Anda di halaman 1dari 8

PERSPEKTIF

Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

KENAKALAN ANAK (JUVENILE DELIQUENCY):


KAUSALITAS DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Sarwirini
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya
e-mail: sarwirini.rini@fh.unair.ac.id
ABSTRAK
Akhir-akhir ini kenakalan anak telah membawa kepada perilaku kejahatan sebagai akibat
kasus anak-anak bermasalah dengan hukum. Usaha untuk mengatasi masalah kenakalan anak
dilakukan melalui pelanggaran kepolisian maupun tidak. Akan tetapi beberapa pendekatan
untuk mencegah dan mengatasi kenakalan anak yang terjadi saat ini memiliki tendensi untuk
melakukan pendekatan yang represif. Terlebih lagi memenjarakan anak-anak yang bermasalah
dengan hukum masih sangat menonjol. Pendekatan dan metode yang tepat untuk mengatasi
masalah kenakalan anak harus dilakukan dan didasarkan pada pemahaman yang komprehensif
dari sebab-sebabnya. Jadi artikel ini bertujuan untuk membahas sebab-sebab kenakalan anak
baik dari perspektif teori maupun konsepnya dan juga lingkup hukum serta metode untuk
mengatasi kenakalan anak di Indonesia.
Kata Kunci: kenakalan anak, upaya menanggulanginya.

ABSTRACT
Currently juvenile deliquency has leaded into criminal behaviour as the result the case of
children in conflict with the law arises. The efforts to overcome the matters of juvenile deliquency
is performed through penal policy and non penal policy. However, such approaches to prevent
and to overcome juvenile deliquency that exist today, have a tendency to perform repressive
approach. Moreover, imprisonment to children in conflict with the law is still a very prominent
way. The appropriate methode and approach to overcome the matters of juvenile deliquency
should be performed and based on deep understanding on the causes of juvenile deliquency.
Thus, this article aims to discuss the causes of juvenie deliquency both from the perspective of
theories and concepts within juvenile deliquency. Besides that it discuss the legal framework
and the methode to overcoming the juvenile deliquency in Indonesia.
Keywords: juvenile deliquency, effort to overcome it.

PENDAHULUAN Menurut bentuknya, Sunarwiyati S. (1985),


Pada umumnya perilaku kenakalan anak dan membagi kenakalan anak dan remaja ke dalam tiga
remaja dimaknai sebagai suatu bentuk perilaku tingkatan; a. kenakalan biasa, seperti suka berkelahi,
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah
di tengah masyarakat. Perilaku anak yang tidak sesuai tanpa pamit, b. kenakalan yang menjurus pada
dengan norma itu dianggap sebagai anak yang cacat pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil
sosial (Kartini Kartono, 1988:93) dan kemudian tanpa SIM, mengambil barang orangtua tanpa izin, c.
masyarakat menilai cacat tersebut sebagai sebuah kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika,
kelainan sehingga perilaku mereka pun disebut hubungan seks di luar nikah, pemerkosaan dan lain-
dengan kenakalan. lain. Sedangkan dari sisi hukum, berdasarkan Pasal 1
Pengertian kenakalan anak atau juvenile de- Butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
linquency yang dikemukakan oleh para ilmuwan Pengadilan Anak, mengkualifikasikan kenakalan
beragam. Namun pada intinya menyepakati bahwa anak (anak nakal) sebagai anak yang melakukan
kenakalan anak merupakan perbuatan atau tingkah tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan
laku yang bersifat anti sosial. Sebagaimana juga yang terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
disepakati oleh badan peradilan Amerika Serikat pada perundang-undangan maupun menurut peraturan
saat pembahasan Undang-Undang Peradilan Anak di hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
negara tersebut (Wagiati Soetodjo, 2008:9). yang bersangkutan.

244
Sarwirini, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency): Kausalitas ....

Tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik timbulnya kejahatan atau kenakalan anak. Hasil
norma hukum maupun norma sosial, yang dilakukan dalam Seminar Kriminologi III di Semarang (1976)
oleh anak di usia muda, memang tidak dikatakan menyatakan bahwa unsur niat terkait dengan
sebagai sebuah kejahatan anak, karena penyebutan faktor-faktor endogen dan eksogen. Yang dimaksud
kejahatan anak akan terlalu ekstrim bagi seorang anak dengan faktor endogen tersebut adalah faktor-faktor
yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri yang
penjahat. Sementara kejadiannya adalah proses mempengaruhi tingkah lakunya, antara lain: a. cacat
alami yang tidak boleh tidak setiap manusia pernah yang bersifat biologis dan psikis; b. perkembangan
mengalami fase kegoncangan semasa menjelang kepribadian dan intelegensi yang terhambat sehingga
kedewasaannya (Wagiati Soetodjo, 2008:12). tidak bisa menghayati norma-norma yang berlaku.
Saat ini kenakalan anak telah banyak yang Sedangkan faktor-faktor eksogen adalah faktor
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan sehingga berasal dari luar diri anak yang dapat mempengaruhi
jumlah anak yang berhadapan dengan hukum selalu tingkah lakunya. Sedangkan menurut Tannebaum
meningkat (Ditjen Lapas Depkumham, 2008). Dari (Giallombardo, 1972), bahwa sebagaimana kejahatan,
fenomena tersebut muncul reaksi masyarakat untuk terjadinya delinkuensi anak itu karena adanya konflik
menanggulanginya yang kemudian diwujudkan dalam antara suatu kelompok (group) dengan masyarakat
bentuk kebijakan kriminal. (community) yang lebih luas. Oleh karena itu,
Kebijakan kriminal sebagai bentuk reaksi mas- permasalahan kenakalan anak atau delinkuensi
yarakat terhadap permasalahan penanggulangan anak bukan hanya disebabkan oleh faktor biologis
kenakalan anak dilakukan melalui sarana penal dan dan psikologis anak saja. Faktor sosial, khususnya
non penal. Upaya penanggulangan dengan pendeka- lingkungan pergaulannya (peers group), dapat
tan-pendekatan yang ada saat ini memang memiliki menjadi salah satu sebab utama terjadinya kenakalan
kecenderungan untuk lebih mengutamakan sarana tersebut.
pendekatan represif serta penjatuhan sanksi-sanksi Dalam pergaulan sehari-hari sebagai makhluk
pidana berupa pemenjaraan masih sangat mengemuka, sosial, maka baik penjahat maupun anak delinkuen
meskipun implikasinya dapat berpengaruh buruk itu hidup di tengah-tengah masyarakat bersama-sama
pada masa pertumbuhan dan perkembangan psikis dengan suatu kelompok tertentu. Kalau seseorang
dan fisik seorang anak. Bahkan implikasi tersebut yang normal mungkin tidak mengalami kesulitan
dapat berakibat trauma yang dapat berpengaruh pada menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Namun
kehidupan di masa dewasanya. tidak demikian kalau seseorang itu dalam kondisi atau
Upaya penanggulangan kenakalan anak sudah keadaan tidak normal, ia akan mengalami kesulitan
semestinya dimulai dari pengetahuan yang cukup menyesuaikan dirinya dengan kelompok yang lebih
mengenai latar belakang dan sebab musabab perilaku besar. Dalam hal ini, Tannebaum berpendapat bahwa
kenakalan tersebut. Untuk itu perlu dirumuskan dan “most delinquencies are comitted in groups; most
digunakan metode serta pendekatan-pendekatan yang criminals live in, operate with, and are supported
tepat dalam upaya penanganan dan penanggulangan by groups”. Dengan demikian kelompok dimana
perilaku-perilaku kenakalan anak. Pemahaman yang seseorang hidup dan melangsungkan kegiatannya
salah mengenai sebab musabab (kausalitas) kenakalan dapat berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Apalagi
anak akan menyebabkan timbulnya pemberian jika seseorang itu masih termasuk dalam kelompok
terapi yang salah dalam rangka menyembuhkan dan anak yang masih labil kepribadiannya dan masih
menanggulangi perilaku kenakalan anak. Artikel dalam tahap pencarian jati dirinya. Mereka inilah yang
ini akan membahas tentang bagaimana kausalitas dengan mudah dapat dipengaruhi ataupun diprovokasi
kenakalan anak berdasarkan teori dan konsep dalam oleh hal-hal negatif yang menjurus pada pelanggaran,
juvenile deliquency serta bagaimana landasan hukum baik pelanggaran norma hukum maupun pelanggaran
dan metode yang menjadi dasar penanggulangan norma yang lain.
kenakalan anak di Indonesia. Edwin H. Sutherland, dalam teorinya differential
association menjelaskan bahwa pengaruh perilaku
PEMBAHASAN kelompok pada sikap seseorang itu dengan cara
Kausalitas Kenakalan Anak berinteraksi melalui proses pembelajaran. Secara
Pada awalnya para kriminolog mengasumsikan rinci 9 (sembilan) preposisi Sutherland dalam teorinya
bahwa unsur-unsur niat dan kesempatan sangat adalah sebagai berikut: pertama, “criminal behaviour
berpengaruh terhadap sebab-sebab (kausalitas) is learned”, dalam hal ini perilaku jahat atau kriminal

245
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

terjadi karena dipelajari, bukan dibawa sejak lahir; tawuran antar sekolah merupakan beberapa contoh
kedua, perilaku kriminal tersebut dipelajari dalam yang perlu dicermati dan diantisipasi oleh pihak-
interaksinya dengan orang lain dalam suatu proses pihak yang berwenang di Indonesia dengan upaya
komunikasi, baik melalui komunikasi verbal maupun penanggulangan yang terkoordinasi dan terintegarsi
isyarat; ketiga, bagian yang pokok dari proses belajar dengan baik.
perilaku kriminal terjadi dalam hubungan yang intim Bahkan terkait school bullying (Sarwirini, 2009),
atau hubungan pribadi yang erat dengan kelompok- kenakalan murid yang tidak diantisipasi sejak awal
nya; keempat, perilaku kriminal yang dapat dipelajari dapat menimbulkan kemarahan gurunya sehingga
itu meliputi teknik-teknik melakukan tindak kriminal khilaf melakukan pemukulan pada muridnya.
(dari teknik sederhana sampai teknik yang rumit), dan Juga dalam suatu program pelatihan guru-guru di
juga belajar mengenai pengarahan khusus mengenai lingkungan Pemerintah Kota Mojokerto (2008), dan
motif, nafsu, rasionalisasi, dan sikap; kelima, juga dalam Pengabdian Masyarakat untuk guru-guru
pengarahan khusus dari motif dan rangsangan atau di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tulungagung
dorongan dipelajari dari ketentuan-ketentuan aturan (2009) dan Dinas Kota Surabaya (2010), terungkap
hukum yang menyenangkan atau menguntungkan bahwa Penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak
atau pun tidak menyenangkan (unfavorable); keenam, yang tidak proporsional dapat berimplikasi menjadi-
seseorang menjadi delinkuen karena adanya suatu kan murid menjadi manja dan nakal sementara para
ekses (akibat atau dampak) ketentuan-ketentuan guru seringkali ragu-ragu atau takut untuk bertindak
yang menyenangkan atau menguntungkan daripada dengan tepat. Disinilah perlunya koordinasi di antara
ketentuan-ketentuan yang tidak menguntungkan orangtua murid, dewan pengawas sekolah dan aparat
untuk melakukan pelanggaran hukum. Inilah yang penegak hukum sehingga dapat mengantisipasi
merupakan prinsip dari asosiasi deferensial, yang dampak negatif akibat pergaulan yang tidak sehat
berlaku, baik bagi asosiasi-asosiasi kriminal maupun di sekolah.
nonkriminal. Orang menjadi kriminal karena adanya Selain konsep Sutherland, dalam perspektif lain
hubungan (contact) dengan pola-pola kriminal dan terdapat beberapa teori yang dapat memberikan
karena terpisahnya dengan pola-pola anti kriminal; penjelasan tentang latar belakang perilaku jahat yang
ketujuh, asosiasi-asosiasi diferensial itu bervariasi dilakukan oleh anak. Teori-teori tersebut diantaranya
di dalam frekuensi, waktu, prioritas, dan intensitas; yaitu:
kedelapan, proses belajar perilaku kriminal melalui a. Teori Kontrol Sosial
asosiasi dengan pola-pola kriminal dan anti kriminal Teori Kontrol Sosial atau sering disebut Teori
mencakup mekanisme yang terjadi pada proses belajar Kontrol, berangkat dari asumsi dasar bahwa individu
lainnya. Artinya, proses belajar perilaku kriminal dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang
tersebut tidak terjadi semata-mata secara imitasi, sama kemungkinannya menjadi baik atau jahat. Baik
tapi melalui pengamatan dan pembelajaran secara jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada
langsung. kesembilan, perilaku kriminal tidak dapat masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya
dijelaskan oleh nilai nilai dan kebutuhan-kebutuhan membuatnya demikian dan menjadi jahat apabila
umum, karena perbuatan nonkriminal pun merupakan masyarakatnya membuat demikian (John Hagan,
ekspresi dan nilai-nilai dan kebutuhan yang sama. Modern Criminology). Pertanyaan dasar yang
Dari teori atau konsep Sutherland tersebut dapat dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur
diasumsikan bahwa bagi anak, lingkungan pergaulan pencegahan yang mampu menangkal timbulnya
(peer group) yang jelek atau buruk cenderung dapat perilaku delinkuen (dalam hal ini perilaku jahat) di
mendorong terbentuknya perilaku yang buruk kalangan anggota masyarakat, utamanya pada anak
(negatif) pula, yang bahkan dapat menjurus pada anak, yaitu: mengapa mereka patuh dan taat pada
perilaku yang melanggar hukum, baik dalam taraf norma-norma masyarakat? Atau mengapa mereka
yang ringan (mengutil atau mencuri) sampai yang tidak melakukan perilaku menyimpang? Pertanyaan
berat (menganiaya atau membunuh). Bahkan dengan tersebut mencerminkan bahwa penyimpangan bukan
maraknya kasus-kasus perkelahian antar pelajar, maka merupakan problematik, yang dipandang sebagai
lingkungan pergaulan yang buruk merupakan tempat persoalan pokok adalah ketaatan atau kepatuhan
yang potensial bagi kausa terjadinya kenakalan anak. pada norma-norma kemasyarakatan.
Kasus-kasus school bullying yang terjadi di antara Dengan demikian menurut paham ini sesuatu yang
pelajar, geng nero yang merupakan identifikasi perlu dicari kejelasan tentang ketaatan seseorang pada
kumpulan anak perempuan nakal, atau pun kasus norma dan faktor-faktor yang menyebabkan patuh atau

246
Sarwirini, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency): Kausalitas ....

taat pada norma-norma kemasyarakatan. Pada dasar- Culture of The Gang. Fokus perhatiannya terarah
nya upaya penjelasan penyimpangan perilaku tidak pada satu pemahaman bahwa perilaku delinkuen
harus dilakukan dengan cara menjelaskan perilaku di kalangan usia muda, kelas bawah merupakan
tidak patuh norma (Travis Hirschi, Berkeley, 1969). cerminan ketidakpuasan terhadap norma-norma
Oleh karena itu, penganut paham ini berpendapat dan nilai-nilai kelompok kelas menengah dan
bahwa ikatan sosial (social bond) seseorang dengan mendominasi kultur masyarakat. Karena kondisi
masyarakatnya dipandang sebagai faktor pencegah sosial yang ada dipandang seabagai kendala upaya
timbulnya penyimpangan. Seseorang yang lemah atau mereka untuk mencapai kehidupan sesuai dengan
terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat, dan trend yang ada, sehingga mendorong kelompok usia
dapat bebas melakukan penyimpangan. Selanjutnya muda kelas bawah mengalami konflik budaya, yang
Travis Hirschi mengklasifikasikan unsur-unsur ikatan disebut status frustation. Akibatnya, meningkatkan
sosial itu meliputi: a. Attachment, b. Commitment, c. keterlibatan anak-anak kelas bawah itu pada kegiatan
Involvment, dan d. Belief. geng-geng dan berperilaku menyimpang yang sifatnya
Attachment, mengacu pada kemampuan seseorang “nonutilitarian, nonmaliciaous and nonnegatistics”
untuk menginternalisasikan norma-norma masyarakat. (Albert K. Cohen, 1955:25).
Kalau seseorang melanggar norma-norma masyarakat, Para pelaku delinkuen merupakan bentukan sub-
maka berarti ia tidak peduli dengan pandangan serta budaya terpisah dan memberlakukan sistem tata nilai
kepentingan orang lain, berarti ia tidak terikat lagi masyarakat luas. Ia menggambarkan sub-budaya
dengan norma-norma masyarakat itu. Orang-orang sesuatu yang diambil dari norma-norma budaya
tersebut tidak terikat lagi dengan masyarakat, tidak yang lebih besar, namun kemudian dibelokkannya
peka dengan kepentingan orang lain, sehingga ia akan secara terbalik dan berlawanan. Perilaku delinkuensi
merasa bebas untuk melakukan penyimpangan. dibenarkan oleh sistem tata nilai budaya mereka,
Commitment, mengacu pada perhitungan untung- karena perilaku itu dianggap keliru oleh norma-
rugi keterlibatan seseorang dalam perbuatan penyim- norma budaya yang lebih besar (Albert K. Cohen,
pangan, dimana orang pada umumnya menginventari- 1955:26-27) membuat klasifikasi dari sub-sub budaya
sasikan segala hal termasuk waktunya, tenaga dirinya delinkuen menjadi:
sendiri dalam kegiatan di masyarakat, dengan maksud a. a parent sub-culture – the negativistic subcultur originally
identified to delinquent boys; b. the conflict-oriented sub-
untuk memperoleh reputasi di masyarakat.
cultur – the cultur of a large gang that engages in collective
Involvment, mengacu pada suatu pemikiran bahwa violence; c. the drug addict subcultur – groups of youth whose
apabila seseorang disibukkan dalam berbagai kegiatan lives revolve around the purchase sale, use of narcotics; d.
konvensional maka ia tidak akan pernah sempat semi professional theft – youths who engage in the theft or
berpikir apalagi melibatkan diri dalam perbuatan robbery of merchandise for the purpose of later sale and
monetary gain; and e. middle class subcultur – delinquent
penyimpangan. Seseorang yang terlibat dalam group that rise, because of the pressures of living in middle
kegiatan konvensional berarti ia terikat dengan segala class environment.
aspek yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Lebih lanjut R.A. Cloward dan L.E. Ohlin
Belief, mengacu pada situasi keanekaragaman mengemukakan teori yang disebut Differential
penghayatan kaidah kemasyarakatan (terutama pada Opportunity System. Teori ini mengemukakan bahwa
keabsahan moral) di kalangan anggota masyarakat. penyimpangan di suatu wilayah perkotaan merupakan
Para pelaku penyimpangan tersebut umumnya fungsi dari perbedaan kesempatan yang dimiliki anak-
mengetahui bahwa perbuatannya salah, namun anak untuk mencapai, baik tujuan yang legal maupun
makna dan pemahamannya itu kalah bersaing dengan yang ilegal. Manakala kesempatan untuk memperoleh
keyakinan lain (kerancuan penghayatan keabsahan yang legal terblokir maka tindak kriminal pun
moral), sehingga kendor ikatan dirinya dengan tertib mungkin terjadi, sehingga kecenderungan keterlibatan
masyarakat dan pada gilirannya ia merasa bebas untuk pada penggunaan narkotika atau dengan kekerasan
melakukan penyimpangan. Dalam kondisi dan situasi juga dapat terjadi. Sub budaya yang mungkin
kekinian, dimana masyarakat berkembang maka terjadi menurut Cloward dan Ohlin dikelompokkan
keberadaan ikatan sosial sangat berpeluang untuk menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu: 1. criminal subcultur,
menjadi mengendor bahkan terlepas dari ikatan bentuk-bentuk perilaku geng yang ditujukan untuk
masyarakat, utamanya pada kalangan anak. kepentingan pemenuhan uang atau harta benda; 2.
b. Teori Subkultur Delinkuen conflict subcultur, bentuk geng yang berusaha mencari
Teori ini dapat ditemukan dalam bukunya Albert status dengan menggunakan kekerasan; 3. reatreatist
K. Cohen (1955) yang berjudul Delinkuen Boys, The subcultur, bentuk geng dengan ciri-ciri penarikan diri

247
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

dari tujuan dan peranan konvensional dan kemudian Dampaknya, pengikut teori ini menyatakan se-
mencari pelarian dengan menyalahgunakan obat atau orang anak yang tumbuh kembang dalam lingkungan
narkotika atau sejenisnya. rumah dimana kekerasan menjadin kebiasaan, maka
c. Teori Anomi anak pun akan belajar untuk meyakini bahwa perilaku
Teori Anomi diajukan oleh Robert K. Merton, seperti itu dapat diterima dan mendatangkan hadiah
dimana dalam teorinya mencoba melihat keterkaitan atau pujian (Paulus Hadisuprapto, 2002:78-79).
antara tahap-tahap tertentu dari struktur sosial dengan e. Teori Kesempatan
perilaku delinkuen, ia melihat bahwa tahapan tertentu Teori kesempatan berangkat dari asumsi dasar,
dari struktur sosial akan menumbuhkan suatu bahwa terdapat hubungan yang kuat antar lingkungan
kondisi dimana pelanggaran terhadap norma-norma kehidupan anak, struktur ekonomi dan pilihan perilaku
kemasyarakatan merupakan wujud reaksi normal yang diperbuat selanjutnya. Richard A. Cloward dan
(jadi seolah-olah terjadi keadaan tanpa norma atau Lloyn Ohlin berpendapat bahwa munculnya subcultur
anomi). delinkuen dan betuk-bentuk perilaku yang muncul dari
Dalam teori anomi terdapat dua unsur yang itu, tergantung pada kesempatan, baik kesempatan
dijadikan perhatian dalam mempelajari berbagai patuh norma maupun kesempatan penyimpangan
bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur struktur norma. Apabila kelompok anak (dalam status ekonomi
sosial dan budaya. Unsur budaya menghasilkan goals dan lingkungannya itu) terblokir oleh kesempatan
yang berarti adanya tujuan-tujuan dari kepentingan- patuh norma dalam rangka mencapai sukses hidupnya,
kepentingan yang sudah membudaya, yang meliputi mereka akan mengalami frustrasi (status frustation),
kerangka aspirasi dasar manusia, seperti dorongan tanggapan mereka dalam menanggapi frustasi
untuk hidup. Tujuan tersebut merupakan bentuk statusnya, sangat tergantung pada terbukanya struktur
kesatuan dan didasari oleh urutan nilai dalam berbagai kesempatan yang ada di hadapan mereka (Richard A.
tingkatan perasaan dan makna. Cloward dan Lloyn Ohlin, 1960:9).
Sedangkan unsur struktural menimbulkan adanya Secara singkat, Cloward & Ohlin memandang
means yang berarti bahwa adanya aturan-aturan dan delinkuensi wilayah perkotaan, merupakan fungsi
cara-cara kontrol yang melembaga dan diterima dari perbedaan kesempatan kelompok anak untuk
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang telah memperoleh tujuan baik yang patuh norma maupun
membudaya dalam masyarakat. yang menyimpang. Bilamana kesempatan patuh
d. Teori Belajar hukum terblokir, kecenderungan munculnya perilaku
Teori Belajar (Social Learning Theory), dikem- delinkuensi pun besar. Teori Cloward dan Ohlin ini,
bangkan oleh Ronald Akkers yang dikaitkan dengan berusaha mengintegrasikan tiga aliran delinkuensi,
delinkuensi anak. Pendekatannya berpegang pada Teori Sub-kultur (Albert K. Cohen), Teori Belajar
asumsi, bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh (Ronald Akkers) dan Teori Anomi (Robert Merton)
pengalaman belajar, pengalaman kemasyarakatan (Richard A. Cloward & Lloyn Ohlin, 1960).
disertai nilai-nilai dan penghargaan dalam kehidupan Teori-teori di atas dapat dijadikan bahan per-
di masyarakat. timbangan dalam menanggulangi kejahatan yang
Secara umum, teori ini berpandangan bahwa anak- dilakukan oleh anak, sehingga latar belakang anak
anak akan memperagakan perilakunya atas dasar: a. melakukan kejahatan dipahami dengan tepat, untuk
reaksi yang diterimanya dari pihak lain (positif atau diterapkan kebijakan penanggulangan dengan tepat
negatif), b. perilaku orang dewasa yang mempunyai pula. Termasuk dalam upaya penanggulangan
hubungan dekat dengan mereka (utamanya orangtua), kejahatan dengan sarana atau kebijakan non penal.
dan c. perilaku yang mereka lihat di TV maupun di Adanya keterbatasan dan kelemahan kebijakan
bioskop. Apabila seorang anak mengamati perilaku sebagai sarana penanggulangan kejahatan
agresif, misalnya orang dewasa menampar atau (bersifat symptomatik, bahkan bersifat kriminogen
memukul orang lain saat bertengkar, dan apabila – melahirkan stigma sosial), mendorong perlunya
anak melihat bahwa perilaku agresif diperbolehkan dikedepankan kebijakan non-penal dalam konteks
atau mendatangkan hadiah (pujian), akan terjadi penanggulangan kejahatan di masyarakat. Dilihat
kecenderungan anak akan bereaksi dengan cara dari sisi kebijakan non-penal ini berarti perlu digali,
kekerasan selama ia mengalami kejadian serupa. dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi
Akhirnya anak pun akan menguasai teknik-teknik dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya
agresifitas dan akan semakin yakin bahwa penggunaan pengefektifan dan pengembangan “extra legal
kekerasan itu akan mendatangkan hadiah (pujian). system” atau “informal and tradisional system”

248
Sarwirini, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency): Kausalitas ....

yang ada di masyarakat (Barda Nawawi Arif, 1996: baik dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
57) sebagai upaya penanggulangan kejahatan yang Pengadilan Anak maupun dalam Undang-Undang
bersifat “mencegah atau menangkal” terjadinya No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
kejahatan, maka sasaran utama upaya “non-penal” Kedudukan anak yang strategis, yang tersurat dalam
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab kedua undang-undang tersebut, pada hakekatnya juga
terjadinya kejahatan, seperti kondisi-kondisi sosial menjadi landasan bebagai konsep atau teori modern
yang secara langsung dan tidak langsung dapat yang terkait dalam upaya penanggulangan kenakalan
menimbulkan kejahatan. anak. Oleh karena itu, dalam filosofi pemidanaan
pada anak yang nakal pun aspek-aspek ”health”
Upaya Penanggulangan Kenakalan Anak dan ”wealth” menjadi dua aspek penting yang
“Mencegah lebih baik daripada memperbaiki”, perlu diperhatikan (Clements Bartollas, 1990); dan
demikian pepatah ini ditulis atau didengar. Namun kedua aspek tersebut pada hakekatnya telah menjadi
dalam pelaksanaannya seringkali pula kita lengah, landasan filosofi sistem peradilan pidana anak melalui
baru sadar kalau sesuatu kejadian atau peristiwa yang ketentuan pasal-pasal yang terdapat dalam UU No.
buruk tersebut sudah terjadi. Demikian pula halnya 3 Tahun 1997.
dengan masalah kenakalan anak. Misalnya, kalau Ketentuan berkaitan dengan penanganan terhadap
disadari bahwa pergaulan (peer group) merupakan anak nakal berdasarkan UU No. 3 Tahun 1997 dapat
salah satu faktor dominan yang dapat menimbulkan dilihat dari jenis sanksi yang diberikan terhadap anak
kausalitas kenakalan anak, maka seharusnyalah upaya nakal. Sanksi terhadap anak nakal meliputi sanksi
pencegahan itu dapat dilakukan setiap orang tua, pidana dan tindakan. Sanksi pidana berupa pidana
guru, atau pun pihak yang terkait dengan mengawasi penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana
kelompok bermain anak. Tetapi tidak jarang pula anak pengawasan (Pasal 23 ayat 2), pidana tambahan
dapat mengelabuhi atau memperdayai pihak yang yang dapat berupa perampasan dan pembayaran
memelihara atau mengawasinya, seperti dalam kasus- ganti kerugian. Sedangkan tindakan yang dijatuhkan
kasus penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja. kepada anak nakal meliputi (1) dikembalikannya
Upaya penanggulangan kenakalan anak memang anak kepada orangtua/wali/orangtua asuh, hal ini
harus benar-benar dilakukan sedini mungkin, karena dilakukan apabila hakim memandang bahwa si anak
berdasarkan suatu penelitian ditemukan bahwa 80% masih dapat dibina di lingkungan orangtua/wali/
anak-anak delinkuen jika tidak ditangani secara benar orangtua asuh, namun si anak tersebut masih tetap
akan dapat berkembang menjadi penjahat (criminal) di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing
pada masa dewasanya (A. Phelps dan Henderson, Kemasyarakatan, (2) diserahkan kepada negara,
1981) di lain pihak, kejahatan atau kenakalan anak hal ini dilakukan dalam hal hakim menilai bahwa
itu sendiri sangat kompleks, oleh karena itu banyak pendidikan dan pembinaan terhadap anak nakal tidak
teori atau pendekatan yang membahas permasalahan dapat dilakukan di lingkungan keluarga, sehingga si
kenakalan anak. Dalam perspektif kriminologi, para anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
ahli sering membahasnya melalui pendekatan- (LPA) dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan
pendekatan (approaches) biologis, psikologis, dan Latihan Kerja, (3) diserahkan kepada Departemen
dan sosial. Dalam era modern saat ini terdapat Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
kecenderungan bahwa faktor lingkungan dapat Dalam perspektif kriminologi banyak teori atau
menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan konsep yang dikemukakan dalam rangka mencari
terjadinya kenakalan anak. Selain itu, dari faktor solusi upaya menanggulangi kenakalan anak.
lingkungan pula dapat digunakan sebagai salah Pola-pola prevensi, represif, dan kuratif seharusnya
satu sarana (solusi) dalam upaya penanggulangan diterapkan secara tepat sehingga dapat mencapai hasil
kenakalan anak. yang maksimal.
Lingkungan di mana anak tumbuh dan berkembang Dalam bukunya yang berjudul Principle of
sesungguhnya ikut bertanggungjawab dalam upaya Criminology, Sutherland mengemukakan 2 metode
menanggulangi kenakalan anak. Oleh karena anak untuk pencegahan kejahatan dalam arti luas, yaitu:
adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus Pertama, Metode prevensi yang meliputi berbagai
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis usaha: a. Program prevensi umum; b. Organisasi-
dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin organisasi masyarakat; c. Kegiatan rekreasi; d. case
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa work pada near-delinquent; e. group work dengan
depan, demikian disebutkan dalam Bab Menimbang, para near-delinquent; f. koordinasi badan-badan;

249
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

g. lembaga-lembaga reorganisasi. Kedua, Metode usia anak nakal tersebut yang dapat bertanggung-
reformasi, ditujukan untuk perbaikan penjahat, jawab, serta jenis atau bentuk pemidanaan apa yang
meliputi: a. Reformasi dinamik; b. Reformasi klinik; paling tepat bagi si anak delinquent (sanksi pidana
c. Reformasi hubungan kelompok; d. Professional atau tindakan). Proses pengadilan anak (sebagai
service. bentuk upaya penanggulangan yang bersifat represif)
Semakin marak dan kompleksnya sebab-sebab seharusnya dilaksanakan dalam rangka menyadarkan
(kausalitas) terjadinya kenakalan anak membawa anak akan kesalahan yang diperbuatnya. Jangan
konsekuensi yang berat pula dalam menentukan sampai dalam proses tersebut menyebabkan ”trauma”
langkah-langkah yang konkrit (nyata) dalam rangka dikemudian hari yang dapat membahayakan tumbuh
mencari cara yang tepat dan cepat upaya untuk kembangnya anak tersebut.
menanggulanginya. Hukuman yang berat dan kesiapan Oleh karena itu, di samping Undang-Undang
aparat penegak hukum belum atau tidak dapat No. 3 Tahun 1997, para penegak hukum dan pihak-
menjamin keberhasilan menanggulangi kenakalan pihak lain yang terkait dalam proses peradilan anak
anak, jika tidak dibarengi dengan partisipasi semua delinkuen seharusnya juga memperhatikan ketentuan
pihak, terutama pihak-pihak yang terkait erat dengan yang terkait dengan masalah perlindungan anak
kegiatan anak khususnya kalangan anak sendiri. Untuk (delinkuen) yang terdapat dalam Undang-Undang
itu, selain perlu ditanamkan pendidikan dan disiplin No. 23 Tahun 2002. Dengan memperhatikan aspek-
yang baik, perlu pula diadakan kegiatan-kegiatan aspek health dan wealth si anak (Clemens Bartollas,
yang menunjang sportivitas dan solidaritas sosial di 1990) diharapkan dapat tercipta suatu peradilan yang
kalangan anak. berkarakter restorative justice, dan jika dimungkinkan
Dalam hal ini Paulus Hadisuprapto (2008:45) dapat dipilih suatu upaya di luar pengadilan (program
menyatakan bahwa berbicara tentang upaya pe- diversi). Untuk itulah dibutuhkan partisipasi para ahli,
nanggulangan kejahatan pada umumnya dan perilaku khususnya ahli pendidikan, psikolog, psikiater, dan
delikuensi anak pada khususnya dalam hukum pidana dokter mulai pada tahap anak ditangkap sampai di
dikenal apa yang disebut Kebijakan Kriminal – usaha Lembaga Pemasyarakatan Anak supaya hak-hak anak
rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan delinkuen terlindungi. Pemilihan cara penanganan
(termasuk perilaku delinkuenasi anak). Kebijakan kasus kenakalan anak secara tepat sesungguhnya
kriminal dalam gerak langkahnya dapat dilakukan dapat berdampak positif bagi si anak supaya tidak
lewat sarana penal dan sarana non penal. Kedua berkembang menjadi residivis atau kriminal. Untuk
kebijakan tersebut (penal dan non penal) merupakan itulah dana dan sarana pembinaan anak nakal
pasangan yang saling menunjang dalam gerak di Lembaga Pemasyarakatana, misalnya, juga
langkah penanggulangan kejahatan pada umumnya harus diperhatikan sebagai salah satu faktor yang
dan perilaku delinkuensi anak pada khususnya di mendukung upaya penanggulangan kenakalan anak
masyarakat. Selanjutnya disebutkan bahwa istilah secara represif (Sarwirini, 2002).
delikuensi anak di dalamnya terkandung pengertian
tentang criminal offence dan status offence. Perluasan PENUTUP
makna perilaku delinkuensi anak tersebut di atas, Kesimpulan
sekaligus memberikan karakteristik dari pembicaraan Kausalitas dari timbulnya kenakalan anak dan
tentang perilaku delinkuensi anak, yaitu bahwa upaya penanggulangannya dapat ditinjau, baik dari
pengertian delinkuensi anak lebih luas daripada perspektif yuridis maupun non yuridis (khususnya
pengertian kejahatan orang dewasa. Pengertian kriminologi). Jika kedua perspektif tersebut digunakan
criminal offence dan status offence diakomodir secara tepat sesungguhnya akan menunjang Sistem
oleh UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Peradilan Anak yang bertujuan untuk perbaikan
Anak, dimana dalam Pasal 1 huruf ke 2 dinyatakan dan pertumbuhan fisik dan psikis yang baik, yang
bahwa anak nakal adalah (a) anak yang melakukan berguna bagi perkembangan pribadi dan sosial anak
tindak pidana – criminal offence dan (b) anak yang di kemudian hari. Untuk itulah para pihak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi terkait (khususnya aparat penegak hukum) harus
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan melaksanakan penegakan hukum pidana anak yang
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup berlandaskan pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
dan berlaku dalam masyarakat. tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No.
Selain itu, upaya penangulangan kenakalan anak 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara
secara yuridis harus memperhatikan masalah batasan konsisten dan konsekuen.

250
Sarwirini, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency): Kausalitas ....

Rekomendasi Kartini, Kartono, 1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan


Aspek health dan wealth perlu diperhatikan Remaja, Jakarta: Rajawali.
dalam upaya penanggulangan kenakalan anak yang Kaufman, James M., 1989, Characteristics of
bertujuan “untuk kepentingan yang terbaik bagi anak”. Behaviour Disorders of Children and Youth,
Oleh karena ketidakadilan dalam proses peradilan Toronto: Merril Publishing Company Columbus
anak delinkuen justru dapat memicu munculnya London.
kenakalan anak dalam bentuk secondary deviant Lundman, J. Richard, 1993, Prevention and Control
yang dalam aspek kualitas biasanya berkembang of Juvenile Deliquency, Oxford: Oxford University
dalam bentuk yang lebih jahat. Untuk itulah upaya Press.
penanggulangannya secara preventif (pencegahan) Mulyadi, Lilik, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia:
maupun represif harus dilaksanakan secara sinergi Teori Praktik dan Permasalahannya, Bandung:
dan terpadu dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Mandar Maju.
Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia,
DAFTAR PUSTAKA Bandung: Citra Aditya Bakti.
Buku: Saraswati, Rika, 2009, Hukum Perlindungan Anak di
Bartolass, Clemens, 1990, Juvenile Deliquency, Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
California: Macmillan Publishing Company. Sarwirini, “Viktimisasi Anak Delinkuen: Studi di
Cloward, Richard A. dan Lloyn Ohlin, 1960, Lembaga Pemasyarakatan Anak di Blitar, Laporan
Delinquency and Opportunity: A Theory of Penelitian, Surabaya: Lembaga Perlindungan Anak
Delinquent Gang, New York. Jawa Timur, 2001-2002.
Cunneen, Rob White Chris, 2009, Juvenile Justice: ______, “Kekerasan terhadap Murid dalam Kasus
Youth and Crime in Australia, Oxford: Oxford Bullying”, Yustika - Media Hukum dan Ke-
University Press. adilan,Vol. 12, No. 2, Universitas Surabaya,
Cohen, Albert K., 1955, Delinquent Boys, The Cultur Surabaya, 2009.
of The Gang, New York. ______, ‘’Kekerasan di Dunia Pendidikan”, Makalah
Hadisuprapto, Paulus, 2008, Delikuensi Anak: Pengabdian Masyarakat untuk Guru-Guru SMU
Pemahaman dan Penanggulangannya, Malang: dan SMK dalam Wilayah Diknas Pemerintah Kota
Bayumedia. Surabaya, Surabaya, 2010.
______, “Pemberian Malu Reintegratif sebagai Sarana Soetodjo, Wagiati, 2008, Hukum Pidana Anak,
Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Bandung: Refika Aditama.
Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”, Taylor, Lamar and Mark C. Stafford, 1995, American
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Univer- Deliquency, California: Wadsmorth Publishing
sitas Diponegoro, Semarang, 2002. Company.
Hirschi, Travis, 1969, Causes of Delinquency,
Berkeley.

251

Anda mungkin juga menyukai