Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

ENDOMETRIOSIS

Oleh :
Fifin Samudra Indah Sari
K1A1 15 013

Pembimbing :
dr. Mono Valentino Yohanis, M.Kes, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Fifin Samudra Indah Sari

NIM : K1A1 15 013

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Endometriosis

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Maret 2021


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Mono Valentino Yohanis, M.Kes, Sp.OG

2
ENDOMETRIOSIS
Fifin Samudra Indah Sari, Mono Valentino Yohanis

A. Pendahuluan

Endometriosis adalah suatu kelainan ginekologi jinak ditandai dengan

adanya kelenjar dan stroma endometrium diluar lokasi normal. Jaringan

endometrium dapat dijumpai dimana saja pada tubuh, terutama pada ovarium

dan peri-toneum pelvis. Endometriosis merupakan suatu kelainan kronik yang

menjadi penyebab utama dari infertilitas, dismenorea, dispareunia dan nyeri

pelvis kronis dengan berbagai tingkat nyeri.1

Jaringan endometrium yang berada pada myometrium disebut sebagai

adenomiosis. Lokasi lainnya pada posterior uterus dan ligament rotundum,

ligament uterosacral, tuba falopi, kolon, dan apendik, dapat juga ditemukan

pada lokasi terjauh yaitu pada payudara, paru, dan otak. Endometriosis

merupakan penyakit yang tergantung pada estrogen, bersifat rekuren,

progresif, dan memerlukan terapi jangka panjang.1

Diperkirakan bahwa 8% hingga 10% wanita di dunia menderita

endometriosis. Endometriosis pada pelvis terdapat pada 6% hingga 43%

wanita yang dilakukan sterilisasi, 12% hingga 32% wanita yang menjalani

laparoskopi dengan indikasi nyeri panggul, dan 21% hingga 48% wanita yang

menjalani laparoskopi pada infertilitas.2

3
Endometriosis biasanya terjadi pada wanita usia reproduksi dan lebih

jarang pada wanita pascamenopause. Endometriosis lebih sering terjadi pada

wanita yang belum pernah memiliki anak. Banyak wanita dengan

endometriosis tidak menunjukkan gejala, dan diagnosis ditemukan hanya saat

dilakukan pembedahan untuk indikasi lain.2

B. Anatomi Sistem Reproduksi Wanita

Secara anatomi, sistem reproduksi wanita terdiri dari genitalia

eksternal dan genitalia internal. Genitalia eksternal terdiri dari mons pubis,

labia mayora, labia minora, klitoris, glandula vestibularis mayor, glandula

vestibularis minor.Sedangkan genitalia internal terdiri dari vagianhymen, tuba

uterina, uterus, ovarium.3

1. Genitalia Eksternal

a) Mons pubis. Mons pubis adalah penonjolan berlemak di sebelah

ventral simfisis dan daerah supra pubis. Sebagian besar mons pubis

terisi oleh lemak, jumlah jaringan lemak bertambah pada pubertas dan

berkurang setelah menopause. Setelah dewasa, mons pubis tertutup oleh

rambut kemaluan yang kasar.3

b) Labia mayora. Labia mayora merupakan organ yang terdiri atas dua

lipatan yang memanjang berjalan ke kaudal dan dorsal dari mons pubis

dan keduanya menutup rima pudendi (pudendal cleft). Permukaan

dalamnya licin dan tidak mengandung rambut. Kedua labia mayora di

bagian ventral menyatu dan terbentuk komisura anterior. Jika dilihat

4
dari luar, labia mayora dilapisi oleh kulit yang mengandung banyak

kelenjar lemak dan tertutup oleh rambut setelah pubertas.3

c) Labia minora. Labia minora merupakan organ yang terdiri atas dua

lipatan kulit kecil terletak di antara kedua labia mayora pada kedua sisi

introitus vaginae. Kedua labium minus membatasi suatu celah yang

disebut sebagai vestibulum vaginae. Labia minora ke arah dorsal

berakhir dengan bergabung pada aspectus medialis labia mayora dan di

sini pada garis mereka berhubungan satu sama lain membentuk lipatan

transversal yang disebut frenulum labii. Sementara itu, ke depan

masing-masing minus terbagi menjadi bagian lateral dan medial. Pars

lateralis kiri dan kanan bertemu membentuk sebuah lipatan di atas

(menutup) glans klitoris disebut preputium klitoridis. Kedua pars

medialis kiri dan kanan bergabung di bagian kaudal klitoris membentuk

frenulum klitoris. Labia minora tidak mengandung lemak dan kulit yang

menutupnya berciri halus, basah dan agak kemerahan.3

d) Klitoris. Terletak dorsal dari komisura anterior labia mayora dan

hampir keseluruhannya tertutup oleh labia minora. Klitoris mempunyai

tiga bagian yaitu krura klitoris, korpus klitoris dan glans klitoris.3

e) Glandula vestibularis mayor. Sering disebut juga kelenjar Bartholini,

merupakan kelenjar yang bentuknya bulat/ovoid yang ada sepanjang

dan terletak dorsal dari bulbus vestibule atau tertutup oleh bagian

posterior bulbus vestibuli.3

5
f) Glandula vestibularis minor. Glandula vestibularis minor

mengeluarkan lendir ke dalam vestibulum vagina untuk melembapkan

labia minora dan mayora serta vestibulum vagina. 3

2. Genitalia Internal

a) Vagina. Secara anatomi, vagina merupakan organ yang berbentuk

tabung dan membentuk sudut kurang lebih 60 derajat dengan bidang

horizontal. Namun, posisi ini berubah sesuai dengan isi vesika urinaria.

Dinding ventral vagina yang ditembus serviks panjangnya 7,5 cm,

sedangkan panjang dinding posterior kurang lebih 9 cm. Dinding

anterior dan posterior ini tebal dan dapat diregang. Dinding lateralnya

di bagian cranial melekat pada ligament Cardinale, dan di bagian kaudal

melekat pada diafragma pelvis sehingga lebih rigid dan terfiksasi.

Vagina ke bagian atas berhubungan dengan uterus, sedangkan bagian

kaudal membuka pada vestibulum vagina pada lubang yang disebut

introitus vaginae.

b) Himen. Himen adalah lipatan mukosa yang menutupi sebagian dari

introitus vagina. Himen tidak dapat robek disebut hymen imperforatus.

Terdapat beberapa bentuk himen diantaranya : himen anular, himen

septal, himen kribiformis, himen parous. 3

c) Uterus, merupakan organ muskular berongga, berdinding tebal, dan

berbentuk seperti buah pir. Uterus non gravid biasanya terletak di

daerah pelvis bagian bawah, di mana bagian badannya terletak di atas

kandung kemih, dan bagian servikalnya terletak antara kandung kemih

6
dan rektum. Posisi uterus dewasa biasanya anteversion (relatif

anterosuperior terhadap aksis vagina) dan anteflexion (fleksi corpus

uteri ke arah anterior secara relatif terhadap cervix) sehingga organ ini

terletak di atas kandung kemih. Posisi uterus berubah sesuai penuh

tidaknya vesica urinaria dan rectum. Uterus dibedakan menjadi 2

bagian, yaitu:4

1) Corpus uteri (body), membentuk dua pertiga superior, meliputi

fundus uteri, bagian bulat corpus yang ada di sebelah superior

orificium tuba uterine dan isthmus uterus, yang merupakan bagian

corpus yang sempit (sekitar 1 cm) di sebelah superior cervix. Cornu

uterine adalah region superolateral tempat masuknya uterine tubes

enter. Corpus uteri berada di antara broad ligament.

2) Cervix uteri, berbentuk silindris, sempit, dan dibagi menjadi dua: (1)

bagian supravaginal antara isthmus dan vagina, (2) bagian vaginal

yang menonjol ke vagina

Dinding dari bagian badan uterus terdiri dari 3 lapisan:4

1) Perimetrium: lapisan serosa bagian luar, yang terdiri dari

peritoneum yang dilapisi oleh jaringan ikat tipis.

2) Myometrium: lapisan otot polos bagian tengah, mengalami distensi

penuh saat hamil, dan di lapisan ini terdapat cabang utama

pembuluh darah dan saraf uterus.

3) Endometrium: lapisan mukosa bagian dalam, yang melekat kuat

pada myometrium, dan secara aktif terlibat dalam siklus menstruasi.

7
Struktur endometrium berbeda sesuai tahapannya, jika terjadi

konsepsi, maka blastocyst mengalami implantasi. Namun jika

konsepsi tidak terjadi, maka lapisan dalam endometrium dilepaskan

pada proses menstruasi.

Ligamen Uterus

Ada beberapa ligamen pada uterus, antara lain:4

1) Ligamentum ovarium yang ada di bagian eksternal dan melekat di

bagian posteroinferior uterus dan uterotubal junction

2) Ligamentum rotundum (round ligament) melekat di bagian

anteroinferior junction ini. Kedua ligament ini adalah sisa ovarian

gubernaculum.

3) Broad ligament of the uterus yang merupakan double layer of

peritoneum (mesentery) yang membentang dari sisi uterus ke

dinding lateral serta dasar pelvis. Ligamen ini menjaga uterus tetap

di tengah pada pelvis

- Bagian broad ligament yang mesenterium tuba uterine disebut

mesosalpinx.

- Bagian besar broad ligament yang berperan sebagai

mesenterium uterus adalah mesometrium, di sebelah inferior

mesosalpinx and mesovarium.

4) Suspensory ligament of the ovary.

8
5) Uterosacral ligaments berjalan ke arah superior dan posterior dari

sisi cervix ke bagian medial sacrum, dan bisa dipalpasi pada

pemeriksaan rectum.

Penyangga Uterus

Ada dua penyangga utama uterus, yaitu:4

1) Pasif, saat uterus berada pada puncak bladder

2) Dinamis, oleh pelvic fascia Cervix adalah bagian uterus yang paling

terfiksir karena adanya penyangga pasif ligamen (endopelvic

fascia), yang juga terdiri dari otot polos.

Batas Uterus Dengan Struktur Sekitarnya

Peritoneum menyelimuti uterus di bagian anterior dan superiorly,

dengan perkecualian untuk cervix. Peritoneum mengadakan refleksi

dari uterus ke bladder dan di sebelah posterior fornix vagina ke rectum.

Di sebelah anterior, uterine body dipisahkan dengan urinary bladder

oleh vesico-uterine pouch, di mana peritoneum mengalami refleksi dari

uterus ke tepi posterior permukaan superior bladder. Bagian inferior

uterine body (isthmus) and cervix langsung kontak dengan bladder

tanpa mengintervensi peritoneum. Dengan demikian, kanker cervix/

uterus dapat menginvasi urinary bladder. Di bagian posterior, uterine

body dan bagian supravaginal part cervix dipisahkan dengan sigmoid

colon oleh satu lapisan peritoneum dan peritoneal cavity, serta dengan

rectum oleh recto-uterine pouch.4

9
Vaskularisasi Uterus

Vaskularisasi uterus berasal dari - arteri uterina, dengan suplai kolateral

dari arteri ovarica - vena uterina yang berjalan pada broad ligament,

bermuara di uterine venous plexus yang dibentuk pada masing-masing

sisi uterus and vagina. Vena dari plexus ini bermuara ke internal iliac

veins.4

Pembuluh Limfe Uterus

Aliran pembuluh limfe uterus mengikuti tiga jalur, yaitu: 4

1) Sebagian besar uterine fundus dan superior uterine body melewati

ovarian vessels menuju limfonodi lumbalis (caval/aortic), namun

beberapa pembuluh darah melewati round ligament menuju

superficial inguinal lymph nodes.

2) Pembuluh darah dari sebagian besar corpus uteri melewati broad

ligament menuju external iliac lymph nodes.

3) Pembuluh darah dari cervix di dalam transverse cervical ligaments,

mengalir menuju internal iliac lymph nodes dan sepanjang

uterosacral ligaments menuju sacral lymph nodes.

Innervasi Vagina Dan Uterus

Innervasi vagina dan uterus dapat dijelaskan sebagai berikut:4

1) Innervasi bagian inferior vagina bersifat somatis, berasal dari deep

perineal nerve, cabang pudendal nerve.

2) Innervasi sebagian besar vagina dan keseluruhan uterus, bersifat

visceral dan berasal dari uterovaginal nerve plexus, yang berjalan

10
melewati arteri uterine pada junction basis peritoneal broad

ligament dan bagian superior transverse cervical ligament.

Uterovaginal plexus adalah salah satu plexus pelvic yang berasal

dari the inferior hypogastric plexus. Serat simpatis, parasimpatis,

dan aferen visceral berasal dari plexus ini.

3) Innervasi simpatis berasal dari inferior thoracic spinal cord

segments dan melewati lumbar splanchnic nerves serta

intermesenteric-hypogastric-pelvic series of plexuses.

4) Innervasi parasimpatis berasal dari S2-S4 spinal cord segments dan

melewati pelvic splanchnic nerves menuju hypogastric-uterovaginal

plexus inferior

5) Serat aferen visceral membawa sensasi nyeri dari intraperitoneal

uterine fundus and body, berjalan ke arah retrograde bersama serat

simpats menuju thoracic lumbar spinal ganglia; kemudian

membentuk subperitoneal uterine cervix and vagina (di sebelah

inferior pelvic pain line)

Uterine Tube (Tuba Falopii, Falloopian Tubes, Tuba Uterina)

Uterine tubes memanjang secara lateral dari cornu uterus dan membuka

ke dalam rongga peritoneal di dekat ovarium. Uterine tubes berada

dalam mesosalphinx pada tepi bebas dari broad ligament. Tiap uterine

tube dibedakan menjadi 4 bagian : infundibulum, ampulla, isthmus, dan

bagian uterine. Pada posisi ideal, tuba uterine di sebelah posterolateral

11
dinding lateral pelvis. Namun berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi,

posisi tuba uterine bervariasi dan asimetris antara sisi kiri dan kanan. 4

d) Ovarium. Ovarium yang berbentuk seperti kacang almond biasanya

berada di dekat perlekatan antara broad ligament dengan dinding lateral

dari pelvis, dipisahkan dari kedua organ tersebut oleh peritoneal folds,

yaitu memisahkan mesovarium dengan bagian posterosuperior dari

broad ligament, dan memisahkan suspensory ligament dari ovarium

dengan dinding pelvis. Ovarium melekat dengan uterus melalui

ligamentum ovarium yang berjalan dalam mesovarium. Ligamen ini

merupakan sisa bagian superior ovarian gubernaculum fetus serta

menghubungkan bagian ujung proximal (uterine) end ovarium ke sudult

lateral uterus, di sebelah inferior tempat masuknya. Karena ovarium

berada dalam peritoneal cavity dan permukaannya tidak ditutupi oleh

peritoneum, maka oocyte yang dikeluarkan saat ovulasi melewati

peritoneal cavity namun biasanya masih terperangkap dalam fimbriae

tuba uterine dibawa ke ampulla.4

Vascularisasi Ovarium Dan Tuba Uterina

1) Arteri ovarica berasal dari abdominal aorta dan berjalan menuruni

dinding posterior abdomen. Pada pelvic brim, arteri ini melewati

pembuluh darah iliaca external dan memasuki suspensory ligaments.

Arteri ovarica memberikan cabang melalui mesovarium menuju

ovarium dan melewati mesosalpinx untuk memberikan suplai darah

pada uterine tube. Cabang ascending arteri uterine (cabang internal

12
iliac arteries) melewati aspectus lateral uterus sampai ke aspectus

medial ovarium dan tuba.

2) Arteri ovarica dan ascending uterine arteries berakhir dengan

berrcabang dua menjadi cabang ovarium dan tuba serta

beranastomose satu sama lain memberikan sirkulasi kolateral untuk

abdominen dan pelvis.

3) Ovarian veins membentuk pampiniform plexus of veins dalam broad

ligament di dekat ovarium dan tuba uterine.

4) Right ovarian vein memasuki inferior vena cava

5) Left ovarian vein bermuara ke left renal vein

6) Tubal veins bermuara ke ovarian veins dan uterine (uterovaginal)

venous plexus.

7) Pembuluh limfe dari ovarium bergabung dengan yang berasal dari

uterine tubes dan fundus uterus dan bersama-sama menuju right and

left (caval/aortic) lumbar lymph nodes.4

Innervasi Ovarium Dan Tuba Uterina

8) Ovarian plexus

9) Uterine (pelvic) plexus

10) Pelvic pain line, serat visceral afferent berjalan bersama serat

simpatis ovarian plexus dan lumbar splanchnic nerves menuju badan

sel dalam T11-L1 spinal sensory ganglia. Visceral afferent reflex

mengikuti serat parasimpatis berjalan retrograde melalui uterine

13
(pelvic) dan inferior hypogastric plexuses serta pelvic splanchnic

nerves menuju cell bodies in the S2-S4 spinal sensory ganglia.4

Gambar 1. Anatomi Genitalia Externa Wanita6

Gambar 2. Anatomi Genitalia Interna Wanita5

14
C. Definisi

Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan endometrium baik

kelenjar maupun stroma-nya di luar kavum uteri atau di dalam miometrium.

Endometriosis memicu reaksi inflamasi kronis yang mengakibatkan

timbulnya rasa nyeri dan perlengketan. Perlengketan dapat berkembang

ketika jaringan parut menempel pada jaringan atau organ lain sehingga

merekatkan antar jaringan ataupun organ. Manifestasi dan keluhan karena

endometriosis dapat sangat bervariasi selama siklus haid seiring dengan

fluktuasi hormon. Akibatnya, gejala semakin memburuk pada waktu tertentu,

terutama sesaat sebelum siklus haid dan selama masa haid. Beberapa wanita

penderita endometriosis mengalami nyeri yang parah pada bagian panggul,

sedangkan beberapa penderia lainnya sama sekali tidak mengamali rasa nyeri

atau kalaupun ada rasa nyeri yang muncul terhitung minimal seperti rasa

nyeri yang normal saat haid.6

Manifestasi lesi endometriosis sangat bervariasi mulai dari lesi

minimal sampai timbulnya kista endometriotik pada ovarium yang merusak

anatomi tuba dan ovarium dan menimbulkan perlengketan hebat dengan

jaringan sekitarnya. Secara umum pertumbuhan dan pemeliharaan implant

endometriotik tergantung pada steroid ovarial sehingga endometriosis lebih

banyak terjadi pada wanita usia reproduktif dan jarang pada pre/post

menarche maupun postmenopause.7

15
D. Epidemiologi

Endometriosis diketahui diderita oleh 7 juta wanita di Amerika

Serikan dan lebih dari 70 juta wanita di seluruh dunia. Sebanyak 9.2 juta

wanita di Amerika Serikat dengan rentang usia 18-50 tahun pada 1994

diketahui mengalami gejala nyeri panggul kronis dan sebanyak 6.9 juta.

Guideline Developmet Group (GDG) merekomendasikan bahwa klinis harus

mempertimbangkan diagnosis endometriosis bila pada gejala-gejala

ginekologis ditemukan beberapa hal berikut: dysmenorrhea, nyeri panggul

non siklik, dyspareunia, infertilitas, rasa lelah disertai beberapa gejala yang

disebutkan sebelumnya. Wanita usia reproduktif dengan gejala-gejala non

ginekologis (dyschezia, dysuria, hematuria, perdarahan pada rektum, nyeri

pundak) mengkonsultasikannya dengan dokter. Prevalensi gejala nyeri

panggul dan infertilitas terkait endometriosis sulit dipastikan karena gejala

tersebut dapat muncul karena berbagai faktor. Terdapat satu hasil penelitian

yang menyatakan dugaan bahwa sebanyak 2/3 wanita penderita endometriosis

mengalami gejala nyeri panggul. Prevalensi infertilitas terkait endometriosis

diketahui terjadi pada 30-40% wanita endometriosis. Wanita dengan

endometriosis diketahui memiliki risiko mengalami infertilitas 20 kali lebih

besar daripada wanita yang tidak menderita endometriosis. Endometriosis

dapat terjadi pada remaja dan orang dewasa, dengan waktu onset rata-rata

pada usia 10 tahun. Gejala endometriosis yang muncul pada remaja tidak

lebih ringan dibandingkan wanita dewasa. Akan tetapi, permasalahan

endometriosis pada remaja seringkali kurang terperhatikan. 6

16
Umumnya endometriosis muncul pada usia reproduktif. Angka

kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya, dan lebih

dari 50% terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat

tergantung pada letak sel-sel endometrium. Keluhan yang paling menonjol

ialah nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus di diagnosis akibat

keluhan nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul

akibat keluhan infertil. Juga pernah dilaporkan terjadinya endometriosis pada

masa menopause, dan bahkan terjadi pada 40% pasien histerektomi. Beberapa

studi juga mengatakan bahwa wanita Jepang mempunyai prevalensi yang

lebih besar dibandingkan wanita Kaukasia. Selain itu juga 10% endometriosis

ini dapat muncul pada yang mempunyai riwayat endometriosis di

keluarganya.8

E. Etiopatogenesis

Sampai saat ini etiologi endometriosis yang pasti belum jelas.

Beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis dengan

berbagai teori, yakni teori implantasi dan regurgitasi, metaplasia, hormonal,

serta imunologik. Teori implantasi dan regurgitasi mengemukakan adanya

darah haid yang dapat mengalir dari kavum uteri melalui tuba Falopii, tetapi

tidak dapat menerangkan terjadinya endometriosis diluar pelvis. Teori

metaplasia menjelaskan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang

berubah menjadi endometrium.8

17
Menurut teori ini, perubahan tersebut terjadi akibat iritasi dan infeksi

atau pengaruh hormonal pada epitel coelom. Dari aspek endokrin, hal ini bisa

diterima karena epitel germinativum ovarium, endometrium, dan peritoneum

berasal dari epitel coelom yang sama. Yang paling dapat diterima yakni teori

hormonal, yang berawal dari kenyataan bahwa kehamilan dapat

menyembuhkan endometriosis. Rendahnya kadar FSH (folicle stimulating

hormone), LH (luteinizing hormone), dan estradiol (E2) dapat menghilangkan

endometriosis. Pemberian steroid seks juga dapat menekan sekresi FSH, LH,

dan E2. Pendapat yang sudah lama dianut ini mengemukakan bahwa

pertumbuhan endometriosis sangat tergantung pada kadar estrogen dalam

tubuh, tetapi akhir-akhir ini mulai diperdebatkan. Menurut Kim et al, kadar

E2 ditemukan cukup tinggi pada kasus-kasus endometriosis.8

Olive (1990) menemukan kadar E2 serum pada setiap kelompok

derajat endometriosis terdapat dalam batas normal. Keadaan ini juga tidak

bergantung pada beratnya derajat endometriosis, dan makin menimbulkan

keraguan mengenai penyebab sebenarnya dari endometriosis. Bila dianggap

perkembangan endometriosis bergantung pada kadar estrogen dalam tubuh,

seharusnya terdapat hubungan bermakna antara beratnya derajat

endometriosis dengan kadar E2. Di lain pihak, bila kadar E2 tinggi dalam

tubuh maka senyawa ini akan diubah menjadi androgen melalui proses

aromatisasi, yang berakibat kadar testosteron (T) akan meningkat.8

18
Kenyataan pada penelitian tersebut, kadar T tidak berubah secara

bermakna menurut beratnya penyakit, bahkan dalam cairan peritoneal terlihat

kadarnya cenderung menurun seirama dengan E2. Berdasarkan hal tersebut

maka dapat dikatakan bahwa memberatnya endometriosis tidak murni

tergantung estrogen saja. Teori endometriosis dapat dikaitkan dengan

aktivitas sistem imun.8

Teori imunologik menerangkan bahwa secara embriologik, sel epitel

yang membungkus peritoneum parietal dan permukaan ovarium memiliki asal

yang sama; oleh karena itu selsel endometriosis akan sejenis dengan mesotel.

Telah diketahui bahwa CA-125 merupakan suatu antigen permukaan sel yang

semula diduga khas untuk ovarium. Endometriosis merupakan proses

proliferasi sel yang bersifat destruktif dan akan meningkatkan kadar CA-125.

Oleh karena itu, antigen ini dipakai sebagai penanda kimiawi.8

Banyak peneliti yang berpendapat bahwa endometriosis merupakan

penyakit autoimun karena memiliki kriteria yang cenderung bersifat familiar,

menimbulkan gejala klinik yang melibatkan banyak organ, dan menunjukkan

aktivitas sel B poliklonal. Danazol yang semula dipakai untuk pengobatan

endometriosis karena diduga bekerja secara hormonal, juga telah dipakai

untuk mengobati penyakit autoimun.Oleh karena itu selain oleh efek

hormonalnya, keberhasilan pengobatan danazol diduga juga oleh efek

imunologik. Danazol mengurangi tempat ikatan IgG (reseptor Fc) pada

monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik sel-sel tersebut.

19
Beberapa penelitian menemukan peningkatan IgM, IgG, serta Ig A dalam

serum pasien endometriosis.8

F. Faktor Risiko

Tabel 2. Faktor Risiko Endometriosis9

G. Klasifikasi

Sistem klasifikasi telah dikembangkan oleh American Society of

Reproduction Medicine (ASRM) untuk mengelompokkan endometriosis dan

perlengketan dikarenakan endometriosis. Klasifikasi ini seringkali digunakan

oleh ginekologis untuk mendokumentasikan adanya endometriosis dan

perlengketan yang terlihat saat operasi. Sistem klasifikasi endometriosis tidak

dapat memperkirakan tingkat nyeri ataupun kompleksitas operasi. Namun,

kelas endometriosis yang lebih tinggi biasanya dikategorikan sebagai bentuk

endometriosis yang lebih berat.6

20
Sistem klasifikasi awalnya dikembangkan untuk memperkirakan

penurunan fertilitas dan untuk alasan itulah maka klasifikasi difokuskan pada

penyakit ovarium dan perlengketan. Pasien dengan “kelas” penyakit yang

sama mungkin saja memiliki manifestasi penyakit dan jenis yang berbeda.

Terdapat beberapa bentuk penyakit berat yang tidak diikut sertakan, seperti:

penyakit saluran pencernaan, kantung kemih, dan diafragma yang invasif.

Berikut ini adalah sistem klasifikasi yang ditetapkan oleh ASRM untuk

endometriosis, yaitu:6

1) Kelas 1 & 2 (endometriosis tingkat minimum sampai ringan):

endometriosis peritoneum superfisial. Memungkinkan adanya lesi

endometriosis kecil yang dalam. Tidak ada endometrioma. Pelekatan tipis

dan ringan, jika ada.

2) Kelas 3 & 4 (endometriosis tingkat sedang sampai berat): Adanya

endometriosis peritoneum superfisial, endometriosis yang sangat invasif

dengan perlengketan moderat sampai ekstensif di antara uterus dan saluran

pencernaan dan/atau kista endometrioma dengan perlengketan moderat

sampai ekstensif yang meliputi ovarium dan tuba.

Berdasarkan letaknya, endometriosis dapat dikelompokkan ke dalam 3

subtipe, yaitu:

1. Endometriosis peritoneum superficial Merupakan jenis endometriosis yang

paling umum ditemukan. Lesi endometriosis yang meliputi bagian

peritoneum, yaitu selaput tipis yang menyelubungi permukaan rongga

21
panggul bagian dalam. Lesi biasanya datar dan tidak dalam, serta tidak

menyusup ke rongga di bagian bawah peritoneum. 6

2. Endometriosis kista ovarium (endometrioma atau kista coklat)

Endometriosis yang berkembang menjadi endometrioma pada ovarium

jarang dialami penderita endometriosis. Endometrioma merupakan suatu

kista yang dinding kistanya memiliki area endometriosis. Kista terisi

dengan darah yang sudah tua (darah lama). Karena cairan dalam kista yang

berwarna coklat maka disebut dengan kista coklat. Kebanyakan wanita

dengan kista endometrioma juga akan memiliki endometriosis superfisial

dan/atau endometriosis dalam yang terletak di manapun dalam panggul. 6

3. Endometriosis susukan dalam (endometriosis yang menyusup dengan

dalam) Lesi endometriosis pada kategori ini didefinisikan sebagai lesi

dalam ketika lesi telah menginvasi sedikitnya 5 mm di bawah permukaan

peritoneum. Karena peritoneum sangat tipis, lesi dalam selalu melibatkan

jaringan di bawah peritoneum (rongga rertroperitoneum). Ketiga jenis

endometriosis tersebut bisa saja muncul secara bersamaan (pasien dapat

memiliki lebih dari satu jenis endometriosis di panggulnya). 6

22
H. Patofisiologi

Endometriosis bisa dilihat sebagai proses inflamasi pelvis dengan

perubahan fungsi sel yang berkaitan dengan kekebalan dan jumlah makrofag

aktif yang meningkat dalam cairan peritoneum yang mensekresi berbagai

produk lokal seperti faktor pertumbuhan dan sitokin. Kondisi ini diikuti

dengan peningkatan faktor serupa seperti CRP, SAA, TNF-á, MCP1, IL-6

dan CCRI dalam darah tepi. Ini menunjukkan bahwa endometriosis

merupakan penyakit lokal dengan manifestasi sistemik. Berdasarkan konsep

ini sekarang banyak dilakukan penelitian untuk mencari serum biomarker

endometriosis sebagai alat diagnostik. Essam et al (2007) telah membuktikan

bahwa kadar IL-6, monocyt chemotactic protein-1 dan interveron gamma

penderita endometriosis lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan

wanita yang tidak endometriosis. Diduga IL-6 bisa digunakan sebagai

biomarker endometriosis.7

I. Manifestasi Klinis

Pada penderita endometriosis gejala yang paling sering ditemukan

adalah nyeri, pendarahan, serta keluhan pada saat buang air kecil dan besar.

Nyeri ini sendiri tergantung pada letak anatomis dari endometriosis, namun

yang paling sering terjadi pada endometriosis adalah timbulnya nyeri panggul

kronis. Selain itu gejala nyeri juga timbul saat menstruasi (dismenore). 10

23
Tingkat nyeri ini biasanya disebabkan oleh kedalaman susupan lesi

endometriosis terhadap jaringan dan adanya hubungan langsung atau tidak

antara lesi dengan serabut saraf. Namun tingkat nyeri ini tidak dapat dinilai

secara visual ketika dilakukan pembedahan.10 Rasa nyeri pada pelvis dan

dismenore mungkin juga berhubungan dengan distensi hemoragik dari kista

endometrium atau terhadap keluarnya cairan berdarah ke kavum peritoneum.

Gejala lain berupa nyeri saat buang air besar selama haid dapat disebabkan

oleh lesi yang mengenai septum rectovaginal. Sedangkan nyeri di pinggang

atau kolik ginjal yang diperburuk oleh haid mungkin menandakan terjadinya

endometriosis ureter.10

Endometriosis bisa terjadi di mana saja di dalam cavitas pelvis dan

pada permukaan peritoneal pelvis. Endometriosis paling sering ditemukan

pada daerah panggul, tepatnya di ovarium, peritoneum bagian panggul,

anterior dan posterior cul-de-sac, dan ligamentum uterosacral. Selain itu juga

sering terdapat pada septum rectovaginal, ureter, dan kandung kemih.

Endometriosis bisa juga ditemukan di daerah pericardium, bekas luka bedah,

dan pleura. Ada sebuah teori yang menyebutkan bahwa endometriosis telah

ditemukan dan diidentifikasi di semua organ tubuh kecuali limpa. 10

24
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Lokasi Anatomi Endometriosis10

J. Diagnosis

1. Anamnesis

Nyeri haid (dismenorea) merupakan nyeri yang paling sering

dikeluhkan. Adapun nyeri haid terkait endometriosis sering dimulai

sebelum menstruasi muncul, dan terus bertahan selama menstruasi

berlangsung atau bahkan lebih lama. Keluhan nyeri tersebut berada dari

dalam pelvis, menyebar, terkadang terasa menjalar hingga ke punggung,

paha, dan dapat menimbulkan gejala lain seperti diare. Nyeri pelvis

kronis adalah nyeri hebat pada area pelvis selama lebih dari 6 bulan yang

dapat berakibat pasien tidak mampu melakukan kegiatannya sehari–hari

hingga memerlukan pengobatan. Dispareunia dalam yang berkaitan

dengan endometriosis umumnya terjadi sebelum menstruasi, yang

kemudian terasa semakin nyeri di awal menstruasi. 11

25
Keluhan intestinal siklik yang paling sering dilaporkan pasien

seperti perut terasa kembung (96%), diare (27%), maupun konstipasi

(16%). Sedangkan infertilitas terkait endometriosis dapat disebabkan

oleh:11

- Gangguan pada adneksa sehingga menghalangi dan menghambat

secara anatomis penangkapan ovum saat ovulasi

- Dampak terhadap perkembangan oosit

- Berkurangnya reseptivitas endometrium.

Gejala-gejala yang mengarahkan ke endometriosis adalah

dismenorea, nyeri panggul kronik, dispareunia dalam, keluhan intestinal

siklik, serta infertilitas. Suatu studi retrospektif telah dilakukan pada

pasien endometriosis yang dibandingkan dengan kontrol dan didapat

gejala–gejala seperti infertilitas dengan odd ratio 8,2, dismenorea dengan

odd ratio 8,1, serta odd ratio 6,8 untuk keluhan dispareunia. Secara

umum disimpulkan masih belum didapat bukti lengkap untuk gejala-

gejala yang mengarahkan diagnosis endometriosis, namun gejala-gejala

berikut merupakan faktor risiko terjadinya endometriosis, yaitu nyeri

abdominopelvik, dismenorea, infertilitas, dispareunia, perdarahan post–

coitus, adanya riwayat kista endometriosis sebelumnya, serta penyakit

inflamasi pelvik. Semakin banyak gejala yang dikeluhkan, maka

kemungkinan endometriosis pun makin tinggi. 11

26
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan pemeriksaan

inspeksi pada vagina dengan menggunakan spekulum. Pada pemeriksaan

dengan spekulum ini dapat ditemukan lesi proliferatif merah pada forniks

posterior yang dapat berdarah jika terkena sentuhan. Selanjutnya

pemeriksaan diteruskan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi

rektovagina.11

Melalui pemeriksaan bimanual dapat dinilai ukuran, posisi, dan

mobilitas dari uterus. Palpasi rektovagina diperlukan untuk mempalpasi

ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk menemukan

nodul endometriosis. Nyeri tekan lokal dan nodularitas ligamentum

uterosakral dapat menjadi satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik

yang mendukung diagnosis endometriosis. Pemeriksaan yang dilakukan

saat haid dapat meningkatkan peluang deteksi nodul endometriosis dan

menilai nyeri. Diagnosis Deep Infiltrating Endometriosis (DIE) perlu

dipertimbangkan apabila pada pemeriksaan klinis didapat indurasi atau

nodul pada dinding rektovagina atau pada forniks posterior vagina.

Berdasarkan penelitian oleh Nassif diperoleh nilai angka sensitivitas

pemeriksaan dalam pada pasien endometriosis di retro-sigmoid sebesar

72% dan retro–serviks 68%, dengan spesifisitas 54% dan 46% secara

berurutan.11

27
3. Pemeriksaan Penunjang

Penanda Biokimiawi Endometriosis adalah kelainan yang

disebabkan oleh inflamasi, dengan sitokin, interleukin, dan TNF–α

berperan dalam patogenesisnya, yang dilihat dari peningkatan jumlah

sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan endometriosis. Oleh

karena itu, pemeriksaan IL–6 digunakan untuk membedakan wanita

dengan atau tanpa endometriosis, serta untuk mengidentifikasi derajat

endometriosis. Sementara TNF–α berperan terhadap perkembangan

endometriosis dan infertilitas pada pasien endometriosis. Hal ini sesuai

dengan penelitian pada pasien endometriosis yang dikelompokkan dalam

2 derajat nyeri, yaitu, ringan–sedang dan berat, dan diperoleh hasil bahwa

serum IL–6 dan TNF–α meningkat secara signifikan pada pasien

endometriosis dibandingkan dengan kelompok kontrol (p < 0,001). CA–

125 digunakan sebagai penanda endometriosis pada derajat lanjut, serta

meningkatnya serum CA–125 dinyatakan sebagai penanda kekambuhan

pasca pembedahan, juga untuk membedakan endometriosis dengan kista

jinak lainnya. Namun perlu diperhatikan bahwa kadar CA–125 yang

normal tidak memastikan tidak adanya endometriosis maupun tidak

sepenuhnya menjadi adanya endometriosis.11

Pencitraan Ultrasonografi (USG) Transvaginal merupakan lini

pertama pencitraan yang direkomendasikan oleh European Society of

Human Reproduction and Embryology (ESHRE) dalam penegakan

diagnosis endometriosis. Pada endometriosis dalam angka sensitivitas

28
dan spesifisitas bervariasi tergantung pada lokasi lesi endometriosis.

Penelitian mengenai akurasi ultrasonografi dalam diagnosis

endometriosis telah dilakukan oleh Moore dkk. 11

Metode pencitraan lainnya adalah Magnetic Resonance Imaging

(MRI) untuk deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari massa

ovarium, namun tidak dapat diterapkan pada lesi kecil peritoneum. MRI

bersifat superior terhadap ultrasonografi transvaginal, tetapi hanya dapat

mengidentifikasi 30–40% lesi yang teramati saat operasi. Sementara

untuk mendeteksi penyakit terdokumentasi oleh histopatologi,

sensitivitasnya dan spesifisitasnya masing-masing mendekati 70% dan

75%. ESHRE pun belum merekomendasikan penggunaan MRI sebagai

alat diagnosis endometriosis.11

Deep Infiltrating Endometriosis (DIE) umum ditemukan di septum

retrovaginal, rektum, colon rektosigmoid, vesica urinaria, dan struktur

fibromuskular pelvik seperti ligamen uterus dan vagina, yang dapat

diprediksi melalui pemeriksaan ginekologi pelvik bimanual, namun

tingkat akurasi masih cukup rendah. MRI pelvik dapat dilakukan untuk

pemeriksaan pada area yang sulit terjangkau dengan laparoskopi, serta

identifikasi dan evaluasi besarnya lesi pada regio sub–peritoneal dan

regio dengan perlengketan padat. Systematic review menunjukkan bahwa

MRI pelvik merupakan pemeriksaan yang efektif dalam mendiagnosis

DIE yang terletak di cavum douglas dengan tingkat sensitivitas dan

spesifisitas sebesar 89% dan 94%, di ligament uterosakral sebesar 85%

29
dan 80%, di vagina dan fornix posterior vagina sebesar 82% dan 82%,

serta di septum rektovaginal dengan nilai 82% dan 77%.11

Laparoskopi dinyatakan sebagai baku emas diagnosis

endometriosis dengan pemeriksaan langsung ke rongga abdomen.

Diagnosis pada laparoskopi tidak selalu sesuai dengan pemeriksaan

histopatologi. Hal ini sesuai dengan laporan pada 36% pasien

terdiagnosis endometriosis melalui laparoskopi, hanya 18% yang terbukti

menurut pemeriksaan histopatologi.11

Deteksi Dini Endometriosis. Endometriosis bukanlah penyakit yang

mudah untuk didiagnosis. Dengan gejala yang sering dikeluhkan pasien

berupa nyeri dan dianggap sebagai nyeri biasa. Diagnosis dari

endometriosis dapat dilakukan di pelayanan kesehatan primer. Para ahli

merekomendasikan deteksi dini endometriosis, yaitu dengan uji

diagnostik empirik. Pasien yang datang dengan keluhan nyeri haid akan

mendapatkan OAINS juga KIE sebagai uji diagnostik empirik selama 3

bulan. Apabila keluhan tidak membaik, maka pasien perlu dirujuk ke lini

sekunder untuk pemeriksaan dan penanganan selanjutnya.11

30
K. Diagnosis Banding

1. Appendicitis

2. Chlamydial Genitourinary Infection

3. Infeksi saluran kemih dan Cystitis

4. Divertikulitis

5. Kehamilan ektopik

6. Gonore

7. Kista ovarium

8. Pelvic inflammatory disease

9. Ovarian torsion12

Tabel 5. Diagnosis banding endometriosis berdasarkan gejala9

31
L. Tatalaksana2

Terapi pada endometriosis yang ada yaitu obat-obatan, hormonal,

bedah dan kombinasi obat dan bedah. Pilihan pengobatan tergantung pada

keadaan individu pasien, yang meliputi (1) gejala yang muncul dan

keparahannya, (2) lokasi dan keparahan endometriosis, dan (3) keinginan

untuk memiliki anak selanjutnya. Tidak ada pengobatan yang menjanjikan

penyembuhan permanen. Histerektomi abdominal total dengan salpingo-

ooforektomi bilateral berkaitan dengan 10% risiko berulang dan 4% risiko

endometriosis tambahan.

Tujuan dalam penatalaksanaan endometriosis meliputi pengurangan

nyeri panggul, meminimalkan intervensi bedah, dan menjaga kesuburan.

Pasien dapat dirawat dengan penuh harapan (yaitu, tanpa terapi medis atau

bedah) dalam beberapa kasus tertentu, termasuk dengan penyakit yang

gejalanya minimal atau tidak ada dan mereka yang ingin memiliki keturunan

berikutnya. Karena endometriosis berespons terhadap estrogen dan

progesteron, pasien yang lebih tua dengan gejala ringan dapat memilih untuk

menunggu sampai penurunan alami kadar hormon ini yang terjadi dengan

menopause. Karena kelenjar dan stroma endometriosis merespons hormon

eksogen dan endogen, penekanan endometriosis berdasarkan pada

kemampuan obat untuk menginduksi jaringan endometrium yang atrofi.

Pengobatan optimal untuk pasien yang bergejala.

32
Pasien harus menyadari bahwa kekambuhan setelah menyelesaikan

terapi medis merupakan suatu yang wajar dan bahwa terapi medis tidak

memengaruhi besarnya perlengketan dan fibrosis yang disebabkan oleh

endometriosis. Terapi medis mungkin sering diberikan secara empiris tanpa

didahului mendiagnosis secara bedah pada endometriosis, biasanya

didiagnosis berdasarkan gejala pasien sesuai dengan penyakit, pemeriksaan

fisik yang menyeluruh dan pemeriksaan telah dilakukan untuk menyingkirkan

penyebab nyeri lainnya, termasuk ginekologi, GI, dan penyebab urologis.

Karena mudahnya pemberian dan tingkat efek samping yang relatif rendah,

kontrasepsi oral kombinasi yang digunakan bersama dengan NSAID sering

digunakan untuk pengobatan lini pertama nyeri yang berhubungan dengan

endometriosis.

Terapi kontrasepsi oral menginduksi reaksi desidua pada jaringan

endometriotik uterus. Terapi yang berkelanjutan, di mana rejimen kontrasepsi

oral diminum terus menerus 7 hari akan menyebabkan perdarahan, juga dapat

diresepkan untuk mencegah dismenorea sekunder. Terapi progesteron, dalam

bentuk depot medroxyprogesterone acetate (DMPA) atau implan, menekan

pelepasan gonadotropin dan steroidogenesis ovarium; itu juga secara

langsung mempengaruhi endometrium rahim dan implan endometrium.

DMPA telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kehilangan mineral tulang,

meskipun kepadatan mineral tulang kembali ke tingkat sebelum pengobatan

setelah 12 bulan pengobatan. Medroksiprogesteron oral harian merupakan

33
pilihan bagi wanita yang berusaha hamil karena tidak terdapat efek

kontrasepsi.

Danazol adalah obat yang menekan pelonjakan luteinizing hormone

(LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH). Dengan tidak adanya stimulasi

LH dan FSH, ovarium tidak lagi menghasilkan estrogen, yang menginduksi

amenore dan atrofi endometrium. Efek samping dari danazol, yang terjadi

pada sebagian kecil pasien, terkait dengan sifat-sifat hipoestrogenik dan

androgeniknya dan termasuk jerawat, spotting dan bleeding, hot flushes, kulit

berminyak, pertumbuhan rambut pada wajah, penurunan libido, dan vaginitis

atrofi. Beberapa efek samping ini tidak sembuh dengan penghentian terapi.

Metabolisme lipoprotein juga berpengaruh; kadar lipoprotein densitas tinggi

(HDL) serum meningkat secara signifikan, sedangkan kadar lipoprotein

densitas rendah (LDL) menurun.[18] Gejala yang sama dapat dicapai dengan

menggunakan agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRH).

Agonis GnRH menurunkan regulasi kelenjar hipofisis dan

menyebabkan penekanan LH dan FSH. Namun, efek sampingnya lebih

rendah dibandingkan dengan danazol, karena efek samping androgenik tidak

ada. Namun, efek hipoestrogenik yang dihasilkan oleh agonis GnRH dapat

menyebabkan hot flushes, keringat malam dan sedikit peningkatan risiko

kehilangan kepadatan tulang.

34
Jika seorang pasien terdapat efek samping saat mengonsumsi agonis

GnRH, dan terapi diperlukan lebih dari 6 bulan, atau jika diharuskan

pengobatan ulangan, terapi tambahan yang terdiri dari kontrasepsi oral

kombinasi dosis rendah, terapi hormon dosis rendah, atau

medroksiprogesteron harus dipertimbangkan untuk diberikan. Norethindrone

acetate 5 mg telah dilakukan studi secara komprehensif dan juga disetujui

untuk penggunaan oleh Food and Drug Administration. Terapi tambahan

sering dimulai dengan terapi agonis GnRH karena tidak mempengaruhi obat

terhadap nyeri panggul dan mengurangi efek samping vasomotor dan

kepadatan tulang. Terapi inhibitor aromatase juga muncul sebagai alternatif

untuk menghilangi rasa sakit yang terkait dengan endometriosis dan dapat

dipertimbangkan untuk beberapa pasien.[4]

Manajemen bedah endometriosis dapat diklasifikasikan menjadi

konservatif atau ekstirpatif. Pembedahan konservatif meliputi eksisi,

kauterisasi, atau ablasi (dengan laser atau elektrokoagulasi) lesi endometriotik

yang terlihat; normalisasi anatomi; dan penyiapan rahim dan organ reproduksi

lainnya untuk kemungkinan hamil kedepannya. Pembedahan konservatif

sering dilakukan pada saat laparoskopi awal dilakukan untuk indikasi nyeri

atau infertilitas. Jika penyakit luas ditemukan, pembedahan konservatif

seperti lisis adhesi; pengangkatan lesi endometriotik aktif; dan, mungkin,

rekonstruksi organ reproduksi.

35
Tingkat keberhasilan operasi konservatif tampaknya berkorelasi

dengan tingkat keparahan penyakit pada saat operasi serta dengan

keterampilan ahli bedah. Terapi obat-obatan dapat dilakukan untuk

mengurangi jumlah endometriosis sebelum operasi, dan untuk memfasilitasi

penyembuhan segera dan mencegah kekambuhan setelah operasi.

Pembedahan ekstirpatif untuk endometriosis hanya diperuntukkan

bagi kasus-kasus di mana penyakit ini begitu luas sehingga terapi obat-obatan

atau bedah konservatif tidak memungkinkan lagi, atau ketika pasien telah

tidak memiliki pasangan dan menginginkan terapi definitif. Pembedahan

definitif meliputi histerektomi abdominal total, salpingo-ooforektomi

bilateral, lisis adhesi, dan pengangkatan lesi endometriotik. Satu atau kedua

ovarium mungkin tidak dilakukan tindakan jika tidak terlibat, dan

endometriosis dapat direseksi sepenuhnya. Sekitar sepertiga wanita yang

dirawat secara konservatif akan mengalami endometriosis berulang dan

memerlukan pembedahan tambahan dalam 5 tahun. Konservasi ovarium pada

saat histerektomi meningkatkan risiko endometriosis berulang yang

membutuhkan pembedahan tambahan. Setelah ooforektomi bilateral, terapi

estrogen dapat segera dimulai, dengan sedikit risiko mengaktifkan kembali

penyakit yang residual.

36
M. Komplikasi

1) Malignant Transformation

2) Endometrioma Rupture

3) Endometrioma Infection

4) Decidualization of Endometrioma During Pregnancy12

N. Prognosis

Riwayat penyakit endometriosis terdahulu menunjukkan bahwa

penyakit ini stabil atau sembuh sendiri. Pada sebuah penelitian dengan studi

secara acak pasien dengan endometriosis yang diberikan progestin atau

plasebo, ditindaklanjuti dengan laparoskopi setelah satu tahun menunjukkan

bahwa kelompok tersebut terlepas dari pengobatan, 47% pasien mengalami

endometriosis, 25% sembuh, dan 25% tidak sembuh. Endometriosis dapat

kambuh setelah operasi meskipun pasien diobati dengan penggantian

estrogen. Wanita pascamenopause dapat mengalami endometriosis jika

mereka menggunakan terapi hormon.8

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat A, Hendry D. Characteristics of Endometriosis and Adenomiosis

Patients In Dr. M. Djamil Hospital Padang in The Period of January 2017 -

October 2018. Andalas Obstetrics and Gynecology Journal, Januari-Juni

2019, 3(1): 28-41.

2. Luqyana S.D, Rodiana. Diagnosis Dan Tatalaksana Terbaru Endometriosis.

JIMKI Volume 7(2), Mei - Oktober 2019

3. Prawiroharjo S. 2016. Buku Ilmu Kebidanan. P.T. Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo. Jakarta.

4. Yuliana. Hand Out Female Genitalia. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana. Denpasar.

5. Wu I.B, Tendean H.M, Mewengkang M.E. Gambaran Karakteristik Penderita

Endometriosis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic

(eCl), Volume 5(2), Juli-Desember 2017

6. Djuwantono, T. 2015. Manajemen Endometriosis untuk Meningkatkan

Kualitas Hidup Wanita Penderita Endometriosis. Departemen Obstetri Dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Hasan

Sadikin. Bandung.

7. Wahyuni A. Endometriosis dan Infertilitas. Mutiara Medika, April 2008,

8(1): 62-71.

8. Suparman E. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik, Juli 2012,

4(2): 69-78.

38
9. Mounsey AL, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of

Endometriosis. SA Fam Pract 2007;49(3): 24-28

10. Wedyawati UP. Analisis Penanganan Endometriosis dan Dampaknya pada

Kesuburan Wanita. Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret. Surakarta.

11. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2017. Konsensus

Tata Laksana Nyeri Endometriosis Revisi Pertama. Himpunan Endokrinologi

Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) Perkumpulan Obstetri dan

Ginekologi Indonesia (POGI). Jakarta.

12. Bennett GL, Slywotzky CM, Cantera M, Hecht EM. Unusual Manifestations

and Complications of Endometriosis—Spectrum of Imaging Findings:

Pictorial Review. AJR, 2010, 194: 34–46.

39

Anda mungkin juga menyukai