Peran Ulama Dan Santri Bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Peran Ulama Dan Santri Bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Penindasan yang dimaksud, dapat ditemui dari fakta sejarah, umpama akses
pendidikan yang tidak diberikan, monopoli ekonomi, sistem kerja paksa, tiadanya
upah dari hasil kerja, dan beragam pengeberian hak lainnya. Kala itu, umat Islam
mengorganisir diri menjadi satu kekuatan perlawanan, bahwa kolonialisme harus
dihempaskan dari tanah kelahiran. Serangkaian aksi, seperti yang dimotori Pangeran
Diponegoro dalam Perang Jawa, Panglima Soedirman dalam medan laga Ambarawa,
Bandung Lautan Api, perang gerilya, hingga heroisme santri dibawah komando Kiai
Hasyim Asy’ari dalam perang Surabaya (yang “diabadikan” menjadi Hari Pahlawan)
dapat menjadi bukti perjuangan umat Islam.
Dalam kurun waktu pertengahan abad 19, kolonial Belanda tidak sekedar
mencampuri urusan politik-ekonomi masyarakat, melainkan juga turut
mencampuri urusan keagamaan. Kolonial Belanda mengharapkan supaya
pengaruh Islam di daerah jajahannya dihilangkan dengan mempercepat
1
kristenisasi. Salah satu hal yang menjadi dasar adalah anggapan orang Barat
tentang superioritas ajaran Kristen atas Islam. Christian Snouck Hurgronje,
penasehat pemerintah penjajah Belanda, memberikan arahan supaya
mempersempit ruang gerak Islam hanya sebagai ritual belaka dan mencegah
munculnya Islam sebagai kekuatan untuk menentang kekuasaan Belanda (Iqbal
dan Nasution, 2015: 283-285).
Pada fase perjuangan umat Islam berikutnya, tepatnya pada awal abad
20 tidaklah asing kebangkitan umat Islam melalui Sarekat Dagang Islam yang
diinisiasi Haji Samanhudi. Sarekat yang kemudian beralih nama menjadi Sarekat
Islam (1912) dibawah komando H.O.S. Tjokroaminoto, menjadi medium
perjuangan nasional yang menyadarkan masyarakat atas rasa kebangsaan.
Proses penyadaran itu, tidak hanya pada sektor perekonomian, melainkan juga
bergerak pada sektor pendidikan, sosial budaya dan politik yang didasari oleh
ajaran Islam.
Tidak bisa dipungkiri, Sarekat Islam menjadi harapan masyarakat,
mengingat organisasi ini concern “memperjuangkan keadilan dengan gigih serta
menekan adanya penindasan dan pemerasan oleh pemerintah Belanda” (Yasmis,
2009: 26). Sarekat Islam hadir pada setiap sendi kehidupan masyarakat, dengan
mengkonsolidasi para pedagang untuk kemajuan perekonomian, pun
pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan. Berkenaan dengan pendidikan,
Sarekat Islam berperan penting menyediakan pendidikan bagi masyarakat luas,
tatkala hegemoni kolonial Belanda yang hanya memberikan akses pendidikan
kepada para bangsawan dan priyayi. Sarekat Islam dengan pendidikannya
berupaya menjadi counter attack untuk menaikkan harkat martabat masyarakat
2
bumi putera, yang selama ini ditempatkan di bawah orang Belanda dan orang
asing, seperti Cina (Mansur, 2013: 410).
Pelacakan peranan umat Islam lain, bisa dilihat dari tumbuh-
kembangnya lembaga-lembaga yang dimotori kalangan pesantren, seperti
Nahdlatut Tujjar yang bergerak pada sektor pemberdayaan ekonomi, dan
pemupukan rasa kebangsaan melalui Nahdlatul Wathan yang terbentuk pada
tahun 1916 (Rohman, 2008: 60). Sektor ini, bisa dibaca sebagai manifestasi
perhatian umat Islam perihal kecintaannya pada bangsa.
Nahdlatut Tujjar merupakan poros pesantren-kapital yang dalam
catatan sejarah didirikan oleh 45 saudagar santri di bawah kepemimpinan Kiai
Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Makhzumi (2017) menyatakan jika
Nahdlatut Tujjar menjadi jihad pemberdayaan masyarakat yang tengah berada
dalam cengkraman penjajahan. Makhzumi melanjutkan bahwa sebagai
organisasi yang bergerak pada bidang ekonomi, para pengurus “…ingin
menggulirkan ekonomi kerakyatan sekaligus upaya melawan dominasi ekonomi
kompeni yang anti pemerataan dan tidak berkeadilan. Juga didasari minimnya
kesadaran di kalangan muslim santri bahwa kehidupan dunia juga harus
menjadi prioritas dakwah”.
Terkhusus pada sektor kebangsaan, masyarakat pesantren selalu ambil
bagian untuk turut melawan segala bentuk kolonialisme. Ulum (2014: 40-41)
mencatat terdapat banyak kiai yang terlibat dalam perjuangan Nahdlatul
Wathan, seperti Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Mas Mansur, Kiai Abdul Halim
Cirebon dan Kiai Mas Alwi Abdul Aziz. Senada, Anam (1985: 25-26)
menggambarkan bagaimana Kiai Wahab Hasbullah yang menggubah syair
perjuangan “ya lal wathan, ya lal wathan” dan harus dilantunkan murid
Nahdlatul Wathan setiap hendak memulai kegiatan belajar-mengajar. Tak jauh
berbeda, Rosyid (2008: 194) juga menyebut bahwa “…dengan dakwah,
pengajian, manakiban dan model-model lainnya seperti pembelajaran bela diri,
para kiai mengobarkan semangat bela Negara.
Pada fase menjelang kemerdekaan, tidaklah tabu untuk menyebut
nama-nama seperti Mohamad Yamin, Soepomo, Soekarno, Muhammad Hatta,
Kiai Wahid Hasyim, Achmad Soebardjo, Haji Agus Salim, Abdoel Kahar Muzakir
yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) untuk menyusun dasar negara. Atau tokoh pejuang lain
seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Ahmad Dahlan, Kiai
Masjkur, Kiai Idham Chalid, Muhammad Natsir dan Muhammad Amir. Narasi
kebangsaan yang mewujud dalam gerakan perjuangan umat Islam, menjadi
catatan tersendiri bahwa secara historis, tidak bisa dipungkiri sumbangsih umat
Islam dalam menjemput kemerdekaan.
3
Belanda kepada masyarakat Indonesia saat itu. Fatwa Kiai Hasyim itu menjadi
paradigma baru untuk menyatukan langkah masyarakat Indonesia dalam
melawan koloni Belanda dengan spirit nasionalisme (kecintaan terhadap tanah
air).
Secara genealogis, jargon Hubbul Wathan bisa dibaca sebagai telaah
kritis Hadratussyaikh atas konflik suku dan bangsa yang terjadi di kawasan
Timur Tengah. Berdasarkan fakta empiris, mengingat Hadratussyaikh adalah
pelajar yang juga mukim di tanah suci Makkah, konflik yang terjadi di Timur
Tengah tersebut jelas-jelas merugikan. Maka tidaklah mengherankan tatkala
terjadi kegelisahan pada diri Hadratussyaikh, sehingga pada tahun 1914, setelah
kembali ke tanah air, beliau mengeluarkan fatwa kebangsaan “”حب الوطن من اإليمان.
Fatwa kebangsaan Hadratussyaikh gayung bersambut dengan gagasan
nation state (negara-bangsa) yang dibawa oleh presiden pertama Republik
Indonesia, H. Soekarno. Gagasan nation state Soekarno, dengan lantang ia
sampaikan di hadapan panitia persiapan kemerdekaan, bahwa Indonesia adalah
negara yang majemuk, terdiri dari beragam suku bangsa dari Sabang hingga
Merauke dengan komitmen untuk membangun suatu negara-bangsa yang
dinamakan Indonesia. Atau dengan kata lain, nation state adalah terbentuknya
negara yang didahului oleh bangsa, berdasar cikal bakal majemuk namun
berkomitmen berada dalam satu negara.
Dalam konteks Indonesia, Islam yang hakikatnya rahmatan lil alamin
dan bersifat universal-lintas teritorial, menjadi sebuah jembatan yang dapat
bersinergi dengan unsur nasional. Sehingga dua unsur (baca: universalitas Islam
dan lokal-nasional Indonesia) dapat saling melengkapi tanpa menghilangkan
satu dari keduanya. Seiring dengan waktu, setelah mengalami beragam dinamika
dan proses panjang, sinergi universal-nasional mewujud pada; dengan tidak
dipermasalahkannya ideologi nasional Pancasila sebagai landasan yuridis-
konstitusional dan Islam sebagai teologi umat Islam yang dijamin undang-
undang.
Salah satu momen penting yang dapat menjadi representasi sinergi
universalitas Islam dan lokal-nasional Indonesia adalah disahkannya Deklarasi
tentang Hubungan Pancasila dengan Islam melalui Muktamar Nahdlatul Ulama
ke 27 di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984. Deklarasi tersebut berisi lima poin,
di antaranya :
a). Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia
bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; b). Sila
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia
menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan
dalam Islam; c). Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan
perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan
syariah agamanya (Sitompul, 2010:243-244).
4
taktik, strategi, target dan lain-lain. Ideologi merupakan hasil pikiran manusia
yang baik dan tidak akan menjadi agama, tak terkecuali Pancasila sebagai
ideologi nasional yang bersifat duniawi.
Pada posisi lain, Islam adalah agama samawi yang berorientasi ukhrowi
dan wahyu Allah subahanu wa ta’ala dan bukan merupakan hasil pikiran
manusia. Bagi Kiai Ahmad Shiddiq, seorang muslim mungkin saja menyetujui
filsafat, ideologi, budaya, dasar negara dan sebagainya selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Masing-masing harus menempati ranah yang
tepat sesuai proporsinya. Ideologi dan agama bukanlah hal yang harus dipilih
salah satu dengan membuang yang lain.
Pada titik ini, perjuangan menjemput kemerdekaan hingga finalnya
dasar dan falsafah negara, tidak bisa dilepaskan dari umat Islam sebagai kreator
dan aktor. Mereka adalah pejuang yang begitu mencintai tanah airnya sebagai
tempat kelahiran dan tempat tinggal. Adalah tanah air yang menyediakan sarana
beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tanah air menjadi tempat di mana
seseorang dapat beribadah dengan tenang, menjalankan syariat, membangun
keluarga dan hal-hal masyru’ lainnya, dengan catatan berada pada kondisi
stabil/ kondusif. Lain hal tatkala tanah air berada pada posisi chaos, maka
tidaklah mungkin ibadah dapat diselenggarakan dengan rasa aman. Di sisi lain,
tak boleh diabaikan cinta tanah air adalah watak dasar manusia dan hal ini dapat
ditemui dalam diri Nabi Muhammad yang terekam dalam banyak riwayat.
Pertama, Ibnu Abbas dalam riwayatnya menceritakan Nabi Muhammad
pernah mengespresikan kecintaan beliau kepada kota Makkah. Nabi Muhammad
bersabda : “)”ما اطيبك من بلدة وأحبّك ال ّي ولوال ان قومي أخرجوني منك ما سكنت غيرك (رواه ابن حبان
Artinya: Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai negeri dan engkau
merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku
darimu, niscaya aku tidak akan berdomisili di tempat lain (HR. Ibnu Hibban).
Kedua, Anas bin Malik meriwayatkan “كان اذا قدم من سفر فنظر الى جداران المدينة
) ”"اوض ع راحلت ه وان ك ان على دابّ ة حركه ا من حبّها(رواه البخ اريArtinya : Nabi Muhammad
tatkala pulang dari bepergian, beliau memandangi dinding Madinah dan
mempercepat ontanya dan jika di atas kendaraan, Nabi Muhammad menggerak-
gerakkannya sebagai kecintaan terhadap Madinah (HR. Bukhori). Imam Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, bahwa hadits ini menunjukkan
disyariatkannya cinta tanah air dan merindukannya.
Ketiga, diceritakan dalam hadits Bukhori dan Muslim bahwa di awal
menerima wahyu, Nabi Muhammad berkonsultasi dengan Waroqoh bin Naufal.
Waroqoh berkata: saya berharap bisa mendampingimu di saat kaummu
mengusirmu. Nabi bersabda: “Apakah mereka mengusirku?” Assuhaili berkata:
Prediksi Waroqoh bahwa orang-orang Makkah tidak menerima risalah dan
justru mendustakannya, tidak membuat Nabi terkejut. Tetapi di saat Waroqoh
berkata: “Mereka akan mengusirmu”, Nabi Muhammad terkejut. Ini
membuktikan bahwa Nabi mencintai tanah airnya.
Keempat, di saat sahabat Nabi menderita demam tinggi dan banyak
mengigau, Nabi Muhammad berdoa : “)”اللهم حبب الينا المدينة كحبّنا مكة او اشد (متّف ق علي ه
Artinya: Ya Allah, buatlah aku mencintai Madinah sepertihalnya aku mencintai
Makkah atau bahkan lebih mencintai Madinah (Muttafaq Alaih).
Kelima, dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah berfirman:
5
وما لنا ان ال نقاتل في سبيل هللا وقد اخرجنا من ديارنا وابنائنا فلما كتب عليهم القتال تولوا اال قليال
)246 : منهم وهللا عليم باالظالمين (البقرة
Dalam ayat ini, Allah mewajibkan qital jika ada musuh ekspansi militer
ke negara muslim dan mengkategorikan mereka orang-orang yang dzalim jika
tidak ikut serta dalam qital.
C. Penutup
Sebagai penutup, penulis memberikan beberapa catatan sebagai kesimpulan.