1-Article Text-1-3-10-20201230
1-Article Text-1-3-10-20201230
Oleh
Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqqi
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perkumpulan Pengacara Muda Indonesia
Daerah Istimewa Yogyakarta
Email: ellectra_aa@yahoo.co.id
Abstrak
Advokat sebagai sebuah profesi memiliki kode etik yang harus ditaati oleh anggota
organisasi profesi. Penerapan kode etik dalam profesi hukum sangat penting karena
dipakai sebagai salah satu bentuk ketahanan moral profesi Advokat dengan menjelaskan
tentang fungsi kode etik tersebut di dalam masyarakat tentang penegakan dan penerapan
kode etik tersebut. Banyaknya organisasi advokat menimbukan inflasi advokat.
Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan regulasi mengenai kode etik advokat yang
humanis dan transedental. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif
menggunakan studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini
menemukan konsep kode etik advokat yang humanis dan transedental sebagai jalan
ikhtiar untuk menginternalisasikan sifat Rasul. Etika ini berorientasi pada kesadaran
tertinggi manusia, yaitu kesadaran ketuhanan dan kenabian. Implikasinya, para
pengambil kebijakan tidak hanya mengadopsi suatu standar universal yang berlaku
umum. Kode etik juga seharusnya ditelaah lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan
norma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu
sehingga keadilan hukum akan semakin mendekati kenyataan.
Kata Kunci: Kode Etik, Humanis, Transedental
A. PENDAHULUAN
Akar kata advokat, apabila didasarkan pada Kamus Latin Indonesia dapat
ditelusuri dari bahasa Latin yaitu advocates yang berarti antara lain yang membantu
seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan.1 Menurut English Languange
Dictionary, advokat dapat didefinisikan sebagai seorang pengacara yang berbicara
atas nama seorang atau membela mereka di pengadilan. Definisi atau pengertian
advokat tersebut menunjukkan bahwa cakupan pekerjaan advokat dapat meliputi
pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan dan di luar pengadilan.
Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat,
maka penggunaan istilah advokat di dalam praktinya belum ada yang baku untuk
sebutan profesi tersebut. Misanya dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 serta terakhir diganti dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menggunakan istilah
bantuan hukum dan advokat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
1
V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Erlangga, Jakarta, 2011, hal. 2.
1
Vol.6 No.2, Desember 2020
2
Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 1.
3
Luhut M. P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan
Profesi, Djambatan, Jakarta, 2002, hal 6.
2
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara
edaran kedua yang berjudul Bar Nasional yang Mandiri, yang terurai dalam dua hal,
yaitu:
1. Kata “mandiri” mengandung arti bebas, merdeka dan berdiri sendiri di dalam
menjalankan misinya untuk mengisi kemerdekaan, menunjang dan turut serta
dalam pembangunan bangsa dan negara pada umumnya dan pembangunan hukum
pada khususnya dan semua itu tentu saja berdasarkan keadaan falsafah Pancasila
dan UUD 1945.
2. Lebih lanjut kemandirian Bar Nasional dapat dijabarkan lagi menjadi
a. Berwenang sepenuhnya dalam memecat atau mengangkat anggota;
b. Keputusan itu mendapat efek sosial hukum, dalam arti mengikat dan harus
ditaati oleh instansi penegak hukum lain, seperti polisi, hakim, jaksa dan lain-
lain;
c. Bebas dari pengaruh pihak manapun;
d. Berdiri sama tegak dengan penegak hukum lain catur wangsa;
e. Anggota bebas menganut agama, kepercayaan, keyakinan aliran poiltik yang
sah, tetapi tidak dapat merangkap pekerjaan atau jabatan yang dapat
mengakibatkan keterikatan yang akhirnya dapat menimbulkan confict of
interest.
Jika dipahami, gagasan dalam surat di atas ternyata terwujud dalam Undang-
undang No. 18 Tahun 2003 setidaknya dalam tiga hal:
1. Advokat adalah mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun;
2. Advokat berhak untuk mengangkat dan memecat anggotanya;
3. Advokat diakui sebagai penegak hukum.
Kemudian, keinginan untuk membentuk Bar Nasional Mandiri tercapai pada
tanggal 10 November 1985 dengan membentuk wadah tunggal advokat yang diberi
nama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Namun, perlu dicatat dua hal dalam
pembentukan wadah tunggal Ikadin:
1. Bahwa PERADIN tidak pernah dibubarkan. Peradin hanya masuk dalam ke dalam
kondisi demisioner karena ditinggalkan anggota-anggotanya yang bergabung
dalam Ikadin. Karena itu tidak mengherankan bahwa, pada Desember 2000,
pengurus Peradin Cabang Jakarta memasang iklan di mingguan Tempo yang
meminta anggota Peradin melakukan pendaftaran ulang;
2. Anggota PERADIN mencurigai bahwa ada satu rencana diam-diam untuk
menempatkan para advokat di bawah kontrol pemerintah yang dicoba untuk
dilakukan dengan menempatkan pensiunan militer pada organisasi advokat,
sehingga ketua pertama Ikadin berasal dari kalangan militer dan dengan negosiasi
yang sangat alot akhirnya Harjono Tjitrosoebono terpilih sebagai ketua pertama
Ikadin. Sebenarnya, pemerintah tidak hanya berhenti sampai menciptakan wadah
tunggal IKADIN, namun pada waktu itu berambisi untuk menyatukan seluruh
komponen profesi, termasuk pengacara praktik dan pokrol bambu. Akan tetapi,
rencana itu kandas karena ditentang advokat sendiri. Pemerintah akhirnya berpikir
semakin realistis dengan memberikan izin pendirian Ikatan Penasihat Hukum
Indonesia (IPHI) pada tahun 1987 sebagai wadah pengacara praktik.
Memang, pada akhirnya Ikadin tidak dapat bertahan lama, karena tidak
ditindak lanjuti secara konsisten oleh pendirinya. Terjadi perpecahan di tubuh Ikadin
sebagai akibat dari sekelompok pengurus Ikadin tidak setuju dengan beleid
(kebijakan) Dewan Pimpinan Pusat Ikadin dan puncaknya adalah insiden pada waktu
berlangsung kongres sekitar tahun 1990 di Hotel Horison ketika sebagian anggota
3
Vol.6 No.2, Desember 2020
Ikadin mundur dan mendirikan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Karena itu, sejak
peristiwa tersebut di atas hingga tahun 2001, termasuk organisasi advokat di atas,
ditemukan beberapa organisasi advokat:
1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
2. Asosiasi Advokat Indonsia (AAI);
3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);
4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
6. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM);
7. Badan Pembelaan & Konsultasi Hukum MKGR (BPKH MKGR)
8. Bina Bantuan Hukum (BHH);
9. Lembaga Bantuan & Pengembangan Hukum Kosgoro;
10. Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Trisula (LKBH Trisula);
11. Lembaga Pelayanan & Penyuluan Hukum (LPPH);
12. Perhimpunan Organisasi Pengacara Indonesia;
13. Persatuan Advokat Indonesia (Peradin);
14. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
15. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
16. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM);
17. Perhimpunan Ahli Hukum Spesialis Indonesia (Pahsindo);
18. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI);
19. Jakarta Lawyers Club (JLC);
20. Perhimpunan Pengacara Persaingan Usaha (Perhumpus);
21. Perhimpunan Pengacara Kepailitan.
Seiring dengan perjalanan waktu, organisasi-organisasi advokat tumbuh subur,
sedangkan undang-undang advokat belum ada. Karena itu, niat untuk membentuk
satu Organisasi Profesi Advokat Indonesia (Indonesia Bar Association) tumbuh
makin besar. Untuk itu dibuat Kesepakatan Bersama Organisasi Profesi Advokat
Indonesia pada tanggal 11 Pebruari 2002 untuk membentuk Komite Kerja Advokat
Indonesia (KKAI) yang dideklarasikan oleh:
1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
2. Asosiasi Advokat Indonsia (AAI);
3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);
4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
7. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM).
Organisasi-organisasi advokat di atas disebut sebagai organisasi advokat pra-
undang-undang Advokat. Dengan kehadiran KKAI, Forum Kerja Advokat Indonesia
(FKAI) meleburkan diri ke dalam KKAI sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI
adalah satu-satunya forum organisasi profesi advokat Indonesia. Dalam perjalanan
pembentukan undang-undang advokat, KKAI memberikan sumbangan yang sangat
berharga dan berguna. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang cukup panjang,
undangundang keadvokatan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 5 April
2003.4
4
V. Harlen Sinaga, Op. Cit., hal. 11.
4
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara
Hal itu merupakan tonggak sejarah besar dalam dunia hukum Indonesia.
Alasannya ialah karena kehadiran undang-undang tersebut telah sangat lama
dinantikan oleh para advokat sebagai payung hukum bagi para advokat dalam
melakukan hak-hak dan kewajibannya sebagai profesional hukum. Perlu dicatat dan
ditegaskan bahwa pengundangan dan pemberlakuan undang-undang advokat tersebut
terjadi pada waktu yang sama. Upaya untuk membentuk organisasi tunggal (single
bar association) advokat di Indonesia memang selalu mendapat tantangan dan
bahkan tidak jarang didahului dengan konflik antar organisasi profesi advokat,
apalagi pasca dikeluarkannya SKMA No. 73 tahun 2015 memunculkan fakta bahwa
pada dasarnya bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang majemuk atau
multikultural (pluralisme), yang mana hal ini sesuai dengan wujud jiwa Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, adanya persatuan
advokat, dalam menggagas masa depan advokat bisa terwujud dalam cara alternatif
yaitu organisasi advokat federasi dengan tetap bisa mengakomodir banyaknya
organisasi yang sekarang ada. Demi kesatuan, namun tidak menabrak hak-hak
berserikat berkumpul dan hak konstitusi lainnya, maka perlu dibentuk adanya
Majelis Kehormatan Advokat Nasional. Majelis Kehormatan Advokat Nasional
merupakan wadah pengikat berbagai organisasi advokat. Dengan demikian kesatuan
dan persatuan tetap akan terbentuk, namun kebebasan beroganisasi tetap dilindungi
Advokat dalam menjalankan tugasnya (khusunya pada proses litigasi) secara
sadar menghadapi dilema etika yang mungkin timbul dalam mewakili kliennya untuk
memegang kode etik dan tidak menyuap penegak hukum lainnya. Namun para
advokat sadar, kalau tidak memberi, perkaranya akan kalah. Cukup banyak
pemberitaan di surat kabar tentang polisi, jaksa, dan hakim yang meminta imbalan
berkenaan dengan perkara yang mereka tangani. Advokat yang kuat akan
menghindar dari perbuatan yang tercela tersebut. Perilaku advokat yang negatif itu
tak dapat dilepaskan dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan pengejawantahan kode etik profesi advokat yang seharusnya sudah
terinternalisasi dalam diri dan terwujud pada perilaku, sedangkan faktor eksternal
berkaitan dengan tuntutan untuk memenangkan setiap perkara yang dihadapi dan
pengawasan atas kinerja yang dilakukan advokat dalam menyelesaikan setiap perkara
yang ditanganinya. Dalam manajemen modern, pengawasan (controlling) merupakan
faktor penting dalam keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuan. Pengawasan
terhadap advokat dalam dilakukan terhadap dua hal, yaitu pengawasan atas
pelaksanaan kode etik profesi dan kinerja yang dilakukannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pembentukan kode etik advokat yang humanisa dan transedental?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
terhadap hukum sebagai law in action, merupakan studi ilmu sosial yang non-
doktrinal dan bersifat empiris. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-
kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
D. PEMBAHASAN
Kode etik advokat dapat juga disebut sebagai etika profesi advokat. Dalam
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir,
5
Vol.6 No.2, Desember 2020
kebiasaan, adat, perasaan, sikap. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada
beberapa pengertian yang dapat dipakai untuk kata Etika, antara lain:
1. Etika sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak (untuk mengatur tingkah
lakunya);
2. Etika sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral;
3. Etika sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu
masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.
Beberapa pendapat tentang pengertian kode etik advokat:
1. Menurut Muhammad Sanusi mendefinisikan kode etik advokat sebagai ketentuan
atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak
boleh dilakukan seorang penasehat hukum dalam menjalankan kegiatan
profesinya, baik sewaktu beracara di muka pengadilan maupun di luar
pengadilan.5
2. Sidharta berpendapat bahwa Kode Etik Profesi adalah seperangkat kaedah
perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
3. Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik
Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi,
yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap
advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik
kepada klien, pengadilan, negara, UUD, lawan berperkara, rekan advokat atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.6
Dengan demikian, kode etik advokat diartikan sebagai pengaturan tentang
perilaku anggota-anggota, baik dalam interaksi sesama anggota atau rekan anggota
organisasi advokat lainnya maupun dalam kaitannya di muka pengadilan, baik
beracara di dalam maupun diluar pengadilan. Profesi advokat tidak bisa dilepaskan
dari kode etik (Code of conduct) yang memiliki nilai dan moral di dalamnya. Kode
etik advokat ini berguna untuk mencegah kemungkinan adanya terjadi konflik antara
sesama profesi advokat. Kode etik advokat merupakan kaidah yang telah ditetapkan
untuk dijadikan pedoman oleh advokat dalam berbuat dan sekaligus menjamin mutu
moral profesi advokat dimata masyarakat. Subekti menilai bahwa “fungsi dan tujuan
kode etik adalah menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara
kesejahteraan para anggotanya dengan melarang perbuatan-perbuatan yang akan
merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.” Sedangkan, peranan kode etik,
dapat digariskan:
1. Kode Etik ditujukan untuk melindungi anggota-anggotanya dalam menghadapi
tindakan-tindakan yang tidak jujur;
2. Kode Etik mengatur hubungan antar anggota;
3. Kode Etik sebagai pelindung dari campur tangan pihak luar atau perlakuan yang
tidak adil;
4. Kode Etik meningkatkan pengembangan kwalitas profesi dalam praktek, yang
sesuai dengan cita-cita masyarakat;
5. Kode Etik mengatur hubungan antara profesi dengan pelayanan yang memang
dibutuhkan oleh masyarakat umum.
Ada 3 maksud yang terkandung dalam pembentukan kode etik, yakni:
5
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, Ghalia
Indonesia, Jakarta,2003, hal. 88.
6
http://lawyersinbali.wordpress.com/2014/10/07/profesi-dan-kode-etik-profesi-advokat-indonesia/
6
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara
7
Vol.6 No.2, Desember 2020
kebenaran keadilan bagi klien (pihak yang berperkara) dikarenakan posisi kliennya
masih tersangka yang memerlukan bantuan untuk membuktikan ia bersalah atau
tidak.
Penegakan sanksi etik anggota organisasi advokat biasanya ditugaskan kepada
suatu badan atau Dewan Kehormatan Profesi. Badan itu selain menjaga aturan
perundang-undangan dan kode etik profesi itu dipatuhi oleh seluruh anggota.
Mempunyai kewenangan untuk melakukan penertiban atau tindakan yang bersifat
administratif terhadap anggota-anggotanya, yang nyata-nyata melanggar kode etik
profesi. Dalam upaya penanggulangan malpraktik advokat terdapat dua macam
aturan yang tertulis dalam Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003, yaitu
mengenai pengawasan dan penindakan. Namun, tindakan yang diambil oleh
Organisasi Advokat tidak selalu efektif, bila anggota yang telah dikenakan sanksi
tidak mau menaatinya dan kemudian pindah ke Organisasi Advokat lain ataupun
membuat Organisasi Advokat lain.
Kode etik yang sering dilanggar yang berkaitan dengan hubungan rekan
sejawat pada beberapa daerah penelitian adalah tidak diajukannya keberatan atas
perilaku rekan sejawat yang melanggar kode etik ke Komisi Pengawas atau Dewan
Kehormatan pada masing-masing organisasi advokat belum ada Komisi Pengawas
atau Dewan Kehormatan Profesi Advokat maupun keengganan untuk melaporkan
rekan sejawat meskipun kelengkapan organisasi itu sudah ada. Kemudian, karena ada
esprits de corps dan pemakluman sekaligus pembiaran dan perasaan senasib dalam
pencarian nafkah di bidang yang sama. Pemahaman yang keliru ini menyebabkan
maraknya pelanggaran kode etik advokat yang tak terjamah oleh lembaga pengawas.
Pemikiran utilitarianisme selalu dipertentangkan dengan deontology.
Utilitarianisme menekankan pada pentingnya manfaat dalam penilaian moral
sebagaimana ditekankan oleh pencetusnya yaitu Jeremy Bentham yang mengatakan
the greates happiness of the greates number. Pemikiran deontology berbanding
terbalik dengan utilitarianisme, karena yang dipentingkan bukan manfaat, akan tetapi
konsekuensi (termasuk manfaat) tidak boleh enentukan etis atau tidaknya suatu
perbuatan, yang menentukan adalah kewajiban apa yang seharusnya dilakukan.
Seorang advokat yang utilitarianis bisa saja menjadi pendukung teori hak dengan
mengembangkan naluri dasariah untuk selalu bahagia dengan cara mengumpulkan
harta sebanyak mungkin dari perkara yang ditangani dengan anggapan bahwa
menerima honorarium atau uang lainnya sebagai hak. Seorang utilitarianis dan
pendukung teori hak sebenarnya merupakan seorang hedonis. Hal ini berkebalikan
dengan pendukung deontologist dan teori kodrat yang bertindak sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan oleh kode etik profesinya, perundang-undangan maupun
tuntutan moral lainnya. Akan tetapi bagi advokat, apakah akan menjadi seorang
utilitarianis atau deontologist, pendukung teori hukum kodrat atau teori hak
merupakan suatu pilihan yang mengandung konsekuensi, dan sebagai bentuk
tanggung jawab profesi, pilihan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada klien,
pengadilan, negara, masyarakat, diri sendiri maupun organisasi advokat.
Pengawasan advokat dilakukan melalui dua cara, yaitu pengawasan internal
dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh Dewan Kehormatan Profesi yang
pada masa orde baru tidak bisa berjalan dengan lancar karena banyaknya campur
tangan pemerintah dalam organisasi profesi. Sedangkan, pengawasan eksternal
dilakukan oleh badan-badan peradilan yang berdasar amanat undang-undang diberi
kewenangan untuk melakukan hal tersebut, terlihat bahwa pemerintah memiliki porsi
8
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara
9
Vol.6 No.2, Desember 2020
dalam pengawasan advokat. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat (baik sebagai
klien maupun anggota masyarakat biasa yang memiliki informasi) perlu
dikembangkan, akan tetapi pertama-tama tentulah harus ada dasar hukum atau
landasan yuridis keterlibatan mereka.
E. PENUTUP
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan
profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik,
memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat
yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan
Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar
dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus
saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum
lainnya. Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum
tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun
membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.
Daftar Pustaka
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004.
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan Kepribadian, Jakarta:
Sinar Harapan, 1995.
Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus l945
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005.
John Rawls, A Theory of Justice, Harvard: Belknap, 1971.
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1989.
V. Harlen Sinaga Dasar-dasar Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga, 2011.
Luhut M. P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan
Kehormatan Profesi. Jakarta: Djambatan, 2002.
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, advokat, Notaris,
Kurator, dan Pengurus), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Solusi terhadap Praktik Peradilan Perdata di
Indonesia), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Rapaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Jakarta: Grasindo, 2003.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th Editions, St. Paul: West Publishing.
10