Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tonsilitis

1. Pengertian Tonsilitis

Tonsil merupakan terdapatnya peradangan umum dan

pembengkakan dari jaringan tonsil dengan lekosit, sel-sel epitel mati dan

bakteri pathogen dalam kripta. Tanda dan gejala tonsillitis ini adalah nyeri

tenggorokan, nyeri telan dan kesulitan menelan, demam, pembesaran

tonsil mulut berbau dan kadang telinga terasa sakit (North American

Nursing Diagnosis Associatioan, 2012).

Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan jaringan

tonsil dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati dan bakteri

pathogen dalam kripta (Derricson, 2009).

a. Tonsilitis Akut

1) Tonsilitis Viral

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang

disertai rasa nyeri tenggorok. Virus Epstein Barr adalah

penyebab paling sering. Hemofilus influenzae merupakan

penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus

coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak

luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri

dirasakan klien.

Penerapan Terapi Kompres..., HANUNG MAULANA HIDAYATULLOH, Fakultas Ilmu Kesehatan, 2018
7

2) Tonsilitis Bacterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A

Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat,

pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes.

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan

menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis

akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila

bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur

maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

b. Tonsilitis Membranosa

1) Tonsilitis Difteri

Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan

kuman Coryne bacterium diphteriae. Penularannya melalui

udara, benda atau makanan yang terkontaminasi. Tonsilitis difteri

sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun

frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.

2) Tonsilitis Septik

Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang

terdapat dalam susu sapi.

Penerapan Terapi Kompres..., HANUNG MAULANA HIDAYATULLOH, Fakultas Ilmu Kesehatan, 2018
3) Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)

Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau

triponema yang didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut

yang kurang dan defisiensi vitamin C.

c. Penyakit Kelainan Darah

Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan

infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup

membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan

di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak

bercak kebiruan.

d. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari

rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh

cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak

adekuat.

2. Anatomi dan Fisiologi

Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari

faring dan secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini

terdiri dari jaringan limfoid dari dasar lidah (tonsil lidah), dua tonsil

tekak, adenoid, dan jaringan limfoid pada dinding posterior. Jaringan ini

berperan sebagai pertahanan terhadap infeksi, tetapi dapat menjadi tempat

infeksi akut atau kronis (Behrman, 2000)


Gambar 2.1 Tonsilitis

Tonsil terdiri atas:

a. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas

faring dan terletak di belakang koana.

b. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa

lapisan tanduk.

c. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa

lapisan tanduk.Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak

menyebar ke seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki

tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu

tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan pada tonsil

disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah satu

gangguan Telinga, Hidung dan Tenggorokan ( THT ).Sistem

imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas


seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat

“memakan“ kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangkan

imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang dapat

menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman

dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan

adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta

menyebabkan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis

kronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan

adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang

banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan

cepat melebihi ukuran yang normal.

3. Etiologi

Penyebab tonsillitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta

hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes,dapat

juga disebabkan oleh infeksi virus (Soepardi, 2007).

4. Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala tonsillitis seperti demam mendadak, nyeri

tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan

menurut Masjoer (2000) adalah suhu tubuh naik sampai 40 0C, rasa gatal

atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan),

anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan

menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil

membengkak, hiperemisis.
5. Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut,

amandel berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti

organisme berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi

ringan pada amandel. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk

antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang

amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari

virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka

jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan

radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara

klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut

detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang

terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis,

bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis

lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan

hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit

tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil

dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar

getah bening melemah di dalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi

dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit

pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sukar


menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang

tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran

semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena

proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis.

Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan

parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok

melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga

menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan

sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar limfe submandibula.


6. Pathway

Bakteri dalam Udara &

Makanan Peradangan tonsil

Tonsilitis

Pembesaran tonsil obs Mekanik

Obst Jln nafas Nyeri

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Tonsilektomi

Resiko pendarahan Kurang pemahaman

Darah di sal nafas Defisiensi pengetahuan

Bersihan jln nafas tidak efektif

Gambar 2.2 Pathway


7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :

a. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut)

selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan

dalam bentuk suntikan.

b. Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan jika:

1) Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.

2) Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun

waktu 2 tahun.

3) Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun

waktu 3 tahun.

4) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.

Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah :

a. Penatalaksanaan tonsilitis akut :

1) Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan

obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan

diberikan eritromisin atau klidomisin.

2) Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,

kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat

simptomatik.

3) Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari

komplikasi kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil

usapan tenggorok 3 kali negatif.


4) Pemberian antipiretik

b. Penatalaksanaan tonsillitis kronik

1) Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.

2) Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa

atau terapi konservatif tidak berhasil.

The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery

Clinical Indikators Compendium ahutn (1995) menetapkan indikasi

dilakukannya tonsilektomi yaitu:

1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah

mendapatkan terapi yang adekuat.

2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan

menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.

3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan

sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan

gangguan bicara.

4) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil,

yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.

5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A

Sterptococcus βhemoliticus

7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8) Otitis media efusa atau otitis media supurataif

(Soepardi, 2007)
c. Penatalaksanaan tonsilektomi :

1) Perawatan pra Operasi :

a) Lakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok secara

seksama dan dapatkan kultur yang diperlukan untuk

menentukan ada tidak dan sumber infeksi.

b) Ambil spesimen darah untuk pemeriksaan praoperasi untuk

menentukan adanya risiko perdarahan : waktu pembekuan,

pulasan trombosit, masa protrombin, masa tromboplastin

parsial.

c) Lakukan pengkajian praoperasi :

Perdarahan pada anak atau keluarga, kaji status hidrasi,

siapkan anak secara khusus untuk menghadapi apa yang

diharapkan pada masa pascaoperasi, gunakan teknik-teknik

yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak (buku,

boneka, gambar), bicaralah pada anak tentang hal-hal baru

yang akan dilihat di kamar operasi, dan jelaskan jika terdapat

konsep-konsep yang salah, bantu orang tua menyiapkan anak

mereka dengan membicarakan istilah yang umum terlebih

dahulu mengenai pembedahan dan berkembang ke informasi

yang lebih spesifik, yakinkan orang tua bahwa tingkat

komplikasi rendah dan masa pemulihan biasanya cepat,

anjurkan orang tua untuk tetap bersama anak dan membantu

memberikan perawatan.
2) Perawatan pasca operasi :

a) Kaji nyeri dengan sering dan berikan analgesik sesuai

indikasi.

b) Kaji dengan sering adanya tanda-tanda perdarahan pasca

operasi.

c) Siapkan alat pengisap dan alat-alat nasal untuk berjaga-jaga

seandainya terjadi kedaruratan.

d) Pada saat anak masih berada dalam pengaruh anestesi, beri

posisi telungkup atau semi telungkup pada anak dengan

kepala dimiringkan ke samping untuk mencegah aspirasi

e) Biarkan anak memperoleh posisi yang nyaman sendiri

setelah ia sadar (orang tua boleh menggendong anak). Pada

awalnya anak dapat mengalami muntah darah lama. Jika

diperlukan pengisapan, hindari trauma pada orofaring.

Ingatkan anak untuk tidak batuk atau membersihkan

tenggorok kecuali jika perlu.

f) Berikan asupan cairan yang adekuat; beri es batu 1 sampai

2 jam setelah sadar dari anestesi. Saat muntah susah

berhenti, berikan air jernih dengan hati-hati.

g) Tawarkan jus jeruk dingin disaring karena cairan itulah

yang paling baik ditoleransi pada saat ini, kemudian

berikan es loli dan air dingin selama 12 sampai 24 jam

pertama.
h) Ada beberapa kontroversi yang berkaitan dengan

pemberian susu dan es krim pada malam pembedahan :

dapat menenangkan dan mengurangi pembengkakan, tetapi

dapat meningkatkan produksi mukus yang menyebabkan

anak lebih sering membersihkan tenggorokanya,

meningkatkan risiko perdarahan.

i) Berikan collar es pada leher, jika anak menjadi gelisah,

lepas collar es tersebut.

j) Bilas mulut pasien dengan air dingin atau larutan alkalin.

k) Jaga agar anak dan lingkungan sekitar bebas dari drainase

bernoda darah untuk membantu menurunkan kecemasan.

l) Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak ketika anak

sadar.

(Nettina, 2006)

9. Komplikasi

a. Abses Peritonsil

Terjadi diatas tonsil dalamjaringan pilar anterior dan palatum mole,

abses ini terjadi beberapa harisetelah infeksi akut dan biasanya

disebabkan oleh streptococcus group A (Soepardi, 2007).

b. Otitis Peritonsil

Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius

(eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat

mengarah pada rupture spontan gendang telinga (Soepardi, 2007).


c. Mastoiditis akut

Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebabkan infeksi ke

dalam sel-sel mastoid (Soepardi, 2007).

d. Laringitis

Merupakan proses peradangan dari membrane mukosa yang

membentuk laring. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang

disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan , maupun karena

alergi (Reeves, 2001).

e. Sinusitis

Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu

atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu

rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari

membrane mukosa (Reeves, 2001).

f. Rhinitis

Merupakan penyakit inflamasi membrane mukosa dari cavum nasal

dan nasopharing. Samahalnyadengan sinusitis, rhinitis bisa berupa

penyakit kronis dan akut yang kebanyakan oleh virus dan alergi

(Reeves, 2001).
B. Asuhan Keperawatan Pada Tonsilitis

1. Pengkajian

Fokus pengkajian menurut Firman (2006) yaitu :

a. Wawancara

1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsilitis)

2) Apakah pengobatan adekuat

3) Kapan gejala itu muncul

4) Bagaimana pola makannya

5) Apakah rutin atau rajin membersihkan mulut

b. Pemeriksaan fisik

Data dasar pengkajian menurut Doenges (2000), yaitu :

1) Integritas Ego

Gejala : Perasaan takut, khawatir. Tanda : ansietas, depresi,

menolak.

2) Makanan atau Cairan

Gejala : Kesulitan menelan. Tanda : Kesulitan menelan, mudah

terdesak, inflamasi

3) Hygiene

Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk

4) Nyeri atau keamanan

Tanda : Gelisah, perilaku berhati-hati. Gejala : Sakit tenggorokan

kronik, penyebaran nyeri ke telinga


5) Pernapasan

Gejala : Riwayat menghisap asap rokok (mungkin ada anggota

keluarga yang merokok), tinggal di tempat yang berdebu.

6) Tenggorokan

Inspeksi : Tonsil membesar dan berwarna kemerahan.

Palpasi : Terdapat nyeri tekan, pembesaran kelenjar limfoid

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan

b. Resiko tidak ketidakfektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

penumpukan secret.

c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.

3. Intervensi

a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.

Tujuan : tidak ada masalah tentang nyeri, nyeri dapat hilang atau

berkurang

Kriteria hasil : melaporkan nyeri berkurang dan ekspresi wajah

tampak rileks.

Intervensi :

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

Rasional : sebagai dasar penentuan intervensi berikutnya.

2) Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi atau latihan

nafas dalam.
Rasional : teknik distraksi atau latihan nafas dalam dapat

mengurangi nyeri.

3) Tingkatkan istirahat klien.

Rasional : istirahat dapat melupakan dari rasa nyeri

4) Anjurkan klien untuk mengurangi nyeri dengan minum air dingin

atau es, hindarkan makanan panas, pedas, keras dan melakukan

teknik relaksasi.

Rasional : tindakan non analgesik diberikan dengan cara alternatif

untuk mengurangi nyeri dan menghilangkan ketidaknyamanan

5) Ciptakan lingkungan tenang dan nyaman

Rasional : menurunkan stres dan rangsangan berlebihan,

meningkatkan istirahat.

(Doenges, 2000)

b. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan

penumpukan secret.

Tujuan : jalan nafas efektif.

Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan, risiko

ketidakefektifan jalan nafas dapat teratasi ditandai dengan tidak

adanya secret.

Intervensi :

1) Pantau irama atau frekuensi irama pernafasan.

Rasional : pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi

memanjang dibanding inspirasi.


2) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya

mengi, krekles atau ronkhi.

Rasional : bunyi nafas krekles dan ronkhi terdengar pada inspirasi

atau ekspirasi pada respon terhadap pegumpulan sekret.

3) Kaji klien un tuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian

kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.

Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi

pernafasan

4) Dorong klien untuk mengeluarkan lendir secara perlahan.

Rasional : membersihkan jalan nafas dan membantu mencegah

komplikasi pernafasan

(Doenges, 2000)

c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya

informasi Tujuan : Pasien menjadi tahu peroses penyakit

Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan, Defisiensi

pengetahuan dapat teratasi dengan ditandai dengan pasien paham

tentang pengetahuan penyakitnya

1). Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,

kondisi, prognosis dan program pengobatan

2). Pasien dan keluarga mampu menjelaskan prosedur yang

dijelaskan secara benar

3). Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang

dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya


Intervensi :

1).Berikan penelitian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang

proses penyakit yang spesifik

2). Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini

berhubungan dengan anatomi dan fisiologi,dengan cara yang

tepat.

3). Gambaran tanda dan gejala yang biasa muncul pada

penyakit,dengan cara yang tepat

4). Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

C. Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Pengertian dari nyeri itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat

subjektif. Secara klinis nyeri adalah apapun yang diungkapkan oleh

pasien mengenai sesuatu yang dirasakan sebagai suatu hal yang tidak

menyenangkan atau sangat mengganggu (Andarmoyo, 2013). Nyeri

adalah pengalaman sensorik dan emosional yang berbahaya yang terkait

dengan dengan kerusakan jaringan actual atau potensial yang dihasilkan

dari stimulus reseptor nyeri perifer (nosiseptor) oleh trutama dan berbagai

gangguan , tes diagnostic atau perawatan (Grose & Schub 2010).

Nyeri adalah sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat

individual dikatakan bersifat individual karena respons individu terhadap

sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Hal

ini tersebut menjadi dasar bagi perawat dalam mengatasi nyeri pada klien
(Asmadi, 2008). Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan

dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri

dapat memenuhi seluruh pikiran seseorang, mengatur aktivitasnya, dan

mengubah kehidupan orang tersebut. Akan tetapi, nyeri adalah konsep

yang sulit dikomunikasikan oleh klien. Seorang perawat tidak dapat

merasakan atau melihat nyeri klien (Berman, 2009).

2. Klasifikasi nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri

akut dan kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak

dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya

peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara

perlahan- lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu

lebih dari 6 bulan yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri

terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dan sifat

terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori,diantaranya

nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.

Table 2.1

Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis

Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronis

Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, status


eksistensi

Sumber Sebab eksternal atau Tidak diketahui atu


penyakit dari dalam pengobatan yang terlalu
lama

Serangan Mendadak Bisa mendadak,


berkembang, dan
terselubung.

Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan sampai


bertahun-tahun

Pernyataan Daerah nyeri tidak Daerah nyeri sulit


nyeri diketahui pasti dibedakan intensitasnya,
sehingga sulit dievaluasi
(perubahan perasaan).

Gejala- Pola respons yang khas Pola respons yang


gejala klinis dengan gejala yang bervariasi dengan sedikit
lebih jelas gejala (adaptasi

Pola Terbatas Berlangsung terus, dapat


bervariasi

Perjalanan Biasanya berkurang Penderitaan meningkat


setelah beberapa saat setelah beberapa saat.

Sumber: Hidayat (2006).

Nyeri dapat dijelaskan berdasarkan durasi, lokasi, atau etiologi.

Ketika nyeri hanya dirasakan selama periode penyembuhan yang

diharapkan, nyeri disebut sebagai nyeri akut, baik yang tiba-tiba atau

yang lambat dan tanpa memperhatikan intensitasnya. Di sisi lain,nyeri

kronisberlangsung berkepanjangan, biasanya nyeri berulang atau

menetap sampai enam bulan atau lebih, dan mengganggu fungsi

tubuh. Nyeri kronis dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai nyeri

maligna kronis jika dikaitkan dengan kanker atau kondisi yang

mengancam jiwa atau sebagai nyeri nonmaligna kronis

membahayakan jika etiologinya adalah gangguan yang tidak


progresif. Nyeri akut dan kronis menghasilkan respons fisiologis dan

perilaku yang berbeda (Berman, 2009).

Nyeri akut adalah nyeri berdurasi singkat, penyebab biasanya

tidak diketahui, intensitas direntang dari ringan sampai berat dan

tindakan ditujukan pada menghilangkan penyebab. Nyeri kronik

adalah meluas selama 3 sampai 6 bulan, penyebab dapat atau tidak

diketahui, nyeri ini tidak berespons pada tindakan dan atau tidak

berkurang setelah cedera sembuh, intensitas dapat direntang dari

ringan sampai berat dan tindakannya bervariasi.

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan

berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu

serangan: (Asmadi, 2008). Nyeri pada pasien dengan post

tonsilektomi adalah nyeri akut dengan tempat patologi visera atau

rangsangan yang mengganggu pada luka oprasi.

1) Nyeri berdasarkan tempatnya:

a) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan

tubuh misalnya pada kulit dan mukosa

b) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh viseral.

c) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena

penyakit organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan

ke bagian tubuh di daerah yang berbeda bukan daerah asli

nyeri.
d) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan

pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus,

dan lain-lain.

2) Nyeri berdasarkan sifatnya:

a) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang.

b) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta

dirasakan dalam waktu yang lama.

c) Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas

tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-

15 menit, lalu menghilang kemudian timbul lagi.

3) Nyeri berdasarkan berat ringannya:

a) Nyeri ringan yaitu nyeri dengan intensitas rendah.

b) Nyeri sedang yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.

c) Nyeri berat yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi

4) Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan

a) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang

singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan

daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin

sebagai akibat dari luka, seperti luka operas.

b) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam

bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut


ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval

bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri, dan begitu

seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya

rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin

mengkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.

Misalnya pada nyeri karena neoplasma (Asmadi, 2008).

3. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan

sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,

pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran

pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Alat bantu lain yang digunakan untuk menilai intensitas atau

keparahan nyeri klien sebagai berikut:

a. Skala deskriptif verbal

Skala deskriptif verbal atau Verbal Descriptor Scale (VDS)

merupakan salah satu alat ukur tingkat keperahan yang lebih

bersifat objektif. Skala deskriptif verbal ini merupakan sebuah


garis yang terdiri dari kalimat pendeskripsian ini dirangking dari

tidak ada nyeri sampai nyeri paling hebat (Prasetyo, 2010).

Gambar 2.3 Skala deskriptif verbal (Tamsuri, 2007)

b. Skala intensitas nyeri numerik

Skala numerik atau Numerical Rating Scale (NRS) digunakan

sebagai pengganti alat deskripsi kata. Dalam hal ini pasien menilai

nyeri dengan skala 0 sampai dengan 10. Skala 0 mendeskripsikan

sebagai tidak nyeri, skala 1 sampai dengan 3 mendeskripsikan

sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih

dapat ditahan), skala 4 sampai dengan 6 mendeskripsikan sebagai

nyeri sedang yaitu ada rasa nyeri terasa mengganggu dengan usaha

yang cukup kuat untuk menahan, dan skala 7 sampai dengan 10

mendeskripsikan sebagai nyeri berat yaitu ada nyeri, terasa sangat

mengganggu / tidak tertahankan sehingga harus menangis, menjerit

atau berteriak. Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapeutik (Prasetyo, 2010 ).

Penggunaan NRS direkomendasikan untuk menilai skala

nyeri pasca operasi pada pasien berusia di atas 9 tahun. NRS sangat

mudah digunakan dan merupakan skala yang sudah valid.


Gambar 2.4 Skala intensitas nyeri numerik (Potter dan Perry, 2006)

4. Penatalaksanaan Nyeri

Penatalaksanaan nyeri atau tindakan keperawatan untuk mengurangi

nyeri yaitu terdiri dari penatalaksanaan non – farmakologi dan

farmakologi.

a. Penatalaksanaan non farmakologi

Penatalaksanaan non farmakologi merupakan tindakan

pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara mandiri tanpa

tergantung pada petugas medis lain dimana dalam pelaksanaanya

perawat dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri. Banyak

pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang

obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri.

Namun banyak aktifitas keperawatan non farmakologi yang dapat

membantu menghilagkan nyeri, metode pereda nyeri

nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun

tindakan tersebut bukan merupakan pengganti obat-obatan

(Smeltzer & Bare, 2008).

Penatalaksanaan non farmakologi terdiri dari intervensi

perilaku kognitif yang meliputi tindakan distraksi, tehnik relaksasi,


imajinasi terbimbing, hypnosis dan sentuhan terapeutik (massage)

(Tamsuri, 2007).

Menurut Nursing Intervention and Classification/NIC

(2013) peran perawat dalam penatalaksanaan nyeri adalah:

1) Mengkaji nyeri seperti lokasi, karakteristik, durasi nyeri,

frekuensi nyeri, kualitas nyeri, intensitas nyeri dan faktor

penyebab nyeri

2) Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

3) Menanyakan pengetahuan pasien tentang nyeri

4) Mengkaji pengaruh nyeri yang dialami pasien pada tidur,

selera makan, aktivitas, perasaan, hubungan, peran pada

pekerjaan dan pola tanggungjawab

5) Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab

nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan dan antisipasi

ketidaknyamanan dari prosedur

6) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

7) Melakukan penanganan non-farmakologi seperti relaksasi,

terapi kompres dingin, guided imagery, terapi akupresur,

terapi aktivitas dan massage

8) Mengajarkan prinsip dari manajemen nyeri

9) Menggunakan teknik pengontrolan nyeri/ antisipasi sebelum

nyeri berubah menjadi berat


10) Melakukan penanganan farmakologi yaitu pemberian

analgesic

Menurut Susanti (2012) perawat mengkaji nyeri pasien

untuk merencanakan tindakan apa yang harus diberikan

selanjutnya untuk pasien yaitu dengan menggunakan instrumen

OPQRSTUV (onset, proviking, quality, region, severity,

treatment, understanding, value).

b. Penatalaksanaan Farmakologi

Penanganan nyeri yang di alami oleh individu dapat melalui

intervensi farmakologis, dilakukan oleh kolaborasi dengan dokter

atau pemberi perawat utama lainnya pada pasien. Obat-obat yang

biasanya digunakan adalah antiinflamsi nonsteroid. Obat-obatan ini

dapat menurunkan nyeri dan menghambat produksi prostatglandin

dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma dan inflamasi yang

menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitive terhadap

stimulus penyakit sebelumnya (Smeltzer dan Bare, 2002).

D. Kompres Dingin

1. Pengertian Kompres Dingin

Pemberian terapi dingin atau es adalah memberikan kompres es

atau air es dengan suhu 15-18*c padadaerah yang mengalami nyeri

dengan waktu pemberian 5-10 menit (Potter dan Perry 2005). Kompres

dingin merupakan metode yang menggunakan cairan atau alat yang dapat
menimbulkan sensasi dingin pada bagian tubuh yang memerlukan yaitu

mengurangi rasa sakit (Asmadi 2008).

2. Efek mekanisme pemberian terapi dingin

Kompres dingin bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit

untuk mengontrol nyeri. Terapi dingin yang diberikan mempengaruhi

impuls yang dibawah oleh serabut taktil A-Beta untuk lebih mendominasi

sehingga akan menutup impuls nyeri akan terhalang. (Potter dan Perry,

2005).

3. Tujuan Kompres Dingin

Kompres dingin digunakan utuk menurunkan suhu tubuh,

mencegah peradangan meluas, mengurangi kongesti, mengurangi

pendarahan dengan meningkatkan vasokontriksi, mengurangi rasa sakit

local, agar luka menjadi bersih. Kompres dingin tidak boleh digunakan di

area yang sudah terjadi edema karena efek vasokontriksi menurunkan

reabsorsi cairan. Kompres dingin tidak boleh diteruskan apabila nyeri

semakin bertambah atau edema meningkat atau terjadi kemerah-merahan

berat pada kulit untuk mencapai hasil yang maksimal maka kompres

dingin dipasang ditempat selama 20 menit kemudian diambil, dan beri

kesempatan jaringan untuk normal kembali (Priharjo, 1993)


4. Jenis Terapi Dingin

a. Terapi dengan ice pack

Pada prinsip ice pack merupakan kemasan yang dapat menyimpan

es dan membuat es tersebut dapat terjaga dalam waktu relative lama di

luar freezer dari pada kemasan plastic. Pada umumnya ice pack dapat

dipergunakan selaama 15-20 menit. Pada kemasan ice pack yang

berupa plastic diperlukan handuk untuk mengeringkan air kondensasi.

b. Terapi ice immersion

Digunakan untuk mengobati bagian di stal ekstremitas. Penampung

yang cukup menampung esktremitas di isi dengan es dan air

kemudian bagian ekstremitas yang akan diterapi rendam suhu

berkisar 15*-18* untuk terapi yang berlangsung 5-10 menit.

c. Terapi dengan cryothera

Balok es yang dibentuk dalam gelasa atau pada batang kayu dan

diusap pada daerah yang akan diterapi, biasanya daerah kecil dengan

radang atau spasma otot, dan usap terus menerus selama 3-10 menit

sampai tercapai rasa kebas atau anestesi.

5. Metode Kompres Dingin

Masukan es kedalam sebuah kirbat es atau plastic es. Kompres dingin

dilakukan di dekat lokasi nyeri leher pasien, atau di lokasi nyeri .


Pemberian kompres dingin menggunakan es dapat dilakuakan dalam

waktu, 5-10 menit (Potter & Perry, 2005).

6. Efek Samping Kompres Dingin

Kompres dingin dapat sangat mudah digunakan, cepat, efisien dan

ekonomis. Akan tetapi terdapat beberapa kondisi yang dapat dipicu oleh

kompres dingin. Individu dengan riwayat gangguan tertentu memerlukan

pengawasan yang ketat pada terapi dingin. Beberapa kondisi tersebut

diantaranya adalah :

a. Raynaud’s sinderom merupakan kondisi dimana terdapat hambatan

arteri kecil yang menyalurkan darah ketika dilakukan kompres dingin

b. Vaskulitis (peradangan pembuluh darah)

c. Praroxymal cold hemoglobinuria yang merupakan suatu kejadian

pembentukan antibody yang merusak sel darah merah bila tubuh dikenai

dingin.

7. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan

Kompres dingin kering dengan kirbat es :

a). Bila klien kedinginan atau sianosis, kirbat es harus segera di angkat

b). Selama pemberian kirbat es, perhatikan kulit klien terhadap

keberadaan iritasi dan lain-lain.

c). Pemberian kirbat es untuk menurunkan suhu tubuh harus dikontrol

setiap 5-10 menit.bila suhu sudah turun maka kompres di hentikan


d). Perhatikan kulit, kalau kulit pasien berwarna kulit jambu masih bias

dilakukan pengompresan, tapi kalu kulit pasien berwarna gelap

metode ini tidak dapat dilakukan.

e). Pemberian metode ini tidak diberikan kepada pasien yang mempunyai

alergi dingin.

E. Pengaruh Kompres Dingin Pada Nyeri Post Operasi Tonsil

Kompres dingin dapat meredakan nyeri dikarenakan kompres dingin

dapat mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan

edema yang diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat

kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih

sedikit.

Pada tindakan kompres dingin dapat memberikan efek fisiologis, seperti

menurunkan respon inflamasi jaringan, menurunkan aliran darah, dan

mengurangi edema. Semakin tinggi kadar endorphin seseorang, semakin

ringan rasa nyeri yang dirasakan. Produksi endorphin dapat ditingkatkan

melalui stimulasi kulit salah satunya dengan tindakan kompres dingin

Anda mungkin juga menyukai