia 6 Tahun 10 Bulan dengan status gizi kurang,
datang dengan keluhan penurunan kesadaran, demam dan defisit neurologis berupa
tetraplegi di keempat ekstremitas akibat meningoensefalitis.
Riwayat 3 minggu sebelumnya anak datang ke RS Swasta dengan nyeri perut
menjalar dan didiagnosis appendisitis Perforasi, setelah dilakukan operasi laparatomi
eksplorasi anak mengalami penurunan kesadaran, sesak nafas dan dirujuk ke PICU
RSMH.
Riwayat sekarang anak mengalami keluhan demam yang tidak terlalu tinggi
dan hilang dengan sendirinya, anak juga tampak apatis, merintih dan belum bisa
bicara secara jelas pada pemeriksaan fisik didapatkan tetraplegi pada keempat
ekstremitas disertai refleks fisiologis yang meningkat, pada pemeriksaan GRM (+)
( Babinsky (+), Kaku Kuduk (+), Brudzinski (+), Kernig (+), lalu diberikan antibiotik
Cefriaxone sambil dilakukan pemeriksaan LCS dengan LP, Pada pemeriksaan LCS
tidak dijumpai kelainan pada makroskopis maupun mikroskopis hal ini dikarenakan
adanya pemberian antibiotik sebelum dilakukan pemeriksaan LCS sehingga hasil
LCS tidak dapat dinilai, berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya gejala khas
dari meningitis seperti GRM (+), demam (+) dan juga dijumpai tanda dari
encephalitis seperti penurunan kesadaran dan defisiti neurologis berupa tetraplegi di
keempat ekstremitas disertai refleks fisiologis yang meningkat oleh itu berdasarkan
gejala yang ditemukan diatas pasien dapat disimpulkan menderita meningoensefalitis.
1. Simon DW, Da Silva YS, Zuccoli G, Clark RSB. Acute Encephalitis. Crit
Care Clin 29 (2013) 259–277. http://dx.doi.org/10.1016/j.ccc.2013.01.001
Venkatesan A. Epidemiology and outcomes of acute encephalitis. Curr Opin
Neurol. 2015 Jun;28(3):277-82. doi: 10.1097/WCO.0000000000000199
2. Feigin RD, Cutrer WB. Bacterial meningitis beyond the neonatal period.
Feigin RD, Cherry JD, DemmlerHarrison GJ, Kaplan SL, penyunting.
Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-6. Philadelphia. Sauders
elsevier; 2009. h. 439-71.
3. Suchat A,Robinso K,Wenger JD. Bacterial Meningitis in The United States in
1995: Active Surveillance Team, N Engl J Med 1997;337(14):970-6.
4. Gessner BD, Sutanto A, Linehan M, Djelantik IGG, Fletcher T, Gerudug K,
dkk. Incidences of vaccinepreventable Haemophilus influenzae type B
pneumonia and meningitis in Indonesian children: hamlet-randomised
vaccine-probe trial. Lancet 2005; 365:43-52.
5. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta: 2003.
6. Saharso, D. Meningitis. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSU
Dr.Soetomo. Surabaya: 2006.
7. Mumenthaler, M. Penyakit-penyakit Inflamasi Pada Otak dan Selaput Otak
Dalam Neurologi Jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta: 1995.
8. Darsono, dkk. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia dengan UGM. UGM Press. Yogyakarta: 2005.
9. Weil ML. Textbook of Child Neurology 4th. edition. Lea & Febiger.
Philadelphia: 1990.
10. Prober CG. Central nervous system infections. Dalam Behrman RE, Kleigman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Teextbook of Pediatrics. Edisi ke-17,
Philadelphia: Saunders; 2004.h.2038-2047
11. Hom, Jeffrey.pediatric meningitis and encephalitis. Dapartement of
pediatric/emergency service. 2011. New York university school of medicine.
Available from http://emedicine.Medscape.com/article/802760.
12. Sahraso,D. Hidayati, S.N. Japanese ensefalitis. Dalam: soedarmo, S SP.
Infeksi and pediatric tropis. Jakarta: IDAI. 2010. 143-144.
13. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library
URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi23.pdf
14. Lewis, P. Glacor. Encefalitis. American Academic of pediatric: pediatric in
review.2007;26;353-356
15. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL:
http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
16. Ebaugh. Franklin, G. Infeksi sistem saraf pusat. Dalam Richard, E, Bechman,
Nelshon Textbook of pediatric 18th edition, USA: Elsivier. 2007. Chapter
169.2.
17. Cambell W, DeJong’s The Neurologic Examination Sixth edition, Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelpia, 2005;19-20,37-40,97-277
18. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial Meningitis.
The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf