Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK VII
NAMA :
HERLI : 201801104
1
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR
2
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka
kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat
pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan
estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok.1,2
Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat,
tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab
sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis.
Salah satu penyebabnya dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi.1
3
4
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi dan Klasifikasi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut
Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.1,6
5
Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina
2) Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.
3) Dislokasi
6
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai
dengan kelainan pada struktur sekitarnya.
4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.1,2
2) Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan
juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.
3) Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi
pada piramid hidung.
4) Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan
proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi.
Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena
Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.1
7
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum
yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.3
8
B. Etiologi
Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir,
resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju,
karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika
berkendara.1,3
C.Gejala Klinis
Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut
ini :
♣ Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
♣ Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
♣ Perdarahan hidung (epistaksis)
9
♣ Infeksi sinus (sinusitis)
♣ Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
♣ Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.6,7
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan
terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan
gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi
yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah
sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum
nasi juga akan menghilang.7
D. Diagnosis
E.Penatalaksanaan
10
♣ Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
♣ Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
♣ Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
♣ Pembedahan :
F.Komplikasi
11
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga
menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan
komplikasi post-operasi, diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung
atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah
pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi
dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat
dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki
deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.7,8
G.Prognosis
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada
pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-
20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus
memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.1
B.ASUHAN KEPERAWATAN
12
1. PENGKAJIAN
a. identitas pasien
b.Keluhan Utama
Adanya keluhan tidak dapat bernafas melalui hidung, hidung terasa nyeri, tidak
dapat makan karena takut tersedak.
Pilek terus menerus, biasanya lebih dari satu tahun dan tidak ada perubahan
meskipun diberi obat.
e.Pemeriksaan Fisik
Hidung : Ada luka operasi, terdapat tampon + 1,5 mm yang tampak dari luar,
pernapasan pindah ke mulut.
f.Pemeriksaan Penunjang.
Radiologi
g.Pemeriksaan laboratorium
h,Penatalasanaan medis.
Operatif
2.Analisa data
3.Diagnosa keperawatan
13
1.Perubahan Pola Nafas Sehubungan dengan Tampon Pada Hidung
Kriteria hasil :
- Tampon di lepas
Intervensi :
Oral hygiene
Rasional:
14
- Fungsi interdependent untuk mengencerkan sekret dan
melonggarkan pernafasan.
Kriteria hasil :
Intervensi :
Rasional :
- Mengurangi nyeri
Kriteria hasil :
15
- Klien mau menghabiskan makanannya.
Intervensi :
- jelaskan pada klien untuk boleh dan tetap makan secara hati –
hati dan sedikit – sedikit.
Rasional :
5.Implementasi
6.Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan kriteria yang telah
ditetapkan dalam perencanaa
16
B.fraktur nasal
ASUHAN KEPERAWATAN
1.Pengkajian
Pengumpulan data subjektif dan objektif pada klien dnegan gangguan
sistem persyarafan meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
a.Anamnesis
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b.Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c.Riwayat penyakit saat ini
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain
17
d.Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e.Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
f.Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g.Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada simetris, suara nafas
normal tidak ada suara nafas tambahan seperti stridor dan ronchi.
B2 (Blood)
Hipertensi (kadang –kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stress,
hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera;
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan
jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera.
B3 (Brain)
hilang gerakan / sensasi, spasme otot. Kebas / kesemutan (parestesis),
deformitas local; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilangnya fungsi, angitasi
(mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain).
B4 (Bladder)
18
Tidak ada kelainan sistem perkemihan
B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan defekasi
B6 (Bone)
a. Edema, deformitas, krepitasi, kulit terbuka atau utuh, ada/tidak
adanya nadi di sebelah distal patahan, hematoma, kerusakan jaringan
lunak, posisi ekstremitas abnormal
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P
yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
6. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
7. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
8. Cape au lait spot (birth mark).
9. Fistulae.
10. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
11. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
12. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
13. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
14. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Hal yang perlu dicatat adalah:
15. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill timeà Normal 3 – 5 “
19
16. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
17. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
18. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
h.Pemeriksaan diagnostik
19. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
i. Bayangan jaringan lunak.
ii. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
20
biomekanik atau juga rotasi.
iii. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
iv. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Dalampemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan
rule of two yaitu:
a. Dua sudut pandang
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X
tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang
(AP & Lateral/Oblique).
b. Dua Sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur
atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi.
Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
dalam foto sinar-X.
c. Dua ekstrimitas
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur.
Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
d. Dua Cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu
juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.
e. Dua Waktu
Pemeriksaan dilakukan segera setelah cedera dan setelah
penanganan (pre op dan post op)
20. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga
dapat dignakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
21
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
21. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
22. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress
normal setelah trauma.
23. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiple, atau sedera hati.
2.Analisa data
3.Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (trauma)
2. Gangguan perfusi jaringan perifer b/d perubahan kerusakan integritas
tulang
3. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan integritas muskulosketetal
4. Resiko jatuh b/d mobilitas terganggu
5. Resiko konstipasi b/d perubahan lingkungan, imobilisasi
6. Resiko infeksi b/d gangguan integritas kulit sekunder akibat fraktur
7. PK : Syok Hipovolemik
22
4. Intervensi keperawatan (NOC DAN NIC)
No Diagnosa NOC NIC
.
1 Nyeri akut b/d agen 1. Pain control (1-5) Pain management
injuri fisik (trauma) Indikator : a. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui
Karakteristik : a. Mampu mengenali onset ekspresi nyeri dan penyampaian respon nyeri pasien
ekspresi wajah nyeri b. Kaji pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri
meringis, pasien b. Mampu mendeskripsikan c. Kaji pengetahuan pasien tentang faktor yang dapat
melaporkan nyeri, penyebab nyeri meringankan atau memperberat nyeri
berperilaku c. Mampu menggunakan pereda d. Berikan informasi tentang nyeri yang dialami meliputi
protektif, nyeri analgesik sesuai penyebab, kapan akan berakhir, dan prosedur antisipasi
perubahan TTV rekomendasi ketidaknyamanan
d. Mampu melaporkan kontrol e. Kontrol lingkungan dari faktor yang dapat meningkatkan
nyeri ketidaknyamanan
2. Pain level (1-5) f. Ajarkan prinsip dalam pain management
Indikator : g. Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri yang dialami
a. Melaporkan nyeri h. Ajarkan teknik non farmakologi (hypnosis, relaksasi,
b. Panjang episode nyeri distraksi, terapi music)
c. Agitasi i. Ajarkan metode farmakologi pereda nyeri
d. Iritabilitas
e. Diaphoresis
2 Gangguan perfusi Tissue perfusion : peripheral (1-5) Circulatory care : venous insufficiency
jaringan perifer b/d a. CRT tangan a. Lakukan pemeriksaan komprehensif pada sirkulasi
perubahan b. CRT kaki perifer (cek nadi perifer, edema, CRT, warna dan
kerusakan integritas c. Temperatur kulit ekstremitas temperatur)
tulang d. Kekuatan nadi karotis b. Lakukan perawatan luka (debridement,terapi
karakteristik kulit kanan/kiri antimikrobial) bila diperlukan
(warna, elastisitas, e. Kekuatan nadi brakialis c. Berikan dressing yang tepat sesuai ukuran dan tipe luka
kelembaban, kanan/kiri d. Monitor derajat ketidaknyamanan atau nyeri
sensasi, f. Kekuatan nadi radialis e. Berikan terapi modalitas kompresi (short-strech atau
temperatur), kanan/kiri long-strech bandages) bila diperlukan
penurunan tekanan g. Kekuatan nadi femoralis f. Elevasikan ekstremitas yang sakit 200 lebih tinggi dari
darah pada kanan/kiri posisi jantung
ekstremitas, h. Tekanan darah sistolik g. Kolaborasikan pemberian antiplatelet atau antikoagulan
penurunan nadi i. Tekanan darah diastolik bila diperlukan
perifer, warna kulit j. Bruit ekstremitas h. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk menurunkan
pucat disertai k. Edema perifer viskositas darah
elevasi anggota l. Nyeri hebat terlokalisir i. Monitor status cairan, termasuk intake dan output
tubuh, edema, m. Kebas
CRT>3 detik, n. Nekrosis
ABI<0.90 o. Pucat
p. Kelemahan otot
q. Rubor
r. Parestesi
s. Kram otot
3 Gangguan Activity tolerance (1-5) Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik b/d a. Saturasi oksigen dengan a. Berikan pasien pakaian yang longgar
gangguan integritas aktivitas b. Bantu pasien dalam berjalan untuk mencegah cedera
muskulosketetal b. Nadi dengan aktivitas c. Kondisikan bed untuk mudah ditinggikan atau dinaikkan,
Karakteristik : c. RR dengan aktivitas sesuai kebutuhan pasien
penurunan gerak d. Mudah dalam bernapas d. Instruksikan kepada pasien bagaimana tahap untuk
otot, penurunan dengan aktivitas berganti posisi sebelum berpindah tempat
rentang gerak, e. Warna kulit e. Sediakan alat bantu seperti kursi roda untuk ambulasi
tremor f. Mudah dalam melakukan f. Konsultasikan dengan fisioterapis mengenai rencana
ADL ambulasi, jika dibutuhkan
g. Mampu berbicara dengan
aktivitas fisik