Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Disusun Oleh :

Sri Rezeki

( F1131201001 )

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PRODI PENDIDIKAN BAHASA MANDARIN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ‘KONSEP
KETUHANAN DALAM ISLAM’. Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Agama. Saya berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya
dalam bidang agama.

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Saya sangat mengharapkan
kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari
makalah ini.

Pontianak, 26 September 2020

Sri Rezeki
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................

A. Latar Belakang........................................................................................................................

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................

C. Tujuan.....................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................

A. Konsep Ketuhanan Dalam Islam.............................................................................................

B. Filsafat Ketuhanan Dalam Islam..............................................................................................

C. Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan.............................................................................

D. Pembuktian wujud adanya Tuhan…………………….............................................................

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................

A. Kesimpulan…..........................................................................................................................

B. Saran.........................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang
eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh
yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat
bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam
membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat (baca: wujud Tuhan).
Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini
kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam.
Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam
dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina,
dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan)
dalam penafsiran Islam.
Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat.
Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang
eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu
pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak
mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan
faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat
bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor
tertentu
Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yakni,
Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia
meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud konsep tuhan?
2. Bagaimana sejarah pemikiran manusia tentang tuhan?
3. Bagaimana pemikiran Tuhan menurut agama-agama wahyu ?
4. Sejauhmana Pembuktian wujud adanya Tuhan ?
C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana kosep Ketuhanan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui sejarah pemikiran manusia tentang tuhan.
3. Mengkaji siapa Tuhan itu, bukti-bukti Ketuhanan dalam Islam

4. Mengetahui filsafat Ketuhanan dalam Islam


BAB I
PEMBAHASAN

A. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta
Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.
Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).
Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut al-Qur’an terdapat 99
Nama Allah (asma’ul husna artinya: “nama-nama yang paling baik”) yang mengingatkan setiap
sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha
Tinggi dan Maha Luas. Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering
digunakan adalah “Maha Pengasih” (ar-rahman) dan “Maha Penyayang” (ar-rahim).

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang
personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia
menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di
atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya.”

Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah
oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi (29:46). Namun, hal ini
tidak diterima secara universal oleh kalangan non-Muslim.

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada
dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah
(tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai
ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ِ ‫اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ أَ ْندَادًا ي ُِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
  Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah.
Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang
mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan
khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunya Al-Quran)
ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29). Adanya nama Abdullah
(hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.
Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dan lain-lain, telah
mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan
Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan
konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan
yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak
demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran
surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ‫س َو ْالقَ َم َر لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
َ ‫ر ال َّش ْم‬tَ ‫ض َو َس َّخ‬ َ َ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ ل‬
ِ ‫ق ال َّس َم َوا‬
 

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan menundukkan
matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu
beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah jika
ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang
Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-
hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah
yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam
kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al-Quran
sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.

Konsep ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-
Qur’an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang
akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan
penafsiran mandalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.

1. Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits

Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur’an (Al-‘Alaq [96]:1-5), Tuhan


menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal
termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an adalah kalam Allah,
sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan “penuturan Allah tentang diri-
Nya.”[10]

Selain itu menurut Al-Qur’an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak
manusia pertama kali diciptakan (Al-A’raf [7]:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan
sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu
manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut
menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika
manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini
dalam surah Az-Zumar [39]:8 dan surah Luqman [31]:32.

2. Konsep Tuhan berdasar spekulasi

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut
belum sampai mendistorsi Al-Qur’an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan
konsep Tuhan juga bermunculan mulai
dari rasionalitas hingga agnostisisme, panteisme, mistisme, dan lainnya dan juga ada sebagian
yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama
syariat.

Dalam Islam, bentuk spekulatif mudah dibedakan sehingga jarang masuk ke dalam konsep
tauhid sejati. Beberapa konsep tentang Tuhan yang bersifat spekulatif diantaranya
adalah Hulul, Ittihad, dan Wahdatul Wujud.

Keimanan dan ketaqwaan adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Jika kita melihat
dari definisi kedua istilah tersebut tentunya hubungan antara kedua nya terlihat dengan jelas.

Keimanan diambil dari kata iman yang secara bahasa diartikan percaya. Namun, setelah
mendapat imbuhan ke-an maka kata tersebut bisa diartikan menjadi suatu nilai religius yang
dimiliki oleh setiap muslim untuk cenderung melakukan segala hal sesuai dengan aturan yang
diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
kehidupan yang dijalaninya teratur sedemikian rupa. Dari definisi di atas tentunya kita bisa
melihat syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap individu yang mengharapkan keimanan
tersebut. Syarat itu tiada lain adalah keadaa muslim. Setiap mu’min (orang yang memiliki
keimanan bagus) pasti seorang muslim juga, tetapi pernyataan tersebut tidak sebaliknya.
Hubungan antara dua keadaan (mu’min dan muslim) tersebut bisa disebut Nisbat ‘Umum Khusus
Muthlaq.

Keimanan yang dimiliki oleh tiap-tiap individu manusia di alam dunia ini berbeda-beda. Bahkan
dalam suatu Hadits disebutkan bahwa keimanan seseorang itu bisa meningkat dan berkurang.

Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah fithri yang tertanam dalam diri setiap
manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka
disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri
mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para ahli ma’rifat berkata, “Jalan-jalan
menuju ma’rifatullah sebanyak nafas makhluk.” Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal.
Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli Hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak
peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan
untuk mengetahui Allah adalah nash (Al Quran dan Hadis). Mereka beralasan dengan adanya
sejumlah ayat dan riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra’yu). Padahal
kalau kita perhatikan, ternyata Al Quran dan Hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan
akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah

B. FILSAFAT KETUHANAN ISLAM


Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos
yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah
itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan
perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan
bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat,
dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat
Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45)
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami
perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang
yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat
diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik adalah cinta terhadap
pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas
yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus
dilaksanakan secara intensif. Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan, ikhlas,
kekhawatiran, tidak dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur
dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam Islam.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS.
Ali Imran: 190-191) sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi
didukung kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk
menentukan Tuhan, dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1.    Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang
bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan
oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:

a.     Dinamisme

             Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana  (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah
kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu
dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.

b.    Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran


roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat
primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena
itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang,
serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia
harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

                c.    Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena


terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada
Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainya.

d.    Henoteisme

       Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena
itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan
yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
               e.    Monoteisme

       Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme
hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya
rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan
pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka
berikan kepada wujud yang lain.

       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme
menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka
menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan
bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan
monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).

2.    Pemikiran Umat Islam

      Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai
kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang berpegang pada
doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya.
Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu dis-
integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu
pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-
Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat dengan
masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala
pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah.
Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan
segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang
fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok mayoritas yang
mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar
gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak
diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi
terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman
menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi
ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin
bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam yang dikumandangkan
dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah, menjadi motto bagi kalangan
oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak
terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan
perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan
strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah
mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak
bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan
oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah
menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang
menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut
dengan kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian
umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2)
Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan


menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya.
Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun
pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah,
sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak,
berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan
para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

tَ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال َكافِرُون‬
Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran),
maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat
pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul
pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-Bashry. Pertanyaan yang
diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang  yang berbuat dosa besar.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain
mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim perjanjian antara pihak Ali dan pihak
Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar. Alasan yang mengatakan mereka itu
mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati, sedangkan orang lain tidak ada yang
mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman
itu bukan hanya di hati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang
yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti
mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang dosa
besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban,
bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan
Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar, terhadap jawaban Wasil.
Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk
kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina
dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa
orang  yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasal Al-Bashry.
Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil
‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan
pendukungnya disebut kelompok MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam
Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang


diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu,
yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah terkenal
dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban.
Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan
wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan-
pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu
kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat
(sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan
tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang baik ke dalam
neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam surga, kalau Ia
menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagaian umat
Islam.

D. Pembuktian Wujud Adanya Tuhan

Allah sebagai wujud yang tidak terbatas, maka hakikat dirinya tidak akan pernah dicapai, namun
pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita mengenal-Nya dengan pengenalan yang
secara umum dapat diperoleh, malalui jejak dan tanda-tanda yang tak terhingga. Imam `Ali as
dalam hal ini menjelaskan bahwa: “Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau
sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk mengetahui-Nya.”

Selain itu, jika kita menyelami diri kita sendiri, maka secara fitrah manusia memiliki rasa
berketuhanan. Fitrah ini tidak dapat dihilangkan, hanya saja dapat ditekan dan disembunyikan,
dengan berbagai tekanan kebudayaan, ilmu dan lainnya, sehingga terkadang muncul pada saat-
saat tertentu seperti pada saat tertimpa musibah atau dalam kesulitan yang benar-benar tidak
mampu ia mengatasinya. Pada kondisi ini, kita secara fitriah mengharapkan adanya sosok lain
yang memiliki kemampuan lebih dari kita untuk datang dan memberikan pertolongan kepada
kita.

a. Dalil Fitrah
Yaitu perasaan alami yang tajam pada manusia bahwa ada dzat yang maujud, yang tidak
terbatas dan tidak berkesudahan, yang mengawasi segala sesuatu, mengurus dan mengatur
segala yang ada di alam semesta, yang diharapkan kasih sayang-Nya dan ditakuti kemurkaan-
Nya. Hal ini digambarkan oleh Allah SWT dalam QS. 10:22.
b. Dalil Akal
Yaitu dengan tafakkur dan perenungan terhadap alam semesta yang merupakan manifestasi
dari eksistensi Allah SWT. Orang yang memikirkan dan merenungkan alam semesta akan
menemukan empat unsur alam semesta :
1. Ciptaan-Nya
Bila kita perhatikan makhluk yang hidup di muka bumi, kita akan menemukan
berbagai jenis dan bentuk, berbagai macam cara hidup dan cara berkembang biak (QS.
35:28). Semua itu menunjukkan adanya zat yang menciptakan, membentuk, menentukan
rizki dan meniupkan ruh kehidupan (QS. 29:19,20). Bagaimanapun pintarnya manusia,
tentu ia tidak akan dapat membuat makhluk yang hidup dari sesuatu yang belum ada.
Allah SWT menantang manusia untuk membuat seekor lalat jika mereka mampu (QS.
22:73). Nyatalah bahwa tiada yang dapat menciptakan alam semesta ini kecuali Allah
Yang Maha Tinggi dan Maha Hidup.
2. Kesempurnaan
Kalau kita perhatikan, akan terlihat bahwa alam ini sangat tersusun rapi,
diciptakan dalam kondisi yang sangat sempurna tanpa cacat.Hal ini menunjukkan adanya
kehendak agung yang bersumber dari Sang Pencipta. Sebagai contoh, seandainya
matahari memberikan panasnya pada bumi hanya setengah dari panasnya sekarang,
pastilah manusia akan membeku kedinginan. Dan seandainya malam lebih panjang
sepuluh kali lipat dari malam yang normal tentulah matahari pada musim panas akan
membakar seluruh tanaman di siang hari dan di malam hari seluruh tumbuhan membeku.
Firman Allah:
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah
sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan
sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. 67:3,4)
3. Perbandingan Ukuran Yang Tepat Dan Akurat (QS. 25:2)
Alam ini diciptakan dalam perbandingan ukuran, susunan, timbangan dan
perhitungan yang tepat dan sangat akurat. Bila tidak, maka tidak akan mungkin para
ilmuwan berhasil menyusun rumus-rumus matematika, fisika, kimia bahkan biologi.
4. Hidayah (Tuntunan dan Bimbingan) (QS. 20:50)
Allah memberikan hidayah (tuntunan dan petunjuk) kepada makhluk-Nya untuk
dapat menjalankan hidupnya dengan mudah, sesuai dengan karakteristiknya masing-
masing. Pada manusia sering disebut sebagai ilham dan pada hewan disebut
insting/naluri.
Eksistensi Allah terlihat dalam banyak sekali fenomena-fenomena kehidupan.
Barangsiapa yang membaca alam yang maha luas ini dan memperhatikan penciptaan
langit dan bumi serta dirinya sendiri, pasti ia akan menemukan bukti-bukti yang jelas
tentang adanya Allah SWT. Firman Allah :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu
adalah benar.” (QS.41:53)
a. Dalil Akhlaq
Secara fitrah manusia memiliki moral (akhlaq). Dengan adanya moral (akhlaq)
inilah, ia secar naluriah mau tunduk dan menerima kebenaran agar hidupnya lurus dan
urusannya berjalan teratur dan baik. Zat yang dapat menanamkan akhlaq dalam jiwa
manusia adalah Allah, sumber dari segala sumber kebaikan, cinta dan keindahan.
Keberadaan ‘moral’ yang mendominasi jiwa manusia merupakan bukti eksistensi Allah.
(QS. 91:7-8)
b. Dalil Wahyu
Para rasul diutus ke berbagai umat yang berbeda pada zaman yang berbeda.
Semua rasul menjalankan misi dari langit dengan perantaraan wahtu. Dengan membawa
bukti yang nyata (kitab/wahyu dan mukzijat) mengajak umatnya agar beriman kepada
Allah, mengesakan-Nya dan menjalin hubungan baik dengan-Nya, serta memberi
peringatan akan akibat buruk dari syirik/berpaling dari-Nya (QS.6:91). Siapa yang
mengutus mereka dengan tugas yang persis sama? Siapa yang memberikan kekuatan,
mendukung dan mempersenjatai mereka dengan mukzijat? Tentu suatu zat yang eksis
(maujud), Yang Maha Kuat dan Perkasa, yaitu Allah. Keberadaan para rasul ini
merupakan bukti eksistensi Allah.
c. Dalil Sejarah
Semua umat manusia di berbagai budaya, suku, bangsa dan zaman, percaya akan
adanya Tuhan yang patut disembah dan diagungkan. Semuanya telah mengenal iman
kepada Allah menurut cara masing-masing. Konsensus sejarah ini merupakan bukti yang
memperkuat eksistensi Allah. (QS.47:10; perkataan ahli sejarah Yunani kuno bernama
Plutarch).
Terdapat beberapa cara mengenal Tuhan menurut ajaran selain Islam, diantaranya
yaitu dengan hanya mengandalkan panca indera dan sedikit akal, sehingga timbul
perkiraan-perkiraan yang membentuk filsafat-filsafat atau pemikiran tentang ketuhanan.
Filsafat dan pemikiran tersebut justru mendatangkan keguncangan dan kebingungan
dalam jiwa. Sehingga hanya menanamkan keraguan dan kesangsian terhadap keberadaan
Allah.
Adapun jalan yang ditempuh Islam untuk mengenal Allah ialah dengan
menggunakan keimanan dan dilengkapi dengan akal. Kedua potensi tersebut
dioptimalkan dengan proses tafakkur dan tadabbur. Tafakkur artinya memikirkan ciptaan
atau tanda-tanda kebesaran Allah (ayat kauniyah). Tadabbur berarti merenungkan ayat-
ayat Allah yang tertulis dalam al-Qur’an (ayat qauliyah). Sehingga timbul keyakinan di
dalam hati tentang keberadaan dan kekuasaan Allah (QS.3:190-191; 12:105; 10:101).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
 Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kemudian yang dimaksud konsep
ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran
baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional
maupun pengalaman batin. Allah sebagai wujud yang tidak terbatas maka hakikat dirinya
tidak akan pernah dicapai namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga kita
mengenal-Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat diperoleh melalui jejak dan tanda-
tanda yang tak terhingga.

            Konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang
dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun konkret).Keimanan
tidak hanya diucapkan lewat bibir, tapi juga harus diyakini dalam hati, dan dibuktikan lewat
perbuatan.Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama seseorang dalam memeluk sesuatu
agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk melakukan apa yang diperintahkan
dan apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau dengan kata lain iman dapat membentuk
orang jadi bertaqwa.

B. Saran
Sebagai  pemula di bangku perkuliahan, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.
Karena saran dan kritik itu akan bermanfaat bagi saya untuk  lebih memperbaiki atau
memperdalam kajian ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://sites.google.com/site/ujppai/materi-kuliah/materi-03

http://blog-nuwonokromo.blogspot.com/2014/08/konsep-tuhan-dalam-islam.html

https://hikmah.blog.uns.ac.id/2010/05/08/konsep-ketuhanan-dalam-islam/

https://www.academia.edu/14521368/MAKALAH_KONSEP_KETUHANAN_DALAM_ISLA
M

https://www.academia.edu/37425086/Contoh_Makalah_Konsep_Ketuhanan_Dalam_Islam

Anda mungkin juga menyukai