Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT ZAKIYAH


DARAJAT, HARUN NASUTION DAN AZZUMARDI AZZRA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM

Oleh
Andri Saputra (2011010342)
Habib Aqil Fadli (2011010292)

DOSEN PENGAMPU
DR. Sunarto, M.Pd. I

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1442 H / 2021

1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam, dengan
judul Konsep Pemikiran Pendidikan menurut Zakiyah Darajat, Harun Nasution dan Az Zumardi
Azzra.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata-kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritikan serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada ustadz
Sunarto yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Lampung, 22 Mei 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A...................................................................................................Latar
Belakang.......................................................................................4
B....................................................................................................Rumu
san Masalah..................................................................................4
C....................................................................................................Tujua
n Penulisan....................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN
A...................................................................................................Konse
p Pemikiran Pendidikan Zakiah Darajat.......................................5
B....................................................................................................Konse
p Pemikiran Pendidikan Harun Nasution.....................................7
C....................................................................................................Konse
p Pemikiran Pendidikan Azzumardi Azzra...................................11

BAB III PENUTUP


A...................................................................................................Kesi
mpulan..........................................................................................21
B....................................................................................................Saran
......................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Era globalisasi dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat
muslim Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren. Argumen
panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa
menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di
tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.

Memang harus diakui bahwa, hingga kini pendidikan Islam masih berada dalam posisi
problematik. Di satu sisi, pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi
kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonik; sementara di sisi
lain, pendidikan Islam juga “dipaksa” untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini,
khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Kenyataan
tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan.

Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk
menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup
sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk kearah masa depan lebih baik dan
dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas. Pendidikan juga
merupakan suatu usaha untuk mengembangkan intelektualitas supaya cepat dan tepat
dalam mencerna semua gejala yang ada. Pendidikan itu sendiri juga dapat dilakukan baik
dari keluarga, lingkungan, dan sekolah.

Maka sebab itulah, ada beberapa ahli berusaha untuk mencari solusi terbaik dalam
mengembangkan suatu pendidikan tersebut diantaranya Zakiyah Darajat, Harun Nasution
dan Az Zumardi Azzra.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja konsep pemikiran pendidikan menurut Zakiyah Darajat?
2. Apa saja konsep pemikiran pendidikan menurut Harun Nasution?

4
3. Apa saja konsep pemikiran pendidikan menurut Az Zumardi Azzra?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan Zakiyah Darajat
2. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan Harun Nasution
3. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan Az Zumardi Azzra

BAB II

PEMBAHASAN
A. Konsep Pemikiran Pendidikan Menurut Zakiyah Darajat

Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan
dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih daripada
pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, sedang
pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala
aspek yang dicakupnya.

Zakiah Daradjat merupakan salah seorang psikolog muslim. Selain itu, dia pun memiliki
perhatian yang luar biasa terhadap pendidikan Islam. Karena latar belakang pendidikannya
dalam bidang psikologi, sehingga pemikiran pendidikannya pun cenderung ke arah
pendidikan jiwa terutama kesehatan mental. Adanya kecenderungan pemikiran yang
demikian, agaknya menjadi perbedaan yang signifikan dari para pemikir pendidikan Islam
yang lain. Baginya, pendidikan Islam mempunyai tujuan yang jelas dan tegas. Menurut
Zakiah, Islam memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu untuk membina manusia agar
menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya yang mencakup
perbuatan, pikiran, dan perasaan.

Ungkapan di atas bila ditelusuri lebih jauh akan memiliki implikasi dan cakupan yang
cukup luas. Membina manusia merupakan sebuah upaya untuk mengajar, melatih,
mengarahkan, mengawasi, dan memberi teladan kepada seseorang untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Pembinaan yang hanya memberikan pelajaran, latihan, dan arahan
akan menciptakan manusia yang tidak berjiwa. Sementara, pembinaan yang hanya
memberikan pengawasan dan teladan akan menciptakan manusia yang kurang kreatif. Oleh
karena itu, pembinaan yang baik mestinya mencakup semua upaya tersebut di atas.

Zakiah Daradjat dilahirkan  di “Jorong Koto Marapak, Nagari Lambah, Ampek Angkek,
Agam, Kotamadya Bukit Tinggi Sumatera Barat, 6 November 1929. Ayahnya, Haji
Daradjat Husain merupakan aktivis organisasi Muhammadiyah dan ibunya, Rafi'ah aktif di

5
Sarekat Islam”. Ia merupakan anak pertama dari pasangan tersebut. sejak kecil Zakiah
Daradjat telah ditempa pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Ia sudah
dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama dan dilatih berpidato
oleh ayahnya.  Zakiah Daradjat meninggal di Jakarta dalam usia 83 tahun pada 15 Januari
2013 sekitar pukul 09.00 WIB. Setelah disalatkan, jenazahnya dimakamkan di Kompleks
UIN Ciputat pada hari yang sama. Menjelang akhir hayatnya, ia masih aktif mengajar,
memberikan ceramah, dan membuka konsultasi psikologi. Sebelum meninggal, ia sempat
menjalani perawatan di Rumah Sakit Hermina, Jakarta Selatan pada pertengahan Desember
2012.

Semasa hidup, Zakiah Daradjat tidak hanya dikenal sebagai psikolog dan dosen, tetapi juga
Muballigh dan tokoh masyarakat. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin
Hidayat menyebut Zakiyah Daradjat sebagai pelopor psikologi Islam di Indonesia.
Sementara itu, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mencatat, Zakiah Daradjat adalah
sosok yang bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan. Umar menambahkan, sosok
Zakiah Daradjat seperti sosok Hamka dalam versi Muslimah.

Zakiah Daradjat juga secara konsisten memberikan perhatian yang sangat intensif terhadap
pendidikan agama, baik dalam keluarga maupun pada lembaga pendidikan lain, baik pada
jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Beliau juga menekankan perlunya
memahami karakteristik perkembangan dari peserta didik maupun kait-kiat untuk
mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi sehari-hari, baik yang disebabkan oleh
perkembangan individu tersebut maupun karena perkembangan-perkembangan masyarakat
yang sangat cepat di era ini. Beliau juga menekankan peran penting lembaga-lenbaga
pendidikan termasuk keluarga, terutama para pendidiknya.

Menurut Zakiah Daradjat “dengan memahami dan menguasai kiat-kiat tersebut nantinya
dapat memaksimalkan potensi-potensi yang ada pada mereka. Hal ini karena pendidikan
agama memiliki basis psikologi sebagai alat untuk memahami orang-orang atau individu-
individu penerima layanan jasa pendidikan. Prinsip-prinsip konseling yang beliau terapkan
merupakan salah satu pendekatan yang sangat efektif untuk diterapkan dalam berbagai
lingkungan pendidikan”.

Pendidikan islam ini sangat erat hubungannya dengan kesehatan mental, karena pendidikan
islam adalah unsur terpenting dalam pembangunan mental. Karena pentingnya agama
dalam pembangunan mental, maka pendidikan agama dilakukan secara intensif ditujukan
untuk memperbaiki kesehatan mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi
keperluan diri sendiri maupun orang lain. Pendidikan Islam dalam hal ini tidak hanya
bersifat teoritis saja, namun juga praktis. Karena dalam pendidikan islam berisi ajaran-
ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup
perseorangan dan bersama. Pendidikan agama ini merupakan bagian pendidikan yang amat
penting yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, antara lain akhlak dan
keagamaan. Sehingga dalam hal ini pendidikan agama tidak hanya menjadi tanggung jawab
keluarga saja, tetapi juga masyarakat serta pemerintah.

6
Pendidikan agama ini perlu dilaksanakan sebaik-baiknya karena hal ini dilakukan sebagai
salah satu upaya untuk menyelamatkan generasi muda yang akan datang. Oleh karena itu
upaya untuk menyelamatkan dan pembangunan ini memerlukan perhatian, terutama
keluarga, sekolah (lembaga pendidikan), pimpinan-pimpinan dan orang berwenang dalam
masyarakat, khususnya pemerintah. Pelaksanaan pendidikan ini juga tidak boleh berbeda
antara penddikan yang diterima di dalam rumah dan di sekolah, karena apabila hal ini
terjadi maka akan menghambat pembangunan kesehatan mental yang sehat, akan
membawa kepada kegoncangan iman dan keragu-raguan pada agama. Pelaksanan
pendidikan ini dapat tercermin dan terjadi dalam pengalaman, perlakuan dan percontohan
dalam hidup mental agama harus terjadi dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 

B. Konsep Pemikiran Pendidikan Harun Nasution

Harun Nasution adalah seorang tokoh pendidikan kenamaan di Indonesia yang lahir di
Pemantang Siantar, Sumatera Utara, pada hari Selasa 23 September 1919. Ayah beliau
bernama Abdul Jabar Ahmad yang merupakan seorang ulama di daerah Mandailing, Tanah
Bato, Tapanuli Selatan. Dari segi ekonomi, ayahnya adalah seorang berkecukupan serta
pernah menduduki jabatan sebagai qadhi, hakim agama dan imam masjid di Kabupaten
Simalungun.
Karena kemampuannya dalam bidang ekonomi ia berkesempatan pergi ke Mekkah untuk
melaksanakan ibadah Haji pada saat masih muda. Dan Ibunya adalah seorang keturunan
ulama yang berasal dari tanah Bato Mandailing, Tapanuli selatan. Pada masa gadisnya ia
pernah bermukim di Makkah dan pandai berbahasa Arab. Kemudian Harun Nasution
adalah anak ke empat dari lima bersaudara. Saudara pertama dari Harun Nasution bernama
M Ayyub, kedua M. Khalil, ketiga Sa’idah, dan yang terakhir adalah Hafsah. Kedua orang
tua Harun Nasution yang berpendidikan agama senantiasa memberikan kontribusi terhadap
dalam penanaman pendidikan agamanya.3 Terlebih Harun Nasution sendiri pernah
mengatakan : “Suasana keagamaan yang ditanamkan ibuku di rumah benar-benar
membekas dalam hatiku. Ibuku menetapkan disiplin keras, di rumah aku belajar mengaji
sejak pukul empat hingga lima sore mengaji Alquran dengan suara keras hingga waktu
Isya’.

Kalau bulan puasa bertadarus di masjid hingga jam dua belas malam. Setiap pagi aku
bangun subuh untuk shalat berjamaah”. Dalam dunia pendidikan, Harun Nasution telah
menempuh beberapa pendidikan di Sekolah formal. Ia pertama kali sekolah dengan masuk
pada Sekolah Dasar milik Belanda pada waktu itu atau yang sering disebut dengan
Hollandsch-InLandshe School (HIS). Harun Nasution menyelesaikan studinya di sekolah
tersebut selama tujuh tahun dan lulus pada usia 14 tahun. Selama mengikuti pendidikan di
sekolah dasar Belanda tersebut, Ia berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu
pengetahuan umum. Setelah itu pada tahun 1934 Ia meneruskan studinya ke Moderne
Islamietische Kweekschool (MIK) dan tamat di sekolah tersebut pada tahun 1937. Sekolah
tersebut adalah sekolah guru menengah swasta pertama modern yang ditempuh selama tiga
tahun. Ia belajar di sana dengan bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.

7
Dalam jenjang pendidikan tinggi, Harun Nasution berkesempatan untuk menempuh
pendidikan di Universitas Al Azhar Kairo Mesir Fakultas Ushuludin pada tahun 1940.
Tidak hanya bersekolah di Al Azhar saja, Harun Nasution juga berkesempatan memasuki
Universitas Amerika, Kairo dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam studi sosial
pada tahun 1952. Selepas mengenyam pendidikan di Mesir, Harun Nasution kembali ke
Indonesia pada tahun 1953, dan di tugaskan di Departemen Luar Negeri Bagian Timur
Tengah kala itu. Selama tiga tahun sejak tahun 1955 Ia bertugas di Brussel dan banyak
mewakili berbagai pertemuan, terutama karena kemampuannya bahasa Belanda, Perancis
serta Inggris. Setelah itu Harun Nasution melanjutkan perjalanan studinya ke Mesir
tepatnya di Al Dirasah Al Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat
dilanjutkan. Akhirnya Ia menerima beasiswa dari Institute Of Islamic Studies McGill di
Montreal Kanada sehingga pada tahun 1962 ia melanjutkan studinya di Universitas
tersebut. Kemudian pada tahun 1965 Harun Nasution berhasil memperoleh gelar Magister
of Art (MA) dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The Islamic State in Indonesia : The
Rise of The Ideology, The Movement for Its Creation and The Theory of The Masjumi.
Tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1968 , Harun Nasution mendapatkan gelar
Doktor (Ph.D) dalam Studi Islam di McGill Kanada, dengan disertasi yang berjudul : The
Place of Reason in Abduh’s Theology. Its Impact on His Theological System and Views .

Setelah mendapatkan gelar Doktor, pada tahun 1969 Harun Nasution kembali ke Indonesia
dan melanjutkan karirnya sebagai profesional tenaga pendidikan di IAIN Jakarta. Di
samping itu beliau juga menjabat sebagai tenaga pendidik (dosen luar biasa) di IKIP
Jakarta pada tahun 1970, Dosen di Universitas Nasional Jakarta tahun 1970, dan Fakultas
dosen Sastra di Universitas Indonesia Jakarta (UNJ) pada tahun 1975. Tidak hanya itu karir
beliau juga merambah pada jajaran jabatan tinggi dii kampus, beliau menjadi rekor di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), selain itu beliau menjabat
sebagai ketua lembaga pembinaan pendidikan agama di IKIP Jakarta dan terakhir menjadi
dosen Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1982 hingga akhir
hayatnya pada tahun 1998. Gagasan utama dari Harun Nasution adalah tentang mengubah
pola pikir masyarakat luas tentang Islam, maka beliau menjadi orang pertama lulusan timur
tengah yang banyak sekali membawa pembaharuan. Harun Nasution adalah contoh alim,
yakni seorang yang mempunyai perspektif bahwa ilmu pengetahuan tidak memiliki batas
dan yang ada adalah perbatasan.

Karena dalam mencari ilmu banyak jalan, jadi artinya sumber kebahagiaan tertinggi itu
ialah orang yang senantiasa mencari, selalu bertanya, selalu ingin tahu apa sebenarnya yang
sedang terjadi, mereka yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu agama adalah
dianggapnya sebagai jalan. Karena menyadari hal ini, Harun Nasution terus berjalan dan
terus mencari dalam arti yang seluas-luasnya adalah merupakan ciri khas dari pemikiran
Harun Nasution . Pemberharuan yang tidak terbatas dalam bidang pemikiran saja seperti
teologi, filsafat, mistisisme dan hukum, dan juga meliputi seluruh segi kehidupan kaum
muslimin. Corak pemikiran Harun Nasution sangat terlihat seperti mengadopsi tradisi
intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat), tetapi hampir sepenuhnya mewarisi dasar-
dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Beliau sangat menguasai pemikiran para filosuf
Islam dan termasuk pakar dalam dunia tasawuf membuatnya dapat merumuskan konsep

8
yang akurat tentang pemikirannya guna membangun masyarakat muslim Indonesia, Beliau
selalu menyebutkan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya dijewantahkan melalui
emosi keagamaan yang meluap-luap, tetapi harus didasarkan pemikiran yang mendalam
filosofis dan menyeluruh terhadap ajaran agama Islam tersebut.

Untuk mewujudkan hal tersebut Harun Nasution memiliki langkah yang tepat yang sering
disebut dengan “Gebrakan Harun”. Ada tiga langkah yang dimaksud yaitu : 1. Meletakkan
pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya dalam Islam
terdapat dari dua ajaran pokok yatiu a. Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar,
universal kekal, tidak berubah dan tidak diubah. Yang dimaksud dengan kelompok ini
adalah ajaran yang terdapat dalam Qur’an dan Hadits mutawatir. b. Ajaran yang bersifat
absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal dan boleh diubah. Yang berada dalam
kelompok ini adalah ajaran yang dihasilkan oleh para ulama. 2. Langkah pertama yang
beliau lakukan ketika diberikan mandat sebagai rektor IAIN Jakarta pada tahun 1973
adalah merevisi kurikulum IAIN di seluruh Indonesia. Hal yang paling terlihat adalah
ketika mata kuliah pengantar ilmu agama, filsafat, teologi dan metode riset di masukkan
dalam kurikulum IAIN guna mengubah pandangan mahasiswa tentang Islam. 3. Di tahun
1982, bersama dengan menteri Agama kala itu berusaha untuk membentuk fakultas
pascasarjana karena kala itu belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan
pimpinan umat Islam masa depan.

Adapun beberapa karya intelektual yang telah di tulis oleh Harun Nasution dalam beberapa
buku adalah sebagai berikut : 1. Teologi Islam aliran-aliran sejarah analisis perbandingan
(1972) 2. Falsafat Agama (1973) 3. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1973) 4. Islam
ditinjau Dari Beberapa Aspek (1974) 5. Teologi Islam (1977) 6. Pembaruan Dalam Islam
(1975) 7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1978) 8. Akal dan Wahyu
dalam Islam (1982) 9. Islam Rasional (1995).11 Pemikiran Harun Nasution Tentang
Pendidikan 1. Hakikat Pembaharuan Pendidikan Islam Harun Nasution Menurut Harun
Nasution, istilah pembaharuan tidak lepas dengan kata modernisasi. Dalam bahasa
Indonesia, kata modern, modernisasi, dan modernisme seperti yang terdapat dalam istilah
“aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam modernisasi”. Modernisme dalam
masyarakat Barat berarti aliran, gerakan dan pemahaman guna mengubah paham-paham
adat-istiadat, institusi-institusi lama untuk diselaraskan atau disesuaikan dengan suasana
yang baru. Di dunia barat pemahaman modernisme ajaran agama bertujuan untuk
menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu
pengetahuan dan Falsafah Modern, hal tersebut menyebabkan adanya Aliran Sekularisme
di dunia Barat.

Pendidikan Dalam pembaharuan Islam yang di gagas oleh Harun Nasution adalah upaya
menyelaraskan antara pembaharuan pandangan ber Islam dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di dunia modern. Maksudnya adalah pembaharuan pandangan
dalam Islam bukan berarti mengurangi, menambah atau teks dalam Alquran maupun teks
dalam hadits, akan tetapi Harun Nasution berupaya mengubah atau menyesuaikan
pemahaman atas dua teks tersebut sesuai dengan keadaan perkembangan zaman. Pada
hakikatnya pembaharuan pendidikan Islam merupakan usaha reinterpretasi berkelanjutan
dan secara eksplisit di tujukan terhadap mengembangkan fitrah keberagamaan (religiusity)

9
peserta didik (mahasiswa) agar supaya lebih mampu dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam sesuai dengan semangat kemajuan zaman. Implikasi dari
pengertian ini adalah pendidikan Agama Islam merupakan komponen yang tidak
terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
semangat pembaharuan memosisikan pendidikan Islam sebagai jalur pengintegrasian
wawasan agama dengan bidang-bidang studi (pendidikan) yang lain. Implikasi lebih lanjut
mengenai pemberharuan Islam adalah, pendidikan agama harus dilaksanakan sejak usia
dini melalui pendidikan keluarga sebelum anak memperoleh pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu yang lain.

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa semangat dari pembaharuan Islam
adalah untuk membentuk terwujudnya insan kamil yang berlandaskan Alquran dan Sunnah.
Dengan demikian diharapkan seseorang yang telah paham akan gebrakan Harun Nasution
tersebut bisa memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak
hanya serta merta langsung dari Allah, tanpa bisa di rasio dengan akal manusia. Artinya
segala fenomena yang terjadi di alam semesta ini pasti ada hukum kausalitasnya. Memang
segala sesuatu akan terjadi karena takdir Allah namun ada sebab akibat (kausalitas) yang
bisa dinalar oleh pikiran manusia dengan berlandaskan sumber-sumber Islam baik Alquran
dan Assunah. Misalnya dalam Alquran Qs Azzumar 39;21 diterangkan bahwa Allah
menurunkan hujan dari langit ke muka bumi ini adalah sebagai sumber-sumber kehidupan
bagi makhluk hidup. Ditinjau dari hal tersebut dengan pemikiran Islam Rasional yang di
gagas oleh Harun Nasution mengantarkan pemikiran bahwa memang benar Allah lah yang
menciptakan adanya hujan namun lebih dari itu proses terjadinya hujan dari langit dan
turun ke bumi bisa di kaji lebih lanjut dengan rasio manusia. Artinya terjadinya hujan di
muka bumi ini ada sebab akibat (hukum kausalitas) yang mempengaruhinya. Terjadinya
hujan disebabkan oleh proses kondensasi di awan yang mengubah awan menjadi molekul
air, terjadinya awan disebabkan oleh adanya proses evaporasi air laut yang kemudian
mengubah air menjadi awan dan seterusnya hingga menjadi lah siklus hujan. Dari sedikit
gambaran tentang siklus hujan itu menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam
semesta ini pasti ada hukum kausalitasnya atau hukum sebab akibat. Harun Nasution juga
melakukan sebuah gebrakan dalam pengembangan sistem pendidikan di bidang akademik
khususnya pendidikan perguruan tinggi.

Dalam tradisi akademik perguruan tinggi Islam di Indonesia, ada tiga perubahan dan
pembaharuan sistem yang diupayakannya yaitu sebagai berikut : a. Memasukan strategi
pembelajaran yang mengasah kemampuan pemikiran mahasiswa tentang Islam seperti
diskusi dan seminar. Karena sebelumnya sistem pembelajaran di perkuliahan dinilai feodal.
b. Harun Nasution menuntut mahasiswanya untuk menulis. Hal tersebut ditujukan untuk
melatih kemampuan mahasiswa untuk menuangkan ide dan gagasannya tidak hanya di
lontarkan lewat lisan namun ditulis dengan kaidah penulisan yang sistematis. c. Mahasiswa
dituntut untuk memahami Islam secara universal. Dominasi pendekatan fiqih selama ini
dalam sistem pengkajian Islam membuat kajian Islam agak mandek.

Ruang Lingkup Pendidikan Menurut Harun Nasution


a. Hubungan Antara Agama dan Moral Hubungan agama dengan moral sangat erat sekali
dan merupakan hal yang esensial. Demikian juga halnya dengan Islam. Di dalam Al-Qu’an

10
banyak terdapat ajaran-ajaran mengenai akhlak. Dan Nabi Muhammad sendiri menjelaskan
bahwa beliau diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan ajaran-ajaran mengenai budi
luhur.16 Dalam Pendidikan agama terutama di TK, SD, SMP, SMA, pendidikan moral
inilah rasanya yang perlu diutamakan. Pelajaranpelajaran mengenai keagamaan lain,
terutama ibadah sebaiknya dihubungkan dengan pendidikan moral ini. Di Perguruan tinggi,
pendidikan moral masih dapat dilanjutkan, tetapi di sini yang perlu ditekankan adalah
pendidikan spiritual dan pelajaran rasional tentang ajaran agama.
b. Kurikulum Penyusunan kurikulum atau silabus pendidikan agama di sekolahsekolah
umum sebaiknya didasarkan pada hal-hal berikut: Untuk TK dan tahun-tahun pertama SD
mencakup: (1) mengenal Tuhan sebagai pemberi dan sumber dari segala yang dikasihi dan
disayangi anak didik (2) berterima kasih atas pemberian-pemberian itu, (3) pendidikan:
jangan menyakiti orang lain, binatang dan tumbuhtumbuhan, (4) pendidikan berbuat baik
dan suka menolong orang lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan, (5) pendidikan sopan
santun dalam pergaulan. Untuk SMP dan selanjutnya meliputi: (1) kenal dan cinta kepada
Tuhan sebagai yang maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun, (2) Ibadah sebagai tanda
terima kasih kepada Tuhan atas nikmat-Nya, (3) memperdalam rasa sosial dan kesediaan
menolong orang lain, binatang dan lain-lain, (4) ajaran dan didikan tentang akhlak Islam,
(5) pengetahuan tentang agama islam seperti tauhid, fiqh, dan lain-lain, sekadar perlu dan
sesuai dengan perkembangan anak didik.

Untuk SMP dan SMA mencakup: (1) memperdalam hal-hal tersebut dalam sub SD di atas,
(2) ibadah di sini diajarkan sebagai latihan spiritual sebagai pendekatan terhadap Tuhan
Tujuannya ialah memperoleh kesucian dan ketentraman jiwa, (3) pengetahuan tentang
agama diperdalam dan diperluas, (4) menanamkan rasa toleransi terhadap mazhab-mazhab
yang ada di dalam agama, (5) dedikasi terhadap masyarakat. Untuk Tingkat PT mencakup:
(1) memperdalam rasa keagamaan dengan pendekatan spiritual dan intelektual, (2) Ibadah
sebagai didikan mahasiswa untuk merendahkan hati, di samping berpengetahuan tinggi,
tidak merasa takabur tapi sadar bahwa di atasnya masih terdapat Zat yang Maha
Mengetahui dan berkuasa dari manusia manapun, (3) memperluas pengetahuan agama
secara global, (4) memperdalam rasa toleransi, (5) memperdalam rasa dedikasi terhadap
masyarakat.19 c. Metode Karena tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pendidikan
moral, maka metode yang sebaiknya dipakai ialah: (1) Pemberian contoh dan teladan, (2)
Nasihat, (3) tuntunan dalam menyelesaikan persoalan, (4) kerjasama dengan lingkungan,
(5) kerjasama dengan pendidik lainnya, (6) Tanya jawab dalam hal intelektual

Kualitas Pendidik Agama Menurut Harun Nasution ada beberapa syarat-syarat yang perlu
bagi pendidik agama antar lain: (1) menjadi teladan, (2) menguasai ilmu pengetahuan, (3)
mempunyai pengetahuan yang luas tentang agama selalin pengetahuan yang menjadi
jurusan, (4) mempunyai pengetahuan yang seimbang dengan pengetahuan siswa.

C. Konsep Pemikiran Pendidikan menurut Az Zumardi Azzra

Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, sebuah daerah kecil di Sumatera Barat, pada
tanggal 04 Maret 1955(Dwifatma, 2011). Menikah dengan Ipah Farihah, dikaruniai 4 anak:
Raushanfikri Usada, Firman El-Amny Azra, Muhammad Subhan Azra, dan Emily Sakina
Azra. Pendidikan yang ditempuhnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun

11
1982, Master of Art (M.A.) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah,
Columbia University tahun 1998, Master of Philosophy (M.Phil.) pada Departemen
Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree tahun 1992,
dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network
of Middle Eastern and Malay-Indonesian „Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth
Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra
(Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri
Belanda (KITLV Press).

Pada awalnya sesungguhnya Azyumardi tidaklah berobsesi atau bercita-cita menggeluti


studi keIslaman. Sebab, Dia lebih berniat memasuki bidang pendidikan umum di IKIP.
Adalah desakan ayahnya, yang menyuruh Azyumardi masuk ke IAIN sehingga dia kini di
kenal sebagai tokoh intelektual Islam Indonesia. Dia lahir dari ayah Azikar dan Ibu
Ramlah. Azyumardi Azra kini dikenal sebagai Profesor yang ahli sejarah, sosial dan
intelektual Islam dan tak kurang telah menulis 18 buku tentang Islam. Koleksi bukunya
sudah mencapai sekitar 15.000 judul buku. Di tahun 2001, Azyumardi Azra memperoleh
kepercayaan sebagai Profesor Tamu Internasional pada Departemen Studi Timur Tengah,
New York University (NYU). Sebagai dosen dia antara lain memberi ceramah dan kuliah
pada NYU, Harvard University (di Asia Centre), serta pada Columbia University.

Dia juga dipercaya menjadi pembimbing sekaligus penguji asing untuk tesis dan disertasi
di University Malaya, University Kebangsaan Malaysia, University of Leiden, University
of Melbourne, Australian National University,dan lain-lain. Selain menulis beliau juga aktif
mempresentasikan makalah pada berbagai seminar dan workshop nasional maupun
internasional. Pria yang pernah tercatat sebagai wartawan “Panji Masyarakat” di tahun
1979-1985 ini telah menulis dan menerbitkan buku antara lain berjudul Jaringan Ulama
(tahun 1994), Azyumardi Azra : Pembaruan Pemikiran 21 Dan Kelembagaan Pendidikan
Islam Di Indonesia Wahyuddin Noor Pergolakan Politik Islam (1996), Islam Reformis
(1999), Konteks Berteologi di Indonesia (1999), Pendidikan Islam : Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru (1999), Esei-Esei Pendidikan Islam, dan Cendikiawan
Muslim (1999), Renaisans Islam di Asia Tenggara (buku yang memenangkan penghargaan
nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora di tahun
1999, Islam Substantif (2000), Historiografi Islam Kontemporer (2002), Paradigma Baru
Pendidikan Nasional (2002), Reposisi Hubungan Agama dan Negara (2002), Menggapai
Solidaritas (2002), Konflik Baru Antar Peradaban, Islam Nusantara; Jaringan Global dan
Lokal, dan Surau; Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi (2003);
Shari‟a and Politics (2004).

Pada tahun 2002, ia memperoleh award sebagai Penulis Paling Produktif dari Penerbit
Mizan (Nata & Nasuhi, 2002). 2. Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia Pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, secara historis terkait dengan aktivitas dan
praktek penyebaran agama Islam. Pendidikan Islam selama ini berperan sebagai mediator,
di mana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatan.
Melalui pendidikan inilah, masyarakat muslim Indonesia dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan al-Qur‟an dan Sunnah Nabi SAW (H
Abuddin Nata, 2012).

12
Namun dalam perjalanannya, pendidikan Islam seringkali berhadapan dengan berbagai
problematika yang tidak ringan, seperti komponen-komponen pendidikan (Sudirman, n.d.)
yang berjalan apa adanya, alami dan tradisional dan tanpa perencanaan konsep yang
matang. Tujuan pendidikan Islam, misalnya, seringkali hanya diarahkan untuk
menghasilkan manusia-manusia yang hanya menguasai ilmu Islam an sich, taat beribadah
dan gemar beribadah untuk tujuan akhirat. Akibatnya, lulusan pendidikan Islam hanya
memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu hanya sebatas pengawal moral
bangsa, dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan lapangan kerja yang tersedia.
Selain itu, secara metodologi, pendidikan Islam dalam praktik pembelajarannya pun selama
ini hanya terpaku pada aspek kognitif semata dan mengabaikan pembinaan aspek afektif
dan konatif-volitif. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan,
antara gnosis dan praxis (Muhaimin, 2005).
Bahkan Atho Mudzhar mengemukakan hasil studi Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
tahun 2000, bahwa kemerosotan moral dan akhlak peserta didik disebabkan salah satunya,
akibat kurikulum pendidikan agama yang terlalu padat materi, dan materi tersebut lebih
banyak mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran peserta didik
atas keberagamaan yang utuh(Sudirman, n.d.).

Persoalan di atas diperparah dengan tidak memadainya tenaga pendidik Islam yang
profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu secara baik dan
benar, juga didukung oleh idealisme dalam mendidik. Para pendidik Islam, secara umum
belum dapat dikatakan profesional. Ini diakibatkan oleh adanya sumber daya pendidik yang
rata-rata di bawah kategori bibit unggul, serta lebih didasarkan pada motivasi keagamaan,
dan bukan kompetensi professional (Nata & Nasuhi, 2002). Dari aspek kelembagaan,
tampaknya kita pun tidak bisa terlalu optimis –bahkan bisa jadi psimis. Para pengelola
lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia sedang dihadapkan pada situasi yang
sangat sulit. Umumnya lembaga-lembaga pendidikan Islam memiliki skor akreditasi yang
rendah. Masih banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang belum dikelola secara
profesional dan di satu sisi, hanya menjadi lahan mencari nafkah bagi suatu keluarga atau
kelompok tertentu; menjadi tempat penampungan para sarjana yang belum mendapat
pekerjaan tetap; dan menjadi lahan seseran bagi tenaga-tenaga nyambi (part timer) (Sirozi,
2004).Akibatnya, sebagian besar lembaga pendidikan Islam di negeri ini masih terseok-
seok, „hidup segan mati tak mau‟, sehingga sulit dibedakan apakah lembagalembaga
tersebut ada atau tidak ada. Pada sisi yang lain, kebanyakan lembaga pendidikan Islam juga
masih dikelola dengan semangat “keikhlasan”, sehingga tidak terjadi esensial dalam
pendidikan Islam. Tanpa harus mengorbankan semangat keikhlasan dan jiwa pengabdian,
sudah waktunya sistem dan lembaga pendidikan Islam dikelola secara profesional, bukan
hanya dalam soal penggajian, pemberian honor, tunjangan atau pengelolaan administrasi
dan keuangan.

Profesionalisme mutlak pula diwujudkan dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar,


kurikulum dan pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut di
atas, setidaknya telah memberikan gambaran bahwa, pendidikan Islam, secara konseptual
dan aplikatif, masih menyisakan berbagai persoalan. Meski tetap dalam batas-batas
pemakluman, karena agenda pembaruan pendidikan sesungguhnya tidak akan pernah
berhenti dan selesai, seiring permasalahan yang seringkali muncul. Ibarat patah tumbuh

13
hilang berganti, selesai memecahkan masalah, muncul masalah lain yang kadang tidak
kalah rumitnya (Suyanto, 2000). Namun yang pasti, upaya-upaya untuk mengatasi
persoalan tetap harus diikhtiarkan, sehingga pendidikan dapat hidup berdampingan secara
harmonis bersama dengan tuntutan zaman. Kondisikondisi inilah yang menyebabkan
muculnya para pemikir dan pembaru pendidikan, termasuk Azyumardi. Pembaruan
(Indonesia, 1990) atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, dalam pandangan
Azyumardi Azra, sesungguhnya sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan
modernisme Islam di kawasan ini. Gagasan modernisasi Islam yang menemukan
momentumnya sejak awal abad 20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan
pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang hampir secara menyeluruh
mengadopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda (Azra & Thaha, 2012).

Pembaruan Pendidikan Islam Azyumardi Azra Pembaruan pendidikan Islam, menurut


Jusuf Amir Faisal, merupakan suatu usaha multidimensional yang kompleks, dan tidak
hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan, tetapi,
terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan
yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru”, dan selalu berorientasi pada perubahan
masyarakat (Faisal & Jusuf, 1995). Berdasarkan pemaparan di atas, menurut hemat penulis,
pembaruan pendidikan Islam yang digagas Azyumardi Azra meliputi dua hal: pertama,
pembaruan pemikiran pendidikan Islam, dan kedua, pembaruan kelembagaan pendidikan
Islam. Pembagian ini didasari, setidaknya bahwa Azyumardi Azra merupakan
cendekiawan, pemikir dan intelektual yang bergumul dengan realitas birokrasi
kelembagaan, yang tidak bisa ditangani dengan konsep dan wacana serba abstrak, teoritis
dan rumit.

Azyumardi juga lebih dipandang sebagai „intelektual organik‟ yakni pemikir yang
revolusioner dan kritis serta mendedikasikan diri untuk perubahan terus menerus demi
kebaikan masyarakat. a. Pembaruan Pemikiran Pendidikan Islam 1) Modernisasi
Pendidikan Islam Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa beberapa gagasan dan program
modernisasi pendidikan Islam mempunyai akarnya dalam gagasan dan program
modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Baginya, modernisasi
pemikiran dan kelembagaan merupakan prasyarat kebangkitan dari kaum muslimin di masa
modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam, termasuk pendidikan sejatinya
haruslah dimodernisasi dan diperbarui sesuai dengan kerangka modernitas (Azra & Thaha,
2012). Dengan mendasarkan pada bidang keahlian sejarah, Azyumardi mengajukan saran-
saran upaya modernisasi pendidikan Islam tersebut antara lain melalui pengembangan
kajian Islam sebagai disiplin keilmuan universitas, peningkatan kualitas sumber daya
manusia serta pembentukan sekolah-sekolah yang unggul. Namun demikian, modernisasi
pendidikan Islam yang digagas Azra adalah modernisasi yang didasarkan pada ajaran Islam
yang pada prinsipnya sangat modern, yaitu bagaimana suatu pengetahuan bukan hanya
untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus untuk dipraktekkan dalam
kehidupan nyata. Pengamalan ilmu pengetahuan model ini sebagai wujud
pertanggungjawaban kepada Tuhan dan masyarakat manusia dan menjadi karakteristik
pendidikan Islam.

14
Dengan demikian, Azra menekankan perlunya dilakukan modernisasi pada segenap aspek
kehidupan masyarakat muslim, terlebih salah satunya terkait dengan konsep pemikiran
yang merupakan landasan bagi segenap aktivitas dan ide-ide. Kerangka berpikir selayaknya
mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Diperlukan
pemikiran yang terbuka dengan wawasan yang luas dan adaptif agar mampu menyeleksi
trend dan perkembangan gaya hidup. Dengan pemikiran serta wawasan yang terbuka juga
mampu menyaring perkembangan dan kemajuan teknologi yang relevan sebagai bentuk
pelayanan terhadap publik. Pemikiran pendidikan Islam lain yang sempat diteropong
Azyumardi, adalah tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Azra, tujuan pendidikan
Islam ialah terbentuknya kepribadian utama berdasarkan nilai-nilai dan ukuran Islam, tetapi
seperti pendidikan umum lainnya, tentunya pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan-
tujuan yang lebih operasional sehingga dapat dirumuskan tahap-tahap proses pendidikan
Islam mencapai tujuan lebih jauh. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud adalah tujuan
pertama-tama yang hendak dicapai dalam proses pendidikan itu. Tujuan itu merupakan
“tujuan antara” dalam mencapai “tujuan akhir” yang lebih jauh. Tujuan antara itu,
menyangkut perubahan yang diinginkan dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan
dengan pribadi anak didik, masyarakat maupun lingkungan tempat hidupnya atau dapat
juga dikatakan tujuan individual, sosial dan profesional (Basri, 2013). Dengan demikian,
pendidikan Islam dalam pandangan Azra, sejatinya tidak mengenal dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu umum.

Menurutnya, kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti berorientasi pada pembinaan
dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan
penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara
ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan dan membina sumber daya
manusia seutuhnya, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkeimanan
dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan programatis
dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti (Azra & Thaha,
2012). Itu artinya, kurikulum pendidikan Islam perlu melakukan pengembangan (Azra &
Thaha, 2012), sehingga menghasilkan kurikulum yang kolaboratif, akomodatif dan
berkarakteristik idealoperasional (Gunawan, 2014). Selain pembaruan pemikiran di atas,
gagasan pembaruan pendidikan Islam lainnya yang dikemukakan Azyumardi Azra, juga
terkait dengan pemikiran pembaruan pendidikan pesantren (Prasojo, 1974), dan surau
(Azra & Thaha, 2012). Dalam konteks pesantren yang ada di Indonesia, Azra mencoba
menganalisis tentang sebab-sebab mengapa pesantren dapat terus bertahan dalam
menghadapi modernisasi. Hal ini karena, menurut Azra, pesantren mampu merespon
perkembangan yang terjadi di sekitarnya tanpa meninggalkan ciri aslinya, seperti
mendirikan madrasah di kompleks pesantren, bahkan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dan departemendepartemen lain yang terkait dengan lembaga yang didirikan di pesantren.
Tetapi, sekali lagi, pembaruan pendidikan pesantren, tampaknya sudah menjadi keharusan
sejarah. Dan, modernisasi ini akhirnya dikukuhkan dengan Undang-undang Sisdiknas No.
20 Tahun 2003 yang mengakui sistem pendidikan Islam, termasuk pesantren.

Selanjutnya mengenai surau, Azra mengatakan bahwa surau dengan sistem pendidikannya
yang khas kembali mencapai puncak kejayaannya setidaknya hingga dasawarsa kedua abad

15
ke20, ketika pendidikan sekular Belanda dan madrasah diperkenalkan kelompok muslim
modernis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa pendidikan surau tetap memainkan peran
penting bagi masyarakat Minangkabau sepanjang abad ke-19. Namun dalam masa
kemerdekaan, hanya beberapa surau saja yang bertahan, bahkan di masa-masa lebih akhir
sebagiannya mulai menamakan diri sebagai “pesantren”. Sedangkan surau sendiri
kemudian lebih sekadar tempat belajar membaca al-Qur‟an atau arena sosialisasi anak-
anak dan remaja. 2) Demokratisasi Pendidikan Islam Menurut Azyumardi Azra,
demokratisasi adalah proses menuju demokrasi. Sedangkan demokratisasi pendidikan,
adalah proses menuju demokrasi di bidang pendidikan. Artinya, demokratisasi pendidikan
Islam dalam perspektif Azra, sama halnya dengan proses menuju demokrasi di dalam
pendidikan Islam (Istanto, 2009). Dalam konteks ini, pendidikan merupakan sarana
strategis bagi penciptaan demokrasi. Dan cara paling strategis “mengalami demokrasi”
(experiencing democracy) adalah melalui apa yang disebut sebagai democracy education.
Pendidikan demokrasi dapat dipahami sebagai sosialisasi, diseminasi dan aktualisasi
konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan. Selanjutnya Azra
menegaskan bahwa, dalam banyak hal, pendidikan demokrasi identik dengan “pendidikan
kewargaan” (civic education), meskipun pendidikan kewargaan lebih luas cakupannya
daripada pendidikan demokrasi. Namun yang jelas, keduanya berupaya menumbuhkan
civic culture dan civility di lingkungan pendidikan, yang pada gilirannya akan menjadi
kontribusi penting bagi pengembangan demokrasi yang baik dan otentik pada
Negarabangsa Indonesia. Sejalan dengan pendapat Azra, Syafi‟i Maarif mengemukakan
bahwa proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi kiranya dapat dilakukan melalui
proses pendidikan.

Dalam kaitan ini, perwujudan sistem pendidikan yang demokrasi merupakan keniscayaan
yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat dalam proses
pendidikan. Demokratisasi pendidikan merupakan salah satu gagasan kunci dalam wacana
pendidikan kritis, selain itu, ia juga sebagai prasyarat penting bagi pertumbuhan sistem
politik demokrasi. Pasalnya, melalui proses inilah diharapkan nantinya dapat muncul
manusia-manusia yang berwatak demokratis, berjiwa merdeka, berpikir kritis, berakhlak
dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik demokratis. Sehingga akan tumbuh civil
society di lingkungan pendidikan. Menurut Azra, demokratisasi pendidikan Islam bertujuan
akhir pembentukan masyarakat Indonesia yang demokrasi, bersih, kritis, bermoral, dan
berakhlak serta berpegang teguh pada nilai keadaban.

Selain itu, Azra juga mengemukakan beberapa ciri demokratisasi pendidikan Islam, yaitu:
a). Adanya kurikulum yang dinamis dan memberikan ruang bagi terwujudnya kreatifitas
peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubaha sosial. b). Perubahan
paradigma pendidikan Islam, merubah paradigma dari otoriter ke demokratis, tertutup ke
keterbukaan, doktiner ke partisipatoris. c). Adanya sinkronisasi antara lembaga-lembaga
pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat, di mana pendidikan yang berorientasi
pembebasan dapat tercapai. Dengan demikian, Pendidikan Islam, bukan hanya sekadar
proses penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi.
Tetapi yang paling urgen adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan
pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force)
dari himpitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi

16
(Rahmat, 1986). b. Pembaruan Kelembagaan Pendidikan Islam Pembaruan kelembagaan
pendidikan Islam Azyumardi Azra dapat ditelusuri dari kebijakan yang diambilnya selama
ia menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meliputi: 1) Perubahan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terjadinya IAIN menjadi UIN tersebut
dilakukan oleh serangkaian kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh para
pejabat UIN setahap demi setahap.

Dalam kaitan ini paling kurang ada tiga tahap yang memengaruhi terjadinya perubahan
tersebut. Pertama, tahap perintisan dan penjajagan yang dilakukan di zaman Harun
Nasution sebagai rektor. Sebagai seorang yang berpikiran modern dan rasional, Harun
Nasution melihat bahwa IAIN yang ada sekarang sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan
zaman. Sejak berdirinya IAIN sebagai ADIA di tahun 1957 hingga tahun 1980-an sudah
perubahan banyak terjadi baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan,
kemajuan ilmu pengetahuan, pola kerja, dan lain sebagainya. Perubahan tersebut menuntut
adanya manusia-manusia yang berbeda dengan manusia-manusia pada masyarakat agraris.
Sekarang manusia hidup di era industrialisasi yang serba modern. Era ini membutuhkan
manusia selain yang memiliki akhlak dan kepribadian yang baik, juga harus menguasai
ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan berwawasan modern seperti inovatif,
kreatif, progresif, demokratis, ulet, kerja keras, menghargai waktu, berpandangan jauh ke
depan dan dinamis. Jika IAIN ingin tetap eksis dan dibutuhkan zaman, maka ia harus
mengadakan penyesuaian dengan berubah menjadi universitas. Untuk lebih mematangkan
gagasan ini, di zaman Harun Nasution dilakukan serangkaian penelitian, seminar, studi
banding ke berbagai negara, dan sebagainya untuk mendapat masukan. Kedua, tahap
pelanjutan dan pematangan konsep. Tahap ini terjadi pada zaman Quraish Shihab sebagai
rektor. Setelah Harun Nasution tidak menjabat sebagai rektor, gagasan untuk melakukan
perubahan IAIN menjadi UIN mengalami kevakuman beberapa saat. Di zaman Quraish
Shihab upaya melakukan perubahan IAIN menjadi UIN tersebut dilanjutkan kembali.

Upaya ini dilakukan dengan cara menyusun proposal perubahan IAIN menjadi UIN yang
lengkap dan komprehensif di bawah koordinasi Azyumardi Azra, sebagai Pembantu Rektor
Bidang Akademik. Di dalam proposal tersebut dikemukakan alasan-alasan yang mendasari
perubahan tersebut secara lengkap dan meyakinkan, penambahan fakultas serta berbagai
perangkat dan sarana prasarana yang dibutuhkan, termasuk aspek anggaran yang
dibutuhkan. Di antara alasan yang mendasari perubahan IAIN menjadi UIN adalah a).
Untuk memberikan peluang mendapatkan pendidikan tinggi yang lebih luas kepada para
tamatan madrasah. Hal ini tterjadi, karena dengan berubahnya IAIN menjadi UIN akan
bertambah fakultas dan program studi yang berdampak pada penambahan jumlah
mahasiswa yang dapat diterima; b). Agar tamatan UIN dapat memasuki dunia lapangan
yang lebih luas. Hal ini terjadi, karena dengan dibukanya fakultas-fakultas umum di
samping fakultas-fakultas agama yang telah ada, tamatan UIN tidak hanya dapat bekerja di
lembaga-lembaga keagamaan seperti Departemen Agama (saat ini Kementerian Agama),
madrasah dan pesantren, melainkan juga dapat bekerja di berbagai sektor yang lebih luas
seperti di perbankan, perusahaan-perusahaan industri dan jasa, serta berbagai kegiatan
lainnya; c). Agar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat menampung tamatan Madrasah
Aliyah yang keadaannya sudah berubah menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang

17
bercorak keagamaan. Diketahui bahwa sejak tahun 1994 telah terjadi perubahan pada
kurikulum Aliyah dari yang semula sebagai kurikulum untuk sekolah menengah
keagamaan menjadi kurikulum SMU yang bercorak keagamaan. Dengan demikian, lulusan
Madrasah Aliyah sudah tidak lagi sama dengan lulusan Madrasah Aliyah pada tahun-tahun
sebelumnya.

Jika lulusan Madrasah Aliyah sebelumnya yang bercorak agama sangat cocok untuk masuk
ke IAIN, maka setelah terjadinya perubahan kurikulum tersebut, tamatan Aliyah sudah
tidak lagi cocok masuk IAIN. Hal yang demikian mengharuskan IAIN berubah menjadi
UIN sehingga lebih cocok untuk menampung tamatan madrasah yang telah berubah
tersebut; d). Untuk meningkatkan martabat perguruan tinggi Islam yang berada di bawah
Departemen Agama sehingga sejajar dengan martabat perguruan umum yang berada di
bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, dan jika dimungkinkan lebih tinggi lagi
martabatnya. Hal yang demikian perlu dilakukan, mengingat IAIN yang ada sekarang
masih sering diposisikan sebagai perguruan tinggi kelas dua dan dimarjinalkan atau dilihat
sebelah mata. Mereka yang kuliah di ITB misalnya, melihat bahwa masuk IAIN tidak
sesulit masuk perguruan tinggi bergengsi seperti UGM, ITB, UI dan lain-lain. Masuk IAIN
misalnya, hanya melalui testing yang diadakan mereka sendiri, sedangkan masuk
perguruan tinggi bergengsi tersebut harus melalui ujian SPMB yang amat berat. Dengan
perubahan IAIN menjadi UIN, maka di samping melalui ujian lokal, masuk UIN juga
melalui ujian SPMB. Ketiga, tahap pematangan gagasan dan implementasi. Tahap ini
terjadi pada zaman Azyumardi Azra sebagai rektor. Pada tahap ini proposal yang memuat
gagasan dan pemikiran perubahan IAIN menjadi UIN yang telah dibuat di zaman
sebelumnya disempurnakan sesuai ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Melalui tim penyusun proposal yang solid dan bekerja keras, akirnya proposal tersebut
dapat disusun sesuai ketentuan yang berlaku.

Proposal tersebut kemudian dipresentasikan di hadapan rapat senat lengkap untuk


memperoleh masukan guna penyempurnaan. Selanjutnya proposal tersebut disampaikan
kepada Menteri Pendidikan Nasional setelah mengoordinasikannya dengan Menteri
Agama, khususnya dengan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam (Bagais)
Departemen Agama RI. Sambil menunggu keluarnya keputusan perubahan tersebut,
Azyumardi Azra selaku rektor memperkenalkan konsep IAIN dengan mandat yang lebih
luas. Dengan mandat ini, maka di samping menyelenggarakan program studi agama seperti
yang telah ada sebelumnya, IAIN juga menyelenggarakan program studi umum, seperti
program studi agribisnis, teknik informatika, manajemen akuntasi, ekonomi dan lain
sebagainya. Bersamaan dengan itu, upaya perubahan IAIN menjadi UIN terus berlangsung.
Pada tahap ini dilakukan audiensi dengan berbagai pihak terkait, seperti dengan Dewan
Perwakilan Rakyat, Sekretariat Negara, Departemen Pendayagunaan Aparatur Negara, dan
lain-lain. Ganjalan terjadi ketika pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999
dijumpai ketentuan bahwa perguruan tinggi yang berada di bawah departemen non-
kependidikan (Diknas), hanya dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi sampai dengan
bentuk institut. Sedangkan untuk perguruan tinggi setingkat universitas harus berada di
bawah naungan Diknas. Keadaan ini menimbulkan pro kontra, tentang apakah dengan
perubahan IAIN menjadi UIN tersebut pengelolaannya berpindah dari Departemen Agama
kepada Departemen Pendidikan Nasional, ataukah tetap berada di bawah pengelolaan

18
Departemen Agama, mengingat sejarah lahirnya IAIN adalah karena peranan Departemen
Agama. Upaya tarik menarik ini akhirnya dapat diselesaikan melalui kompromi dalam
bentuk dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama RI dengan
Menteri Pendidikan Nasional. Di dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa secara
kelembagaan, keuangan, kepegawaian dan pembukaan program studi agama IAIN berada
di bawah tanggung jawab Departemen Agama, sedangkan dari segi pengembangan
akademik khususnya bidang studi umum, berada di bawah tanggung jawab Departemen
Pendidikan Nasional.

Dengan SKB tersebut, maka tahapan perubahan IAIN menjadi UIN selanjutnya dilakukan
melalui Kputusan Presiden Republik Indonesia. Setelah melalui upaya meyakinkan pihak-
pihak terkait, khususnya Presiden melalui Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
Nasional, maka pada tanggal 20 Mei Tahun 2002 keluarlah Keputusan Presiden tentang
perubahan tersebut melalui Kepres Nomor 031 Tanggal 30 Mei Tahun 2002. Dengan
Kepres tersebut maka resmilah perubahan IAIN menjadi UIN. 2) Pengembangan fakultas
dan program studi. Seiring dengan perubahan IAIN menjadi UIN, maka terjadi pula
pengembangan pada fakultas-fakultas dan program studi. Penambahan fakultasfakultas dan
program studi tersebut terjadi bukan hanya pada penambahan fakultas dan program studi
umum, melainkan juga penambahan pada program studi agama pada fakultas-fakultas
agama sebelumnya. Dengan adanya penambahan fakultas dan program studi tersebut, maka
para tamatan Madrasah Aliyah dan juga tamatan Sekolah Menengah Umum dapat
melanjutkan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seluruh fakultas dan program
studi tersebut telah mendapatkan izin dan pengesahan dari Departemen Pendidikan
Nasional, Departemen Agama dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Dengan kata
lain, seluruh fakultas dan program studi tersebut secara hukum telah sah dan memiliki
kekuatan yuridis untuk melakukan aktivitasnya. 3) Pengembangan sarana dan prasarana.
Sejalan dengan adanya perubahan dan pengembangan fakultas dan program studi
sebagaimana tersebut di atas, juga terdapat perubahan dan pengembangan pada sarana dan
prasarana. Pada masa sebelumnya, kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terkesan
sumpek, kumuh dan tidak tertib. Yang ada sebelumnya adalah gedung-gedung tua tahun
50-an yang sudah rusak dan tidak layak pakai. Jika datang musim hujan, banyak gedung
yang tergenang air (kebanjiran), tumpukan sampah terdapat di manamana, serta taman yang
tidak terawat. Namun di zaman Azyumardi Azra, 95 % gedung-gedung lama dipugar dan
diganti dengan gedung-gedung baru dengan ketinggian antara tiga sampai tujuh lantai yang
dilengkapi lift. Gedung-gedung tersebut didesain dengan memadukan keunggulan
teknologi canggih, keislaman dan keindonesiaan.

Dari segi fungsinya, gedung-gedung tersebut terdiri dari Gedung Rektorat, Auditorium
Utama, Auditorium Madya, Gedung Kuliah, Student Center, Pusat Bahasa dan Budaya,
University Club, Komersial Center, Wisma Usaha, Gedung Perkantoran Kopertais, Asrama
Mahasiswa dan Mess Karyawan. Gedung-gedung tersebut juga dilengkapi dengan jalan
lingkar yang memudahkan melakukan interaksi dengan unit-unit yang ada, penataan yang
tertib, serta taman-taman yang dilengkapi dengan pohon pelindung dan pohon hias yang
tertata rapi dan indah. Berbagai tamu baik dari dalam maupun luar negeri yang berkunjung
ke kampus ini, selalu mengatakan bahwa kampus ini sangat megah, indah, bersih, tertib dan
asri. 4) Perubahan dan pengembangan pusat-pusat studi dan kerja sama. Seiring dengan

19
terjadinya perubahan pada berbagai aspek sebagaimana tersebut di atas, terjadi juga
pengembangan pada pusat-pusat studi baik kualitas maupun kuantitasnya. Kebijakan
pengembangan pusat-pusat studi tersebut didasarkan pada pemikiran tentang perlunya
menciptakan kesejahteraan bagi sivitas akademika. Dalam berbagai kesempatan pimpinan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta senantiasa melakukan hubungan dengan berbagai pihak
baik dari dalam maupun dari luar. Hasil hubungan tersebut direalisasikan secara konkret.
Realisasi ini antara lain dilakukan oleh pusat-pusat studi yang jumlahnya lebih dari tiga
puluh buah. Keberadaan pusat-pusat studi tersebut adalah sebagai penyangga dari berbagai
program kerja sama yang dilakukan UIN dengan lembaga-lembaga lain. 5) Peningkatan
kesejahteraan dosen dan karyawan. Upaya peningkatan kesejahteraan dosen dan karyawan
ini antara lain dilakukan dengan cara meningkatkan pendapatan dan belanja pegawai yang
bersumber dari berbagai sektor yang memungkinkan, baik dari pemerintah dan
nonpemerintah, termasuk dari masyarakat dan usaha sendiri. Sumber pendapatan yang
berasal dari pemerintah antara lain dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), baik yang bersifat rutin berupa DIK (Daftar Isian Kegiatan),
maupun non-kegiatan berupa DIP (Daftar Isian Proyek), dan dana yang bersumber dari
masyarakat berupa Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dan dana lainnya sesuai
ketentuan.

Sedangkan dana lainnya yang diupayakan melalui usaha sendiri baik dalam bidang jasa
maupun non-jasa. Bidang jasa dilakukan antara lain dengan memberikan pelayanan bidang
pelatihan, pendidikan, penelitian, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan bidang non-jasa
atau usaha antara lain dilakukan melalui peningkatan usaha koperasi secara lebih luas serta
usaha oleh Dharma Wanita. Dengan berbagai upaya tersebut, maka tingkat kesejahteraan
dosen dan karyawan mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari keadaan di mana
sebagian besar dari dosen dan karyawan telah memiliki rumah dan kendaraan sendiri, dapat
menyekolahkan anak-anaknya, dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, kesehatan dan
lain sebagainya.

          

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja
guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan
tujuan hidup sehingga bisa memiliki pandangan yang luas untuk kearah masa depan
lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang
berkualitas. Pendidikan juga merupakan suatu usaha untuk mengembangkan
intelektualitas supaya cepat dan tepat dalam mencerna semua gejala yang ada.
Pendidikan itu sendiri juga dapat dilakukan baik dari keluarga, lingkungan, dan sekolah.
Maka sebab itulah, ada beberapa ahli berusaha untuk mencari solusi terbaik
dalam mengembangkan suatu pendidikan tersebut diantaranya pemikiran dari Zakiyah
Darajat, pemikiran Harun Nasution dan pemikiran Az Zumardi Azzra.

B. SARAN

Dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan,
baik dari segi penulisan maupun segi penyusunan kalimat dan dari segi isinya juga perlu
disempurnakan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca agar
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi makalah ini.

Dan makalah ini bisa dibaca oleh semua golongan yang tertarik dalam Pemikiran
Pendidikan Islam mengenai Konsep pemikiran pendidikan menurut Zakiyah Drajat, Harun
Nasution dan Az Zumardi Azzra sehingga dapat mengambil manfaat dari makalah ini dan
menjadi amal jariyah bagi penulis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2008). Pendidikan Islam Transformatif. LKIS Pelangi Aksara.

Azra, A. (1999a). Esei-esei intelektual Muslim dan pendidikan Islam. Logos Wacana Ilmu.

Azra, A. (1999b). Pendidikan Islam: tradisi dan modernisasi menuju milenium baru. Logos
Wacana Ilmu.

Azra, A., & Thaha, I. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III. Kerja sama UIN Jakarta Press [dan] Kencana.

Basri, H. (2013). Filsafat Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia.

Dwifatma, A. (2011). Cerita Azra: Biografi Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra. Erlangga.

Faisal, A., & Jusuf, R. P. I. (1995). Reorientasi Pemikiran Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Gunawan, H. (2014). Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

H Abuddin Nata, M. A. (2012). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan


Islam di Indonesia.Kencana. Indonesia, K. B. B. (1990). Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Jakarta: Balai Pustaka.

ISTANTO, I. (2009). PEMIKIRAN PROF. DR. AZYUMARDI AZRA TENTANG


DEMOKRATISASI PENDIDIKAN ISLAM. Universitas Muhammadiyah surakarta.

Jalaluddin, T. P. (2003). Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.

Mahmud, M., & Priatna, T. (2005). Pemikiran Pendidikan Islam (Vol. 1). Sahifa.

Muhaimin. (2005). Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam: di sekolah, madrasah,


dan perguruan tinggi. RajaGrafindo Persada.

Nata, A., & Nasuhi, H. (2002). Membangun pusat keunggulan studi Islam: sejarah dan profil
pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1957-2002. IAIN Jakarta Press.

Prasojo, S. (1974). Profil pesantren: laporan hasil penelitian al-Falak & delapan pesantren lain di
Bogor. LP3ES

22

Anda mungkin juga menyukai