Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) disebabkan oleh adanya keterbatasan
aliran udara yang terus menerus yang diikuti respon inflamasi pada saluran napas dan
paru-paru akibat adanya partikel asing atau gas beracun (GOLD, 2013). Respon
inflamasi pada saluran nafas yang dipicu oleh infeksi bakteri, virus atau polusi
lingkungan akan menyebabkan PPOK eksaserbasi akut yang ditandai dengan gejala
dyspnea, batuk dan produksi sputum. Patofisiologi dari respon inflamasi belum
banyak diketahui tetapi biasanya ditandai dengan meningkatnya neutrofil dan
eosinofil pada dahak (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah salah satu penyakit yang
menjadi suatu masalah didunia dimana penyakit PPOK ini adalah manifestasi dari
beberapa penyakit paru yaitu bronkhitis dan emp- isema paru yang memperlihatkan
gejala yang ditan- dai dengan adanya pembatasan aliran udara yang dapat
menyebabkan kematian (Rodriguez-Roisin, Rabe, Vestbo, Vogelmeier, & Agustí,
2017).
Pada tahun 2020 diperkirakan PPOK akan menjadi penyakit 3 besar penyebab
kematian tertinggi (GOLD, 2017). Di Indonesia angka kejadian dari beberapa sampel
cukup tinggi yaitu di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%,
DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6% (Kemenkes, 2013). Angka dari
penderita PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin
tingginya perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Defenisi ppok
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon
inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau
virus atau oleh polusi lingkungan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Sementara menurut ATS/ERS (American Thoracic Society/ Europen
Respiratry Society) mendefinisikan PPOK sebagai suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya obstruksi saluran napas yang umumnya bersifat progresif,
berhubungan dengan bronkitis kronis atau emfisema, dan dapat disertai dengan
hipereaktivitas dari saluran napas yang reversibel. PPOK adalah kelainan spesifik
dengan perlambatan arus udara ekspirasi maksimal yang terjadi akibat kombinasi
penyakit jalan napas dan emfisema, umumnya perjalanan penyakit kronik progresif
dan irreversibel serta tidak menunjukan perubahan yang berarti dalam pengamatan
beberapa bulan.
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap
tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi
abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu
penyakit multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus,
penyempitan jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa
merupakan kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.
B. Epidimiologi Ppok
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan
global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara
umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada beberapa negara dengan
polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan partikel berbahaya. Satu meta-analysis
dari studi-studi yang dilaksanakan di 28 negara antara 1990 sampai 2004,
menunjukkan bukti bahwa prevalensi PPOK adalah lebih tinggi pada perokok dan
bekas perokok dibanding pada yang bukan perokok, pada mereka yang berusia diatas
40 tahun dibanding mereka yang dibawah 40 tahun, dan pada pria lebih banyak
dibanding wanita. (GOLD, 2017; PDPI, 2010).
GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun
1990, akan meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada 2020 di seluruh dunia.
Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas karena PPOK meningkat dengan usia
dan lebih besar pada pria dibanding wanita. (GOLD 2017) PPOK merupakan
penyebab ke-12 hilangnya Disability Adjusted Life Years (DALYs) pada tahun 1990.
Diperkirakan pada tahun 2020, PPOK menduduki urutan kelima hilangnya DALYs.
GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun
1990, akan meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada 2020 di seluruh dunia.
Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas karena PPOK meningkat dengan usia
dan lebih besar pada pria dibanding wanita. (GOLD 2017) PPOK merupakan
penyebab ke-12 hilangnya Disability Adjusted Life Years (DALYs) pada tahun 1990.
Diperkirakan pada tahun 2020, PPOK menduduki urutan kelima hilangnya DALYs.
C. Faktor Resiko PPOK
Sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
mengidap PPOK meliputi:
 Rokok.
 Pajanan asap rokok pada perokok aktif maupun pasif merupakan faktor utama
penyebab PPOK serta sejumlah penyakit pernapasan lainnya. Diperkirakan,
sekitar satu dari empat orang perokok aktif mengidap PPOK.
 Pajanan polusi udara, Misalnya asap kendaraan bermotor, debu jalanan,gas
buangan industri, briket batu bara, debu vulkanik gunung meletus, asap kebakaran
hutan, asap obat nyamuk bakar, asap kayu bakar, asap kompor, polusi di tempat
kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun)Usia.PPOK akan
berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun. Gejala penyakit umumnya
muncul pada pengidap yang berusia 35 hingga 40 tahun.
 Faktor keturunan. Jika memiliki anggota keluarga yang mengidap PPOK, Anda
juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit yang sama. (P2PTM
kemenkes RI).
D. Etiologi PPOK
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan
yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi
bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang
utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat. Yang karakteristik dari
bronkitis kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis
fungsional), sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara
itu pada perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit). Meskipun
merokok merupakan faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi untuk
perkembangan PPOK, penyakit ini dapat dikaitkan dengan kombinasi faktor risiko
yang menyebabkan cedera paru-paru dan kerusakan jaringan. Perokok 12- sampai 13
kali lebih mungkin meninggal akibat PPOK daripada bukan perokok. Sedangkan
untuk eksaserbasi akut kematian lebih tinggi untuk pasien yang di rawat di rumah
sakit. angka kematian di rumah sakit adalah 6% sampai 8% (Dipiro et al, 2008).
E. Mekanisme PPOK
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.Beberapa
pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum
diketahui.Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan
proteinase.Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis
PPOK. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang
melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit.Sel-sel ini melepaskan mediator
inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran napas dan parenkim
paru-paru. Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK.
Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan)
meningkat dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada
pasien PPOK.Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang
dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari
sel-sel inflamasi ( seperti makrofag dan neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga ada
penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK.Stres oksidatif memiliki beberapa
konsekuensi yang merugikan di paru, termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi
antiproteases, stimulasi sekresi lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat.
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru.Perubahan patologis
akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai
bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan
perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas
akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti
merokok. Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV 1 dan rasio FEV 1 /FVC.Penurunan FEV 1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional,
khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang
terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan.Hiperinflasi yang
berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea
pada aktivitas. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO 2 arteri dan tanda
lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q).
Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA/Q,
dan penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakit yang sudah
parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon dioksida.
Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih
memperburuk kelainan VA/Q. Hipersekresi lender, yang mengakibatkan batuk
produktif kronis, adalah gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan
keterbatasan aliran udara.Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki
gejala hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang
meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai
respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya
lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir melalui
aktivasi reseptor faktor EGFR. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien dengan PPOK
berat. Disebabkan karena hilangnya massa otot rangka dan kelemahan sebagai akibat
dari apoptosisyang meningkat dan / atau tidak digunakannya otot-otot tersebut.Pasien
dengan PPOK juga mengalami peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia
kronis.
Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-α, IL-6, dan
radikal bebas oksigen dengan keturunannya, dapat beberapa efek sistemik.
Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, berkorelasi dengan peningkatan protein
C-reaktif (CRP).
F. Tanda Dan Gejala
Gejala Klinis dari PPOK eksaserbasi akut adalah memburuknya pernapasan,
peningkatan jumlah sputum dan peningkatan purulen dahak. Manifestasi klinis
tambahan dari kegagalan pernapasan termasuk kegelisahan, kebingungan, takikardia,
diaforesis, sianosis, hipotensi, pernapasan tidak teratur, miosis, dan ketidaksadaran.
Tanda dan gejala dari PPOK sering kali tidak timbul hingga telah terjadi
kerusakan paru-paru yang signifikan. Selain itu, tanda dan gejala juga memburuk
seiring dengan berjalannya waktu, terutama bila ekspos terhadap asap rokok terus
berlanjut. Untuk bronkitis kronik, gejala utama adalah batuk dan produksi dahak
setidaknya tiga bulan dalam satu tahun, untuk dua tahun berturut-turut.Tanda dan
gejala lain dari PPOK mencakup:
 Sesak napas, terutama saat melakukan aktivitas fisik
 Mengi
 Dada terasa sesak
 Rasa ingin mengeluarkan dahak setiap bangun pagi, akibat produksi
dahak yang berlebih pada paru-paru
 Batuk jangka panjang akibat produksi dahak yang dapat jernih, putih,
kuning, atau kehijauan
 Kebiruan pada bibir atau ujung kuku
 Infeksi saluran pernapasan yang sering timbul
 Kekurangan energi
 Penurunan berat badan yang tidak disengaja
 Bengkak pada pergelangan kaki, kaki, atau tungkai

Orang dengan PPOK memiliki kemungkinan untuk mengalami episode yang


disebut eksaserbasi, di mana gejala dapat lebih berat daripada yang dialami sehari-
hari, dan menetap selama setidaknya beberapa hari
G. Pemeriksaan diagnostik
a) Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator) Uji
faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan
penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume maksimal
udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital
capacity (FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver tersebut, atau disebut
dengan Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua
pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi
paru. Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1
dan FVC serta nilai FEV1/FVC < 70%.Pemeriksaan post-bronchodilator
dilakukan dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai
FEV1 < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.Klasifikasi berdasarkan
GOLD kriteria adalah:
1. Stage I : Ringan Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator
menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80%
dari nilai prediksi.
2. Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai
FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi.
3. Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan
FEV1 diantara 30-50% dari nilai prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1
diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan
kegagalan respirasi kronik.
b) Foto Torak PA dan Lateral Foto torak PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema
dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata,
hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung
yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil
yang normal ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang meningkat
disertai sebagian bagian yang hiperlusen.
c) Analisa Gas Darah (AGD) Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas
darah sangat penting dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada
penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis
tampak tanda- tanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous
pressure. Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada
pasien dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis
dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi
yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar,
serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi.
d) Pemeriksaan sputum Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang tepat. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada
penderita PPOK di Indonesia.
e) Pemeriksaan Darah rutin Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui
adanya faktor pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi
akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.
f) Pemeriksaan penunjang lainnya Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG)
digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh kor
pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun
jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus,
CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1
antitryipsin
H. Pengobatan PPOK
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat,
seperti:
a) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat
meningkatkan FEV1 dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini
bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan
dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi
dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja
dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat dan
beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada kasus
PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi
perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat. Bronchodilator dose-
respone (perubahan FEV1) kurang memberikan respon relatif pada
setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist atau
antikolinergik, khususnya yang diberikan dengan nebulizer,
menunjukkan efek positif pada episode akut, namun tidak terlalu
membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan
sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak
direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan kerja pendek.
b) Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran
pernafasan dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana
akan meningkatkan siklus AMP dan memproduksi efek fungsional
yang berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist
dengan kerja pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek
SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara
regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk
dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat keuntungan
apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol dibandingkan
konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam
atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi
SABA. Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2
kali dalam sehari, dimana secara signifikan memperbaiki FEV1 dan
volume paru, sesak, laju eksaserbasi serta jumlah kejadian masuk
rumah sakit, namun tidak terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau
fungsi paru. Indacaterol atau LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari
dapat memperbaiki sesak, status kesehatan, dan laju eksaserbasi.
Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan diikuti dengan pemberian
indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol merupakan tambahan
LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat memperbaiki
gejala dan fungsi paru. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat
memproduksi sinus takikardia dan memiliki potensi untuk menjadi
gangguan ritme jantung. Tremor dapat dirasakan pada pasien tua
dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi dengan diuretik
thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan konsumsi
oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek penurunan
metabolik.
c) Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi
asetikolin pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran
pernafasan. Short-acting antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium
dan oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2, yang secara
potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting muscarinic
antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium
bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan
reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek
bronkodilator. Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek
memiliki efek yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek
dalam hal perbaikan fungsi paru, status kesehatan dan kebutuhan
terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs seperti titropiun dan
umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium untuk 2 kali sehari,
dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1 kali
sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan
tiotripium dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan,
memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi eksaserbasi
terkait hospitalisasi.
Efek samping yang dapat muncul berupa mulut kering,
gangguan buang air kecil, dan pada penggunaan ipratropium
menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan pengecapan serta
sebagian kecil peningkatan kejadian kardiovaskuler.
Methylxanthines Theophylline merupakan jenis methylxantine
yang paling sering digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome
P450 dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa
peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan theophylline
dengan salmeterol memberikan efek perbaikan pada FEV1 dan gejala
sesak dibandingan hanya pemberian salmeterol saja. Toksisitas
methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek
yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia.
Efek lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada.
Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan
beberapa obat seperti digitalis dan coumadin. 5. Kombinasi terapi
bronkodilator Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs
memberikan efek perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan
secara tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler
memberikan efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki
fungsi paru dan status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa
penelitian menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA,
memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga
dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS
(inhaled corticosteroid). 6. Anti-inflamasi - Inhaled corticosteroid
(ICS) Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan
respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist,
theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas
kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat
memodifikasi penurunan FEV1.
Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed dose
combination (FDC) memberikan efek yang signifikan dibandingkan
dengan LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1 kali
dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis
mulut, suara parau, kulit memar, dan pneumonia. Peningkatan risiko
tersebut telah dikonfirmasi pada ICS dengan menggunakan fluticasone
furoate, walaupun pada dosis rendah. Pasien yang memiliki risiko
tinggi pneumonia apabila memeiliki riwayat merokok, umur ≥ 55
tahun, memiliki riwayat eksaserbasi pneumonia, BMI < 25 kg/m2 , dan
sesak berat. Pada penggunaan ICS independent, peningkatan
d) Terapi inhaler triple Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA,
LAMA, dan ICS, dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi
paru, pada risiko eksaserbasi.
e) Oral glukokortikoid Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang
berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan fungsional, dan
kegagalan pernapasan pada pasien dengan PPOK berat. Sistemik
glukokortikoid pada akut eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan
terapi, laju kekambuhan, serta memperbaiki fungsi paru dan sesak.
Oral glukokortikoid memberikan efek terapi pada akut eksaserbasi,
namun tidak berperan pada kondisi kronis karena memiliki komplikasi
sistemik yang tinggi.
f) Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors Prinsip kerjanya adalah
dengan menurunkan inflamasi dengan menghambat pemecahan siklus
intraseluler AMP. Roflumilast merupakan obat oral yang dikonsumsi 1
kali sehari tanpa aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah menurunkan
eksaserbasi sedang dan berat yang telah diobati dengan kortikosteroid
sistemik pada pasien bronchitis kronis, PPOK berat sampai sangat
berat, dan riwayat eksaserbasi. Efek pada fungsi paru dapat juga dilihat
ketika roflumilast ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan
pada pasien yang tidak terkontrol pada kombinasi fixed-dose
LABA/ICS. Efek samping yang dapat ditimbulkan lebih banyak jika
dibandingkan dengan pengobatan inhaler untuk PPOK. Efek tersering
yaitu diare, mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan (2
kg), nyeri perut, gangguan tidur, dan sakit kepala. Pemberian
roflumilast perlu diperhatikan khususnya pada pasien underweight dan
depresi. 7
g) Antibiotik Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik
secara regular dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250
mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2
kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko eksaserbasi.
Azithromycin berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi
bakteri dan gangguan pendengaran.
h) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan Pada
pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein
dapat menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket guide to COPD diagnosis,
management and prevention. A guide for health care professionals. 2017.

WHO. Chronic respiratory disease. 2015. Diakses pada tanggal 6 APRIL 2021 dari
www.who.int/respiratory/copd/definition

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Paru Obstruktif
Kronik di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.

. Han MK, Muellerova H, Curran-Everett D, et al. GOLD 2011 disease severity classification
inCOPDGene: a prospective cohort study. The Lancet Respiratory medicine 2013; 43-50

Anda mungkin juga menyukai