Anda di halaman 1dari 18

EVALUASI KERJA TERSTRUKTUR II

MAKALAH SOSIOLOGI
PENDEKATAN SOSIOLOGI
TERHADAP HUKUM

NAMA DOSEN :
MAMAY KOMARIAH SH.,M.H.

DISUSUN OLEH :
VINCEN ANDRIAS
1902010092
III C (SORE)

UNIVERSITAS ISLAM SYEKH- YUSUF


FAKULTAS HUKUM
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Memasuki dunia hukum dan melibatkan diri di dalamnya sangatlah
berbeda dengan memasuki alam maya melalui internet. Hukum penuh dengan
keteraturan, sementara penolakan terhadap keteraturan ini sangat jarang
dikumandangkan. Hal tersebut menuntut kita untuk bisa merubah dunia yang
penuh keteraturan itu. Satjipto Rahardjo1 mengatakan, “mengajarkan
keteraturan, menemukan ketidakteraturan (teaching order inding
disorder)”.Berangkat dari hal itu, dalam bagian ini, penulis akan mengajak
pembaca untuk belajar memasuki dunia hukum secara teratur. Pada bagian
selanjutnya akan dikemukakan dunia hukum yang penuh dengan
ketidakteraturan. Inilah yang dijadikan langkah awal untuk memasuki dunia
hukum.
Apabila kita mau melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai
tertentu, pilihan tersebut akan membawa kita kepada metode yang bersifat
idealis. Metode ini akan berusaha untuk menguji hukum yang mau mewujudkan
nilai-nilai tertentu. Di sisi lain, apabila kita memilih untuk melihat hukum
sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, perhatian kita akan
terpusat pada hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom, yaitu yang
bisa kita bicarakan sebagai subjek tersendiri. Hal ini akan membawa kita kepada
metode normatif, sesuai dengan cara pembahasannya yang bersifat analitis.
Sedangkan apabila kita mau memahami hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat, metode yang digunakan bersifat sosiologis2. Hal ini sangat berbeda
dengan pemahaman hukum dari kedua pendekatan yang pertama. Pendekatan
terakhir ini mengaitkan hukum kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan
serta memenuhi kebutuhan konkrit dalam masyarakat. Oleh karena itu, metoda
itu memusatkan perhatiannya kepada pengamatan mengenai efektivitas hukum.
B. Rumusan Masalah
I. Bagaimana Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum ?
II. Bagaimana cara Pemikiran Hukum secara Sosiologis ?
III. Jelaskan secara Hukum dan Basis Sosialnya ?
IV. Jelaskan Tiga Pilihan Cara dalam Hukum ?
V. Apa tujuan Sosiologi terhadap Hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Menuju Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum


Abad ke-19 ditandai dengan munculnya gerakan positivisme dalam ilmu
hukum. Abad tersebut menerima warisan pemikiran dari masa-masa
sebelumnya yang bersifat idealitis. Perkembangan dan perubahan yang terjadi
pada abad ke-19 tersebut, telah menimbulkan semangat serta sikap kritis
terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi. Kita mengetahui bahwa pada
abad ini suatu tradisi ilmu baru telah berkembang. Ilmu ini nantinya akan
mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia, yang semula
seperti terselubung oleh cara-cara pemahaman tradisional.
Pengaruh-pengaruh dari perubahan abad ke-19 menurut Satjipto
Rahardjo, telah memberikan pengaruh terhadap cara-cara pendekatan terhadap
hukum yang selama itu dipakai. Aliran sejarah telah mulai menarik perhatian
orang dari analisis hukum yang abstrak dan ideologis kepada lingkungan sosial
yang membentuk hukumnya. Pendekatan hukum pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 telah mulai mendekatkan diri pada hukum dengan masyarakat.
Perubahan abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting
bagi munculnya Sosiologi Hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan
melontarkan persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan
demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan
demokrasi. Kemapanan kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan
kemajuan di banyak bidang bukanlah akhir atau puncak peradaban manusia.
Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir dari perkembangan kehidupan hukum.
Dominasi tradisi pemikiran hukum analitis-positivitis sejak abad ke-19
perlahan-lahan ditentang oleh munculnya pemikiran yang menempatkan studi
hukum yang tidak lagi berpusat pada perundang-undangan, melainkan dalam
konteks yang luas kajiannya, yaitu masyakat. Pada abad ke-19 ilmu hukum
analitik-positivistis memiliki dua corak. Pertama, corak ini sangat sempit dan ada
hubungannya dengan positivisme hukum Eropa, menyamakan hukum dengan
segala peraturan dan asas-asas yang dipakai oleh pengadilan-pengadilan dalam
setiap putusannya. Dari ilmu hukum seperti inilah, muncullah pendekatan yang
baru dalam hukum, yaitu pendekatan sosiologi hukum, atau meminjam istilah
Donal Black, adalah mempelajari perilaku dan stuktur sosial.
Kepuasan terhadap ilmu hukum yang ada, yang telah mampu menyusun
bahan hukum ke dalam kodifikasi dan penggunaan metode yang spesifik, mulai
mengalami guncangan saat memasuki abad ke-20. Perubahan-perubahan
masyarakat menampilkan perkembangan baru yang menggugat masa kebebasan
abad ke-19. Negara makin mempunyai peran penting dalam melakukan campur
tangan yang aktif. Struktur politik juga mengalami perubahan yang besar, kaum
pekerja makin memainkan peran penting dalam politik. Dengan demikian, hal
tersebut memperluas demokrasi politik. Cara-cara penanganan hukum mulai
digugat oleh kaum pekerja. Hal ini memunculkan kegiatan studi terhadap
hukum, dengan menggunakan sosiologi hukum sebagai pendekatan.
Sosiologi hukum, merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat muda dan
merupakan cabang sosiologi terpenting, yang sampai sekarang masih dicari
perumusannya. Hingga saat ini, sosiologi hukum masih mempunyai batas-batas
yang belum jelas, ahli-ahlinya belum mempunyai kesepakatan mengenai pokok
persoalan tentang apa itu sosiologi hukum. Apa yang menyebabkan ilmu baru
ini terhambat perkembangannya. Menurut penulis, karena ilmu baru ini, dalam
mempertahankan hidupnya, harus bertempur di dua front. Sosiologi hukum
menghadapi dua kekuatan, yakni dari kalangan para ahli hukum dan ahli
sosiologi, yang terkadang keduanya bersatu untuk menggugat keabsahan
sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Perselisihan ini timbul, seperti
yang telah dijelaskan oleh David N. Schiif, yang mengutip dari Aubert.
“...Apabila seorang ahli hukum atau seorang sarjana hukum berbicara
tentang hak dan harapan, ia berbicara tentang tujuan tujuan normatif. Akan
tetapi, bila seorang ahli sosiologi berbicara tentang hak dan kewajiban, ia
berbicara atau bertujuan untuk mengungkapkan, menguraikan dan
menjelaskan...”
Dua cara pandang terhadap hukum tersebut di atas, telah membawa kita
kepada gerbang yang sangat lebar, yaitu hukum tidak hanya dapat dipandang
hanya dari satu sisi belaka (Normatif) tetapi hukum juga bisa dipandang secara
sosiologis. Alvin S. Johnson, mengungkapkan
“Sangat sulit untuk dipahami bahwa sosiologi dan hukum dapat
dipersatukan karena para ahli hukum semata-mata memperhatikan masalah
Quid Juris, sedang para ahli sosiologi mempunyai tugas untuk menguraikan
Quid Facti, dalam arti mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan
hubungan–hubungan”.
Pandangan Aubert di satu sisi dan pandangan Johnson di sisi lain, sama-
sama menyebabkan kegelisahan banyak ahli hukum dan ahli filsafat hukum.
Para ahli ini menanyakan, apakah sosiologi hukum tidak bermaksud menghancurkan
semua hukum sebagai norma, sebagai suatu asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai
suatu penilaian?.
Para ahli sosiologi dan ahli hukum kemudian mengusulkan untuk
menghindarkan pertikaian-pertikaian antara sosiologi dan hukum. Caranya
adalah memberikan batasan-batasan yang jelas kepada ruang lingkup dan
metodologinya. Telah ditegaskan bahwa pandangan para ahli hukum normatif
dan pandangan yang tuntas dari para ahli sosiologi, memberikan ruang lingkup
yang amat berbeda dari kenyataan sosial dan hukum. Hal inilah yang
menyebabkan para ahli di kedua bidang tersebut tidak mungkin saling bertemu.
Jika para ahli sosiologi dan ahli hukum masing-masing saling mengabaikan agar
dapat mencapai tujuan sebenarnya dari masing-masing studi, mereka terpaksa
mengambil kesimpulan bahwa baik sosiologi maupun hukum, adalah ilmu yang
tidak mungkin dan tidak ada gunanya. Untuk menghilangkan segala kendala,
mau tak mau sosiologi hukum21 terpaksa disingkirkan. Di Indonesia,
perselisihan yang kurang sehat antara para ahli sosiologi di satu sisi dan ahli
hukum di sisi lain, telah membawa konsekuensi hilangnya kemampuan untuk
melihat dan keinginan untuk membaca (memberi makna) realitas hukum. Diakui
bahwa sosiologi tidak berada di atas segala-galanya, karena apa yang telah
dilakukan oleh para ahli sosiologi untuk memahami hukum secara realistik,
tidaklah dapat menutupi kegagalan mereka untuk dapat menjelaskan ciri khas
hukum. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri pula bahwa realitas hukum terletak
dalam realitas sosial.
Pandangan-pandangan yang menggelisahkan itu tidak menghalangi
perkembangan sosiologi hukum untuk dapat diterapkan dalam pendekatan
terhadap hukum. Kita dapat melihat dari laporan Schyut, yang menunjukkan
bahwa di Skandinavia telah muncul sosiologi hukum modern pertama. Sosiologi
hukum yang muncul di Skandinavia berbarengan dengan perubahan yang
menuju pemerintahan sosialis. Dalam bidang ekonomi, di Skandinavia
dikeluarkan peraturan perundang-undangan untuk mempercepat perubahan
dan munculnya negara kesejahteraan. Kebijaksanaan tersebut berbenturan
dengan cara berpikir tradisional yang berorientasi liberal. Para pengusaha ingin
mempertahankan hak milik privat atas alat-alat produksi. Benturan terjadi juga
pada ideologi sosialis dan liberal yang sangat mendorong penelitian-penelitian
sosiologi hukum untuk dilaksanakan.
Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah bagan berikut ini.

B. Pemikiran Hukum secara Sosiologis


Bertolak dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-
perubahan yang cepat semenjak perang dunia ke-2 perubahan perubahan
tersebut disebabkan oleh hal-hal dibawah ini.
1. Profesi hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup kerjanya kini
semakin luas. Hal itu disebabkan karena pihak-pihak yang memerlukan
pelayanan hukum semakin membesar jumlahnya, meliputi semua lapisan
masyarakat ( misalnya dengan badan-badan bantuan hukum tutup ).
2. Hukum yang bagi Kebanyakan orang, tidak lebih daripada sekumpulan
undang-undang atau hanya merupakan suatu bidang studi yang
mempelajari tentang undang-undang atau peraturan peraturan, kini telah
berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena ilmu hukum
kini telah dikembangkan menjadi sistematis serta memiliki teknik
penelitian, penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit.

Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli hukum akan


bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu cara analisis
yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan
terciptanya beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khususnya dalam
masyarakat, hukum akan berkaitan erat dengan masalah-masalah hubungan
antar bangsa, dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan
meningkatkan intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan
tata kehidupan. Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran
di antara para ahli hukum (kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai
variasi dan tingkatan) terhadap kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang
ada dalam pelayanan-pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu
hukum tradisional.
Hal tersebut terjadi juga di Indonesia. Di Indonesia diberlakukan suatu
kajian sosiologis terhadap hukum karena Indonesia akan mengalami
kesulitan untuk dapat memberikan penjelasan hukum yang memuaskan
terhadap kemelut yang tengah terjadi di negeri ini. Dengan hanya
mengandalkan teori positivistis, hukum akan menganalisis keadaan serta
proses-proses yang normal saja, seperti yang diantisipasi oleh hukum positif.
Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-
perubahan yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat
berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangannya. Tak ayal
lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir
ini mulai banyak mengkaji dan meneliti sebab perubahan-perubahan sosial,
dipanggil untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial
yang amat relevan dengan permasalahan hukum. Ilmu-ilmu sosial yang
mulai ditengok dalam kerangka ajaran sociological jurisprudence,mulai
banyak pula dimanfaatkan untuk memungkinkan usaha memperbaharui dan
memutakhirkan norma-norma hukum. Kajian-kajian sociology of law dengan
metode sosialnya yang nomologis-induktif, kini dikembangkan dan
dimanfaatkan untuk menganalisis dan memberikan jawaban tentang
masalah-masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur institusional
hukum. Satjipto Rahardjo25, menambahkan bahwa pemahaman hukum
secara legalistik positivistis dan berbasis peraturan (rule bound), tidak
mampu untuk menangkap kebenaran karena memang tidak mampu melihat
dan mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalistis-positivistis, hukum
sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah diprediksi menjadi suatu
yang sederhana, linear, mekanistik, deterministik, terutama untuk
kepentingan profesional. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan
ajaran hukum yang demikian masih dominan (yang termasuk kategori
legalismenya Schyut). Legalisme melihat dunia hukum dari teleskop undang-
undang belaka, untuk menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai
suatu yang rasional logis, penuh dengan kerapihan dan keteraturan rasional.
Baik dari pandangan Soetandyo maupun Satjipto, pemikiran hukum
dalam tulisan ini mengantarkan kepada pemikiran yang lebih luas daripada
yang lajim dilakukan di kalangan para yuris atau sarjana hukum yang
positivistis. Dari kedua pendapat pakar sosiologi hukum tersebut di atas,
hukum, dalam tulisan ini, hendaknya diantarkan kepada konteks.
Maksudnya, menempatkan hukum dalam konteks sosial yang lebih besar.
Dengan kata lain, hukum itu tidak dipahami sebagai suatu institusi yang
esoterik dan otonom, melainkan sebagai bagian dari proses sosial yang lebih
besar. Oleh karena itu, dengan tegas, hukum dalam wilayah seperti ini dapat
dikatakan sebagai law as a great anthropological document. Artinya, untuk
mengubah ke arah itu sebaliknya merubah pemahaman mengenai hukum
dari hanya sebagai instrumen profesi semata menjadi suatu dokumen
antropologis.
Tentunya, semangat dari Satjipto dan Soetandyo tersebut di atas
senantiasa searching for (the social) meaning of law, untukmendapatkan jalan
yang lebih lapang. Dan sosiologi (hukum) dalam hal ini, membantu
melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran hukum yang absolut, dengan
membawa hukum ke alam kenyataan sehari-hari. Ia memandang sosiologi
hukum merupakan salah satu pintu masuk ke dalam apa yang disebut the
scintiic study of law.
Dalam kajian non-doktrinal, hukum tidak lagi dikonsepkan secara
filosofi-moral, sebagai norma ius constituendum atau law as what ought to be
dan tidak pula secara positivistis, sebagai norma ius constitutum atau law as
what it is in the books, melainkan secara empiris, yang teramati di dalam
pengalaman. Dengan kata lain, hukum tidak lagi dimaknakan sebagai suatu
norma-norma yang eksis dalam suatu sistem legitimasi yang formal.
Penelitian non-doktrinal melihat dari segi subtansinya. Hukum dilihat
sebagai kekuatan sosial yang empiris wujudnya namun terlihat secara sah.
Bekerja dengan hasil yang mungkin efektif dan mungkin tidak efektif, untuk
membuat pola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Dari segi
stukturnya, hukum terlihat sebagai suatu institusi peradilan yang kerjanya
mentrasformasikan masukan-masukan (materi hukum in abstacto-UU),
menjadi keluaran-keluaran (keputusan in concreto), yang mencoba
memengaruhi dan mengarahkan proses interaksi yang berlangsung dalam
masyarakat.
Hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini dapat dijadi-kan objek
penelitian saintifik (non-doktrinal). Hukum tidak lagi dijadikan penggarap
untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka (atas dasar logika
deduktif), dengan premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahannya (yang
primer atau sekunder), atau dari sumber-sumber yang ranahnya normatif
(formil ataupun materil).
Ciri metode yang sangat jelas dalam penelitian non-doktrinal adalah
menggunakan peran logika induksi untuk menemukan asas-asas umum
(empirical uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle
range, maupun yang rgand), melalui silogisme. Dalam silogisme induksi ini,
premis-premis (kecuali konklusinya), selalu berupa hasil pengamatan yang
diverifikasi. Di sinilah letak perbedaan model penelitian ini dengan model
penelitian doktrinal (normatif) yang dikerjakan oleh para filsuf-moralis
ataupun teoritis-positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif.
Penelitian-penelitian doktrinal semacam ini selalu bertolak secara deduktif
dari norma-norma yang kebenarannya bernilai formal dan tidak berasal dari
hasil pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan
diverifikasi. Silogisme induksi digunakan untuk memperoleh simpulan-
simpulan deskrisptif atau eksplanatif tentang ada atau tidaknya hubungan
(kausal atau korelatif) antara berbagai variabel sosial-hukum. Inilah
pemikiran hukum secara sosiologis.
Seandainya kita sepakat bahwa yang membedakan aktor dalam
kaitannya dengan gejala sosial, adalah logika berpikirnya. Kita akan mudah
untuk bisa memahami bagaimana cara berpikir sosiologis itu. Orang awam
dalam pemahaman Berger, dinamakan sebagai man on the street, cenderung
untuk melihat dan memahami gejala sosial tanpa mempertanyakan hakikat
atau eksistensi dari gejala itu. Orang awam akan memahaminya secara taken
for granted sehingga tidak perlu mempersoalkan lebih lanjut. Dari cara
berpikir ini, dapat diketengahkan sebuah contoh: dalam persidangan, hakim
yang akan memeriksa, dan mengadili tidak akan mempertanyakan mengapa
kasus pembunuhan itu hukumannya harus lima belas tahun. Hakim hanya
akan menerapkan apa adanya sesuai dengan bunyi aturan tersebut. Tidak
hanya hakim, para aparatur pengadilan lainnya, yang bersikap taken for
granted dapat ditafsirkan sebagai bagian dari orang awam.
Dengan kata lain, fakta sosial yang ditangkap oleh seorang sosiolog
akan dipertanyakan eksistensinya dalam masyarakat dan diamati
kecenderungannya. Sosiolog tidak akan mempertanyakan nilai-nilai kebaikan
tetapi melihatnya sebagai objek studi. Sosiolog akan mempertanyakan
bagaimanakah mekanisme sosialnya sehingga nilai-nilai kebaikan dapat
dipelihara dan kemudian mempertanyakan bagaimana persepsi masyarakat
tentang nilai-nilai tersebut?

C. Hukum dan Basis Sosialnya


Permasalahan mengenai basis sosial hukum jauh-jauh hari telah banyak
dibicarakan oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum dan Masyarakat.
Setelah Satjipto Rahardjo membicarakan basis sosial hukum dan mendapat
tanggapan yang cukup baik dalam masyarakat, Ronny Hanitijo Soemitro, dalam
bukunya Beberapa Masalah dalam Studi Hukum dan Masyarakat, juga
membahas tentang Hukum dan Basis Sosialnya28. Kita juga dapat menemukan
pembahasan mengenai hal tersebut dalam buku yang ditulis oleh Soetandyo
Wignjosoebroto29 dan Esmi Warasih. Para ahli hukum yang membicarakan
tentang basis sosial hukum adalah para sosiolog hukum, yang mengembangkan
sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga sekarang. Dalam
perkembangan tersebut, mereka dipengaruhi oleh Talcoot Parson dengan
pemikiran postmodernismenya.
Yang menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan
basis sosial hukum adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan
stuktur sosial yang mendukung. Mereka menganalisis bagaimana hukum yang
berlaku dalam masyarakat itu cocok atau terjalin ke dalam jaringan interaksi
sosial. Dalam memperhatikan ini, yang diajukan sebagai pertanyaan bukan
apakah norma-norma serta pranata-pranata hukum itu berhubungan satu sama
lain secara logis konsisten. Akan tetapi, apakah hukum itu merupakan sarana
pengatur masyarakat yang bekerja dengan baik (viable), apakah masyarakat
tidak mencari sarana pengatur lain di luar hukum yang diperlukan baginya,
bagaimanakah hukum itu berkembang dan faktor-faktor apakah yang
memungkinkan berkembangnya hal tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengharuskan praktisi melihat hukum
dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, apabila hukum tidak
ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan masyarakatnya, hukum dituntut
untuk merespon segala seluk-beluk kehidupan sosial yang melingkupinya. Itu
berarti, peranan hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-
problema sosial yang timbul. Dalam konteks pemahaman yang demikian itu,
tidak cukup bila hukum hanya dipahami secara yuridis-normatif, yakni sebagai
tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Hukum juga perlu diberi ruang
untuk maksud studi-studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan-
pendekatan ilmu sosial. Studi-studi deskriptif itu tampaknya sudah mulai marak
dan menunjukan eksistensinya. Tipologi studi-studi hukum non-yuridis normatif
itu telah menunjukkan bahwa hukum itu bukan lagi sebagai lembaga yang
otonom, melainkan sebagai suatu proses sosial. Sebagai suatu proses sosial,
konsekuensi logis dari para praktisi dan mahasiswa hukum hendaknya secara
maksimal memanfaatkan hasil-hasil karya para ahli ilmu-ilmu sosial dalam
menggarap masalah-masalah yang dihadapinya.

D. Tiga Pilihan Cara dalam Hukum


 Kajian Normatif (analitis-dogmatis)
Kajian ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah
yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang
benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan antara lain pada ilmu
hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan hukum perdata
positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih mencerminkan law in books.
Dunianya adalah das sollen,apa yang seharusnya.
Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma
yang berlaku pada saat itu atau norma yang dinyatakan dalam undang-
undang. Metode yang digunakan untuk penelitian terhadap kajian ini
adalah metode yuridis-normatif. Kajian terhadap penelitian hukum
normatif ini pada dasarnya adalah mengkaji hukum dalam kepustakaan,
misalnya penelitian inventarisasihukum positif, penelitian terhadap asas-
asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum in concreto, penelitian
terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal.
Kajian normatif ini merupakan kajian yang sangat menen-tukan
puncak perkembangan hukum sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai
akibat kemajuan teknologi, industri, perdagangan dan transportasi,
terjadilah kekosongan besar dalam bidang perdagangan. Berdasarkan
kekosongan tersebut, hukum mem-berikan respon yang sangat masif dan
melahirkan suatu orde baru dalam tatanan yang tidak ada tandingnya.
Hal inilah yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat
normatif, positivistik dan legalistik.
Metode analitis dogmatis ini pada hakikatnya hanya merupakan
konsekuensi dari fenomena the statutoriness of law saja.Metode tersebut
muncul karena kebutuhan dari kehadiran hukum perundang-undangan
yang semakin mendesak, guna mengisi kekosongan dalam dunia
perdagangan dalam era revolusi industri. Metode ini sering disebut
sebagai metode yuridis-dogmatis, yaitu metode yang cenderung
mempertahankan peraturan hukum yang berlaku dan mempelajarinya
secara rasional.
Metode ini digunakan oleh para peneliti hukum pada masa
berlakunya anggapan ‘ilmu untuk ilmu’ dan ‘seni untuk seni’, sehingga
pada saat itu peneliti hukum berpandangan bahwa ‘hukum untuk hukum
dan bukan hukum untuk masyarakat. Metode ini tidak mengaitkan
peranan hukum bagi masyarakat. Metode ini begitu kental dirasakan
dalam ajaran Hans Kelsen, yang dikenal dengan ‘Ajaran Hukum Murni’,
maksudnya hukum dibersihkan dari pengaruh hukum alam & pengaruh
ilmu lain yang bersifat empiris.Peneliti yang menggunakan metode ini
memiliki hubungan yang sangat erat dengan objek kajiannya. Baginya
hukum yang berlaku sudah sangat melekat dengan dirinya dan tidak ada
pilihan lain kecuali mematuhi hukum yang berlaku tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo, metode normatif ini didasarkan pada
hal di bawah ini sebagai berikut :
1. Ada penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus
dijalankan.
2. Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan
(problem solving device).
3. Partisipasi sebagai subjek yang memihak hukum positif.
4. Sikap menilai atau menghakimi anggota masyarakat,
berdasarkan hukum positif.
Kajian normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal
berikut, yaitu adanya Inventarisasi hukum positif, penelitian asas hukum,
menemukan hukum konkrit, adanya sistematika hukum, adanya
sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum.

 Kajian Filosois (Metode Transendental)


Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal,
yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan,
pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini lebih diperankan
oleh kajian filsafat hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam
kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang
sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat
hukum ini telah berumur lebih dari ribuan tahun. Kehadiran yang amat
dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari tatanan itu sendiri. Tatanan
merupakan sisi lain dari kehidupan bersama manusia, sebab manusia
adalah mahluk tatanan.
Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan–
pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan,
hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (Mengenai pengertian dari
filsafat hukum ini akan dibahas pada bab mengenai teori hukum).
Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini sebagai
berikut :
1. Ontologi hukum mereleksikan hakikat hukum dan konsep-
konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan hukum
dengan orang.
2. Aksiologi hukum mereleksikan isi dan nilai yang termuat dalam
hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan
kebenaran.
3. Ideologi hukum, yang mereleksikan wawasan manusia dan
masyarakat yang melegitimasi hukum.
4. Epistemologi hukum, yang mereleksikan sejauh mana
pengetahuan tentang hukum dapat dijalankan.
5. Teleologi hukum, yang mereleksikan makna serta tujuan dari
hukum.
6. Ajaran ilmu, yang mereleksikan kriteria keilmuan ilmu hukum.
7. Logika hukum, yang mereleksikan aturan berpikir dalam
hukum.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Hukum
adalah bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian tentang
arti (defenisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik tolak
kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus
mengetahui terlebih dahulu filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu
pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia mencoba untuk
bereleksi tentang segala hal yang ada, tentang hal ada dalam
keumumannya. Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal,
mengapa semuanya itu?, apakah sebagaimana adanya dan tidak lain?
Jadi, pada intinya, Filsafat merupkan releksi (pemantulan kembali) dari
suatu kegiatan berpikir dan memiliki sifat rasional. Hal ini, berarti bahwa
filsafat harus memberikan argumentasi pada tesis-tesis dan
pemahamannya dan terbuka bagi kontra argumentasi dan bantahan-
bantahan terhadap dalil-dalilnya. Filsafat berada dalam dimensi
komunikasi intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu
hubungan diskusi (diskursif) terbuka dari subjek-subjek yang satu
terhadap yang lainnya.
Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara
mendalam hakikat dari hukum. Ini berarti, filsafat hukum ingin
memahami hukum sebagai tampilan atau manifestasi dari suatu asas yang
melandasinya. Karena itu, filsafat hukum, mengandaikan teori
pengetahuan (epistemology) dan etika. Pembahasan filsafat hukum
mencakup dua hal, yakni apa landasan dari kekuatan mengikat dari
hukum itu? dan berdasarkan apa kita menilai keadilan (richtigheid;
rechtsvaardigheid) dalam hukum. Beberapa Aliran dalam kajian ini,
adalah sebagai berikut.
1. Hukum Kodrat
Merupakan aliran terpenting dalam filsafat hukum sejak
permulaan. Pada zaman Yunani, hukum kodrat ini diterangkan
oleh Aristoteles. Pada dasarnya, secara alamiah seharusnya berlaku
hukum, terlepas dari fakta apakah manusia telah menetapkannya
atau belum. Oleh para penganut Stoa Romawi, hukum kodrat ini
ditempatkan dalam suatu perspektif rasionalistik. Bapak hukum
kodrat klasik adalah homas Aquino (1225-1274). Untuk
memaparkan pandangannya, kita harus menunjuk pada beberapa
penggolongan yang dibuatnya, yaitu Lex Aeterena, merupakan
hukum abadi yang menguasai seluruh dunia yang bersumber dari
rasio Tuhan. ni menjadi dasar bagi semua hukum yang ada. Rasio
ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Hanya
sebagian kecil saja yang dapat disampaikan kepada manusia. Lex
Divina adalah bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap atas
dasar wahyu yang diterimanya. Lex Naturali, adalah hukum alam,
merupakan perwujudan lex aeterena pada rasio manusia. Atas
dasar inilah, manusia dapat melakukan suatu penilaian, dapat
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Bagian dari
hukum kodrat ini adalah ius naturale atau ius naturae, yakni
bagian-bagian yang berkaitan dengan pengaturan hubungan-
hubungan lahiriah antara manusia dengan penguasaan atas
barang-barang berwujud dan urusan-urusan. Lex positivis,
merupakan hukum positif yang dibuat oleh Tuhan, yang terdapat
pada kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia. Hukum
ini merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, atas
dasar persyaratan khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia.
Mengenai konsepsinya, homas Aquino membagi asas-asas hukum
kodrat ini menjadi dua bagian:
1) Principia Prima, adalah asas-asas yang dimiliki oleh
manusia sejak lahir dan bersifat mutlak, dalam arti
tidak dapat diasingkan darinya. Oleh karena sifatnya
yang demikian mutlak (Ketentuan Tuhan), principia
prima ini tidak dapat berubah di tempat manapun
dan dalam keadaan apapun.
2) Principia Secundaria, merupakan asas yang
diturunkan dari principia prima, tidak berlaku mutlak
dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Ini
merupakan penafsiran manusia terhadap principia
prima.
2. Idealisme
Menurut Imanuel Kant (1724-1804), gejala-gejala etika dan
hukum harus dipahami dari sudut yang sama. Untuk itu,
Kantmencari aturan-aturan atau asas-asas a-priori, yakni yang
tidak bertumpu pada pengalaman, yang dapat menjadi suatu
pedoman yang mengikat bagi perilaku kita. Oleh karena itu, Kant
mengkonstalasikan apa yang dinamakan faktum der Vernuft,
artinya mengalami dalam diri kita sendiri gejala wajib (plicht) yang
dust sollst (harus ada).

3. Marxisme
Menurut Marx, dialektika tidak berlangsung dalam alam
pikiran (yang dalam kenyatan dibuat menjadi dapat dimengerti),
akan tetapi berlangsung dalam kenyataan itu sendiri. Pada analisis
Marx tentang kenyataan menunjukkan bahwa karya manusia
memainkan peranan penting yang sentral. Karya manusia berada
dalam suatu hubungan praktikal terhadap alam, yang dialamnya
alam diubah bentuknya dan dibuat berguna untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Jadi, dalam pemikiran Marx, produksi
dan pemenuhan kebutuhan merupakan kategori-kategori sentral.
Pada diri Marx tidak terdapat pemikiran hukum dan negara
sebagai bentuk perwujudan dari kebebasan, akan tetapi terdapat
pemikiran bahwa hukum adalah sebagai alat penindas warga
negara.

4. Reine Rechtslehre
Hukum dalam pandangan Hans Kelsen, telah direduksi
pada sifatnya yang normatif. Dari perspektif ini, hukum harus
dipandang sebagai suatu kaidah yang tersusun secara Hierakhikal,
yang berlandaskan pada suatu grundnorm. Ini harus dipandang
sebagai suatu sudut pandang Hipotetikal. Jika kita hendak
memaparkan (mengerti, memahami) hukum menurut Hans Kelsen,
kita harus memandangnya sebagai suatu Stufenbau.

Dari uraian mengenai teori hukum, ilmu hukum dan filsafat


hukum di atas, dapatlah ditarik suatu hubungan logis, yaitu filsafat
hukum berfungsi sebagai meta disiplin terhadap teori hukum dan juga
terhadap ilmu hukum. Filsafat hukum dapat memberikan
penjelasan dan landasan filosofis bagi keberadaan teori hukum dan ilmu
hukum. Filsafat hukum menjadi rujukan dari ajaran nilai (ontologi
hukum, aksiologi hukum, ideologi hukum, dan teleologi hukum) dan
ajaran ilmu (ajaran ilmu pengetahuan dan ajaran ilmu
sesungguhnya).
Melihat dari hubungan di atas, yang menjadi objek ilmu hukum
adalah tata hukum yang berlaku, yakni hukum yang sah dan yang ada.
Jadi, ilmu hukum bukan terutama menelaah atau memaparkan hukum
yang benar dan yang seharusnya ada, kehidupan di bawah
hukum dan fakta hukum, melainkan produknya terbuka untuk kritik
yang dapat mendorong usaha perbaikan. Objek yang ditelaah oleh ilmu
hukum adalah teks otoritatif yang bermuatan aturan-aturan hukum, yang
terdiri dari produk-produk perundang-undangan (UU dalam artian luas),
putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis dan karya ilmuwan hukum
dalam bentuk doktrin.

 Kajian Empiris
Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup
kenyataan sosial, kultur. Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari
peralihan zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir
disebabkan karena metode atau kajian hukum secara normatif, tidak lagi
mendapat tempat. Pendekatan hukum melalui kajian empiris yang lahir di
awal abad ke-20 ini bersamaan lahirnya dengan ilmu baru yang oleh A.
Comte (1798-1857) diberi nama Sosiologi. Olehnya, sosiologi disebut
sebagai ilmu tentang tatanan sosial dan kemajuan sosial. Kajian terhadap
hukum melalui pendekatan sosiologis dan perkembangannya ini, akan
penulis bahas dalam bab selanjutnya.
Ketiga pendekatan terhadap hukum itu, merupakan langkah awal
bagi kita (hamba hukum) untuk memahami apakah hukum itu?. Berlainan
dengan tiga pendekatan itu, namun masih memiliki karakteristik yang
sama, Achmad Ali dalam pidatonya ketika menerima jabatan guru besar
tetap pada Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, memberikan suatu
pencerahan terhadap pendekatan hukum sebagai berikut.
a. beggrifenwissenchaft adalah ilmu tentang asas-
asas yang fundamental di bidang hukum,
termasuk di dalamnya mata kuliah Pengantar
Ilmu Hukum, Filsafat Hukum, Logika Hukum,
dan Teori Hukum.
b. Normwissenchaft adalah ilmu tentang norma,
termasuk di dalamnya adalah sebagian besar
mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas
hukum di Indonesia, seperti Hukum Pidana,
Hukum Perdata dan Hukum Tata Negara.
c. Tatsachenwissenchaft adalah ilmu tentang
kenyataan hukum, termasuk di dalamnya
Sosiologi Hukum, Hukum & Masyarakat,
Antropologi Hukum dan Psikologi Hukum.
Dari berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas,
hukum dapat ditafsirkan sebagai sebuah konsep. Soetandyo
Wigjosoebroto, mengatakan tak ada konsep yang tunggal mengenai apa
yang disebuat dengan hukum itu. Menurut pendapatnya, dalam sejarah
pengkajian hukum, tercatat sekurang-kurangnya ada tiga konsep.
Pertama, hukum dikonsepkan sebagai asas moralitas atau asas keadilan
yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam.
Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah positif yang berlaku
pada suatu waktu dan tempat tertentu, sebagai produk eksplisit suatu
sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga, hukum
dikonsepkan sebagai institusi sosial yang rill dan fungsional dalam sistem
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses
pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses
pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru.
Selain alasan itu, cara ini dipakai karena studi tentang hukum
dewasa ini masih lebih banyak berkisar pada pemahaman dan analisis
hukum secara dogmatis. Studi hukum hanya melihat hukum sebagai
suatu sistem yang logis-konsisten. Dari keadaan itu, menurut penulis,
dewasa ini dibutuhkan adanya perubahan dalam pemahaman hukum,
atau lebih tepatnya pemahaman hukum dan masyarakat. Studi tentang
hukum dan masyarakat akan melibatkan telaah kita mengenai hukum,
sehingga menyangkut pembicaran-pembicaran yang dulu lazimnya
diletakkan di luar dunia hukum
yang esoterik itu

E. Tujuan Sosiologi terhadap Hukum


Dengan mempelajari Sosiologi Hukum, sedikitnya ada tiga kegunaan atau
manfaat yang bisa diperoleh, yaitu :
a. Memberikan kemampuan pemahaman hukum dalam konteks
sosial;
b. Memberikan kemampuan untuk menganalisis efektifitas hukum
dalam masyarakat baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana
pengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur interaksi sosial
tertentu atau yang diharapkan;
c. Memberikan kemampuan mengadakan evaluasi (penilaian)
terhadap hukum dalam masyarakat.
Kegunaan-kegunaan tersebut diatas dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut :
a. Pada taraf organisasi dalam masyarakat
o Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah
yang mempengaruhi perencanaan,pembentukan dan penegakan
hukum;
o Dapat diidentifikasikannya unsur-unsur kebudayaan manakah
yang mempengaruhi isi atau substansi hukum;
o Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam
pembentukan hukum dan penegakannya.
b. Pada taraf golongan dalam masyarakat
o Pengungkapan golongan-golongan manakah yang sangat
menentukan di dalam pembentukan dan penerapan hukum;
o Golongan-golongan manakah dalam masyarakat yang
beruntung atau sebaliknya dirugikan dengan adanya hukum-
hukum tertentu;
o Kesadaran hukum dari golongan-golongan tertentu dalam
masyarakat.
c. Pada taraf individual
o Identifikasi unsur-unsur hukum yang dapat mengubah
perikelakuan warga masyarakat;
o Kekuatan, kemampuan dan kesungguhan hati para penegak
hukum dalam melaksanakan fungsinya;
o Kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum.

BAB III
KESIMPULAN
SARAN
PENUTUP

A. Kesimpulan
Modernisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. membawa perubahan yang cukup besar dalam perkembangan
manusia. Hal ini dapat dilihat dengan peradaban yang tumbuh di kota-kota
besar. Akan tetapi disisi lain modernisasi membawa dampak negatif bagi
manusia, seperti pola hidup sekuler, yang pada akhirnya mereka
meningalkan agama. Kekosongan spiritual ini mengakibatkan manusia
modern mudah terkena gangguan-gangguan psikis seperti stres, depresi dan
neurosis. Kondisi ini mengharuskan mereka mencari sebuah cara yang efektif
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan nilai transenden tersebut.
Berbagai tawaran munculseperti melalui penyembuhan dengan medis
sampai dengan penyembuhan yang berbasiskan spiritual.
Berdasarkan uraian dari BAB I sampai dengan BAB II sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Stres merupakan sesuatu yang menekan individu baik dari ekternal
maupun internal individu. Ketika mengalami stres, tubuh melakukan
interaksi dan adaptasi sebagai usaha mempertahankan keseimbangan.
Faktor latar belakang sosial, pendidikan, budaya, keturunan serta
pengahayatan terhadap agama mempengaruhi individu dalam
merespon stres tersebut.
2. Dalam mengatasi dan menyembuhankan stres, Kuhsari dan Mustamir
menawarkan beberapa cara yang dapat dilakukan ketika mengalami
stres. Yakni memanajemen stres tersebut dengan mengarahkannya ke
dalam hal yang positif. Selain itu merujuk pada agama merupakan hal
terpenting bagi manusia dalam menjalani kehidupan. dengan
mengamalkan, menghayati serta berpegang teguh pada agama dapat
mengembalikan kejernihan moralitas manusia serta memberikan
petunjuk dalam mengatasi berbagai persoalan psikologi hidup
manusia, sehingga harapan manusia kembali hidup baik, damai,
tenang terhindar dari gangguan kejiwaan dapat terwujud. Dalam
hubungannya dengan bimbingan dan konseling Islam, upaya
penyembuhan stres yang ditawarkan Kuhsari dan Mustamir dapat
dijadikan materi bagi konselor dalam membimbing dan
mengkonseling konseli yang belum atau sedang menghadapi masalah.
Upaya penyembuhan yang ditawarkan Kuhsari dan Mustamir sesuai
dengan asas-asas dan tujuan bimbingan konseling Islam.
B. Saran-saran
Dengan memperhatikan konsep stres pada masyarakat modern dan
upaya penyembuahnnya, maka saran yang dapat dikemukakan antara lain:
1. Bahwa perlu adanya pemahaman manusia tentang makna stres
dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya stress sendiri bergantung
pada pemaknaan diri terhadap peristiwa yang dialami dan pada
hakikatnya stres dapat membangun dan melatih manusia untuk
menjadi pribadi yang tangguh.
2. Agar adanya kesamaan dalam pandangan, maka menjadi tugas
ulama dan para da'i sebagai ujung tombak syi'ar Islam dalam
mensosialisasikan manfaat stres sebagai sebuah kebutuhan bagi
manusia untuk mengenal dirinya dan Allah Dzat yang menciptakan
alam dan jagat raya
C. Penutup
Puji syukur alhamdulillah, dengan rahmat dan hidayah Allah SWT,
maka peneliti dapat menyelesaikan makalah ini, peneliti menyadari
sepenuhnya bahwa dalam penulisan dan pembahasan makalah ini masih
banyak kekurangan, baik dari segi bahasa, sistematika maupun analisisnya.
Hal tersebut semata mata bukan kesengajaan peneliti, namun karena
keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki karenanya peneliti memohon
kritik dan saran.Akhirnya peneliti memanjatkan doa kepada Allah SWT.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang berkesempatan
membacanya serta dapat memberikan sumbangan yang positif bagi khazanah
ilmu pengetahuan.

Amin ya rabbil alamin

DAFTAR PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. 1998. Hukum dan Perkembangan Sosial.
Jilid I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

A., Hasan Zaini. 1974. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.Bandung: Alumni.

Abdulah, Mudhofir.2005. Menggugat Sosiologi Sekuler: Studi Analisis Atas


Sosiologi Weber. Yogyakarta: Suluh Press.

Abidin, E. Zainal. 1997. Budaya Hukum Dalam Peradilan di Indonesia. Jurnal Ilmu
Hukum UII. 4(9).

Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari David
Hume sampai homas Kuhn. Bandung: Teraju.
Adian, Donny G. Percikan Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. 2006. Yogyakarta: Jalasutra.

Ali, Achmad. 2004. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris terhadap Pengadilan. Jakarta:
Iblam.

Alpert, Harry. 1939. Emile Durkheim and His Sociology. New York: Columbia
University Press.

Althusser, Louis. 1976. “Ideology and Ideological State Apparatuses”. Dalam: Essays
on Ideology. 1976. London: Verso Press.

Andreski, S.L. 1987. “Pengertian, Tindakan, dan Hukum dalam

Max Weber”. Dalam: Podgorecki, Adam dan C.J. Whelan. 1987.

Sociological Approaches to Law. Jakarta: Bina Aksara.

Barlin, Isaiah. 1959. Karl Marx: His Life and Environment. New York: Oxford
University Press.

Baudrillard, Jean. 1996. he Perfect Crime. London: Verso Press.

Anda mungkin juga menyukai