Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN

SEPTUM DEVIASI DAN FRAKTUR NASAL

DISUSUN OLEH :

KELAS : III C KEPERAWATAN

KELOMPOK VII

NAMA :

PUTRI AMALIA M DAHLAN : 201801125

FADIL HIDAYAT : 201801101

UMI KALSUM : 201701141

HERLI : 201801104

1
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES WIDYA NUSANTARA PALU

2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Fraktur dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai penyakit TBC.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada
orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di tengah. Angka
kejadian septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat
pembengkokan minimal atau terdapat spina pada septum. Bila kejadian ini tidak
menimbulkan gangguan respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.
Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan obstruksi hidung yang mengganggu
fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan
estetik wajah karena tampilan hidung menjadi bengkok.1,2

Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat,
tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab
sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis.
Salah satu penyebabnya dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi.1

Deviasi septum nasi memang merupakan masalah yang sering ditemukan


di masyarakat. Kelainan ini ditandai dengan bengkoknya lempeng kartilago
septum, yaitu struktur yang memisahkan antara kedua nostril. Deviasi septum
biasanya disebabkan oleh trauma, walaupun terdapat beberapa kasus yang
merupakan bawaan sejak lahir dengan deviasi septum nasi. Kelainan ini dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi nasal unilateral maupun bilateral, yang
bermanifestasi sebagai gangguan pernapasan melalui hidung, tidur mendengkur,
sakit kepala, infeksi sinus rekuren, ataupun perdarahan hidung yang rekuren.3

3
4
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi dan Klasifikasi

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum menurut
Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu :
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih
belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi
lain masih
normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.1,6

5
Gambar 6. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina

Bentuk-bentuk dari deformitas septum nasi berdasarkan lokasinya, yaitu :

1) Spina dan Krista


Merupakan penonjolan tajam tulang atau tulang rawan septum yang dapat
terjadi pada pertemuan vomer di bawah dengan kartilago septum dan atau
os ethmoid di atasnya. Bila memanjang dari depan ke belakang disebut
krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina. Tipe deformitas ini
biasanya merupakan hasil dari kekuatan kompresi vertikal.

2) Deviasi
Lesi ini lebih karakteristik dengan penonjolan berbentuk ‘C’ atau ‘S’ yang
dapat terjadi pada bidang horisontal atau vertikal dan biasanya mengenai
kartilago maupun tulang.

3) Dislokasi

6
Batas bawah kartilago septum bergeser dari posisi medialnya dan
menonjol ke salah satu lubang hidung. Septum deviasi sering disertai
dengan kelainan pada struktur sekitarnya.

4) Sinekia
Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka di
hadapannya. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.1,2

Kelainan struktur akibat deviasi septum nasi dapat berupa :

1) Dinding Lateral Hidung


Terdapat hipertrofi konka dan bula ethmoidalis. Ini merupakan
kompensasi yang terjadi pada sisi konkaf septum.

2) Maksila
Daya kompresi yang menyebabkan deviasi septum biasanya asimetri dan
juga dapat mempengaruhi maksila sehingga pipi menjadi datar,
pengangkatan lantai kavum nasi, distorsi palatum dan abnormalitas
ortodonti. Sinus maksilaris sedikit lebih kecil pada sisi yang sakit.

3) Piramid Hidung
Deviasi septum nasi bagian anterior sering berhubungan dengan deviasi
pada piramid hidung.

4) Perubahan Mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit
menyebabkan efek kering sehingga terjadi pembentukan krusta.
Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan. Lapisan
proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap infeksi.
Mukosa sekitar deviasi akan menjadi edema sebagai akibat fenomena
Bernouili yang kemudian menambah derajat obstruksi.1

Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya


keluhan :

7
1) Ringan
Deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum
yang menyentuh dinding lateral hidung.
2) Sedang
Deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian
septum yang menyentuh dinding lateral hidung.
3) Berat
Deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.3

Jin RH dkk juga mengklasifikasikan deviasi septum menjadi 4, yaitu :


1) Deviasi lokal termasuk spina, krista dan dislokasi bagian kaudal
2) Lengkungan deviasi tanpa deviasi yang terlokalisir
3) Lengkungan deviasi dengan deviasi lokal
4) Lengkungan deviasi yang berhubungan dengan deviasi hidung luar.3

Gambar 7. Klasifikasi Deviasi Septum Menurut Jin RH dkk

8
B. Etiologi

Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya


berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti fraktur os
nasal.Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray
(1972) menerangkannya dengan teori birth Moulding. Posisi intrauterin yang
abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga
dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat
kelahiran (partus) dapat menambah trauma pada septum.1,2

Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir,
resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju,
karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika
berkendara.1,3

Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan


septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap,
juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan
demikian terjadilah deviasi septum.2

C.Gejala Klinis

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang


unilateral atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang
mengalami deviasi terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya
terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan
lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga
bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum
juga dapat menyumbat ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi
terjadinya sinusitis.2

Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut
ini :
♣ Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
♣ Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
♣ Perdarahan hidung (epistaksis)

9
♣ Infeksi sinus (sinusitis)
♣ Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
♣ Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi
dan anak.6,7

Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan
terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan
gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi
yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah
sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum
nasi juga akan menghilang.7

D. Diagnosis

Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung


pada batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat
penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi
ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.1

Penting untukpertama-tama melihat vestibulum nasi tanpaspekulum,


karena ujung spekulum dapat menutupideviasi bagian kaudal. Pemeriksaan
seksama jugadilakukan terhadap dinding lateral hidung untukmenentukan
besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-
struktur inisering terjadi gangguan yang berhubungan dengandeformitas septum.1,2

Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan


diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak
septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopidilakukan bila
memungkinkan untuk menilai deviasiseptum bagian posterior atau untuk melihat
robekanmukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal.1

E.Penatalaksanaan

10
♣ Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
♣ Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
♣ Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
♣ Pembedahan :

o Septoplasty (Reposisi Septum)


Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat
dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi
dislokasi pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga
dapat dikerjakan bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau
posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya
bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi
ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi
reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan saddle
nose. Operasi ini juga tidak berpengaruh banyak terhadap
pertumbuhan wajah pada anak-anak.

o SMR (Sub-Mucous Resection)


Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua
sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang
atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-
perikondrium dan muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan
langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti
terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak
hidung, oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak
diangkat. Tindakan operasi ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-
anak karena dapat mempengaruhi pertumbuhan wajah dan
menyebabkan runtuhnya dorsum nasi.2,8,9

F.Komplikasi

11
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan
faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga
menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan
komplikasi post-operasi, diantaranya :
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung
atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah
pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi
dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat
dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki
deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.7,8

G.Prognosis

Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Prognosis pada
pasien deviasi septum setelah menjalani operasi cukup baik dan pasien dalam 10-
20 hari dapat melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Hanya saja pasien harus
memperhatikan perawatan setelah operasi dilakukan. Termasuk juga pasien harus
juga menghindari trauma pada daerah hidung.1

B.ASUHAN KEPERAWATAN

12
1. PENGKAJIAN

a. identitas pasien

nama , umur ,Jenis kelamin , alamat, pendidikan, agama

b.Keluhan Utama

Tidak dapat bernafas melalui hidung, ada sesuatu yang mengganjal.

c.Riwayat Penyakit sekarang.

Adanya keluhan tidak dapat bernafas melalui hidung, hidung terasa nyeri, tidak
dapat makan karena takut tersedak.

d.Riwayat penyakit dahulu

Pilek terus menerus, biasanya lebih dari satu tahun dan tidak ada perubahan
meskipun diberi obat.

e.Pemeriksaan Fisik

Hidung : Ada luka operasi, terdapat tampon + 1,5 mm yang tampak dari luar,
pernapasan pindah ke mulut.

f.Pemeriksaan Penunjang.

Radiologi

Foto waters adanya kelainan tulang hidung

g.Pemeriksaan laboratorium 

meliputi : Darah lengkap, Faal hemostasis.

h,Penatalasanaan medis.

Konservatif (Obat dekongestan)

Operatif

2.Analisa data

3.Diagnosa keperawatan

13
1.Perubahan Pola Nafas Sehubungan dengan Tampon Pada Hidung

2.Gangguan rasa nyaman nyeri sehubungan dengan luka operasi.

3.Resiko tinggi gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan


intake yang kurang
4.Intervensi

1.      “Perubahan pola nafas sehubungan dengan tampon pada hidung”

Tujuan : Perubahan pola nafas teratasi dalam 2 x 24 jam.

Kriteria hasil :

-          Tampon di lepas

-          Klien dapat ber5nafas melalui hidung.

Intervensi : 

-          jelaskan tentang perubahan pola nafas dan bernafas  melalui


mulut.

-          Anjurkan klien untuk tidur ½ duduk (semi fowler) dan nafas


melalui mulut.

-          Beri tindakan perawatan untuk :

         Oral hygiene

         Rawat luka dengan BWC dan H2O2 dan xylocain/LA

         Nebulizer tanpa obat.

-          Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian kalmethason dan


bronchodilator.

-          Monitor vital sign.

Rasional:

-          Klien / keluarga mengerti sebab akibat perubahan pola nafas.

-          Membuat paru mengembang dengan baik.

-          Memberi rasa nyaman dan mencegah infeksi.

14
-          Fungsi interdependent untuk mengencerkan sekret dan
melonggarkan pernafasan.

-          Mengetahui kelainan dini.

2.      “Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan luka operasi”

Tujuan : nyeri berkurang dalam 2 x 24 jam.

Kriteria hasil :

-          klien bisa tidur 

-          klien merasa tenang,  T 110/80 mmHg, N 88 x/menit.

Intervensi : 

-          Kaji  faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri, misal takut /


posisi yang salah.

-          Kaji tingkat nyeri / lokasi nyeri / intensitas nyeri.

-          Anjurkan klien untuk menggunakan teknik :distraksi, relaksasi


progresif, cutaneus stimulation.

-          Monitor vital sign.

Rasional :

-          Ketakutan / posisi salah dapat meningkatkan respon nyeri.

-          Menentukan tindakan keperawatan dalam hal untuk penanganan


nyeri.

-          Mengurangi nyeri

-          Mengetahui kelainan dini terhadap respon nyeri

3.      “Potensial gangguan pemenuhan nutrisi sehubungan dengan intake kurang”

Tujuan : pemenuhan nutrisi teratasi dalam 2x24 jam.

Kriteria hasil : 

15
-          Klien mau menghabiskan makanannya. 

-          BB dalam batas normal, turgor baik.

Intervensi : 

-          jelaskan pada klien untuk boleh dan tetap makan secara hati –
hati dan sedikit – sedikit.

-          Monitor makan tiap hari.

-          Beri diet halus dan lunak.

-          Kontrol berat badan tiap 2 hari.

Rasional :

-          Klien tetap mau makan tanpa takut tersedak.

-          Mengetahui seberapa banyak makanan yang masuk.

-          Memudahkan pencernaan dan mencegah perdarahan 

-          Perkembangan asupan yang adekuat.

5.Implementasi

Adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana perawatan yang telah


disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan agar terpenuhnya kebutuhan
klien secara optimal.

6.Evaluasi

Evaluasi dilakukan dengan mengacu pada tujuan dan kriteria yang telah
ditetapkan dalam perencanaa

16
B.fraktur nasal
ASUHAN KEPERAWATAN
1.Pengkajian
Pengumpulan data subjektif dan objektif pada klien dnegan gangguan
sistem persyarafan meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
a.Anamnesis
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b.Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c.Riwayat penyakit saat ini
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain

17
d.Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e.Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
f.Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g.Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada simetris, suara nafas
normal tidak ada suara nafas tambahan seperti stridor dan ronchi.
B2 (Blood)
Hipertensi (kadang –kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stress,
hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera;
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan
jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera.
B3 (Brain)
hilang gerakan / sensasi, spasme otot. Kebas / kesemutan (parestesis),
deformitas local; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilangnya fungsi, angitasi
(mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain).
B4 (Bladder)

18
Tidak ada kelainan sistem perkemihan
B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan defekasi
B6 (Bone)
a. Edema, deformitas, krepitasi, kulit terbuka atau utuh, ada/tidak
adanya nadi di sebelah distal patahan, hematoma, kerusakan jaringan
lunak, posisi ekstremitas abnormal
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P
yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
6. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
7. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
8. Cape au lait spot (birth mark).
9. Fistulae.
10. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
11. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
12. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
13. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
14. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Hal yang perlu dicatat adalah:
15. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill timeà Normal 3 – 5 “

19
16. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
17. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
18. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
h.Pemeriksaan diagnostik
19. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
i. Bayangan jaringan lunak.
ii. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau

20
biomekanik atau juga rotasi.
iii. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
iv. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Dalampemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan
rule of two yaitu:
a. Dua sudut pandang
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X
tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang
(AP & Lateral/Oblique).
b. Dua Sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur
atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi.
Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
dalam foto sinar-X.
c. Dua ekstrimitas
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur.
Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
d. Dua Cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1
tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu
juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.
e. Dua Waktu
Pemeriksaan dilakukan segera setelah cedera dan setelah
penanganan (pre op dan post op)
20. Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga
dapat dignakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan

21
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.
21. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
22. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress
normal setelah trauma.
23. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiple, atau sedera hati.
2.Analisa data
3.Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (trauma)
2. Gangguan perfusi jaringan perifer b/d perubahan kerusakan integritas
tulang
3. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan integritas muskulosketetal
4. Resiko jatuh b/d mobilitas terganggu
5. Resiko konstipasi b/d perubahan lingkungan, imobilisasi
6. Resiko infeksi b/d gangguan integritas kulit sekunder akibat fraktur
7. PK : Syok Hipovolemik

22
4. Intervensi keperawatan (NOC DAN NIC)
No Diagnosa NOC NIC
.
1 Nyeri akut b/d agen 1. Pain control (1-5) Pain management
injuri fisik (trauma) Indikator : a. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui
Karakteristik : a. Mampu mengenali onset ekspresi nyeri dan penyampaian respon nyeri pasien
ekspresi wajah nyeri b. Kaji pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri
meringis, pasien b. Mampu mendeskripsikan c. Kaji pengetahuan pasien tentang faktor yang dapat
melaporkan nyeri, penyebab nyeri meringankan atau memperberat nyeri
berperilaku c. Mampu menggunakan pereda d. Berikan informasi tentang nyeri yang dialami meliputi
protektif, nyeri analgesik sesuai penyebab, kapan akan berakhir, dan prosedur antisipasi
perubahan TTV rekomendasi ketidaknyamanan
d. Mampu melaporkan kontrol e. Kontrol lingkungan dari faktor yang dapat meningkatkan
nyeri ketidaknyamanan
2. Pain level (1-5) f. Ajarkan prinsip dalam pain management
Indikator : g. Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri yang dialami
a. Melaporkan nyeri h. Ajarkan teknik non farmakologi (hypnosis, relaksasi,
b. Panjang episode nyeri distraksi, terapi music)
c. Agitasi i. Ajarkan metode farmakologi pereda nyeri
d. Iritabilitas
e. Diaphoresis
2 Gangguan perfusi Tissue perfusion : peripheral (1-5) Circulatory care : venous insufficiency
jaringan perifer b/d a. CRT tangan a. Lakukan pemeriksaan komprehensif pada sirkulasi
perubahan b. CRT kaki perifer (cek nadi perifer, edema, CRT, warna dan
kerusakan integritas c. Temperatur kulit ekstremitas temperatur)
tulang d. Kekuatan nadi karotis b. Lakukan perawatan luka (debridement,terapi
karakteristik kulit kanan/kiri antimikrobial) bila diperlukan
(warna, elastisitas, e. Kekuatan nadi brakialis c. Berikan dressing yang tepat sesuai ukuran dan tipe luka
kelembaban, kanan/kiri d. Monitor derajat ketidaknyamanan atau nyeri
sensasi, f. Kekuatan nadi radialis e. Berikan terapi modalitas kompresi (short-strech atau
temperatur), kanan/kiri long-strech bandages) bila diperlukan
penurunan tekanan g. Kekuatan nadi femoralis f. Elevasikan ekstremitas yang sakit 200 lebih tinggi dari
darah pada kanan/kiri posisi jantung
ekstremitas, h. Tekanan darah sistolik g. Kolaborasikan pemberian antiplatelet atau antikoagulan
penurunan nadi i. Tekanan darah diastolik bila diperlukan
perifer, warna kulit j. Bruit ekstremitas h. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk menurunkan
pucat disertai k. Edema perifer viskositas darah
elevasi anggota l. Nyeri hebat terlokalisir i. Monitor status cairan, termasuk intake dan output
tubuh, edema, m. Kebas
CRT>3 detik, n. Nekrosis
ABI<0.90 o. Pucat
p. Kelemahan otot
q. Rubor
r. Parestesi
s. Kram otot
3 Gangguan Activity tolerance (1-5) Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik b/d a. Saturasi oksigen dengan a. Berikan pasien pakaian yang longgar
gangguan integritas aktivitas b. Bantu pasien dalam berjalan untuk mencegah cedera
muskulosketetal b. Nadi dengan aktivitas c. Kondisikan bed untuk mudah ditinggikan atau dinaikkan,
Karakteristik : c. RR dengan aktivitas sesuai kebutuhan pasien
penurunan gerak d. Mudah dalam bernapas d. Instruksikan kepada pasien bagaimana tahap untuk
otot, penurunan dengan aktivitas berganti posisi sebelum berpindah tempat
rentang gerak, e. Warna kulit e. Sediakan alat bantu seperti kursi roda untuk ambulasi
tremor f. Mudah dalam melakukan f. Konsultasikan dengan fisioterapis mengenai rencana
ADL ambulasi, jika dibutuhkan
g. Mampu berbicara dengan
aktivitas fisik

4 Resiko jatuh b/d Fall Prevention Behavior (1-5) Fall prevention


mobilitas terganggu Indikator : a. Identifikasi kebiasaan dan faktor yang dapat berdampak
a. Menempatkan pelindung pada risiko jatuh
untuk mencegah jatuh b. Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat
b. Menggunakan alas kaki meningkatkan potensial untuk jatuh
tidak licin c. Instruksikan pasien untuk menggunakan alat bantu
c. Menyediakan pencahayaan berjalan sesuai kebutuhan
yang memadai d. Lakukan perawatan pada alat bantu berjalan agar dalam
d. Mengatur ketinggian tempat kondisi layak pakai
tidur sesuai kebutuhan e. Jawab panggilan pasien dengan segera saat dibutuhkan
e. Mengatur ketinggian kursi f. Posisikan tempat tidur pada posisi paling rendah
sesuai kebutuhan g. Sediakan area penyimpanan pasien yang mudah
f. Kontrol kelelahan dijangkau
Positioning
a. Sediakan matras yang lembut
b. Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah
perubahan posisi
c. Tempatkan pasien pada posisi terapeutik
d. Imobilisasi atau support bagian tubuh yang sakit
e. Sediakan support yang sesuai untuk leher
f. Letakkan lampu panggil untuk petugas yang mudah
dijangkau pasien
5 Resiko konstipasi Bowel elimination (1-5) Bowel management
b/d perubahan a. Pola eliminasi a. Catat tanggal terakhir BAB pasien
lingkungan, b. Mampu mengontrol BAB b. Monitor BAB meliputi frekuensi, konsistensi, bentuk,
imobilisasi c. Warna feses jumlah, dan warna
d. Feses lunak berbentuk c. Monitor tanda dan gejala dari konstipasi
e. Mudah untuk mengeluarkan d. Monitor suara peristaltik
feses e. Laporkan jika suara peristaltik berkurang
f. Mengeluarkan feses tanpa f. Ajarkan pasien mengenai makanan dan minuman yang
bantuan dapat membantu agar dapat BAB secara teratur
g. Ajarkan pasien/keluarga untuk mengidentifikasi warna,
jumlah, frekuensi, dan konsistensi BAB
h. Berikan minuman hangat setelah makan
i. Anjurkan pasien untuk mengurangi intake makanan
bergas
j. Instruksikan pasien untuk mengkonsumsi makanan
berserat
k. Evaluasi profil pengobatan pasien terhadap efek samping
gastrointestinal
l. Berikan obat suppositoria bila diperlukan
6 Resiko infeksi b/d Physical Injury Severity (1-5) Infection protection
gangguan integritas a. Abrasi kulit a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal maupun
kulit sekunder b. Laserasi sistemik
akibat fraktur c. Terbakar b. Periksa riwayat bepergian nasional/internasional
d. Fraktur pasien
e. Memar c. Monitorhitung granulosit absolut dan WBC
f. Cedera gigi d. Batasi pengunjung
g. Cedera kepala tertutup e. Inspeksi area kemerahan, dan adanya drainase
h. Cedera kepala terbuka f. Berikan perawatan luka dengan teknik steril
i. Gangguan mobilitas g. Anjurkan pasein utnuk tirah baring
j. Gangguan kognitif h. Monitor perubahan energi atau kelelahan
k. Penurunan kesadaran i. Kolaborasikan pemberian antimikrobial
l. Kontusio hepar j. Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengenali tanda
m. Hemoragi dan gejala infeksi dan menganjurkan untuk segera
n. Ruptur limpa melapor ke petugas kesehatan jika ditemukan
o. Trauma abdominal

Surgical Recovery (1-5)


a. TD sistole
b. TD diastole
c. Stabilitas hemodinamik
d. Temperatur
e. Kecepatan dan irama nadi
radialis
f. Kedalaman inspirasi
g. Urin output
h. Bising usus
i. Keseimbangan eliminasi
j.
Keseimbangan elektrolit
k.
Hidrasi
l.
Kadar gula darah
m.
Integritas kulit
n.
Penyembuhan luka
o.
Kognisi
p.
Konsentrasi
q.
Tidur
r.
Kemampuan latihan yang
dianjurkan
s. Kemampuan memahami
perawatan luka
7 PK : Syok Shock Severity : Hipovolemic (1-5) Bleeding Reduction : Wound
Hipovolemik a. Penurunan tekanan nadi a. Berikan penekanan manual pada area yang mengalami
b. Penurunan MAP perdarahan
c. Penurunan TD sistole dan b. Berikan dressing untuk menekan sumber perdarahan
diastole c. Gunakan alat mekanis (misal : C-type clamp) bila
d. Keterlambatan CRT perlu
e. Peningkatan nadi d. Monitor TTV
f. Aritmia e. Monitor intake dan output
g. Nyeri dada f. Elevasikan ekstremitas yang mengalami perdarahan
h. Peningkatan RR g. Monitor ukuran dan karakter hematom
i. Crackles h. Monitor denyut nadi distal pada are yang mengalami
j. Penurunan oksigen arteri perdarahan
k. Pucat, dingin, basah i. Instruksikan pasien untuk mengurangi aktivitas
l. Diaforesis Oxygen Therapy
m. Konfusi a. Bersihkan mulut, hidung, dan trakea dari sekret
n. Letargi b. Jaga kepatenan jalan napas
o. Pemanjangan waktu c. Berikan oksigen, pantau aliran jumlah oksigen
koagulasi d. Monitor keefektifan terapi oksigen (pulse oximetry,
p. Asidosis metabolik ABGs)
q. Hiperkalemi e. Observasi tanda-tanda hipoventilasi karena oksigen
r. Haus f. Monitor tanda-tanda toksisitas oksigen dan atelektasis
s. Pernapasan dangkal
t. BU hipoaktif
u. Penurunan urin output
v. Penurunan kesadaran
w. Reflek pupil lemah

Anda mungkin juga menyukai