Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sampah merupakan buangan hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang
kurang dianggap memiliki nilai ekonomis. Dampak negatif yang seringkali
ditimbulkan oleh sampah menjadi masalah klasik di berbagai negara maju maupun
berkembang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
menyampaikan jumlah timbulan sampah secara nasional sebesar 175.000 ton per hari
atau setara 64 juta ton per tahun [1]. Jumlah sampah yang besar tersebut terutama
berasal dari sampah perkotaan. Jenis sampah terbesar yang dihasilkan yaitu sampah
organik dengan persentase sekitar 60% [2]. Timbunan sampah yang terus menerus
bertambah menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya polusi udara, sarang
penyakit, dan merusak pemandangan. Oleh karena itu, banyak pemerhati lingkungan
dan peneliti mulai mengembangkan teknik pengolahan sampah menjadi sesuatu yang
lebih berguna salah satunya menjadi energi (waste to energy).

Pengolahan sampah menjadi energi telah diterapkan pada pengoperasian


Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Pengembangan sistem pengolahan
sampah yang efektif dan efisien sangat diperlukan mengingat keterbatasan kapasitas
TPA untuk menampung jumlah tumpukan sampah yang terus bertambah. Tantangan
pengolahan sampah di Indonesia yaitu tingginya kadar air pada mayoritas sampah
organik. Hambatan tersebut menjadi tantangan tersendiri pengolahan sampah menjadi
energi listrik. Hal ini dapat mempengaruhi kadar kalor yang dimiliki oleh sampah
sehingga berdampak pada keluaran energi yang dihasilkan.

Oleh karena itu, Renewable Energy Technology Innovation for Wet Waste
(RETION2W) atau desain pengolahan sampah yang kami kembangkan ini dapat
menjadi salah satu upaya solutif untuk mengatasi tantangan pengolahan sampah
dengan kadar air tinggi yang menjadi masalah di Indonesia. Adapun desain
pengolahan sampah RETION2W ini terdiri dari beberapa komponen diantaranya
penyaringan logam, sistem penghubung (conveyor), mesin pencacah dan penggiling
sampah, microwave, pembentukan refuse derived fuel (RDF) dan incenerator.
Penggunaan microwave inilah yang kemudian dapat mengurangi kadar air lebih
efektif dari sampah organik dengan bantuan rottary drum dryer sebagai pengering.
Microwave merupakan alat pemanas yang menggunakan gelombang mikro sebagai pemacu
panas. Gelombang Mikro adalah gelombang elektromagnetis di cakupan frekuensi 300-
300.000 MHz. Radiasi gelombang mikro di g e l o m b a n g elektromagnetis di
cakupan frekuensi  00  00.000 /  &. 1adiasi gelombang m i k r o d i s e r a p o l e h
m o l e k u l p o l a r s e p e r t i a i r , l e m a k , g u l a s e r t a & a t l a i n p a d a makanan yang
kemudian mengeksitasi atomatom &at tersebut dan menghasilkan panas. emanasan
berlangsung serentak dan seragam karena semua atomtereksitasi dan menghasilkan panas
pada waktu yang bersamaan.

Desain pengolahan sampah ini juga memiliki kelebihan karena dapat


menghasilkan dua macam keluaran energi. Pertama, sebanyak 2/3 dari jumlah sampah
diolah di dalam insenerator untuk menghasilkan energi listrik melalui putaran turbin
akibat uap (steam) dari pembakaran sampah. Kedua, sebanyak 1/3 jumlah sampah
diolah menjadi RDF. Pembuatan RDF ini dimaksudkan untuk bahan bakar pada
insenerator sebagai upaya mengurangi ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil
serta penghematan biaya akibat pembelian bahan bakar karena dapat diproduksi
secara mandiri.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, didapat rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana sistem kerja dari desain RETION2W dalam mengolah sampah
perkotaan yang tidak terpilah dengan baik?
2. Mengapa microwave dapat mengurangi kadar air secara lebih efektif pada
sampah?
3. Apakah kelebihan dan kekurangan dari desain pengolahan sampah RETION2W
ini?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu.
1. Untuk mengetahui sistem kerja dari desain RETION2W dalam mengolah sampah
perkotaan yang sebagian besar memiliki kadar air tinggi.
2. Untuk mengetahui cara kerja microwave dalam mengurangi kadar air dari sampah
secara lebih efektif.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari desain pengolahan sampah
RETION2W.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan karya tulis ini yaitu.
1. Upaya solutif dalam pengembangan sistem pengolahan sampah yang efektif dan
efisien.
2. Pendayagunaan PLTSa sebagai upaya mencapai pemanfaatan energi baru
terbarukan (EBT) sebesar 23% di 2025.
3. Wujud realisasi negara menuju waste to energy.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Insinerator
Insinerator adalah tungku pembakaran yang digunakan untuk mengolah limbah
padat menjadi materi gas dan abu (bottom ash dan fly ash). Pengolahan sampah dengan
insinerasi dapat mengurangi volume, massa serta mengurangi sifat berbahaya dari
sampah infeksius. Faktor yang memegang peranan penting dalam insinerasi adalah
temperatur pembakaran dan waktu pembakaran sampah tersebut (Latief, A.S., 2012).
Temperatur pada saat pembakaran sampah di insinerator konvensional berkisar
pada 7600C di dalam furnace, selebihnya di ruang bakar sekunder berkisar 870 0C. Suhu
ini diperlukan untuk menghindari bau akibat pembakaran tidak sempurna, tetapi tidak
cukup untuk membakar atau bahkan melelehkan beberapa konten anorganik seperti
kaca. Untuk mengantisipasi kekurangan insinerator konvensional, beberapa insinerator
modern menggunakan suhu lebih tinggi hingga 16500C dengan menggunakan bahan
bakar tambahan. Hal ini dapat mengurangi volume limbah hampir 97% dan mengubah
beberapa konten anorganik seperti logam dan kaca menjadi gas inert ash.
Menurut (Hadiwiyoto, 1983 dalam Arif Budiman, 2001) menyatakan bahhwa
untuk merancang alat pembakar sampah diperlukan beberapa pertimbangan untuk
diperhatikan, yaitu jumlah udara pembakaran, sisa hasil pembakaran dan desain
insinerator. Menurut (Hadiwiyoto, 1983 dalam Arif Budiman, 2001) alat pembakaran
sampah terdapat dua jenis berdasarkan metode pembakaran yang berlangsung pada alat
tersebut, yaitu alat pembakar sampah tipe kontinyu dan tipe batch. Pada alat pembakar
sampah tipe kontinyu, sampah dimasukkan secara terus-menerus dengan debit tetap,
sedangkan pada alat pembakaran sampah tipe batch, sampah dimasukkan sampai
mencapai batas maksimum kemudian dibakar bersamaan.
Pada incenerator terdapat dua ruang bakar, yang terdiri dari primary chamber
dan secondary chamber (Gunadi Priyamba, 2013).
 Primary Chamber
Berfungsi sebagai tempat pembakaran limbah. Kondisi pembakaran
dirancang dengan jumlah udara untuk reaksi pembakaran kurang dari
semestinya,sehingga disamping pembakaran juga terjadi reaksi pirolisa. Pada reaksi
pirolisa material organik terdegradasi menjadi karbon monoksida dan metana.
Temperatur dalam primary chamber diatur pada rentang 600oC-800oC dan untuk
mencapai temperatur tersebut, pemanasan dalam primary chamber dibantu oleh
energi dari burner dan energi pembakaran yang timbul dari limbah itu sendiri. Udara
(oksigen) untuk pembakaran di suplai oleh blower dalam jumlah yang terkontrol.
Padatan sisa pembakaran di primary chamber dapat berupa padatan tak terbakar
(logam, kaca) dan abu (mineral), maupun karbon berupa arang. Tetapi arang dapat
diminimalkan dengan pemberian suplai oksigen secara continu selama pembakaran
berlangsung. Sedangkan padatan tak terbakar dapat diminimalkan dengan
melakukan penyortiran limbah terlebih dahulu.
 Secondary Chamber
Gas hasil pembakaran dan pirolisa perlu dibakar lebih lanjut agar tidak
mencemari lingkungan. Pembakaran gas-gas tersebut dapat berlangsung dengan
baik jika terjadi pencampuran yang tepat antara oksigen (udara) dengan gas hasil
pirolisa, serta ditunjang oleh waktu tinggal (retention time) yang cukup. Udara
untuk pembakaran di secondary chamber disuplai oleh blower dalam jumlah yang
terkontrol.Selanjutnya gas pirolisa yang tercampur dengan udara dibakar secara
sempurna oleh burner didalam secondary chamber dalam temperatur tinggi yaitu
sekitar 800 oC-1000oC. Sehingga gas-gas pirolisa (metana, etana dan hidrokarbon
lainnya) terurai menjadi gas CO2 dan H2O.
Insinerator juga memiliki beberapa jenis yang berbeda. Jenis incinerator yang
paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 adalah rotary kiln, multiple
hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber,aqueous waste
injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas
secara simultan. (Gunadi P. 2004)
 Incinerator Rottary Klin
Tipe ini cocok untuk menginsinerasi limbah yang mempunyai kandungan
air (water content) yang cukup tinggi dan volumenya cukup besar. Sistem
incinerator ini berputar pada bagian primary chamber, dengan tujuan untuk
mendapatkan pembakaran limbah yang merata keseluruh bagian. Proses
pembakarannya sama dengan tipe statis, terjadi dua kali pembakaran dalam
primary chamber untuk limbah dan secondary chamber untuk sisa-sisa gas yang
belum sempurna terbakar dalam primary chamber (Gunadi P. 2004).
 Multiple Hearth Incinerator
Multiple Hearth Incinerator terdiri dari suatu kerangka lapisan baja tahan api
dengan serangkaian tungku yang tersusun secara vertikal, satu di atas yang lainnya
dan biasanya berjumlah 5-8 buah tungku, shaft rabble arms beserta rabble teeth-
nya dengan kecepatan putaran 3/4–2 rpm. Umpan sampah dimasukkan dari atas
tungku secara terus menerus dan abu hasil proses pembakaran dikeluarkan melalui
silo. Burner dipasang pada sisi dinding tungku pembakar di mana pembakaran
terjadi. Udara diumpan masuk dari bawah, dan sampah diumpan masuk dari atas.
Limbah yang dapat diproses dalam multiple hearth incinerator memiliki
kandungan padatan minimum antara 15-50 %-berat. Limbah yang kandungan
padatannya di bawah 15 %-berat padatan mempunyai sifat seperti cairan daripada
padatan. Limbah semacam ini cenderung untuk mengalir di dalam tungku dan
manfaat rabbletidak akan efektif. Jika kandungan padatan di atas 50 % berat, maka
lumpur bersifat sangat viscous dan cenderung untuk menutup rabble teeth.Udara
dipasok dari bagian bawah furnace dan naik melalui tungku dengan membawa
produk pembakaran dan partikel abu. (Gunadi P. 2004)
 Fluidized Bed Incinerator
Fluidized bed incinerator adalah sebuah tungku pembakar yang
menggunakan media pengaduk berupa pasir seperti pasir kuarsa atau pasir silika,
sehingga akan terjadi pencampuran (mixing) yang homogen antara udara dengan
butiran-butiran pasir tersebut. Mixing yang konstan antara partikel-partikel
mendorong terjadinya laju perpindahan panas yang sangat cepat serta terjadinya
pembakaran sempurna. Fluidized bed incinerator normalnya tersedia dalam ukuran
berdiameter dari 9 sampai 34 ft. Pembakaran dengan teknologi fluidized bed
merupakan satu rancangan alternatif untuk pembakaran limbah padat. Harapan
pasir tersebut diletakkan di atas distributor yang berupa grid logam dengan dilapisi
bahan tahan api. Grid ini berisi suatu pelat berpori nosel-nosel injeksi udara atau
tuyeredi mana udara dialirkan ke dalam ruang bakar untuk menfluidisasi hamparan
(bed) tersebut. Aliran udara melalui nosel menfluidisasi hamparan sehingga
berkembang menjadi dua kali volume sebelumnya. Fluidisasi meningkatkan
pencampuran dan turbulensi serta laju perpindahan panas yang terjadi. Bahan
bakar bantu digunakan selama pemanasan awal untuk memanaskan hamparan
sampai temperatur operasi sekitar 750 sampai 900oC sehingga pembakaran dapat
terjaga pada temperatur konstan. Dalam beberapa instalasi, suatu sistem water
spray digunakan untuk mengendalikan temperatur ruang bakar.
Fluidized bed incinerator telah digunakan untuk macam-macam limbah
termasuk limbah perkotaan damn limbah lumpur. Reaktor unggun atau hamparan
fluidisasi (fluidized bed) meningkatkan penyebaran umpan limbah yang datang
dengan pemanasan yang cepat sampai temperatur pengapiannya (ignition) serta
meningkatkan waktu kontak yang cukup dan juga kondisi pencampuran yang hebat
untuk pembakaran sempurna. Pembakaran normalnya terjadi sendiri, kemudian
sampah hancur dengan cepat, kering dan terbakar di dalam hamparan pasir.Laju
pembakaran sampah meningkat oleh kontak langsung dengan partikel hamparan
yang panas. Aliran udara fluidisasi meniup abu halus dari hamparan. Gas-gas
pembakaran biasanya diproses lagi di wet scrubberdan kemudian abunya dibuang
secara landfill. (Gunadi P. 2004).
2.2. Gelombang Mikro (Microwave)
Gelombang mikro (microwave) adalah gelombang elektromagnetik yang
mempunyai panjang gelombang 1 meter – 1 mm atau frekuensi 300 Mhz – 300 Ghz.
Jika gelombang mikro diserap oleh sebuah benda/partikel, akan muncul efek
pemanasan pada benda/partikel tersebut.Pemanasan dengan gelombang mikro
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pemanasan konvensional, karena panas
dibangkitkan secara internal akibat getaran molekul-molekul bahan yang ingin
dipanaskan oleh gelombang mikro. Pemanasan dengan gelombang mikro mempunyai
kelebihan yaitu pemanasan lebih merata karena bukan mentransfer panas dari luar
tetapi membangkitkan panas dari dalam bahan tersebut. Pemanasannya juga dapat
bersifat selektif artinya tergantung dari dielektrik properties bahan. Hal ini akan
menghemat energi untuk pemanasan (Wilujeng, 2011).
2.3. Refused Derived Fuel (RDF)
RDF adalah salah satu dari penerapan waste to energy secara termal. RDF
dihasilkan dari proses pengurangan kadar air hingga < 25% dan proses pencacahan atau
penghancuran material menjadi lebih kecil. Pengurangan kadar air akan menaikkan
nilai kalor yang akan memudahkan dalam proses pembakaran. Komponen yang dapat
dijadikan RDF adalah bahan yang mengandung karbon. Bahan baku seperti logam,
kaca, dan lainnya harus dipisahkan terlebih dahulu (Damanhuri,2010).
Komposisi RDF yang ideal terdiri dari plastik, kertas/karton, polimer wadah
tekstil, kayu dan bahan organik lainnya (Pohl et al., 2008). Nilai kalor yang tinggi dapat
dihasilkan apabila sebagian besar sampah terdiri dari kertas, plastik, kayu, dan tekstil.
Selain material tersebut, komposisi lain sampah mengandung senyawa biogenik (40-80
% b/b) juga dapat menjadi bahan alternatif dalam pembuatan RDF. Keunggulan dari
RDF adalah biaya produksinya yang rendah dan nilai kalor yang dihasilkan signifikan
(Hibler et al., 2007). Sedangkan kekurangan dari RDF yaitu heterogenitas, kelembaban
dan kadar abu yang tinggi, kandungan klorin atau sulfur, tingginya kalor pembakaran
dan masalah korosif yang seringkali terjadi di ketel (boiler) (Chatziaras et al., 2016).
RDF sering digunakan pada industri semen dengan cara mencampurkannya
dengan bahan bakar untuk tujuan ekonomis. Hal tersebut sebagai upaya pengurangan
bahan bakar fosil serta upaya mengurangi peningkatan gas rumah kaca (green house
gas effect) (Brás et al., 2017). Produksi RDF mengharuskan sampah berada dalam
keadaan kering, kemudian dicacah agar menghasilkan ‘potongan halus’ atau dapat juga
dibuat menjadi pelet. Peletisasi merupakan cara yang dilakukan untuk densifikasi massa
dan energi dari bahan baku RDF tersebut (KESDM, 2017). Bentuk RDF yang telah
diolah ke dalam bentuk pelet ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut (KESDM, 2017)

Gambar 1. Pelet RDF

Saat ini, salah satu tempat produksi RDF di Indonesia yaitu ada di Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) Desa Tritih Lor, Kecamatan Jeruk Legi, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah. TPA tersebut memiliki kapasitas unutuk mengolah sampah menjadi
RDF yaitu 120 ton sampah/hari. Produksi RDF dilakukan dengan Teknologi
Mechanical-Biological Treatment (Pemilahan-Pencacahan-Biodrying) (Anonim,
2019).

2.4. Jenis-jenis RDF


American Society for Testing and Material (ASTM) telah mengklasifikasikan
RDF sebanyak tujuh tipe yang ditunjukkan pada tabel 2.2 berikut (Robinson, 1986).
Tabel 2.2 Klasifikasi RDF berdasarkan ASTM

Klasifikasi Deskripsi

RDF-1 Sampah kota yang digunakan dalam


bentuk buangan

RDF-2 Sampah kota yang diolah menjadi


partikel kasar dengan atau tanpa
pemisahan logam besi

RDF-3 Sampah kota yang diolah menjadi


partikel yang berukuran sedemikian
rupa sehingga 95% beratnya dapat
melewati saringan 2 inci (50 mm 2)
dan sebagian besar material berupa
logam, gelas, dan material organik
lainnya telah dihilangkan.

RDF-4 Sampah kota yang diolah menjadi


bentuk serbuk, 95% beratnya dapat
melewati saringan berukuran 10-
mesh dan sebagian besar material
berupa logam, gelas, dan material
organik lainnya telah dihilangkan

RDF-5 Sampah kota yang telah diolah dan


dipadatkan atau terkompresi menjadi
bentuk pelet, slug, cubettes, atau
bricquettes

RDF-6 Sampah kota ynag telah diolah


menjadi bahan bakar liquid

RDF-7 Sampah kota yang telah diolah


menjadi bahan bakar gas
DAFTAR PUSTAKA

[1] PPID KLHK. 2019. Tingkatkan Sirkular Ekonomi, KLHK Dirikan Pusat Daur Ulang
Sampah Kota Malang. https://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/1855 . Diakses pada 17
Juni 2019

[2] Balitbang Kemendagri. 2018. Riset: 24 Persen Sampah di Indonesia Masih Tak Terkelola.
http://litbang.kemendagri.go.id/website/riset-24-persen-sampah-di-indonesia-masih-tak-
terkelola/ . Diakses pada 17 Juni 2019

[3] Patil, A., Kulkarni, A., Patil, B. 2014. Waste to Energy by Incineration. Journal of
Computing Technologies. 3(6): 13.

[4] Wilujeng,R dan Fityatin, A. “Pembuatan Biodiesel Secara Kontinyu Dengan


Memanfaatkan Gelombang Mikro (Microwave). Skripsi Jurusan Teknik Kimia ITS Surabaya
(2011)

Anda mungkin juga menyukai