Oleh
Preseptor :
BAGIAN PSIKIATRI
PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1 .1 Latar Belakang
Saat ini, sering marak terjadi nya penurunan mood secara drastis ( hypothym ) yang
disebabkan oleh beberapa hal dan telah terjadi lebih dari 2 minggu yang biasa nya didiagnosa
terkena gangguan depresi . Depresi bisa berdiri sendiri maupun bersamaan dengan penyakit
organik . Depresi akan sulit di diagnosis jika depresi ditemukan bersamaan dengan penyakit lain
. Banyak gangguan medis dan neurologis serta agen farmakologis dapat menghasilkan gejala
depresi . Biasanya pasien datang dengan gangguan depresi pertama kali pergi ke dokter umum
dengan keluhan somatik, mereka mengeluh gangguan sistem endokrin, gangguan infeksi dan
peradangan, serta penyakit medis lain seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal .
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta penduduk dunia
mengalami depresi . Survey yang dilakukan di 17 negara eropa, rata-rata 1 dari 20 orang pernah
mengalami depresi . Gangguan depresi paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15% . Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki . Hal ini diduga adanya
perbedaan hormon . Rata-rata usia penderita sekitar 40 tahun . Data terkini menunjukkan,
gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun, yang mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat . Sebuah penelitian di Amerika Serikat
didapatkan bahwa gangguan depresif berat terjadi pada 13 sampai 14 juta orang dewasa dan
mengakibatkan penderitaan yang signifikan bagi penderitanya dalam hidup . Prevalensi di
Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 mencapai 11,6% atau diderita sekitar 19 juta
gangguan mental emosional penduduk di atas 15 tahun orang . Berdasarkan data riskesdas 2018
didapatkan penurunan prevalensi penderita gangguan mental emosional sebesar 9,8% dan
prevalensi depresi sekitar 6,1 % .
Gangguan depresi ini sendiri terbagi atas 2 gejala, yaitunya gejala utama dan gejala lainya .
Gejala utama bisa seperti afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kehilangan
energi sehingga penderita terlihat lebih lesu . Sedangkan, untuk gejala lain nya bermacam-
macam seperti tidur terganggu, nafsu makan berkurang, gangguan konsentrasi, dan lain
sebagainya . Untuk kategorinya, gangguan depresi terbagi atas 4 yaitun gangguan depresif
ringan, gangguan depresif sedang, gangguan depresif berat tanpa gejala psikosis, dan gangguan
depresif berat dengan gejala psikosis .
Gangguan depresif berat sekarang telah menjadi 2 masalah kesehatan yang serius dimana
diperkirakan gangguan ini akan menduduki peringkat kedua penyebab disabilitas pada tahun
2020, setelah penyakit kardiovaskular . Gangguan depresi berat dengan gejala psikotik adalah
depresi yang parah walau bukan penderita psikotik .
Hingga sekarang terapi yang paling efektif untuk gangguan depresif berat yaitu
kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi . Psikoterapi jangka pendek dapat dibagi
menjadi yaitu terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi interpersonal .
1 .2 Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas tentang gangguan depresif berat tanpa gejala
psikosis .
1 .3 Tujuan Penulisan
Clinical Science Session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
mengenai gangguan depresif berat tanpa gejala psikosis .
1 .4 Metode Penulisan
Clinical Science Session ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2 .1 Definisi
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola tidur, nafsu
makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan
bunuh diri .
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang", meliputi seluruh
tubuh, suasana perasaan dan pikiran . ia juga mempengaruhi pola makan dan tidur . Gangguan ini
tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan kelelahan atau malas . Seorang yang mengalami
gangguan depresi tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada
keadaannya seperti semula . Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut
mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang
dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama . Penatalaksanaan yang sesuai dapat
menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula lebih baik .
Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan dengan rasa sedih
yang dalam dan berkepanjangan . Penderita hilang minat (interest) pada sesuatu yang
sebelumnya menyenangkan baginya . Biasanya disertai dengan perubahan- perubahan lain pada
dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan
perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan
tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang .
2 .2 Epidemologi
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta penduduk dunia
mengalami depresi . Survey yang dilakukan di 17 negara eropa, rata-rata 1 dari 20 orang pernah
mengalami depresi . Gangguan depresi paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup
sekitar 15% . Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki . Hal ini diduga adanya
perbedaan hormon . Rata-rata usia penderita sekitar 40 tahun . Data terkini menunjukkan,
gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun, yang mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat . Sebuah penelitian di Amerika Serikat
didapatkan bahwa gangguan depresif berat terjadi pada 13 sampai 14 juta orang dewasa dan
mengakibatkan penderitaan yang signifikan bagi penderitanya dalam hidup . Prevalensi di
Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 mencapai 11,6% atau diderita sekitar 19 juta
gangguan mental emosional penduduk di atas 15 tahun orang . Berdasarkan data riskesdas 2018
didapatkan penurunan prevalensi penderita gangguan mental emosional sebesar 9,8% dan
prevalensi depresi sekitar 6,1 % .
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup kira-kira 15 % dan kemungkinan sekitar 20%-25 % terjadi pada wanita dan 10%-
12% pada laki-laki . Terlepas dari kultur atau negara, prevalensi gangguan depresi berat dua kali
lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki . Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi
berat kira-kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun .
a . Faktor organobiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-
hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan
mood . Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin .
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien
memiliki serotonin yang rendah . Aktivitas serotonin diduga berkurang pada depresi . Serotonin
bertanggung jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan . Pada beberapa
penelitian ditemukan jumlah serotonin yang berkurang di celah sinaps dikatakan bertanggung
jawab untuk terjadinya depresi . Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi .
Noreprinefrin . Dalam beberapa penelitian diduga adanya peranan langsung sistem
noradrenergik dalam depresi . Jenis bukti lain juga melibatkan reseptor adrenergik alfa-2 dalam
depresi, karena aktivasi reseptor tersebut menyebabkan penurunan jumlah noreprinefrin yang
dilepaskan . Reseptor adrenergik-alfa2 juga berlokasi pada neuron serotonergik dan mengatur
jumlah serotonin yang dilepaskan .
Serotonin . Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang
bunuh diri memliki konsentrasi metabolit serotonin di dalam cairan serebrospinalis yang rendah
dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit, beberapa pasien depresi juga
memiliki respons neuroendokrin yang abnormal, sebagai contoh hormon pertumbuhan, prolaktin,
dan hormon adrenokortikotropin (ACTH) terhadap provokasi dengan agen serotonerik .
Dopamin . Walaupun noreprinefrin dan serotonin adalah amin biogenik adalah amin
biogenik yang paling sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga telah
diperkirakan memiliki peranan dalam depresi . Data menyakan bahwa aktvitas dopamin mungkin
menurun pada depresi dan meningkat pada mania .
Regulasi neuroendokrin . Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal dan
hipotalamus sendiri menerima banyak masukan (input) neuronal yang menggunakan transmiter
amin biogenik . Berbagai disregulasi telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood
.Kelainan neuroendokrin yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah
penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH
dan LH, dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki .
Sumbu adrenal . Hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi adalah salah satu
pengamatan paling tua dalam psikiatri biologi . Neuron di nukleus paraventrikular (PVN;
paraventricular nucleus) melepaskan corticotropin-releasing hormon (CRH), yang menstimulasi
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis anterior . ACTH selanjutnya
menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal . Kortisol memberikan umpan balik (feed
back) pada jaringan kerja melalui reseptor kortisol di hipokampus dan menyebabkan penurunan
pelepasan ACTH . Suatu penelitian menemukan bahwa pasien depresi mungkin memiliki fungsi
reseptor kortisol yang abnormal di hipokampus . Banyak peneliti menemukan bahwa
hiperkortisolemia dapat merusak neuron hipokampus, suatu siklus yang melibatkan stres,
stimulasi pelepasan kortisol, dan ketidakmampuan untuk menghentikan pelepasan kortisol dapat
menyebabkan bertambahnya kerusakan pada hipokampus yang telah mengalami kerusakan .
Beberpa penelitian mengatakan bahwa stres kronik merupakan faktor pemicu terjadinya depresi,
dimana stres itu sendiri tidak hanya berdampak pada perilaku namun juga pada sistem endokrin,
imunitas, dan sistem neurotransmiter . Ditemukan adanaya hubungan erat antara stres dan
perubahan pada axis HPA dan sistem pusat noreprinefrin . Depresi dapat terjadi akibat dari
adanya disfungsi pada area otak yang dimodulasi oleh axis HPA seperti pada korteks frontalis,
hipokampus, amygdala, dan basal ganglia . Ditemukan juga bahwa area-area pada otak tersebut
mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap efek stres yang dikarenakan kejadian pada masa
lampa di kehidupan .
Tidur dan ritme sikardian Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama diketahui
sebagai salah satu gejala utama gangguan depresi . Polisomnografi telah banyak digunakan
dalam studi biologis untuk mengetahui disregulasi tidur pada pasien dengan gangguan depresi
berat . Beberapa ilmuwan beranggapan bahwa depresi dapat mencetuskan gangguan pola tidur,
tetapi tidak menutup kemungkinan untuk hal yang sebaliknya . Sistem sirkadian manusia
dikontrol oleh pacemaker biologis yang berlokasi pada nukleus suprakiasmatik di hipotalamus .
Jam biologis ini diregulasi oleh zeitgeber eksternal, termasuk siklus gelap/terang, paparan sinar
terang dari lingkungan, maupun kegiatan sosial . Banyak ritme sirkadian, seperti kortisol,
melatonin, dan thyroid stimulating hormone (TSH) terganggu pada depresi .
Gangguan afektif musiman adalah bentuk penyakit depresi yang biasanya muncul
selama musim gugur dan musim dingin . Depresi tersebut akan berakhir setelah musim semi dan
musim panas . Studi menunjukkan bahwa gangguan afektif musiman juga dimediasi oleh
perubahan kadar serotonin dalam sistem saraf pusat . Hal ini juga dipengaruhi oleh ritme
sirkadian dan paparan sinar matahari .
b . Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan
depresi berat kemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama
subyek kontrol untuk penderita gangguan depresi berat . Penelitian terhadap anak kembar
menunjukkan angka kesesuaian pada kembar monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan
pada kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25 % terjadi gangguan depresi berat .
c . Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang telah lama
direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah
dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat .
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling
berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum
usia 11 tahun . Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu episode depresi
adalah kehilangan pasangan .
Beberapa artikel teoritik dan dari banyak laporan, mempermasalahkan hubungan fungsi
keluarga dan onset dalam perjalanan gangguan depresi berat . Selain itu, derajat psikopatologi
didalam keluarga mungkin mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan
penyesuaian pasca pemulihan .
2 .4 Manifestasi Klinis
Menurut buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ III), konsep gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku atau psikologik seseorang,
yang secara klinik cukup bermakna dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala
penderitaan (distress) atau hendaya (disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia .
Episode Depresif (F .32)
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat)
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja)dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya:
- Konsentrasi dan perhatian berkurang
- Harga diri dan kepercayaan berkurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
- Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
- Tidur terganggu
- Nafsu makan menurun
Episode Depresi berat tanpa gejala psikotik (F32 .2)
Semua 3 gejala utama harus ada
Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya
harus berintensitas berat
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan
banyak gejalanya secara rinci .
Dalam hal demikian, penilaian secara meyeluruh terhadap episode depresif berat
masih dapat dibenarkan .
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu .
Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas .
2 .5 Diagnosis Banding
a . Bereavement
Bereavement atau rasa kesedihan yang mendalam karena hilangnya suatu hubungan
dapat memperlihatkan gejala yang sama dengan episode depresi berat . Tingkat keparahan,
durasi gejala, dan dampaknya pada fungsi sosial dapat membantu dalam menyingkirkan antara
kesedihan yang mendalam dan gangguan depresi berat .
d . Gangguan Bipolar
Adanya riwayat mania atau hipomania mengidentifikasikan adanya gangguan bipolar, tetapi
karena gangguan bipolar sering berawal dengan episode depresi, dan pasien bipolar mengalami
episode depresi lebih lama dibandingkan dengan hipomania/mania, hal ini penting untuk untuk
mempertimbangkan diagnosis bipolar ketika hendak mendiagnosis gangguan depresi berat . Pada
kenyataannya, 5-10% individu yang mengalami episode depresi berat akan memiliki episode
hipomanik atau manik di dalam kehidupannya .
Gejala depresi yang mengindikasikan adanya suatu gangguan bipolar, antara lain
pemikiran yang kacau, gejala psikotik, gambaran atipikal (hipersomnia, makan berlebihan), onset
usia dini, dan episode kekambuhan . Gangguan bipolar II (dengan hipomania) sulit untuk
dikenali karena pasien tidak mengenali hipomania sebagai suatu kondisi yang abnormal . Mereka
menganggap itu sebagai perasaan senang semata . Informasi yang mendukung dari pasangan
hidup, teman terdekat, dan keluarga sering menjadi hal yang penting untuk dapat mendiagnosis .
Pertanyaan-pertanyaan yang valid, seperti kuesioner gangguan afektif, dapat membantu dalam
mengidentifikasi hipomania .
2 .6 Tatalaksana
a . Psikoterapi
Psikoterapi suportif selalu diindikasikan . Berikan kehangatan, empati, pengertian, dan
optimistik . Bantu pasien mengindentifikasi dan mengekspresikan hal-hal yang membuatnya
prihatin dan melontarkannya . Identifikasi faktor pencetus dan bantulah untuk mengoreksinya .
Bantulah memecahkan problem eksternal (misal pekerjaan) arahkan pasien terutama selama
episode akut dan bila pasien tidak aktif bergerak .
Terapi kognitif-perilaku Bertujuan memberikan peringanan gejala melalui perubahan
pikiran sasaran, mengidentifikasi kognisi yang menghancurkan diri sendiri, memodifikasi
anggapan salah yang spesifik dan mempermudah pengendalian diri terhadap pola pikiran . Terapi
ini juga dapat sangat bermanfaat pada pasien depresi ringan dan sedang . Diyakini oleh sebagian
orang “ketidak berdayaan yang dipelajari”, depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan
keterampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman sukses . Dari perpektif kognitif pasien
dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif .
Terapi ini mencegah kekambuhan .
Keluarga dan lingkungan Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang
diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien .
Sosial-Budaya Terapi kerja berupa memanfaatkan waktu luang dengan melakukan hobi
atau pekerjaan yang disukai pasien dan bermanfaat . Terapi rekreasi dapat berupa berlibur atau
bepergian kesuatu daerah yang disenangi pasien .
Religius Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai ajaran
agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu, menegakkan amalan sunah seperti
mengaji, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT .
b . Farmakologi
Saat merencanakan intervensi pengobatan, penting untuk menekankan kepada penderita
bahwa ada beberapa fase pengobatan sesuai dengan perjalanan gangguan depresif :
• Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala
• Fase kelanjutan untuk mencegah relaps
• Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren
Penggolongan Antidepresan
1 . Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik)
Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan noradrenalin dari sela
sinaps di ujung-ujung saraf .
Efek samping :
• Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls jantung dengan perubahan
ECG, pada overdosis dapat terjadi aritmia berbahaya .
• Efek anti kolinergik ; akibat blokade reseptor muskarin dengan menimbulkan antara lain mulut
kering, obstipasi, retensi urin, tachycardia, serta gangguan potensi dan akomodasi, keringat
berlebihan .
• Sedasi
• Hipotensi ortostatis dan pusing serta mudah jatuh merupakan akibat efek antinoradrenalin, hal
ini sering terjadi pada penderita lansia, mengakibatkan gangguan fungsi seksual .
• Efek antiserotonin ; akibat blokade reseptor 5HT postsinaptis dengan bertambahnya nafsu
makan dan berat badan .
• Kelainan darah; seperti agranulactose dan leukopenia, gangguan kulit
• Gejala penarikan; pada penghentian terapi dengan mendadak dapat timbul antara lain gangguan
lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala dan otot .
Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik :
a) Imipramin
Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300 mg sehari .
Kontra Indikasi : Infark miokard akut
Interaksi Obat : anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular, hipotensi, gangguan untuk
mengemudi, ibu hamil dan menyusui .
b) Klomipramin
Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan maksimum dosis 250 mg sehari .
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung, kerusakan
hati yang berat, glaukoma sudut sempit .
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuroadrenergik, dapat
meningkatkan efek kardiovaskular dari noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan aktivitas dari
obat penekan SSP, alkohol .
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi dengan beberapa
obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP, anti kolinergik, penghambat reseptor
serotonin selektif, antikoagulan, simetidin . Monitoring hitung darah dan fungsi hati, gangguan
untuk mengemudi .
c) Amitriptilin
Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-300 mg sehari .
Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum tulang, kerusakan
hati, penggunaan bersama dengan MAO .
Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, Bersama depresan SSP
seperti alkohol, barbiturat, hipnotik atau analgetik opiate berpotensi menyebabkan efek gangguan
depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin meniadakan efek
antihipertensi
Perhatian : ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun, glakuoma,
kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi .
d) Lithium karbonat
Dosis lazim : 400-1200 mg dosis tunggal pada pagi hari atau sebelum tidur malam .
Kontra Indikasi : kehamilan, laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung .
Interaksi Obat : diuretik, steroid, psikotropik, AINS, diazepam, metildopa, tetrasiklin, fenitoin,
carbamazepin, indometasin .
Perhatian : Monitor asupan diet dan cairan, penyakit infeksi, demam, influenza, gastroentritis .
b) Sertralin
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr .
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin .
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik .
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui, mengurangi
kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin .
c) Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari .
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini .
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin .
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri .
d) Fluvoxamine
Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis 300
mg .
Interaksi Obat : warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium .
Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO, insufiensi hati,
tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan laktasi .
e) Mianserin
Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90 mg/ hari
Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati .
Interaksi Obat : mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan dengan atau dalam 2
minggu penghentian terapi .
Perhatian : dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi, diabetes, insufiensi hati,
ginjal, jantung .
f) Mirtazapin
Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur .
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin .
Interaksi Obat : dapat memperkuat aksi pengurangan SSP dari alkohol, memperkuat efek sedatif
dari benzodiazepine, MAO .
Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organik, insufisiensi hati, ginjal, jantung, tekanan darah
rendah, penderita skizofrenia atau gangguan psikotik lain, penghentian terapi secara mendadak,
lansia, hamil, laktasi, mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin .
g) Venlafaxine
Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari .
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun .
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain .
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis hati, penyakit
jantung tidak stabil .
3 . Antidepresan MAO
Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor, MAOI)
Indikasi :
Depresi: Secara umum, MAOI diindikasikan pada penderita dengan depresi atipikal (eksogen)
dan pada beberapa penderita yang tidak berespon terhadap terapi antidpresif lainnya . MAOI
jarang dipakai sebagai obat pilihan .
Kontraindikasi :
Gagal jantung kongestif, riwayat penyakit liver atau fungsi liver abnormal, gangguan ginjal
parah, gangguan serebrovaskular, penyakit kardiovaskular, hipertensi, riwayat sakit kepala .
c . Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak . Metode terapi semacam in
sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan
respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik . Pada penderita dengan risiko bunuh diri,
ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT
lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek . Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT,
bahkan pada beberapa kondisi tindakan ECT merupakan kontra indikasi .
2 .7 Penyulit
Bunuh diri merupakan konsekuensi paling tragis dari depresi . Sulit untuk memprediksi
risiko bunuh diri dalam masa penilaian yang singkat . Dalam penegakan diagnosis risiko bunuh
diri, perhatian harus diberikan terhadap ada tidaknya dukungan sosial, metode potensial yang
akan digunakan, ancaman kematian pada metode dan kesempatan bunuh diri sebelumnya, dan
sifat-sifat kepribadian seperti impulsivitas .
Awal pengobatan menjadi periode yang penting diperhatikan . Risiko bunuh diri menjadi
lebih tinggi karena sebagian gejala mungkin memberat sebelum pasien sempat mencari
pertolongan, pasien dapat mengalami efek samping dini (seperti kecemasan atau agitasi), yang
dapat memperburuk risiko bunuh diri, dan gejala fisik pasien dapat meningkat secara nyata
(energi misalnya) sebelum gejala kognitif (putus asa misalnya) . Kesemuanya itu dapat menjadi
dorongan untuk bunuh diri .
Faktor risiko bunuh diri yang berhubungan dengan episode depresi:
Terdapat rencana bunuh diri
Pernah mencoba bunuh diri sebelumnya
Depresi berat
Adanya keputusasaan dan rasa bersalah
Pasien yang baru keluar dari rawat inap
Gangguan bipolar
Mixed state (dengan agitasi), mania disforik
Gejala psikotik
Komorbiditas (ansietas, penyalahgunaan zat, kondisi medis yang serius)
Faktor risiko bunuh diri yang berhubungan dengan keadaan demografis:
Pria
Remaja atau usia tua
Gangguan afektif usia dini
Gangguan kepribadian (terutama Cluster B)
Riwayat keluarga dengan bunuh diri
Pengalaman traumatik pada masa kanak-kanak (trauma, penyakit, perpisahan dengan
orang tua)
Peristiwa traumatik dalam sirkumstansi kehidupan (pemutusan hubungan kerja, isolasi
sosial)
Stresor psikososial sebelumnya
Kurangnya dukungan
2 .8 Prognosis
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan . Keadaan ini cenderung
merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami relaps . Pasien yang dirawat
di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif memiliki kemungkinan 50 % untuk
pulih di dalam tahun pertama .
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam dua tahun pertama
dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun . Insidensi relaps adalah jauh lebih rendah dari pada
angka tersebut pada pasien yang meneruskan terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada
pasien yang hanya mengalami satu atau dua episode depresi .
Dalam sebuah studi terhadap pasien yang telah 1 tahun terdiagnosis depresi, 40%
mengalami kesembuhan tanpa gejala . Sebanyak 20% pasien akan terus mengalami gejala
depresi, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan depresi berat . Sebanyak 40% pasien
sisanya tetap mengalami episode depresi berat .
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola tidur,
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya
dan gagasan bunuh diri
Penyebab dari gangguan depresi terdiri dari faktor biologis, faktor genetika dan factor
psikososial
Untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi berat, PPDGJ III mensyarati harus
didapati tiga gejala utama gangguan depresi dan minimal empat gejala lainnya dan
beberapa di antaranya harus berintensitas berat
Diperlukan tatalaksana yang baik dan benar dalam mengobati depresi pada seseorang
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, BJ Sadock, JA Grebb. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1, Jakarta Barat: Bina Rupa Aksara,2012.
Hal: 813-816
2. Maslim R . Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ – III dan DSM-5 . Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta 2013 .
3. Tomb DA, Buku Saku Psikiatri.Edisi 6, Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004.
Hal : 47-63
4. Kessler RC, Berglund P, Demler O, Jin R, Merikangas KR, Walters EE. Lifetime Prevalence and Age-
of-Onset Distributions of DSM-IV Disorders in the National Comorbidity Survey Replication. Arch
Gen Psychiatry 2005;62:593-602.
5. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
6. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia
7. Armitage R . Sleep and circadian rhythms in mood disorders. Acta Psychiatr Scand 2007;115(433):
104-14.
8. Charu Taneja, George I Papakostas, Yonghua Jing, Ross A Baker, Robert A Forbes, dan Gerry Oster.
Cost Effectiveness of Adjunctive Therapy with Atypical Antipsychotics for Acute Treatment of Major
Depressive Disorder. The Annals of Pharmacotherapy 2012;46:642-649.
9. Kennedy SH, Lam RW, Parikh SV, et al. Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) clinical guidelines for the management of major depressive disorders in adult. J Affect
Disord 2009;117(Suppl 1): S1-S64.
10. Maslim R . Penggunaan Klinis Obat Psikotropik . Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya, Jakarta 2014 .