Anda di halaman 1dari 9

A.

KONSEP DASAR INKONTINENSIA URIN

a. Definisi

Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali
atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi
(sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena
kelainan neurologis yang serius (paraplegia), kemungkinan besar bersifat permanen.

Inkontinenensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.Variasi
dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar
banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses).

b. Anatomi Fisiologi

Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur kesetimbangan
cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal
 pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak
retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga
dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (buli- buli/kandung kemih) dan uretra yang
membawa urine ke lingkungan luar tubuh.
1) Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat
sepasang (masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya
retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding
ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas
ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah
tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira- kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan
adalah  pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal
kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
a) Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus  proksimal dan
tubulus kontortus distalis.
b) Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent).
c) Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
d) Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks
e) Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.
f) Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix
minor.
g) Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
h) Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
i) Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix
major dan ureter.
j) Ureter yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.Unit fungsional ginjal
disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul
Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang
bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat
pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus)
serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan
letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus
renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja
bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu
nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang
terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang
disebut sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta
abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah
memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang
akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior,
anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki persarafan
simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau
L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini
berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui
n.vagus.
2. Ureter
Ureter merupakan saluran sepanjang 25-30 cm yang membawa hasil penyaringan
ginjal (filtrasi, reabsorpsi, sekresi) dari pelvis renalis menuju vesica urinaria. Terdapat
sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal.
Ureter setelah keluar dari ginjal (melalui pelvis) akan turun di depan m.psoas major, lalu
menyilangi pintu atas panggul dengan a.iliaca communis. Ureter berjalan secara postero-
inferior di dinding lateral pelvis, lalu melengkung secara ventro-medial untuk mencapai
vesica urinaria. Adanya katup uretero-vesical mencegah aliran balik urine setelah
memasuki kandung kemih. Terdapat beberapa tempat di mana ureter mengalami
penyempitan yaitu peralihan pelvis renalis-ureter, fleksura marginalis serta muara ureter
ke dalam vesica urinaria. Tempat-tempat seperti ini sering terbentuk batu/kalkulus.
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca communis,
a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan ureter melalui
segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus
hipogastricus superior dan inferior.
3. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan
tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya
diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi
sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis ( pelvic floor ), bersama-sama dengan
organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta
pembuluh- pembuluh darah, limfatik dan saraf. Dalam keadaan kosong vesica urinaria
berbentuk tetrahedral yang terdiri atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum.
Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta
empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria
terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae
pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan suatu
bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan collum
vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae walaupun dalam
keadaan kosong.Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior.
Namun pada  perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis. Sedangkan
persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan  parasimpatis.
Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan
n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus
pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik.
4. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju
lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita.
Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ
seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita
panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter
interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter
externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya
memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars membranosa
dan pars spongiosa.
a) Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan aspek
superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae
internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh
persarafan simpatis.
b) Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus kelenjar
prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian lainnya.
c) Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan tersempit.
Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma
urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal yang
berada di bawah kendali volunter (somatis).
d) Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang, membentang dari
pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini dilapisi oleh
korpus spongiosum di bagian luarnya.
Sedangkan uretra pada wanita  berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding
uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada
orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening)  Terdapat spchinter
urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra
pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.
a. Klasifikasi

Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang sedang dideritaatau masalah
obat-obatan yang digunakan (iatrogenik). Inkontinensia akanmembaik bila penyakit akut yang
diderita sembuh atau jika obat- obatandihentikan.Penyebab inkontinensia akut disingkat
dengan akronim DRIP, yang merupakan singkatan dari:
D : Delirium

R : Retriksi, mobilitas, retensi

I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses

P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri


a) Delirium, merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang dehidrasi, infeksi
paru, gangguan metabolisme, dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan
refleks miksi berkurang yang menimbulkan inkontinensia bersifat sementara. Kejadian
inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab
delirium.
b) Infeksi traktus urinarius. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan
meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia.
Sehingga mengakibatkan seorang usila tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang banyak terjadi pada usila,
tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi danbisa saja bukan etiologi
inkontinensia. Atrophic vaginitis. Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat
menyebabkan timbulnya gejala rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius
berulang, dispareunia, urgensi, stress atau urge
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan
harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas.Untuk mengatasinya
penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet.
Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan
terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Golongan obat yang berkontribusi
pada inkontinensia urine, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis
adrenergic alfa, agonic adrenergicalfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan
psikotropika sepertiantidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil
dalam inkontinensia urine. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadiakibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasivagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah
obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot
dasar panggul.
b. Tipe-tipe dari inkontinensia urin dan patofisiologinya:

Menurut Buku Ajar Fundamental Keperawatan tipe-tipe inkontinensia urine, yaitu:

1. Inkontinensia Urine Fungsional

Deskripsi: involunter, jalan keluar urine tidak dapat diperkirakan pada klien yang system
saraf dan system perkemihannya tidak utuh.

Penyebab: perubahan lingkunga; deficit sensorik, kognitif atau mobilitas.

Gejala: mendesaknya keinginan untuk berkemih menyebbakan urine keluar sebelum


mencapai tempat yang sesuai. Klien yang mengalami perubahan kognitif mungkin telah
lupa mengenai apa yang harus ia lakukan.

2. Inkontinensia Urine Overflow (Refleks)

Deskripsi: keluarnya urine secara invoulunter terjadi pada jarak waktu tertentu yang telah
diperkirakan. Jumlah urine dapat banyak atau sedikit.

Penyebab: terhambatnya berkemih akibat efek anastesi atau obat-obatan, disfungsi


medulla spinalis (baik gangguan pada kesadaran serebral atau kerusakan pada arkus
refleks).

Gejala: tidak menyadari bahwa kandung kemihnya sudah terisi, kurangnya urgensi untuk
berkemih, kontraksi spasme kandung kemih yang tidak dapat dicegah.

3. Inkontinensia Urine Stress

Deskripsi: peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan merembesnya sejumlah


kecil urine.

Penyebab: batuk, tertawa, muntah, atau mengangkat sesuatu saat kandung kemih penuh,
obesitas, uterus yang penuh pada trimester ketiga, jalan keluar pada kandung kemih yang
tidak kompeten, lemahnya otot panggul.

Gejala: keluarnya urin saat tekanan intra abdominal meningkat, urgency dan seringnya
berkemih.
4. Inkontinensia Urine Urge (Desakan)
Deskripsi: pengeluaran urin yang tidak disadari setelah merasakan adanya urgensi yang
kuat untuk berkemih.
Penyebab: daya tampung kandung kemih menurun, iritasi pada reseptor peregang kandung
kemih, konsumsi alcohol atau kafein, peningkatan asupan cairan dan infeksi.
Gejala: urgensi berkemih, sering disertai oleh tingginya frekuensi berkemih (lebih sering
dari 2 jam sekali), spasme kandung kemih atau kontraktur, berkemih dalam jumlah kecil
(kurang dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml).
5. Inkontinensia Urine Total
Deskripsi: keluarnya urine total yang tidak terkontrol dan berkelanjutan.
Penyebab: neuropati, trauma atau penyakit pada saraf spinalis atau sfingter uretra, firtula
yang berada di kandung kemih dan vagina.
Gejala: urin tetap mengalir pada waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan, nokturia, tidak
menyadari bahwa kandung kemihnya terisi atau inkontinensia. (Potter & Perry,2005: 1687)

Menurut Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah tipe-tipe inkontinensia urine,


yaitu:
1. Inkontinensia Akibat Stress
merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akhir dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini
paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetrik , lesi
kolumna vesika, urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan
sejumlah keadaan lainnya. Di samping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan
congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik) sesuatu yang abnormal dan
menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.

c. Patofisiologi

Terjadinya pengisian kandung kencing sehingga meningkatkan tekanan tekanan didalam


kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung kencing) memberikan
respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume daya tamping. Bila titik daya tamping
telah tercapai, biasanya 150-200 ml urin akan merangsang stimulus yang ditransmisikan lewat
serabut reflek eferen ke lengkungan pusat reflek untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan
melalui serabut efferent dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot
detrusor. Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka
dan urine masuk ke irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot perineal mengikuti dan
isis kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan reflek bisa mengalami interupsi sehingga
berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang
berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari system yang
komlek ini mengalami rusak, akan bisa terjadinya inkontinrensia urine. (Bruner and suddart,
2000)
d. Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin

Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan
menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti  pengosongan
kandung kemih tidak adekuat.

2. Urinalisis

Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :

 Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosa sitologi.

 Tes urodinamik : untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah

 Tes tekanan urethra : mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.

 Imaging : tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

3. Pemeriksaan penunjang

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin
pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung
kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk  batuk ketika sedang
diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat.
Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau
tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
4. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal
dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
e. Penatalaksanaan
Menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari
beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress
diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu  pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi
urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,  bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

Anda mungkin juga menyukai