Anda di halaman 1dari 11

Volume 5. Nomor 2.

Juli 2010

Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

The Other Laws di Era Otonomi Daerah


(Studi Antropologi Hukum)
Sartono Sahlan

Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Kondisi hukum di era otonomi daerah masih memberi ruang bagi the Other laws untuk
Diterima April 2010 hidup dan bahkan lebih dinamis, entah itu disebut sebagai folk law, customary law, local
Disetujui Mei 2010 law, adat law maupun istilah lainnya. State law sebagai doktrin (ajaran) hukum yang berbeda
Dipublikasikan Juli 2010 dengan folk law sebagai fakta sosial yang tumbuh dari bawah dan terdapat di mana-mana.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelemahan state law serta potensi the other laws
Keywords: yang selama ini diterapkan oleh berbagai masyarakat. Sejalan dengan itu, akan dipaparkan
Anthropology of law; beberapa pendekatan antropologi hukum yang pada dasarnya mengkaji hukum sebagai
The other laws; sebuah kenyataan yang diterapkan oleh masyarakat (law in action), termasuk prospeknya
State Laws; dalam “memotret” gejala hukum di era reformasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
folks law. norma-norma state law disahkan oleh teks resmi (oleh negara) berbeda dengan norma-
norma folk law yang disahkan melalui ketaatan akan seperangkat kebiasaan. Norma-norma
state law disatukan melalui asal mula logikal dari suatu norma dasar yang berbeda dengan
norma-norma folk law yang disatukan oleh ketaatan di dalam suatu masyarakat. State law
sebagai proses dari pengadilan negara berbeda dengan folk law sebagai proses penyelesaian
sengketa di luar lingkup negara. Lalu dari proses sejarahnya pun kedua sistem hukum
tersebut dapat dipisahkan, yakni yang state law lazimnya berasal dari pengambilan (sebagian
atau seluruhnya) dari sistem hukum kolonial dan selanjutnya mungkin dikembangkan

Abstract
The law conditions in the era of regional autonomy still allow room for the other laws to
live and even more dynamic, whether it referred to as folk law, customary law, local law,
or any other term. State law as doctrine (teachings) that the law is different from folk law
as a social fact that grow from below and are everywhere. This study aims to analyze the
weakness of state law as well as the potential of the other laws that have been adopted by
various people. Accordingly, it will be presented some legal anthropological approach which
basically examines law as a reality imposed by society (law in action), including its prospects
in the ”picture” of law in an era of reform symptoms. The results of this study indicate that
the norms of state law passed by the official text (by the state) is different from the norms of
folk law that was passed through obedience to a set of habits. The norms state law combined
with the logical origin of the basic norms that are different from the norms of folk who are
united by obedience to law in a society. State law as the process of the courts of different
countries with folk law as a process of dispute resolution outside the scope of the state. Then
the history of the legal system, the two can be separated, ie, the state law typically comes
from making (partial or total) of the colonial legal system and furthermore may be developed

Alamat korespondensi: © 2010 Universitas Negeri Semarang


Gedung C.4, Kmapus Sekaran, Gunungpati, Semarang, Indonesia ISSN 1907-8919
E-mail: dekanfh-unnes@yahoo.co.id
Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

1. Pendahuluan Konsep inilah yang dalam kajian antropologi


hukum dikenal sebagai –konsep– terjadinya
Konsep “unifikasi hukum” telah benturan antara legal centralism (pemusatan
diterapkan cukup lama di NKRI. Berbagai hukum) dengan legal pluralism (kemajemukan
peraturan perundangan kemudian dibuat hukum). Yang satu dihadirkan, terutama, oleh
sesuai dengan konsepsi di atas. Sekedar hukum negara, dan yang lainnya oleh hukum
contoh adalah: UU Perkawinan (UU No. masyarakat-masyarakat setempat.
1/74), seperti diketahui UU ini ditujukan
untuk menggantikan enam sistem hukum 2. Metode Penelitian
lain yang tadinya berlaku untuk pelbagai
golongan masyarakat di tanah air. Tujuan Jenis penelitian ini adalah penelitian
unifikasi peraturan perundangan tersebut hukum normatif. Adapun pendekatan yang
adalah agar terjadi pelaksanaan hukum yang digunakan adalah pendekatan konsep dan
terkoordinasi, lebih tertib dan kinerjanya pendektan hukum. Data yang digunakan
diharapkan meningkat (Sunaryati Hartono, adalah berupa bahan hukum primer dan
1993; 9). Lalu, pertanyaannya apakah sekunder. Adapun teknis analisis yang
kenyataannya demikian? Perdebatan untuk digunakan adalah deskriptif-kualitatif dengan
jawaban itupun setidaknya bisa terpilah dua, model deduksi guna menjawab pertanyaan
yang satu berkenaan dengan susunan yuridis penelitian ini (Ibrahim, 2008; Marzuki,
normatifnya, satunya lagi mengenai efektivitas 2008).
peraturannya di lapangan. Namun, rata-
rata di antara kita akan menyatakan bahwa 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
kondisi dan kinerja hasil unifikasi hukum
belum juga mengalami perbaikan signifikan.
a. Kajian Antropolgi Hukum
Pada saat yang sama, bahkan telah
berlangsung jauh lebih lama terdapat Di dalam perkembangan antropologi,
pelbagai sistem hukum dari masyarakat dan masalah hukum sebenarnya juga sudah
kebudayaan-kebudayaan lain (the other pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu
cultures) selain state law (hukum negara). kerangka kebudayaan yang serba luas.
Masyarakatnya mempertahankan sistem- Sarjana-sarjana antropologi seperti Barton,
sistem hukum tersebut secara dinamis sesuai Radcliffe-Brown, Malinowski dan lainnya,
dengan laju kebudayaannya. Sebagian pihak pernah memusatkan perhatian pada hukum
menganggap the other laws bagian dari masa sebagai suatu gejala sosial-budaya. Sesudah
lalu, namun sebagian lagi menyatakan bahwa embrio dari antropologi hukum timbul, maka
mereka tetap eksis hingga kini. Dan, sebagian pandangan para sarjana seperti Schapera,
lainnya menyatakan ada, namun semakin Gluckman, Hoebel, Bohannan, Pospisil,
terkikis (Parsudi Suparlan, 1980; 20-23). Nader dan lainnya mempunyai peranan besar
Karena konsep ‘unifikasi hukum’ tetap di dalam perkembangan A.H. (Soekanto,
didahulukan, maka keberadaan the other 1984: 159-160).
laws (hukum-hukum masyarakat lokal) Menurut Ihromi (1986; 3) relevansi
menjadi terkendala. Kendalanya adalah: menelaah hukum dari segi antropologi,
a) dari sisi masyarakat pemilik hukum antara lain adalah: (a). Berkenaan dengan
lokal, mereka semakin tidak leluasa dalam masalah yang dihadapi oleh negara-negara
mengimplementasikan hukumnya, b) dari sisi berkembang (tentunya termasuk Indonesia)
state, hukum-hukum lain ditanggapi sebagai yang secara budaya bersifat pluralistis dalam
ganjalan yang dapat menghambat proses cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum
pembangunan (semesta) (Roger M. Keesing, atau modernisasi hokum; (b). berkenaan
1992; 294). dengan kemungkinan munculnya masalah
Benturan antara state law versus bila warga masyarakat dari lingkungan
the other laws kemudian terjadi, dan sukubangsa tertentu masih mempunyai
dinamikanya terkadang tinggi, dan rendah. norma-norma tradisional yang kuat dan


150
Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

menuntut ketaatan mengenai hal-hal tertentu, Ihromi, 2000). Kajian yang diusulkan tersebut
sedangkan dalam norma hukum yang sudah lazimnya disebut sebagai kajian terhadap
tertulis dan berlaku secara nasional, hal- gejala hukum empiris (law in action).
hal yang harus ditaati itu justru dirumuskan Dengan demikian, hukum dalam
sebagai hal yang terlarang. lingkup kajian Antropologi Hukum
Secara faktual, masalah-masalah yang (selanjutnya ditulis A.H.) ditanggapi sebagai
dirumuskan ke dalam dua point utama gejala empirik yang terjadi dalam kehidupan
itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan masyarakat. Hukum dalam konteks ini tidak
munculnya konflik horisontal di pelbagai ditanggapi seperti halnya para yuris mengkaji
wilayah, pertikaian antara state (maupun hukum (secara dogmatik).
pemda) dengan masyarakat, maupun antar Secara umum metode AH adalah
kelompok masyarakat sendiri. Hukum, sebagai berikut: (a). deskriptif – yakni
menurut Benda-Beckmann (1979; 113-114) pemerian gejala hukum empirik dalam
adalah suatu cara khusus untuk membatasi masyarakat yang diteliti; (b). ideology
otonomi anggota-anggota masyarakat. (menelusuri aturan normatifnya); (c). telaah
Kebanyakan penulis menyetujui bahwa kasus (case study method), ditambah dengan
hukum adalah suatu bentuk pengawasan metode komparasi (perbandingan). Metode
sosial, itulah mengapa secara esensial sifatnya yang satu ini mendorong, antara lain
normatif, dan hal itu merujuk pada apa yang diberlakukannya konsepsi cultural relativism
disebut (sebagai) konsepsi-konsepsi yang (relativisme budaya).
obyektif. Selain metode di atas, dapat
Implikasi pendekatan semacam ini ditambahkan pendekatan historis yang
adalah: bahwa hukum memberi input mempelajari perilaku manusia dan budaya
kepada pranata pengendalian sosial (apapun hukumnya dengan sudut proses sejarah
variant-nya) dan kemudian kepada rujukan (Hadikusuma, 1992: 9). Berikut ini akan
berpikir masyarakat, dan sebaliknya. dijabarkan, dianalisis, dan diulas beberapa
Hukum, di sisi lain, dapat pula menyebabkan pendekatan yang digunakan dalam sejarah
perubahan perangkat berpikir, dan rujukan perkembangan sub disiplin antropologi
kemasyarakatan lainnya atau dikenal dalam hukum dalam mengkaji hubungan hukum
sosiologi hukum sebagai “law as tool of social dengan masyarakat dan kulturnya.
engineering”. Namun, bila kesemua hal itu Mulanya kajian A.H. dimulai dengan
berubah (dan pada kenyataannya memang mengkaji hal-hal besar, misalnya evolusi
selalu demikian), maka hukum pun berubah hukum (secara umum), sebut saja sekedar
mengikuti perubahan masyarakat dan contoh kajiannya J.J. Bachofen tentang evolusi
lingkungannya. hukum (dalam bukunya das muterrecht).
Pendekatan antropologi (hukum) Dalam buku itu, Bachofen menjabarkan
sengaja menggeser pusat perhatian dari tahaptahapan evolusi hukum pada pelbagai
aturan-aturan kepada individu atau manusia masyarakat. Landasan kajiannya seringkali
sebagai aktor yang dalam mengambil disebut sebagai “armchair theory” (kajian
keputusan mengenai perilakunya dihadapkan yang bukan berasal dari data primer atau
kepada tuntutan-tuntutan dari tatanan field research). Kritik yang kemudian muncul
hukum yang dihadapinya (Ihromi, 2000: 3). adalah: sifat kajian mereka-mereka ini
Sejalan dengan itu, Spiertz dan Wiber (1979: tergolong ke dalam “conjectural history”
3) menegaskan, bahwa: “But to study the real (“sejarah rekaan”). Mengapa demikian?
position of people in relation to law requires a Karena biasanya kita akan sulit menemukan
different methodological approach from that kasus-kasus masyarakat seperti yang
used in traditional legal studies. The focus digambarkan oleh mereka (biasanya secara
have to swift away from law as a codified or evolutif dan berkembang linier). Namun
customary set of rules and turn instead to the demikian, hasil karya mereka, atau setidaknya
individual who stands at the intersection point konsep-konsepnya justru mendorong –
of many different legal domains (dikutip dari langsung maupun tidak – pihak lain menjadi

151

Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

tertarik dan mengkajinya secara lebih sebagai pendekatan “struktural fungsional”


mendalam dan kritis. Selanjutnya, ada ahli dalam menelaah hukum. Menurut Radcliffe-
yang mengupayakan pendefinisian hukum Brown, masyarakat itu taat hukum karena
secara lebih spesifik, misalnya Radcliffe- adanya sanksi yang ditegakkan oleh lembaga
Brown, Max Gluckman, E. Adamson Hoebel, resmi yang berwenang untuk itu. Lalu, ketika
dan lainnya. Max Gluckman mendefisinikan ada pertanyaan bagaimana dengan ketaatan
hukum sebagai: aturan abstrak yang yang terjadi pada masyarakat tradisional
ditegakkan oleh lembaga formal. Hal ini yang tidak memiliki “lembaga-lembaga
sejalan dengan Radcliffe-Brown yang penegakan hukum khusus”? Menurutnya,
menerapkan fenomena hukum Barat pada pada mereka ada potensi “kecenderungan
masyarakat non-Barat. Definisinya tentang misterius untuk taat”. Namun, Malinowski
hukum (yang dikutipnya dari Roscoe Pond) menyatakan, hukum ditaati karena prinsip
adalah: “suatu pengendalian sosial yang “give and take” (principal of reciprocity) yang
dilakukan dengan perantaraan penerapan berlaku dalam masyarakat (case studynya
secara sistematis dari kekuatan fisik suatu mengenai masyarakat Trobriand yang masih
masyarakat yang terorganisir secara politis” homogen ketika itu). Kritik yang diarahkan
(Soekanto et al., 1984: 5). Definisi semacam ke pendekatan yang termasuk ke dalam
ini, menurut beberapa ahli, membuat “struktural fungsional” antara lain adalah:
beberapa masyarakat tradisional – yang tidak (1) Pendekatan lazim menggambarkan
memiliki kekuataan fisik yang terorganisir kebudayaan dan pranata sosial sebagai
secara politis – menjadi tidak memiliki hukum. sesuatu yang “bulat”, konstan dan memiliki
Padahal, mereka itu hidup dengan damai pola yang jelas. Kenyataannya, kebudayaan
dan tertib ketika itu. Sementara, definisi yang dan pranata sosial selain sering mengalami
mengidentikan hukum sama dengan adat konflik juga selalu berubah, (2) pendekatan
(misalnya oleh Malinowski) telah membuat ini juga tidak mempertimbangkan
batasan, cakupan maupun gejala hukum adanya pluralisme budaya (3) kurang
menjadi tidak lagi jelas. Padahal, aturan- mempertimbangkan struktur sosial-budaya
aturan hukum berbeda dengan aturan-aturan makro (dikutip dari Soehendera, 1989; 23-
(Van Baal, 1988; 59). 35). Pada titik ini mulailah perhatian kajian
Binding obligations itulah yang menjadi beralih bukan saja terhadap hukum hukum
esensi dari apa yang dapat dinamakan pada institusi modern, seperti negara, namun
undang-undang. Binding obligations itu juga hukum masyarakat lainnya.
dijadikan dasar pada ketentuan fundamental Salah satu batasan hukum yang cukup
bagi setiap masyarakat, yaitu timbalbalik. sering dikutip adalah yang disebut oleh
Lainnya, oleh karena aturan-aturan Leopold Pospisil sebagai “attributes of law”.
tersebut dirasakan dan dianggap sebagai Dia tidak secara langsung mendefinisikan
kewajibankewajiban seseorang dan hak-hak hukum, namun memaparkan ciri-cirinya,
dari fihak lain (Soekanto, 1984: 1). yaitu: a) atribut otoritas, b) atribut penerapan
Definisi lain adalah dari E. Adamson secara universal, c) atribut obligatio dan d)
Hoebel (1954; 61), yaitu: A social norm atribut sanction. Konsep atribut hukum ini
is legal if its neglect or infraction is regulary muncul dari hasil telusuran komparatif Pospisil
met, in threat or in fact, by the application atas pelbagai sistem hukum masyarakat-
of physical force, by an individual or group, masyarakat yang dikajinya. Definisi, batasan
possessing the socially recognized privilege of atau atribut hukum yang disusun oleh para
so acting. Definisi ini mengandung hal-hal: ahli tersebut berasal dari kajian komparasinya
a) tindakan yang melanggar aturan, b) akan antara berbagai sistem dan proses hukum
ditindak secara teratur melalui sanksi c) oleh dari pelbagai masyarakat dan kebudayaan.
pihak yang berwenang. Definisi ini mirip Dengan kata lain, benih-benih perhatian
dengan definisinya Radcliffe-Brown. akan kemajemukan kemudian bersemai
Pendefinisikan tersebut rata-rata (Soekanto et.al, 1994: 47).
dilandasi oleh (sebutlah secara ringkas) Pendekatan berikutnya yang kemudian

152
Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

populer, dan beberapa bagiannya hingga melalui kompromi. Namun banyak bentuk
kini masih diterapkan oleh banyak pengkaji dari penyelesai sengketa adalah triadic dan
antropologi hukum adalah: pendekatan melibatkan pihak-pihak ketiga. Peran dan
terhadap penyelesaian sengketa (trouble kekuasaan dari pihak ketiga itu tergantung
cases). Pendekatan itu, umumnya, menelusuri pada struktur dari proses resolusinya.
sebab-sebab sengketa, pihak-pihak yang Mediasi, merupakan proses yang bersifat
terlibat dan bagaimana penyelesainnya mendamaikan (conciliatory), pihak ketiga
(termasuk siapa yang menyelesaikan, dan membantu dua pihak yang bersengketa
bagaimana sanksi yang diterapkannya). mencapai suatu penyelesaian tetapi tidak
Sengketa itu hal yang melekat pada hubungan memiliki otoritas untuk memaksa salah satu
sosial, sehingga: a) bila hubungannya erat, pihak. Dalam arbitrasi, pihak-pihak yang
maka penyelesaiannya cenderung damai bersengketa sepakat pada tingkat yang lebih
(“win-win solution”); b) bila hubungannya tinggi, untuk menerima keputusan pihak
renggang, maka penyelesaiannya cenderung ketiga sebagai hal yang mengikat. Dalam
adjudication (semacam win - loose solution). ajudikasi, negara memberi kuasa (kepada)
Dalam konteks ini, juga ditelaah mengenai hakim untuk membuat keputusan yang
lembaga hukum yakni: lembaga yang mengikat tanpa harus mempertimbangkan
digunakan oleh warga untuk menyelesaikan persetujuan para pihak yang bersengketa
sengketa yang timbul di antara para warga (Barfield, 1997: 29).
dan merupakan alat untuk tindakan balasan Varian dari pendekatan proses
(counteract) setiap penyalahgunaan yang penyelesaian sengketa antara lain adalah
menyolok dan berat dari aturan yang ada pendekatan yang disebut oleh van Velsen
pada lembaga lain dalam masyarakat. Tujuan (1967) sebagai “situational analysis” atau
menelusuri proses sengketa adalah untuk yang terlebih dulu diperkenalkan oleh
menemukan “intisari” hukum. Berbagai Max Gluckman (1961) sebagai extended-
kajian penyelesaian sengketa dari pelbagai case method (studi kasus yang diperluas).
masyarakat dan kebudayaan kemudian Tujuan pendekatan ini, menurut van Velsen
diungkapkan dan ditelusuri. Karena adalah: untuk memberi ilustrasi mengenai
penggunaan metode komparasi untuk keteraturan tertentu dalam proses sosial,
berbagai penyelesaian sengketa semakin dan bukan untuk menyoroti sifat-sifat khusus
sering dan mendalam, akibatnya unsur- perorangan. Kajian Situational analysis adalah
unsur kemajemukan pun semakin terpupuk mengenai: catatan-catatan tentang situasi-
(Dahrendorf, 1959: 209). situasi yang aktual dan perilaku tertentu.
Mengenai konflik (conflict), Nader Analisis situasional ini, menurut penulisnya,
& Todd (1978: 14-15), menganalisis tiga bertekanan pada proses, studinya mengarah
tahapan dari pertikaian (dispute): a) keluhan pada masyarakat yang tidak stabil dan
atau tahapan pra-konflik, dimana orang tidak homogen. Asumsi pentingnya: bahwa
merasa diperlakukan tidak adil, b) tahapan norma-norma dari masyarakat tidaklah
konflik (conflict), dimana pihak yang merupakan totalitas yang konsisten dan
dirugikan bertikai dengan pihak lain, dan koheren. Sebaliknya, norma-norma tersebut
c) tahap sengketa (dispute), dimana konflik sering terumus secara kabur dan saling tidak
meningkat ke arah konfrontasi publik karena sesuai. Maka, kajian mengenai norma-norma
melibatkan pihak ketiga. yang saling berbeda dikaitkan dengan konflik
Mode-mode penanganan sengketa menjadi sorotan utamanya. Kembali lagi
sangat bervariasi tetapi dapat diklasifikasikan terlihat bahwa benih-benih dan pandangan
ke dalam suatu prosuder yang bersifat tentang kemajemukan semakin menegas di
umum (Gulliver, 1963; Colliner, 1973). sini.
Beberapa berupa penanganan dyadic (dua Penelitian – mengenai penyelesaian
arah), seperti negosiasi yang mencakup dua sengketa – selanjutnya menganjurkan
pihak saja, yang mengembangkan aturan- untuk berfokus pada wilayah urban dalam
aturannya sendiri dan mencapai kesepakatan masyarakat industri modern yang jarang

153

Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

terikat bersama oleh jaringan akrab hubungan Konsep ini menyatakan bahwa selain state
sosial dan yang rupanya bisa (lebih) memadai law, terhadap sistem-sistem hukum lain yang
dalam membantu perkembangan bentuk juga aktif berfungsi dalam pelbagai lapisan
penyelesaian sengketa konsiliatori yang dan kelompok masyarakat. Benturan antara
dipertimbangkan oleh Gluckman (Merry & implementasi state law dengan sistem-sistem
Milner, 1993; Barfield, 1997: 73). hukum lain itulah yang menjadi konsentrasi
Kritik terhadap pendekatan proses pendekatan yang satu ini. Pendekatan
penyelesaian sengketa ini adalah: a) ini mulai populer di tahun 1980an, dan
upaya kompromis pada masyarakat yang hingga kini masih diminati oleh banyak
berhubungan sosial erat (win-win solution) pengkaji antropologi hukum. Pengertian
tidaklah selalu terjadi. Kompromi terjadi, kemajemukan hukum, ringkasnya adalah: (a).
biasanya karena ada kondisi keterbatasan Dalam dunia pragmatis setidaknya ada dua
sumbersumber daya, b) usaha untuk mencari sistem aturan yang terwujud; (b). bagaimana
keadilan dan pembalasan sulit dibuktikan, hukum berperan dan menyesuaikan diri
orang-orang lebih menggunakan prosedur dalam kondisi kemajemukan budaya.
lebih didasari oleh pilihan-pilihan yang Pendekatan yang satu ini, lazimnya
rasional; c) pendekatan ini mengabaikan dikaitkan dengan pemahaman mengenai
perubahan sejarah dan hubungan kekuasaan, “plural society” (masyarakat majemuk)
serta menolak pengaruh struktural yang lebih yang dijabarkan sebagai: masyarakat yang
luas (Barfield, 1997). Sementara itu, konflik terdiri dari populasi multi etnik yang di
(conflict) yang terjadi, pada kenyataannya dalamnya terjadi suatu kegiatan ekonomi
tidak selalu menimbulkan hubungan- yang tersebarkan dan aturan politik yang
hubungan sosial yang disfungsional, terkadang tersentralisasi oleh salah satu kelompok
konflik justru berfaedah untuk memelihara tertentu (Barfield, 1997: 68). Pada masa
suatu hubungan sosial (Coser, 1964: 47; Orba, gambaran plural society memang
Coser, 1957: 227). Dan tidak semua konflik lebih nampak. Pola patron-client relationship
kemudian menjurus ke perkara hukum dikembangkan sedemikian rupa untuk lebih
(karena adanya ancaman disintegrasi sosial mencapai tujuan tertentu. Pola ini digunakan
atau motif lainnya). untuk melingkupi hubungan antara
Selain pendekatan di atas, terdapat berbagai pihak yang majemuk, sehingga
pula pendekatan trouble-less cases kadangkala memunculkan benturan. Kajian
(Holleman, 1986; 65). Pendekatan ini, Kemajemukan Hukum dapat dikaitkan
ringkasnya menyatakan bahwa dalam proses dengan pendapatnya Lawrence Friedman
hukum sehari-hari yang lebih banyak terjadi (1975; 22) yang menyatakan bahwa hukum
bukanlah kasus sengketa, namun justru proses itu terdiri dari tiga komponen, yakni: (a).
hukum non-sengketa (misalnya saja: proses legal Substance: norma-norma, aturan-aturan
perkawinan, jual-beli dan lainnya). Proses yang digunakan secara institusional, dan pola
seperti ini, walaupun tidak harus melalui perilaku para pelaku dalam sistem hukum;
proses sengketa, tetap saja merupakan (b). Legal structure: lembaga-lembaga hukum;
proses hukum penting karena di dalamnya (c). Legal culture: kebiasaan, pandangan,
tercermin aturan-aturan (normatif) maupun cara bertindak dan berpikir yang dapat
prakteknya sehari-hari. Gambaran semacam mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial.
ini ikut “membulatkan” gambaran sistem Ketiga komponen itu dapat dikaji
hukum pada masyarakat yang ditelaah. kemajemukannya semuanya. Namun, bisa
Interaksi (hukum) non sengketa juga bisa saja salah satu komponennya saja. Masing-
terjadi pada pihak-pihak yang berbeda sistem masing komponen itu, bila dikaji, kelak akan
hukumnya. Dan seringkali mereka juga tidak memunculkan dampak maupun konteks
bersengketa. Pendekatan selanjutnya adalah yang berbeda-beda. Yang jelas, para ahli
yang populer dengan sebutan ‘Kemajemukan antropologi hukum menekankan bahwa
Hukum” (legal pluralism) (lihat misalnya hukum buatan negara hanyalah salah satu
Masinambow [ed], 2000; Irianto, 2003). dari sistem pengaturan yang relevan untuk

154
Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

menjadi pedoman berperilaku warga b. Kondisi State Law dan Other Law di
masyarakatnya (Ihromi, 2000: 4). Dengan ffffIndonesia
demikian, the other laws juga punya hak Pada mulanya (terutama pada awal
untuk ditelaah, dikemukakan dan diberi Orde Baru hingga tahun 1980an), posisi
kesempatan untuk berkiprah di tengah state law memang terlihat dan terkesan lebih
kemajemukan masyarakat dan budaya yang kuat (karena ditegakkan dengan pengaruh
ada. Sistem hukum-hukum lain jika ditelaah, kekuasaan dan pengaruh politik), namun
juga memiliki ke tiga komponen di atas yang mulai tahun 90’an dan seterusnya posisi the
bisa saja berbeda atau memiliki kemiripan other laws, setidaknya untuk bidang-bidang
tertentu dengan state law. tertentu, semakin menguat dan menggejala
Pendekatan kemajemukan hukum ini (Keesing, 1992: 294).
juga tidak lepas dari beberapa pendekatan Mengapa hal tersebut terjadi? Alasannya:
AH lain, terutama pendekatan penyelesaian (a). Karena adanya tekanan pihak luar (WB,
sengketa (trouble cases) dan trouble-less ADB, UN, dan IMF, misalnya), secara langsung
cases. Bukankah penggunaan aneka sistem maupun tidak, agar pembangunan Indonesia
hukum oleh berbagai masyarakat ketika lebih mengedepankan upaya pemberdayaan
berinteraksi tidak hanya terjadi pada kasus- masyarakat dan meningkatkan partisipasi
kasus sengketa? Hubungan non sengketa mereka (padahal, upaya penegakan hukum –
antara berbagai sistem hukum juga penting negara – melalui prinsip rule of law memang
untuk dikaji. Faedahnya, antara lain, kita belum juga membaik); (b). Karena “titik
dapat menemukan bentuk dan mekanisme sabar” masyarakat-masyarakat di pelbagai
kerjasama antara sistem-sistem tersebut di tempat sudah mencapai kulminasinya,
saat normal. itu karena keberadaan mereka –terutama
Namun kritik pun muncul terhadap melalui keberadaan sistem hukum dan
pendekatan kemajemukan hukum, dan sistem budayanya– terancam akan terus
setidaknya bisa dipilah menjadi tiga hal terkikis atau malah punah (Bahtiar, 2001;
(Tamanaha, 2000: 13): (1) pendekatan ini 10); (c). Sementara, dari sisi pemerintah,
kurang memberi perhatian pada definisi/ kekuasaan mereka (alias dukungan dari
batasan hukum, sehingga ketika mereka pelbagai pihak) mulai menyusut. Pelbagai
menyebut “hukum” pemerhatinya bisa lapisan sosio-politik semakin rasional dalam
binggung, hukum yang seperti apa? memandang perilaku dan sikap pemerintah
Implikasinya, pengertian hukum bisa sangat (state). Gerak “reformasi” pun memberi
luas dan tidak jelas lingkupnya; (2) pendekatan dukungan terhadap perubahan tersebut; (d).
ini kurang memperhatikan konteks makro Mulanya lebih sebagai “lips service” saja,
yang mempengaruhi berlakunya hukum. yakni mencatumkan model pembangunan
Misalnya: konteks ekonomi, politik dan sistem yang bottom up (lihat misalnya GBHN 1993
kemasyarakatan makro; dan (3) pendekatan dan 1998), namun lama-kelamaan tuntutan
ini nampak terpengaruh oleh pendekatan berbagai pihak – termasuk dari sebagian
struktural-fungsional dalam menelaah komponen dalam institusi state sendiri (lebih
hukum, akibatnya: dinamika dan proses karena ketidak-berdayaan aparat) – untuk
perubahan hukum yang terjadi menjadi merealisasikannya menjadi semakin kuat;
tercecer untuk ditelusuri. Maka, pendekatan (e). Karena komunikasi & kinerja jaringan-
ini menjadi cukup sulit untuk memberi jaringan kerja lembaga kemasyarakatan di
masukan bernas atas kondisi dinamis yang “akar rumput” (grass root) (oleh LSM atau
terjadi. Maka, dalam perkembangan AH, Ornop) semakin menguat, dan tugas utama
Nixon (1998; 85) menyatakan bahwa fokus mereka adalah untuk memberdayakan
kajian A.H telah bergeser pada cara pandang masyarakat dan meningkatkan partisipasi
dimana hukum dilihat sebagai suatu proses serta posisi tawarnya terhadap state dan
konflik dan sekaligus sebagai suatu kekuatan pelaku ekonomi-politik yang kuat; (f). Sejalan
(power). dengan itu, informasi dan pelbagai data kini
lebih cepat diterima dan diserap oleh berbagai

155

Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

lapisan masyarakat. Hal semacam ini, antara Ketiga, State law menghadirkan
lain, berdampak pada terjadinya percepatan keadilan. Padahal, pada kenyataannya tidak
peningkatan kesadaran masyarakat akan selalu demikian. Bahkan, oleh sebagian
keberadaan diri dan aturan yang melandasi masyarakat dianggap semakin memunculkan
atau menekannya. ketidakadilan. Kasus yang ramai dibicarakan
Disadari maupun tidak, wacana yakni seorang saksi dari kejahatan para
mengenai sistem hukum nasional untuk penegak hukum yang disuap justru
beberapa dekade, baik mencakup analisis, diajukan sebagai tertuduh adalah salah satu
diskusi, konsep bahkan teori tentang hukum indikasinya. Beberapa pihak berpendapat,
(yang luas itu) kadangkala menjadi kurang bahwa walaupun negara kita adalah “negara
proporsional. Artinya, pembahasannya hukum” (rechtsstaats), namun de facto-nya
lebih banyak pada tataran normatif, padahal bisa tidak demikian. Aparatur pelaksana
kenyataannya masih berbeda jauh. Sementara maupun sistem hukum negara tentunya bisa
itu, bila terjadi perdebatan menyangkut bersikap tidak adil, soalnya kedudukan dan
hukum, hampir dapat dipastikan melulu peran mereka memang bisa menjadi tidak
berpusat pada state law saja. Padahal masih netral. Kekuatan sosio-politik dan agama
ada the other laws yang juga eksis. Maka, seringkali juga mewarnai “tarik-menarik”
ada baiknya berikut ini akan dipaparkan tersebut.
mengenai mitos (hal-hal yang ditanggapi Keempat, State law lebih bisa mengikuti
secara kurang tepat) yang berkait dengan perkembangan waktu (up to date). Namun,
state law selama ini. Tujuannya, agar kita kenyataannya malah sebaliknya, banyak
dapat lebih melihat dan menanggapi state perdebatan muncul berkaitan dengan
law itu seperti apa adanya. produk-produk hukum yang dianggap cepat
Pertama, State law disusun secara menjadi out of date. Sekedar contoh adalah:
terintegrasi dan hubungan antar produk penggantian UU No. 22/99 yang baru Januari
hukumnya teratur, sehingga mudah 2001 lalu diterapkan. Contoh lainnya adalah
diterapkan. Namun pada kenyataannya: proses pergantian UU No. 18/97 dengan
dari segi peraturan perundangan, state UU No. 34/2000. Bahkan contoh mengenai
law seringkali inkonsisten, terkadang saling perubahan SK Menteri Tenaga Kerja (dan
bertentangan, cakupannya tidak begitu Transmigrasi) di alinea berikut yang begitu
jelas, dan fokusnya terkadang samar serta cepat adalah contoh cepatnya out of date
wewenangnya saling tumpang-tindih. suatu peraturan penting. Belum lagi bila
Bahkan, menurut penulis, juga di era kita membicarakan peraturan perundangan
reformasi sekarang ini belum ada suatu di bidang perbankan dan perekonomian,
Rencana Pembangunan Hukum yang misalnya mengenai money laundering. Di
komprehensif dan terinci. sisi lain, landasan untuk menentukan “kuno”
Kedua, law enforcementnya State law tidaknya sebuah peraturan perundangan itu
tidak pandang bulu. Namun kenyataannya kadangkala juga kurang jelas.
bisa sebaliknya. Hukum sering bisa Kelima, State law dianggap berperan
ditegakkan, terutama, bila tidak bertentangan netral dan tidak memihak. Namun
dengan keinginan tertentu. Hukum sulit kenyataannya, tidak selalu demikian. Contoh
ditegakkan bila yang terlibat pelanggaran di pergantian SK Menteri Tenaga Kerja No.
dalamnya adalah pihak-pihak pemilik power 150/2000 yang dianggap pengusaha terlalu
dan pemodal kuat. Di tingkat masyarakat “memberi angin” pada buruh dengan
pun law enfocement pelbagai produk Kepmenakertrans No. 78 Tahun 2001, (dan
hukum tersebut dipertanyakan. Sementara, karena mendapat tekanan buruh) lalu diganti
kekuatan penegakannya kalaupun cukup lagi dengan Kepmenakertrans No. 111 tahun
kuat, sesungguhnya amat tergantung pada 2001 (dan kemudian dibekukan karena
situasi dan kondisi saat-saat tertentu; dan menimbulkan protes yang berkembang dari
tergantung pula, terutama pada struktur kalangan pengusaha) adalah contoh kasusnya.
sosio-politik yang lebih makro. Ketidak konsistenan peraturan maupun

156
Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

penegakannya malah terlihat kembali, yakni menyusut. Deretan panjang mitos pun masih
dengan diberlakukannya kembali SK Menteri dapat diwacanakan, namun yang penting
Tenaga Kerja No. 150/2000 karena tekanan adalah: bahwa cara pandang terhadap state
buruh yang menguat. Bila yang diatur dari law yang menghegemoni the other laws
kelompok yang benar-benar lemah, maka sepatutnya kini dikritisi. Alasannya, karena
hasilnya akan semakin mengikis keberadaan pada kenyataannya sisi rapuh state law pun
mereka. Beberapa contoh lain tentunya banyak (Simbolon, 1995: 47).
dapat diwacanakan pada kesempatan lain. Lima karakteristik yang berbeda di atas
Keenam, keputusan state law dapat inilah yang menjadikan banyak kajian yang
dieksekusi sesuai dengan apa yang diaturnya. membahas kedua sistem hukum tersebut
Kenyataannya, pada berbagai keputusan dalam posisi yang berhadap-hadapan, bak
tidaklah demikian. Pada beberapa kasus, “air dan minyak”.
pelaksanaan keputusan pengadilan justru Kondisi faktual ini patut dijabarkan,
menimbulkan permasalahan. Contoh yang berkenaan dengan anggapan banyak pihak
cukup dikenal di kalangan pengamat kajian bahwa the other laws pengertiannya lebih
hukum adat adalah kasus: harta “Juma Pasar” erat bila dikaitkan dengan masa lalu yang
di Karo (Keputusan MA tahun 1961 tentang jauh. Sekedar contoh, adalah apa yang
pembagian warisan tanah adat) yang hingga pernah dituliskan Hartono (1993: 4),
kini tidak dapat dieksekusi. Keputusan dinyatakannya: “…barangkali ada baiknya
hukum, selain dilandasi oleh aturan-aturan untuk melihat jauh ke belakang ke masa-masa
formal, yang lebih penting lagi haruslah di mana berbagai macam pluralisme hukum
melahirkan rasa keadilan, kontekstual hidup dan berkembang dalam masyarakat
dengan ruang dan waktu dimana keputusan Indonesia. Sampai abad ke-14 penduduk
itu ditetapkan. Hal-hal di atas, justru lebih Kepulauan Nusantara ini hidup dalam
sering tercecer sehingga keputusan hukum suasana sistem Hukum Adat-nya masing-
(negara) sulit diterapkan untuk menyelesaikan masing…” Kutipan ini menyiratkan bahwa:
permasalahan masyarakat di berbagai a) kemajemukan hukum lebih terjadi di masa
daerah. Terkadang eksekusi state law justru lalu, kini – dengan kata lain – sudah sulit
menimbulkan protes yang berkepanjangan terjadi, b) maksud dari kemajemukan hukum
di masyarakat. Mereka menganggap isi tersebut (ketika itu), adalah adanya aneka
keputusannya tidak adil dan merugikannya. jenis hukum dan masyarakat pendukungnya
Ketujuh, State law lebih berpower yang berkedudukan setara, dan tidak ada
dibanding the other laws, pada kenyataannya posisi sub ordinasi maupun “atasan”. Dan
tidaklah selalu demikian. Power itu, di masa akibatnya, c) berbicara pluralisme hukum
yang baru lalu, diperoleh melalui berbagai kini, seolah-olah terlandasi oleh adanya sikap
kebijakan terpusat dan bertumpu pada dan tuntutan untuk menghapuskan konsep
kekuatan eksekutif yang didukung oleh (kedaulatan) state dan state law. Padahal,
lembaga yang relatif solid koordinasi dan tujuannya tidak demikian.
instruksinya. Ketika dukungan power itu Seperti sedikit disinggung di atas,
melemah, terutama empat tahun belakangan, belakangan “power” the other laws semakin
maka kekuatan state law pun melemah. terasakan. Pelbagai pemerintah daerah mulai
Power, terutama di masa yang baru lalu, lebih memikirkan dengan lebih serius untuk me-
digunakan untuk melakukan penyeragaman, reinventing institutions dan me-reinventing
sehingga harus begitu kuat ditegakkan. law dalam konteks pembangunan daerahnya.
Ketika itupun power yang ada sebenarnya Bayangannya kelak, upaya “me-roh-kan
relatif rapuh. Rapuh karena dilakukan kembali” sistem hukum masyarakat daerah itu
secara terpusat, bersifat memobilisasi, dan akan bersifat kontekstual, cakupannya khusus
mempertahankan pola kerja patron-client dan khas serta akan mempertimbangkan
relationship. Rapuh karena dipertahankan hadirnya pelbagai kemajemukan di tingkat
secara represif dan (biayanya) menjadi masyarakat.
mahal, dan dukungan masyarakatnya terus Contoh kasus adalah diresmikannya

157

Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

kembali pemerintahan tradisional. Sekedar pluralism (kemajemukan hukum yang lemah),


contoh, Kerajaan Bima (di NTB) yang sehingga belum muncul keadaan strong
hampir setengah abad tidak memiliki sultan, legal pluralism (Griffith, 1986). Mengapa
mengkukuhkan seorang keturunan raja demikian? Alasannya karena: a) dominasi
terdahulu menjadi Jena Teke atau “raja muda” state law masih kukuh, lalu b) bila terjadi
(ini merupakan reinventing institution). benturan antara berbagai sistem hukum
Pengukuhan dilakukan oleh Ketua Majelis dengan state law, maka state law-lah yang
Adat Ny. H. Siti Maryam R. Salahudin (74 dikedepankan, serta c) ada hirarkhi hukum
tahun), dan Feri Zulkarnain Ibu Putra Haji yang diberlakukan dengan state law sebagai
Abdul Kahir (33 tahun) akan diberi gelar puncaknya.
“Sultan Abdul Kahir II Ruma Ma Wa’a Busi Ro Namun demikian, tidaklah selalu antara
Mawo” (Moehammad, Tempo 15 Juni 2001). state law and the other laws bersitegang.
Mulanya upaya ini mungkin lebih berfungsi Terkadang bisa saja saling melengkapi.
sebagai “simbol perekat” masyarakat Konsepnya Paul Bohannan mengenai “double
dengan institusi “tradisionalnya”, namun institutionalized” (pelembagaan berganda)
pada gilirannya bisa saja akan di-reinventing adalah contohnya. Maksudnya, beberapa
pula aturan-aturan setempat berkenaan aturan hukum nasional itu ada yang berasal
dengan pengaturan hubungan antara “raja dari aturan tradisional (telah dilembagakan
muda” dengan masyarakatnya. Bahkan, secara adat), lalu dilembagakan ulang secara
usaha politis tersebut juga berimplikasi pada nasional. Akibatnya, aturan nasional itu
penguatan hubungan antara lembaga lokal relatif sejalan dengan aturan-aturan lokal
yang diperbarui dengan institusi politik dan yang diserapnya. Pelembagaan berganda
pemerintahan modern. Menariknya lagi seperti ini terkadang bisa saja efektif, namun
dalam keseharian, calon raja muda tersebut bisa juga sebaliknya. Sayangnya, upaya yang
adalah Wakil Ketua DPRD Bima dari Fraksi satu ini belum banyak dilakukan. Lagipula
Partai Golkar. Hubungan antar institusi politik efektivitasnya pun kurang ditelusuri.
masa kini dengan institusi tradisional memang Kondisi the other laws (begitu pula
memunculkan semacam perpaduan power state law) selain tergantung pada kondisi
alternatif pada lingkup tertentu. struktur sosio-politik makro, juga dalam
Implikasi logis dari diaktifkannya penegakannya berkait dengan hal-hal seperti:
kembali pelbagai peraturan (serta institusi) produk hukumnya sendiri, masyarakat
setempat (reinventing law and institutions) pendukung dan pelaksananya, sarana
adalah munculnya lembaga-lembaga lokal penunjang penegakkannya serta institusi yang
yang diaturnya. Lembaga-lembaga itu, bertanggung jawab untuk menegakkannya.
setidaknya di masa lalu, berfungsi untuk Selain itu, ia amat tergantung kepada
memberdayakan masyarakat, dan untuk kemauan politik Pusat dalam menegakkan
meningkatkan kesejahteraannya. Pemda hukum di tanah air. Namun kondisi-kondisi
maupun masyarakat, terkadang melakukan tertentu yang merupakan keadaan “blessing
“invented tradition” (penemuan kembali in disguised” seperti sulitnya penelusuran PAD
tradisi) terhadap lembaga-lembaga lama yang (pendapatan asli daerah), lalu tersendatnya
pernah ada. Yang penting untuk dikemukakan DAU (dana alokasi umum) serta sumber-
adalah, bahwa segala perangkat aturan dan sumber keuangan lainnya membuat banyak
institusi lebih bertumpu pada sistem budaya pemda kabupaten harus mempercepat upaya
masyarakat masing-masing. Lebih riil lagi, pemberdayaan dan kemandirian masyarakat,
bertumpu kepada “tarik-ulur” berbagai serta harus pula mengembangkan partisipasi
kepentingan yang muncul dalam satuan- mereka di dalam segala bidang kehidupan,
satuan masyarakat. termasuk hukum. Hal semacam ini di satu
Namun sayangnya, posisi the other sisi bisa menguntungkan karena akan dapat
laws tersebut secara umum hingga kini memunculkan aturan-aturan lokal dalam
masih berada dalam kondisi seperti yang wacana maupun praktek sehari-harinya
disebutkan Griffith sebagai weak legal kelak.

158
Pandecta. Volume 5. Nomor 2. Juli 2010

4. Simpulan Dahrendorf, R. 1959. Class and Class Conflict in


Industrial Society.Stanford University Press.
California.
Pengkajian Antropologi Hukum telah Hadikusuma, H. 1992. Pengantar Antropologi Hukum.
memberikan telaah akan hasil kreasi, distribusi PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
dan transmisi hukum yang ada. Kajian Hartono, S. 1993. “Kebijakan Pembangunan Hukum
Menuju Sistem Hukum Nasional” dalam
mengenai bagaimana kekuasaan hukum
Analisis CSIS, Jakarta.
berproses dan memberi dampak dalam Ihromi, T.O. 2000. Kajian Terhadap Hukum dengan
masing-masing masyarakat. Selanjutnya akan Pendekatan Antropologi. Catatan-Catatan untuk
menampilkan bagaimana feed back dan Peningkatan Pemahaman Bekerjanya Hukum
pengaruh masyarakat-masyarakat terhadap dalam Masyarakat. Gramedia. Jakarta.
Keesing, R.M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu
kekuasaan hukum tersebut. Kemajemukan Perspektif Kontemporer. Edisi Kedua.
hukum yang ada di Indonesia dewasa Terjemahan Samuel Gunawan. Penerbit
ini merupakan soal tersendiri mengingat Erlangga. Jakarta.
otetisitas Antropologi Hukum yang sejak lama Koentjaraningrat (ed.), 1982. Masalah-Masalah
Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi
menempatkan dan menghargai the other laws
Terapan. LP3ES. Jakarta.
secara proporsional dan kontekstual. Dengan Soehendera, D. “Tinjauan Buku Bronislaw Malinowski”
demikian para pengkaji antropologi hukum dalam Antropologi No. 47, Tahun XIII, Juli-
ditantang untuk memberikan kontribusi Agustus-September 1989.
bagi perkembangan hukum di Indonesia, Soekanto, S. dkk. 1984. Antropologi Hukum, Proses
Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Rajawali
khususnya terkait dengan korelasi positif the Pers. Jakarta.
other laws dengan state laws. Suparlan, P. 1980. Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungannya, Perspektif Antropologi Budaya.
Daftar Pustaka Prosiding Seminar Manusia dalam Keserasian
Lingkungan. Pusat Studi Lingkungan Universitas
Indonesia. 7 Februari 1980.
Bachtiar, H.W. 1985. “Konsensus dan Konflik dalam
Tamanaha, B. 2000. A Non-Essentialist Version of Legal
Sistem Budaya Di Indonesia,” dalam Harsja W.
Pluralism. Jurnal of Law and Society 27(2).
Bachtiar (ed.), Budaya dan Manusia Indonesia.
Van Baal, J. 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori
YP2LPM. Malang.
Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970). PT.
Bohannan, P. 1984. “Hukum dan Pranata Hukum”
Gramedia. Jakarta.
dalam T.O. Ihromi (ed.), Antropologi dan
Hukum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

159

Anda mungkin juga menyukai