Anda di halaman 1dari 6

Peran Ulama dan Santri bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia

Oleh: KH. Abdullah Hasyim, Lc., MA.


(Mudir Ma’had Aly Al Hasaniyyah, Tuban)
*)Disampaikan dalam Kuliah Jum’at Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah
Sarang Rembang pada Jum’at, 31 Agustus 2018
A. Pendahuluan
Sejarah mencatat, umat Islam punya kontribusi besar dalam perjuangan
kemerdekaan. Dimulai dari kontestasi pemikiran, hingga gerakan-gerakan di berbagai
penjuru daerah menjadi bukti peranan umat Islam untuk membebaskan bangsa dari
keterpurukan. Baik pembebasan itu pada sektor pendidikan, ekonomi, politik dan
kebangsaan secara umum. Nama-nama sekaliber Teuku Umar, Tuanku Imam Bondjol,
Pangeran Diponegoro, H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Panglima
Soedirman, Muhammad Natsir, Kiai Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh yang terlibat
dalam perumusan dasar Negara, Mohammad Yamin, Soepomo, Soekarno, bisa menjadi
contohnya.

Kepedulian umat Islam atas kondisi kebangsaan, bukanlah kepedulian yang


muncul begitu saja. Melainkan ada narasi ajaran Islam yang memang menghendaki
bahwa umat Islam harus punya sikap kepekaan sosial. Dalam konteks revolusi fisik,
umat Islam berada pada posisi tertindas dengan massifnya kolonialisme Belanda,
yang menghisap “darah” umat Islam secara membabi buta. Kepekaan sosial umat
Islam mewujud dalam berbagai gerakan perlawanan dalam rangka membebaskan
bangsa dari serangkaian ekspoloitasi dan penindasan.

Penindasan yang dimaksud, dapat ditemui dari fakta sejarah, umpama akses
pendidikan yang tidak diberikan, monopoli ekonomi, sistem kerja paksa, tiadanya
upah dari hasil kerja, dan beragam pengeberian hak lainnya. Kala itu, umat Islam
mengorganisir diri menjadi satu kekuatan perlawanan, bahwa kolonialisme harus
dihempaskan dari tanah kelahiran. Serangkaian aksi, seperti yang dimotori Pangeran
Diponegoro dalam Perang Jawa, Panglima Soedirman dalam medan laga Ambarawa,
Bandung Lautan Api, perang gerilya, hingga heroisme santri dibawah komando Kiai
Hasyim Asy’ari dalam perang Surabaya (yang “diabadikan” menjadi Hari Pahlawan)
dapat menjadi bukti perjuangan umat Islam.

Terlepas dari dinamika kehidupan yang melingkupi tokoh-tokoh Islam dalam


perjuangan kemerdekaan, satu hal yang pasti bahwa para pejuang tersebut telah
mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membebaskan bangsa dari ketertindasan.
Dalam makalah ini, penulis akan mengelaborasi lebih lanjut kiprah umat Islam yang
tanpa pamrih membebaskan bangsa dari ketertindasan, sekaligus memberikan kajian
ihwal “motif” perjuangan umat Islam tersebut.

B. Umat Islam dan Cinta Tanah Air


B.1. Kiprah Umat Islam dalam Menjemput Kemerdekaan

Dalam kurun waktu pertengahan abad 19, kolonial Belanda tidak sekedar
mencampuri urusan politik-ekonomi masyarakat, melainkan juga turut
mencampuri urusan keagamaan. Kolonial Belanda mengharapkan supaya
pengaruh Islam di daerah jajahannya dihilangkan dengan mempercepat

1
kristenisasi. Salah satu hal yang menjadi dasar adalah anggapan orang Barat
tentang superioritas ajaran Kristen atas Islam. Christian Snouck Hurgronje,
penasehat pemerintah penjajah Belanda, memberikan arahan supaya
mempersempit ruang gerak Islam hanya sebagai ritual belaka dan mencegah
munculnya Islam sebagai kekuatan untuk menentang kekuasaan Belanda (Iqbal
dan Nasution, 2015: 283-285).

Pemerintahan Belanda, yang berupaya meminggirkan peranan Islam,


tidak mendapati keberhasilan secara penuh, mengingat gejolak perlawanan
justru tersemai di daerah-daerah. Perlawanan di Aceh, berada di bawah
komando Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan Teuku Cik Di Tiro. Di Minangkabau
tampil Tuanku Imam Bondjol. Di Kalimantan dipimpin oleh Pangeran Antasari,
dan di Jawa oleh Pangeran Diponegoro. Belum lagi awal abad 20, perlawanan
yang semakin terorganisir secara modern, seperti berdirinya Sarekat Dagang
Islam –yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam-, Nahdlatut Tujjar,
Nahdlatul Wathan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Terkait perlawanan Diponegoro di Jawa (1825-1830), dalam catatan


Wiharyanto (2009:14), kabar atas perlawanan Diponegoro meluas ke berbagai
daerah. Wiharyanto menulis “Rakyat petani yang telah lama menderita dalam
kehidupannya, banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan.
Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda
bergabung dengan Diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut
perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda”.
Perihal keterlibatan kalangan agamawan, Peter Carey (2016) dalam Takdir
menuliskan jika terdapat 112 kiai, 31 haji, 15 syekh serta puluhan penghulu,
berhasil diajak bergabung oleh Diponegoro untuk memperkuat barisan
perlawanannya.

Pada fase perjuangan umat Islam berikutnya, tepatnya pada awal abad
20 tidaklah asing kebangkitan umat Islam melalui Sarekat Dagang Islam yang
diinisiasi Haji Samanhudi. Sarekat yang kemudian beralih nama menjadi Sarekat
Islam (1912) dibawah komando H.O.S. Tjokroaminoto, menjadi medium
perjuangan nasional yang menyadarkan masyarakat atas rasa kebangsaan.
Proses penyadaran itu, tidak hanya pada sektor perekonomian, melainkan juga
bergerak pada sektor pendidikan, sosial budaya dan politik yang didasari oleh
ajaran Islam.
Tidak bisa dipungkiri, Sarekat Islam menjadi harapan masyarakat,
mengingat organisasi ini concern “memperjuangkan keadilan dengan gigih serta
menekan adanya penindasan dan pemerasan oleh pemerintah Belanda” (Yasmis,
2009: 26). Sarekat Islam hadir pada setiap sendi kehidupan masyarakat, dengan
mengkonsolidasi para pedagang untuk kemajuan perekonomian, pun
pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan. Berkenaan dengan pendidikan,
Sarekat Islam berperan penting menyediakan pendidikan bagi masyarakat luas,
tatkala hegemoni kolonial Belanda yang hanya memberikan akses pendidikan
kepada para bangsawan dan priyayi. Sarekat Islam dengan pendidikannya
berupaya menjadi counter attack untuk menaikkan harkat martabat masyarakat

2
bumi putera, yang selama ini ditempatkan di bawah orang Belanda dan orang
asing, seperti Cina (Mansur, 2013: 410).
Pelacakan peranan umat Islam lain, bisa dilihat dari tumbuh-
kembangnya lembaga-lembaga yang dimotori kalangan pesantren, seperti
Nahdlatut Tujjar yang bergerak pada sektor pemberdayaan ekonomi, dan
pemupukan rasa kebangsaan melalui Nahdlatul Wathan yang terbentuk pada
tahun 1916 (Rohman, 2008: 60). Sektor ini, bisa dibaca sebagai manifestasi
perhatian umat Islam perihal kecintaannya pada bangsa.
Nahdlatut Tujjar merupakan poros pesantren-kapital yang dalam
catatan sejarah didirikan oleh 45 saudagar santri di bawah kepemimpinan Kiai
Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Makhzumi (2017) menyatakan jika
Nahdlatut Tujjar menjadi jihad pemberdayaan masyarakat yang tengah berada
dalam cengkraman penjajahan. Makhzumi melanjutkan bahwa sebagai
organisasi yang bergerak pada bidang ekonomi, para pengurus “…ingin
menggulirkan ekonomi kerakyatan sekaligus upaya melawan dominasi ekonomi
kompeni yang anti pemerataan dan tidak berkeadilan. Juga didasari minimnya
kesadaran di kalangan muslim santri bahwa kehidupan dunia juga harus
menjadi prioritas dakwah”.
Terkhusus pada sektor kebangsaan, masyarakat pesantren selalu ambil
bagian untuk turut melawan segala bentuk kolonialisme. Ulum (2014: 40-41)
mencatat terdapat banyak kiai yang terlibat dalam perjuangan Nahdlatul
Wathan, seperti Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Mas Mansur, Kiai Abdul Halim
Cirebon dan Kiai Mas Alwi Abdul Aziz. Senada, Anam (1985: 25-26)
menggambarkan bagaimana Kiai Wahab Hasbullah yang menggubah syair
perjuangan “ya lal wathan, ya lal wathan” dan harus dilantunkan murid
Nahdlatul Wathan setiap hendak memulai kegiatan belajar-mengajar. Tak jauh
berbeda, Rosyid (2008: 194) juga menyebut bahwa “…dengan dakwah,
pengajian, manakiban dan model-model lainnya seperti pembelajaran bela diri,
para kiai mengobarkan semangat bela Negara.
Pada fase menjelang kemerdekaan, tidaklah tabu untuk menyebut
nama-nama seperti Mohamad Yamin, Soepomo, Soekarno, Muhammad Hatta,
Kiai Wahid Hasyim, Achmad Soebardjo, Haji Agus Salim, Abdoel Kahar Muzakir
yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) untuk menyusun dasar negara. Atau tokoh pejuang lain
seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai
Masjkur, Kiai Idham Chalid, Muhammad Natsir dan Muhammad Amir. Narasi
kebangsaan yang mewujud dalam gerakan perjuangan umat Islam, menjadi
catatan tersendiri bahwa secara historis, tidak bisa dipungkiri sumbangsih umat
Islam dalam menjemput kemerdekaan.

B.2. Ihwal Cinta Tanah Air dalam Pandangan Islam


Dalam banyak momen, seringkali didengungkan “‫”حب ال وطن من اإليم ان‬
(cinta tanah air sebagian dari iman). Bahkan sebagian masyarakat, menyatakan
kalimat tersebut sebagai hadits. Setelah penulis melakukan penelusuran,
senyatanya pesan kebangsaan tersebut bukanlah hadits, melainkan fatwa Kiai
Hasyim Asy’ari, tatkala melihat kenyataan akan kolonialisme yang dilakukan

3
Belanda kepada masyarakat Indonesia saat itu. Fatwa Kiai Hasyim itu menjadi
paradigma baru untuk menyatukan langkah masyarakat Indonesia dalam
melawan koloni Belanda dengan spirit nasionalisme (kecintaan terhadap tanah
air).
Secara genealogis, jargon Hubbul Wathan bisa dibaca sebagai telaah
kritis Hadratussyaikh atas konflik suku dan bangsa yang terjadi di kawasan
Timur Tengah. Berdasarkan fakta empiris, mengingat Hadratussyaikh adalah
pelajar yang juga mukim di tanah suci Makkah, konflik yang terjadi di Timur
Tengah tersebut jelas-jelas merugikan. Maka tidaklah mengherankan tatkala
terjadi kegelisahan pada diri Hadratussyaikh, sehingga pada tahun 1914, setelah
kembali ke tanah air, beliau mengeluarkan fatwa kebangsaan “‫”حب الوطن من اإليمان‬.
Fatwa kebangsaan Hadratussyaikh gayung bersambut dengan gagasan
nation state (negara-bangsa) yang dibawa oleh presiden pertama Republik
Indonesia, H. Soekarno. Gagasan nation state Soekarno, dengan lantang ia
sampaikan di hadapan panitia persiapan kemerdekaan, bahwa Indonesia adalah
negara yang majemuk, terdiri dari beragam suku bangsa dari Sabang hingga
Merauke dengan komitmen untuk membangun suatu negara-bangsa yang
dinamakan Indonesia. Atau dengan kata lain, nation state adalah terbentuknya
negara yang didahului oleh bangsa, berdasar cikal bakal majemuk namun
berkomitmen berada dalam satu negara.
Dalam konteks Indonesia, Islam yang hakikatnya rahmatan lil alamin
dan bersifat universal-lintas teritorial, menjadi sebuah jembatan yang dapat
bersinergi dengan unsur nasional. Sehingga dua unsur (baca: universalitas Islam
dan lokal-nasional Indonesia) dapat saling melengkapi tanpa menghilangkan
satu dari keduanya. Seiring dengan waktu, setelah mengalami beragam dinamika
dan proses panjang, sinergi universal-nasional mewujud pada; dengan tidak
dipermasalahkannya ideologi nasional Pancasila sebagai landasan yuridis-
konstitusional dan Islam sebagai teologi umat Islam yang dijamin undang-
undang.
Salah satu momen penting yang dapat menjadi representasi sinergi
universalitas Islam dan lokal-nasional Indonesia adalah disahkannya Deklarasi
tentang Hubungan Pancasila dengan Islam melalui Muktamar Nahdlatul Ulama
ke 27 di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984. Deklarasi tersebut berisi lima poin,
di antaranya :
a). Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia
bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; b). Sila
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia
menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan
dalam Islam; c). Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan
perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan
syariah agamanya (Sitompul, 2010:243-244).

Sebagai konseptor dan perumus (hubungan agama-negara), Kiai Ahmad


Shiddiq mampu meyakinkan mayoritas dari 100-an anggota komisi khittah
Nahdlatul Ulama. Kiai Ahmad Shiddiq berargumentasi bahwa dasar/ ideologi
adalah salah satu tujuan secara filosofis berkenaan dengan program perjuangan,

4
taktik, strategi, target dan lain-lain. Ideologi merupakan hasil pikiran manusia
yang baik dan tidak akan menjadi agama, tak terkecuali Pancasila sebagai
ideologi nasional yang bersifat duniawi.
Pada posisi lain, Islam adalah agama samawi yang berorientasi ukhrowi
dan wahyu Allah subahanu wa ta’ala dan bukan merupakan hasil pikiran
manusia. Bagi Kiai Ahmad Shiddiq, seorang muslim mungkin saja menyetujui
filsafat, ideologi, budaya, dasar negara dan sebagainya selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Masing-masing harus menempati ranah yang
tepat sesuai proporsinya. Ideologi dan agama bukanlah hal yang harus dipilih
salah satu dengan membuang yang lain.
Pada titik ini, perjuangan menjemput kemerdekaan hingga finalnya
dasar dan falsafah negara, tidak bisa dilepaskan dari umat Islam sebagai kreator
dan aktor. Mereka adalah pejuang yang begitu mencintai tanah airnya sebagai
tempat kelahiran dan tempat tinggal. Adalah tanah air yang menyediakan sarana
beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tanah air menjadi tempat di mana
seseorang dapat beribadah dengan tenang, menjalankan syariat, membangun
keluarga dan hal-hal masyru’ lainnya, dengan catatan berada pada kondisi
stabil/ kondusif. Lain hal tatkala tanah air berada pada posisi chaos, maka
tidaklah mungkin ibadah dapat diselenggarakan dengan rasa aman. Di sisi lain,
tak boleh diabaikan cinta tanah air adalah watak dasar manusia dan hal ini dapat
ditemui dalam diri Nabi Muhammad yang terekam dalam banyak riwayat.
Pertama, Ibnu Abbas dalam riwayatnya menceritakan Nabi Muhammad
pernah mengespresikan kecintaan beliau kepada kota Makkah. Nabi Muhammad
bersabda : “)‫”ما اطيبك من بلدة وأحبّك ال ّي ولوال ان قومي أخرجوني منك ما سكنت غيرك (رواه ابن حبان‬
Artinya: Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai negeri dan engkau
merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku
darimu, niscaya aku tidak akan berdomisili di tempat lain (HR. Ibnu Hibban).
Kedua, Anas bin Malik meriwayatkan “‫كان اذا قدم من سفر فنظر الى جداران المدينة‬
)‫ ”"اوض ع راحلت ه وان ك ان على دابّ ة حركه ا من حبّها(رواه البخ اري‬Artinya : Nabi Muhammad
tatkala pulang dari bepergian, beliau memandangi dinding Madinah dan
mempercepat ontanya dan jika di atas kendaraan, Nabi Muhammad menggerak-
gerakkannya sebagai kecintaan terhadap Madinah (HR. Bukhori). Imam Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, bahwa hadits ini menunjukkan
disyariatkannya cinta tanah air dan merindukannya.
Ketiga, diceritakan dalam hadits Bukhori dan Muslim bahwa di awal
menerima wahyu, Nabi Muhammad berkonsultasi dengan Waroqoh bin Naufal.
Waroqoh berkata: saya berharap bisa mendampingimu di saat kaummu
mengusirmu. Nabi bersabda: “Apakah mereka mengusirku?” Assuhaili berkata:
Prediksi Waroqoh bahwa orang-orang Makkah tidak menerima risalah dan
justru mendustakannya, tidak membuat Nabi terkejut. Tetapi di saat Waroqoh
berkata: “Mereka akan mengusirmu”, Nabi Muhammad terkejut. Ini
membuktikan bahwa Nabi mencintai tanah airnya.
Keempat, di saat sahabat Nabi menderita demam tinggi dan banyak
mengigau, Nabi Muhammad berdoa : “)‫”اللهم حبب الينا المدينة كحبّنا مكة او اشد (متّف ق علي ه‬
Artinya: Ya Allah, buatlah aku mencintai Madinah sepertihalnya aku mencintai
Makkah atau bahkan lebih mencintai Madinah (Muttafaq Alaih).
Kelima, dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah berfirman:

5
‫وما لنا ان ال نقاتل في سبيل هللا وقد اخرجنا من ديارنا وابنائنا فلما كتب عليهم القتال تولوا اال قليال‬
)246 : ‫منهم وهللا عليم باالظالمين (البقرة‬
Dalam ayat ini, Allah mewajibkan qital jika ada musuh ekspansi militer
ke negara muslim dan mengkategorikan mereka orang-orang yang dzalim jika
tidak ikut serta dalam qital.
C. Penutup
Sebagai penutup, penulis memberikan beberapa catatan sebagai kesimpulan.

1. “‫ ”حب ال وطن من اإليم ان‬bukanlah hadits dan dikategorikan maudhu’ (Hasil


keputusan Musyawaroh Kubro ke 55 tahun 2018)
2. Dalam konsep cinta tanah air tidak boleh mengalahkan Ukhuwwah
Islamiyyah. Sebagai contoh, jika suatu negara konfrontasi dengan negara
lain dan terjadi bentrok fisik sesama muslim, maka harus dihindari. Sebab
mengingat sabda Nabi: “(‫”المسلم اخوالمسلم )اخرجه البخاري ومسلم‬,
“(‫”ال يؤمن احدكم ح ّتى يحب ألخيه ما يحب لنفسه )متّفق عليه‬,
“(‫”المؤمن للمؤمن كالبنيان الواحد يشد بعضه بعضا )متّفق عليه‬.
3. Di saat membela Negara, diniatkan membela Islam di Negara tersebut, atau
membela Negara kita karena ada Islam (Syarh Riyadhus Sholihin, h. 10).
4. Dalam fikih, dikenal konsep ‫ الدفاع‬yaitu mempertahankan diri dari serangan
orang lain yang membahayakan nyawa, harta dan harga diri. Dalam kondisi
ini, kita diperbolehkan melakukan perlawanan meskipun pelaku berstatus
sebagai seorang muslim. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad :
‫من قتل دون ماله فهو شهيد ومن قتل دون دمه فهو شهيد ومن قتل دون دينه فهو شهيد ومن قتل دون اهله‬
)‫فهو شهيد (رواه ابو داوود والترمذي‬.

Anda mungkin juga menyukai