Anda di halaman 1dari 10

ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara

MENGGAGAS KODE ETIK ADVOKAT YANG HUMANIS DAN


TRANSENDENTAL

Oleh
Ellectrananda Anugerah Ash-shidiqqi
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perkumpulan Pengacara Muda Indonesia
Daerah Istimewa Yogyakarta
Email: ellectra_aa@yahoo.co.id

Abstrak
Advokat sebagai sebuah profesi memiliki kode etik yang harus ditaati oleh anggota
organisasi profesi. Penerapan kode etik dalam profesi hukum sangat penting karena
dipakai sebagai salah satu bentuk ketahanan moral profesi Advokat dengan menjelaskan
tentang fungsi kode etik tersebut di dalam masyarakat tentang penegakan dan penerapan
kode etik tersebut. Banyaknya organisasi advokat menimbukan inflasi advokat.
Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan regulasi mengenai kode etik advokat yang
humanis dan transedental. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif
menggunakan studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini
menemukan konsep kode etik advokat yang humanis dan transedental sebagai jalan
ikhtiar untuk menginternalisasikan sifat Rasul. Etika ini berorientasi pada kesadaran
tertinggi manusia, yaitu kesadaran ketuhanan dan kenabian. Implikasinya, para
pengambil kebijakan tidak hanya mengadopsi suatu standar universal yang berlaku
umum. Kode etik juga seharusnya ditelaah lebih lanjut mengenai kesesuaian dengan
norma dan ajaran kebaikan yang telah disampaikan oleh Nabi atau Rasul terdahulu
sehingga keadilan hukum akan semakin mendekati kenyataan.
Kata Kunci: Kode Etik, Humanis, Transedental

A. PENDAHULUAN
Akar kata advokat, apabila didasarkan pada Kamus Latin Indonesia dapat
ditelusuri dari bahasa Latin yaitu advocates yang berarti antara lain yang membantu
seseorang dalam perkara, saksi yang meringankan.1 Menurut English Languange
Dictionary, advokat dapat didefinisikan sebagai seorang pengacara yang berbicara
atas nama seorang atau membela mereka di pengadilan. Definisi atau pengertian
advokat tersebut menunjukkan bahwa cakupan pekerjaan advokat dapat meliputi
pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan dan di luar pengadilan.
Sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat,
maka penggunaan istilah advokat di dalam praktinya belum ada yang baku untuk
sebutan profesi tersebut. Misanya dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
sebagaimana diganti dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, dan diganti
dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 serta terakhir diganti dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menggunakan istilah
bantuan hukum dan advokat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-

1
V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Erlangga, Jakarta, 2011, hal. 2.

1
Vol.6 No.2, Desember 2020

undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menggunakan istilah


penasehat hukum.2
Departemen Hukum dan HAM menggunakan istilah pengacara dan Pengadilan
Tinggi menggunakan istilah advokat dan pengacara sedangkan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 menggunakan istilah advokat, di samping itu ada juga yang
menyebutnya dengan istilah pembela. Istilah penasehat hukum merupakan istilah
lama yang mana menurut Luhut M. P. Pangaribuan mengandung kelemahan yang
sifatnya mendasar. Pertama, istilah penasehat secara denotatif maupun konotatif
bermakna pasif. Kedua secara normatif sebagaimana diatur dalam RO seorang
Advocat en procureur dapat bertindak baik secra pasif maupun aktif dalam mengurus
perkara yang dikuasakan kepadanya.3 Advokat adalah mereka yang memberikan
bantuan atau nasehat baik dengan bergabung atau tidak dalam suatu persekutuan
penasehat hukum, baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai
pengacara atau advokat. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Sejarah terbentuknya Kode Etik Advokat dalam UU No. 18 Tahun 2003,
bermula dari keinginan advokat agar hak-hak dan kewajibannya mendapatkan
perlindungan hukum. Kode etik advokat dibentuk oleh para advokat yang bergabung
dalam organisasi advokat. Organisasi advokat di Indonesia bermula dari masa
kolonialisme dan pada masa itu jumlah advokat masih terbatas. Advokat hanya
ditemukan di kota-kota yang memiliki landraad (pengadilan negeri) dan raad van
justitie (dewan pengadilan). Para advokat yang tergabung dalam organisasi advokat
yang disebut Balie van Advocaten. Wadah advokat tersebut kemudian berubah
menjadi adalah Persatuan Advokat Indonesia, disingkat PAI, yang disusul dengan
pembentukan organisasi PAI di daerah-daerah. Kemudian, dalam Musyawarah
I/Kongres Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Toba di Solo, pada tanggal 30
Agustus 1964, secara aklamasi diresmikan pendirian Persatuan Advokat Indonesia,
disingkat dengan Peradin, sebagai pengganti PAI. Keanggotan Peradin bersifat
sukarela dan tidak ada paksaan untuk memasuki Peradin. Maka, tidak mengherankan
kalau pada akhirnya wadah-wadah profesi advokat tumbuh di Jakarta, seperti:
1. PUSBADHI (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum);
2. FOSKO ADVOKAT (Forum Studi dan Komunikasi Advokat);
3. HPHI (Himpunan Penasihat Hukum Indonesia);
4. BHH (Bina Bantuan Hukum);
5. PERNAJA;
6. LBH KOSGORO.

Pada tanggal 15 September 1984, Peradin mengeluarkan surat edaran (sirkuler)


yang berjudul Peradin Menyongsong Musyawarah Nasional Advokat. Tuntutan yang
paling menonjol dalam surat tersebut adalah pembentukan wadah tunggal advokat
dan diinstruksikan juga untuk menggiatkan hubungan dengan para anggota dengan
memperbanyak pertemuan satu sama lain agar anggota dapat mengikuti
perkembangan. Pada tanggal 24 Nopember 1984, Peradin mengeluarkan lagi surat

2
Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 1.
3
Luhut M. P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan
Profesi, Djambatan, Jakarta, 2002, hal 6.

2
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara

edaran kedua yang berjudul Bar Nasional yang Mandiri, yang terurai dalam dua hal,
yaitu:
1. Kata “mandiri” mengandung arti bebas, merdeka dan berdiri sendiri di dalam
menjalankan misinya untuk mengisi kemerdekaan, menunjang dan turut serta
dalam pembangunan bangsa dan negara pada umumnya dan pembangunan hukum
pada khususnya dan semua itu tentu saja berdasarkan keadaan falsafah Pancasila
dan UUD 1945.
2. Lebih lanjut kemandirian Bar Nasional dapat dijabarkan lagi menjadi
a. Berwenang sepenuhnya dalam memecat atau mengangkat anggota;
b. Keputusan itu mendapat efek sosial hukum, dalam arti mengikat dan harus
ditaati oleh instansi penegak hukum lain, seperti polisi, hakim, jaksa dan lain-
lain;
c. Bebas dari pengaruh pihak manapun;
d. Berdiri sama tegak dengan penegak hukum lain catur wangsa;
e. Anggota bebas menganut agama, kepercayaan, keyakinan aliran poiltik yang
sah, tetapi tidak dapat merangkap pekerjaan atau jabatan yang dapat
mengakibatkan keterikatan yang akhirnya dapat menimbulkan confict of
interest.
Jika dipahami, gagasan dalam surat di atas ternyata terwujud dalam Undang-
undang No. 18 Tahun 2003 setidaknya dalam tiga hal:
1. Advokat adalah mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun;
2. Advokat berhak untuk mengangkat dan memecat anggotanya;
3. Advokat diakui sebagai penegak hukum.
Kemudian, keinginan untuk membentuk Bar Nasional Mandiri tercapai pada
tanggal 10 November 1985 dengan membentuk wadah tunggal advokat yang diberi
nama Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Namun, perlu dicatat dua hal dalam
pembentukan wadah tunggal Ikadin:
1. Bahwa PERADIN tidak pernah dibubarkan. Peradin hanya masuk dalam ke dalam
kondisi demisioner karena ditinggalkan anggota-anggotanya yang bergabung
dalam Ikadin. Karena itu tidak mengherankan bahwa, pada Desember 2000,
pengurus Peradin Cabang Jakarta memasang iklan di mingguan Tempo yang
meminta anggota Peradin melakukan pendaftaran ulang;
2. Anggota PERADIN mencurigai bahwa ada satu rencana diam-diam untuk
menempatkan para advokat di bawah kontrol pemerintah yang dicoba untuk
dilakukan dengan menempatkan pensiunan militer pada organisasi advokat,
sehingga ketua pertama Ikadin berasal dari kalangan militer dan dengan negosiasi
yang sangat alot akhirnya Harjono Tjitrosoebono terpilih sebagai ketua pertama
Ikadin. Sebenarnya, pemerintah tidak hanya berhenti sampai menciptakan wadah
tunggal IKADIN, namun pada waktu itu berambisi untuk menyatukan seluruh
komponen profesi, termasuk pengacara praktik dan pokrol bambu. Akan tetapi,
rencana itu kandas karena ditentang advokat sendiri. Pemerintah akhirnya berpikir
semakin realistis dengan memberikan izin pendirian Ikatan Penasihat Hukum
Indonesia (IPHI) pada tahun 1987 sebagai wadah pengacara praktik.
Memang, pada akhirnya Ikadin tidak dapat bertahan lama, karena tidak
ditindak lanjuti secara konsisten oleh pendirinya. Terjadi perpecahan di tubuh Ikadin
sebagai akibat dari sekelompok pengurus Ikadin tidak setuju dengan beleid
(kebijakan) Dewan Pimpinan Pusat Ikadin dan puncaknya adalah insiden pada waktu
berlangsung kongres sekitar tahun 1990 di Hotel Horison ketika sebagian anggota

3
Vol.6 No.2, Desember 2020

Ikadin mundur dan mendirikan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Karena itu, sejak
peristiwa tersebut di atas hingga tahun 2001, termasuk organisasi advokat di atas,
ditemukan beberapa organisasi advokat:
1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
2. Asosiasi Advokat Indonsia (AAI);
3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);
4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
6. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM);
7. Badan Pembelaan & Konsultasi Hukum MKGR (BPKH MKGR)
8. Bina Bantuan Hukum (BHH);
9. Lembaga Bantuan & Pengembangan Hukum Kosgoro;
10. Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Trisula (LKBH Trisula);
11. Lembaga Pelayanan & Penyuluan Hukum (LPPH);
12. Perhimpunan Organisasi Pengacara Indonesia;
13. Persatuan Advokat Indonesia (Peradin);
14. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
15. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
16. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM);
17. Perhimpunan Ahli Hukum Spesialis Indonesia (Pahsindo);
18. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI);
19. Jakarta Lawyers Club (JLC);
20. Perhimpunan Pengacara Persaingan Usaha (Perhumpus);
21. Perhimpunan Pengacara Kepailitan.
Seiring dengan perjalanan waktu, organisasi-organisasi advokat tumbuh subur,
sedangkan undang-undang advokat belum ada. Karena itu, niat untuk membentuk
satu Organisasi Profesi Advokat Indonesia (Indonesia Bar Association) tumbuh
makin besar. Untuk itu dibuat Kesepakatan Bersama Organisasi Profesi Advokat
Indonesia pada tanggal 11 Pebruari 2002 untuk membentuk Komite Kerja Advokat
Indonesia (KKAI) yang dideklarasikan oleh:
1. Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin);
2. Asosiasi Advokat Indonsia (AAI);
3. Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI);
4. Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
5. Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
6. Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
7. Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM).
Organisasi-organisasi advokat di atas disebut sebagai organisasi advokat pra-
undang-undang Advokat. Dengan kehadiran KKAI, Forum Kerja Advokat Indonesia
(FKAI) meleburkan diri ke dalam KKAI sehingga FKAI tidak ada lagi dan KKAI
adalah satu-satunya forum organisasi profesi advokat Indonesia. Dalam perjalanan
pembentukan undang-undang advokat, KKAI memberikan sumbangan yang sangat
berharga dan berguna. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang cukup panjang,
undangundang keadvokatan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 5 April
2003.4

4
V. Harlen Sinaga, Op. Cit., hal. 11.

4
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara

Hal itu merupakan tonggak sejarah besar dalam dunia hukum Indonesia.
Alasannya ialah karena kehadiran undang-undang tersebut telah sangat lama
dinantikan oleh para advokat sebagai payung hukum bagi para advokat dalam
melakukan hak-hak dan kewajibannya sebagai profesional hukum. Perlu dicatat dan
ditegaskan bahwa pengundangan dan pemberlakuan undang-undang advokat tersebut
terjadi pada waktu yang sama. Upaya untuk membentuk organisasi tunggal (single
bar association) advokat di Indonesia memang selalu mendapat tantangan dan
bahkan tidak jarang didahului dengan konflik antar organisasi profesi advokat,
apalagi pasca dikeluarkannya SKMA No. 73 tahun 2015 memunculkan fakta bahwa
pada dasarnya bangsa Indonesia itu merupakan bangsa yang majemuk atau
multikultural (pluralisme), yang mana hal ini sesuai dengan wujud jiwa Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, adanya persatuan
advokat, dalam menggagas masa depan advokat bisa terwujud dalam cara alternatif
yaitu organisasi advokat federasi dengan tetap bisa mengakomodir banyaknya
organisasi yang sekarang ada. Demi kesatuan, namun tidak menabrak hak-hak
berserikat berkumpul dan hak konstitusi lainnya, maka perlu dibentuk adanya
Majelis Kehormatan Advokat Nasional. Majelis Kehormatan Advokat Nasional
merupakan wadah pengikat berbagai organisasi advokat. Dengan demikian kesatuan
dan persatuan tetap akan terbentuk, namun kebebasan beroganisasi tetap dilindungi
Advokat dalam menjalankan tugasnya (khusunya pada proses litigasi) secara
sadar menghadapi dilema etika yang mungkin timbul dalam mewakili kliennya untuk
memegang kode etik dan tidak menyuap penegak hukum lainnya. Namun para
advokat sadar, kalau tidak memberi, perkaranya akan kalah. Cukup banyak
pemberitaan di surat kabar tentang polisi, jaksa, dan hakim yang meminta imbalan
berkenaan dengan perkara yang mereka tangani. Advokat yang kuat akan
menghindar dari perbuatan yang tercela tersebut. Perilaku advokat yang negatif itu
tak dapat dilepaskan dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan pengejawantahan kode etik profesi advokat yang seharusnya sudah
terinternalisasi dalam diri dan terwujud pada perilaku, sedangkan faktor eksternal
berkaitan dengan tuntutan untuk memenangkan setiap perkara yang dihadapi dan
pengawasan atas kinerja yang dilakukan advokat dalam menyelesaikan setiap perkara
yang ditanganinya. Dalam manajemen modern, pengawasan (controlling) merupakan
faktor penting dalam keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuan. Pengawasan
terhadap advokat dalam dilakukan terhadap dua hal, yaitu pengawasan atas
pelaksanaan kode etik profesi dan kinerja yang dilakukannya.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pembentukan kode etik advokat yang humanisa dan transedental?

C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan
terhadap hukum sebagai law in action, merupakan studi ilmu sosial yang non-
doktrinal dan bersifat empiris. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-
kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

D. PEMBAHASAN
Kode etik advokat dapat juga disebut sebagai etika profesi advokat. Dalam
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir,

5
Vol.6 No.2, Desember 2020

kebiasaan, adat, perasaan, sikap. Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada
beberapa pengertian yang dapat dipakai untuk kata Etika, antara lain:
1. Etika sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak (untuk mengatur tingkah
lakunya);
2. Etika sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral;
3. Etika sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu
masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.
Beberapa pendapat tentang pengertian kode etik advokat:
1. Menurut Muhammad Sanusi mendefinisikan kode etik advokat sebagai ketentuan
atau norma yang mengatur sikap, perilaku dan perbuatan yang boleh atau tidak
boleh dilakukan seorang penasehat hukum dalam menjalankan kegiatan
profesinya, baik sewaktu beracara di muka pengadilan maupun di luar
pengadilan.5
2. Sidharta berpendapat bahwa Kode Etik Profesi adalah seperangkat kaedah
perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
3. Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik
Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi,
yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap
advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik
kepada klien, pengadilan, negara, UUD, lawan berperkara, rekan advokat atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.6
Dengan demikian, kode etik advokat diartikan sebagai pengaturan tentang
perilaku anggota-anggota, baik dalam interaksi sesama anggota atau rekan anggota
organisasi advokat lainnya maupun dalam kaitannya di muka pengadilan, baik
beracara di dalam maupun diluar pengadilan. Profesi advokat tidak bisa dilepaskan
dari kode etik (Code of conduct) yang memiliki nilai dan moral di dalamnya. Kode
etik advokat ini berguna untuk mencegah kemungkinan adanya terjadi konflik antara
sesama profesi advokat. Kode etik advokat merupakan kaidah yang telah ditetapkan
untuk dijadikan pedoman oleh advokat dalam berbuat dan sekaligus menjamin mutu
moral profesi advokat dimata masyarakat. Subekti menilai bahwa “fungsi dan tujuan
kode etik adalah menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara
kesejahteraan para anggotanya dengan melarang perbuatan-perbuatan yang akan
merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.” Sedangkan, peranan kode etik,
dapat digariskan:
1. Kode Etik ditujukan untuk melindungi anggota-anggotanya dalam menghadapi
tindakan-tindakan yang tidak jujur;
2. Kode Etik mengatur hubungan antar anggota;
3. Kode Etik sebagai pelindung dari campur tangan pihak luar atau perlakuan yang
tidak adil;
4. Kode Etik meningkatkan pengembangan kwalitas profesi dalam praktek, yang
sesuai dengan cita-cita masyarakat;
5. Kode Etik mengatur hubungan antara profesi dengan pelayanan yang memang
dibutuhkan oleh masyarakat umum.
Ada 3 maksud yang terkandung dalam pembentukan kode etik, yakni:

5
Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, Advokat Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, Ghalia
Indonesia, Jakarta,2003, hal. 88.
6
http://lawyersinbali.wordpress.com/2014/10/07/profesi-dan-kode-etik-profesi-advokat-indonesia/

6
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara

1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral;


2. Menjaga dan meningkatkan kualitas keterampilan teknis;
3. Melindungi kesejahteraan materiil para pengemban profesi.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan
profesinya berada di bawah perlindungan hukum, Undang-undang dan kode etik,
memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat
yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan.
Dalam Bab II Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia Tentang Kepribadian Advokat,
disebutkan:
“Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan
keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan
yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah
jabatannya.”
Kode etik yang mengatur mengenai kepribadian advokat sangat berkaitan erat
dengan ethika. Ethika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang
perilaku yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik
dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Ethika moral ini
menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang mencakup theori nilai
tentang hakekat apa yang baik dan apa yang buruk, dan theori tentang perilaku
(conduct) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Moral ini
berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama atau kepercayaan maupun adat-
kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila
sebagai dasar ideologi Negara dan pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia,
sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan ethika moral bangsa Indonesia,
termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
menunjukkan bahwa, seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya adalah seorang advokat.
Profesi advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi
negara. Profesi Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai
organ Negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya adalah kalau Advokat
adalah lembaga privat yang berfungisi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan
Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum
maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Kesejajaran
tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan
hukum yang lebih baik.
Pada dasarnya, penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik jikalau antara
unsur masyarakat dan unsur penegak hukumnya saling berkesinambungan dalam
menjunjung tinggi prinsip serta tujuan hukum. Suatu unsur penegak hukum ia harus
memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil menentukan sah tidaknya
kuasa hukum sedangkan syarat materiil menggambarkan apa yang dilakukan kuasa
hukum benar-benar kehendak kliennya. Apabila ada perbedaan antara pihak formil
dan pihak materiil maka yang dimenangkan adalah pihak materiil yaitu klien, sebagai
pihak yang berkepentingan
Pada hakikatnya peran advokat dalam penegakan hukum bukanlah untuk
memenangkan perkara yang dihadapinya akan tetapi untuk memperjuangkan

7
Vol.6 No.2, Desember 2020

kebenaran keadilan bagi klien (pihak yang berperkara) dikarenakan posisi kliennya
masih tersangka yang memerlukan bantuan untuk membuktikan ia bersalah atau
tidak.
Penegakan sanksi etik anggota organisasi advokat biasanya ditugaskan kepada
suatu badan atau Dewan Kehormatan Profesi. Badan itu selain menjaga aturan
perundang-undangan dan kode etik profesi itu dipatuhi oleh seluruh anggota.
Mempunyai kewenangan untuk melakukan penertiban atau tindakan yang bersifat
administratif terhadap anggota-anggotanya, yang nyata-nyata melanggar kode etik
profesi. Dalam upaya penanggulangan malpraktik advokat terdapat dua macam
aturan yang tertulis dalam Undang-Undang Advokat No. 18 Tahun 2003, yaitu
mengenai pengawasan dan penindakan. Namun, tindakan yang diambil oleh
Organisasi Advokat tidak selalu efektif, bila anggota yang telah dikenakan sanksi
tidak mau menaatinya dan kemudian pindah ke Organisasi Advokat lain ataupun
membuat Organisasi Advokat lain.
Kode etik yang sering dilanggar yang berkaitan dengan hubungan rekan
sejawat pada beberapa daerah penelitian adalah tidak diajukannya keberatan atas
perilaku rekan sejawat yang melanggar kode etik ke Komisi Pengawas atau Dewan
Kehormatan pada masing-masing organisasi advokat belum ada Komisi Pengawas
atau Dewan Kehormatan Profesi Advokat maupun keengganan untuk melaporkan
rekan sejawat meskipun kelengkapan organisasi itu sudah ada. Kemudian, karena ada
esprits de corps dan pemakluman sekaligus pembiaran dan perasaan senasib dalam
pencarian nafkah di bidang yang sama. Pemahaman yang keliru ini menyebabkan
maraknya pelanggaran kode etik advokat yang tak terjamah oleh lembaga pengawas.
Pemikiran utilitarianisme selalu dipertentangkan dengan deontology.
Utilitarianisme menekankan pada pentingnya manfaat dalam penilaian moral
sebagaimana ditekankan oleh pencetusnya yaitu Jeremy Bentham yang mengatakan
the greates happiness of the greates number. Pemikiran deontology berbanding
terbalik dengan utilitarianisme, karena yang dipentingkan bukan manfaat, akan tetapi
konsekuensi (termasuk manfaat) tidak boleh enentukan etis atau tidaknya suatu
perbuatan, yang menentukan adalah kewajiban apa yang seharusnya dilakukan.
Seorang advokat yang utilitarianis bisa saja menjadi pendukung teori hak dengan
mengembangkan naluri dasariah untuk selalu bahagia dengan cara mengumpulkan
harta sebanyak mungkin dari perkara yang ditangani dengan anggapan bahwa
menerima honorarium atau uang lainnya sebagai hak. Seorang utilitarianis dan
pendukung teori hak sebenarnya merupakan seorang hedonis. Hal ini berkebalikan
dengan pendukung deontologist dan teori kodrat yang bertindak sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan oleh kode etik profesinya, perundang-undangan maupun
tuntutan moral lainnya. Akan tetapi bagi advokat, apakah akan menjadi seorang
utilitarianis atau deontologist, pendukung teori hukum kodrat atau teori hak
merupakan suatu pilihan yang mengandung konsekuensi, dan sebagai bentuk
tanggung jawab profesi, pilihan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada klien,
pengadilan, negara, masyarakat, diri sendiri maupun organisasi advokat.
Pengawasan advokat dilakukan melalui dua cara, yaitu pengawasan internal
dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh Dewan Kehormatan Profesi yang
pada masa orde baru tidak bisa berjalan dengan lancar karena banyaknya campur
tangan pemerintah dalam organisasi profesi. Sedangkan, pengawasan eksternal
dilakukan oleh badan-badan peradilan yang berdasar amanat undang-undang diberi
kewenangan untuk melakukan hal tersebut, terlihat bahwa pemerintah memiliki porsi

8
ISSN 2443 2784 Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara

yang besar dalam pengawasan terhadap advokat. Bahkan, Departemen Kehakiman


telah bertindak tidak sekadar mengawasi perilaku advokat di pengadilan, akan tetapi
juga sudah mencampuri urusan organisasi advokat.
Sesungguhnya tidak pada tempatnya pemerintah menjalankan fungsi
pengawasan terhadap advokat, yang disebabkan oleh tugas-tugas lain dari lembaga
pengawas dari pemerintah itu sudah terlalu banyak. Pengawasan seperti itu juga
menyebabkan independensi advokat dalam menjalankan tugasnya menjadi tidak bisa
dijaga, terutama pada penanganan perkara yang berkaitan dengan pemerintah.
Idealnya, pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Profesi,
karena advokatlah yang paling tahu seluk beluk profesi advokat.
Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menentukan bahwa
pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk
oleh Organisasi Advokat, di mana keanggotaan komisi itu terdiri dari advokat senior,
para ahli/akademisi, dan masyarakat. Selanjutnya ditentukan pula bahwa tata
carapengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Dewan Pengawas. Oleh karena
sifat pengawasan yang kurang maksimal dan hanya mengandalkan pada laporan atau
pengaduan saja, maka jumlah atau statistik yang menunjukkan advokat bermasalah di
setiap organisasi advokat.
Secara umum, pengawasan terhadap kinerja yang berkaitan dengan penegakan
kode etik memang dilakukan oleh Organisasi Profesi melalui Komisi Pengawas.
Akan tetapi, terhadap advokat yang berpraktik mandiri, pengawasan secara internal
tidak ada karena tidak mungkin mengawasi diri sendiri. Bagi advokat yang
berpraktik di kantor hukum atau organisasi bantuan hukum, pengawasan terhadap
kinerja maupun penegakan kode etik dilakukan oleh atasan atau pimpinannya. Meski
demikian, dapat saja terjadi pelanggaran kode etik yang merupakan hasil keputusan
bersama antara advokat dan pimpinannya sehingga kesalahan yang dilakukan tidak
lagi bersifat individual, tetapi juga organisasional (Raharjo, 2013).
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa keinginan menggebu-gebu dari
advokat untuk mempunyai lembaga pengawasan sendiri terlepas dari pemerintah
belum diikuti dengan langkah konkrit dari organisasi advokat. Alat kelengakapan
lembaga pengawas belum semua hadir di daerah, sehingga pembiaran terjadinya
pelanggaran kode etik masih dapat dijumpai. Perlu dilakukan langkah yang konkrit
dari organisasi advokat agar ke depan Dewan Kehormatan dan Komisi Pengawas
dapat terbentuk di semua daerah sehingga perkara-perkara yang ada di daerah dapat
diselesaikan tanpa terhalang jarak dan waktu. Persoalan yang muncul dalam
pengawasan advokat bukanlah persoalan yang bersifat tunggal yang dengan mudah
dapat dicarikan solusinya. Bukan pula bersebab tunggal apabila ada advokat yang
melakukan pelanggaran kode etik dalam menjalankan tugas profesinya, karena hal
tersebut sebenarnya berkelindan dengan persoalan-persoalan yang ada dalam
peradilan. Keinginan dari orang yang berkepentingan dalam penanganan suatu
perkara (para pihak, polisi, jaksa, hakim, dan advokat) membentuk lingkaran setan
yang melahirkan mafia peradilan. Selama lembaga pengawas tidak bisa menjangkau
ruang dan waktu yang digunakan oleh mereka yang berkepentingan dalam
penanganan suatu perkara maka selama itu pula pelanggaran kode etik akan terus
terjadi. Dewan Kehormatan dan Lembaga Pengawas pada akhirnya akan tetap
menjadi “macan ompong” seperti pada masa orde baru. Pemberdayaan masyarakat
dalam pengawasan kinerja advokat. Perundang-undangan yang ada sampai saat ini
belum memberi kesempatan atau memberi landasan yuridis keterlibatan masyarakat

9
Vol.6 No.2, Desember 2020

dalam pengawasan advokat. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat (baik sebagai
klien maupun anggota masyarakat biasa yang memiliki informasi) perlu
dikembangkan, akan tetapi pertama-tama tentulah harus ada dasar hukum atau
landasan yuridis keterlibatan mereka.

E. PENUTUP
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan
profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik,
memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat
yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan
Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar
dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus
saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum
lainnya. Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum
tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun
membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

Daftar Pustaka
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004.
Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan Kepribadian, Jakarta:
Sinar Harapan, 1995.
Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Jazim Hamidi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus l945
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005.
John Rawls, A Theory of Justice, Harvard: Belknap, 1971.
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1989.
V. Harlen Sinaga Dasar-dasar Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga, 2011.
Luhut M. P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan
Kehormatan Profesi. Jakarta: Djambatan, 2002.
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, advokat, Notaris,
Kurator, dan Pengurus), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Solusi terhadap Praktik Peradilan Perdata di
Indonesia), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Rapaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, Jakarta: Grasindo, 2003.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th Editions, St. Paul: West Publishing.

10

Anda mungkin juga menyukai