Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

AKUNTANSI PERPAJAKAN
“WITHHOLDING TAX SYSTEM”

DOSEN PENGAMPU
Dr. Ilham Hidayat Napitupulu, S.E., M.Si.

DISUSUN OLEH
Winona Maharani Syach
AKP 6A
1805151011

JURUSAN AKUNTANSI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI KEUANGAN PUBLIK
POLITEKNIK NEGERI MEDAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pengambilan keputusan jangka
pendek ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari bapak Dr. Ilham
Hidayah Napitupulu, S.E., M.Si. pada mata kuliah Akuntansi Manajemen Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang pengambilan keputusan jangka pendek.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Ilham Hidayah Napitupulu, S.E., M.Si. selaku
dosen mata kuliah Akuntansi Manajemen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, 20 Mei 2021

Winona Maharani Syach


BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Indonesia, saat ini, sebagai salah satu negara berkembang sedang berusaha melaksanakan
pembangunan di segala bidang, utamanya adalah bidang ekonomi. Karena perekonomian suatu
negara yang baik akan menunjang kehidupan masyarakat, maka pemerintah mengerahkan segala
upaya dan kemampuan dari negara untuk mendapatkan dana untuk pembiayaan pembangunan
tersebut. Dan salah satu caranya adalah melalui sektor pajak.
Pajak merupakan iuran yang dipungut oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaan pemungutan pajak
yang mengisyaratkan adanya alih dana dari sektor swasta (wajib pajak yang membayar pajak) ke
sektor negara (pemungut pajak pemerintah) dan diperuntukan bagi keperluan pembiyaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling utama dan yang paling besar pada
APBN.
Pajak merupakan sumber yang sangat penting dalam memenuhi dan menunjang kebutuhan
negara. Oleh karena itu, dalam mensukseskan penerimaan pajak perlu adanya kesadaran dari
berbagai pihak , terutama para wajib pajak untuk membayar pajak. Perkembangan dunia
perpajakan dapat dilihat dari reformasi perpajakan dan meningkatnya penerimaan dari sektor
perpajakan yang dapat dilihat dalam APBN dan APBD. Negara semakin memiliki tuntutan untuk
meningkatkan penerimaan negara demi kemandirian negara dalam membiayai seluruh
pengeluarannya. Apabila Indonesia ingin merealisasikan tujuan negara yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945, maka negara harus melaksanakan pembangunan dari berbagai bidang
yang membutuhkan dana yang besar jumlahnya, yang berarti bahwa pajak yang diterima juga
harus semakin besar pula. Dan untuk itu penerimaan dari pajak harus terus ditingkatkan.
Saat ini Indonesia menganut sistem pemungutan pajak Self Assessment. Hal ini berarti
wewenang sepenuhnya untuk menentukan besar pajak ada pada wajib pajak. Wajib pajak aktif
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak campur
tangan dalam penentuan besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak menyalahi peraturan
yang berlaku. Dan sistem ini sangat bergantung pada kesadaran wajib pajak sendiri untuk
melakukannya. Namun banyak wajib pajak yang belum mengerti sepenuhnya dan memahami
tentang arti penting pajak. Oleh karena itu pemerintah juga menerapkan sistem yang
disebutWithholding Tax System.
Lalu apakah yang dimaksud dengan Withholding Tax System dan jenis pajak penghasilan
apa sajakah yang dipungut dengan menggunakan Withholding Tax System serta bagaimana tata
cara pemungutannya? Di bawah ini akan dijelaskan serta akan dibahas pula pengaruh penerapan
Withholding Tax System terhadap optimalisasi penerimaan pajak.

1.2 Dasar Hukum


a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
 Pasal 4 (2) yang mengatur tentang penghasilan yang dapat dikenai pajak yang bersifat final
yang cara pemotongannya melalui pihak ketiga
 Pasal 15 tentang norma perhitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto bagi Wajib
Pajak Tertentu (perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar
negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and
transfer”).
 Pasal 21 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima orang
pribadi dalam negeri yang dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, atau
penyelenggara kegiatan
 Pasal 22 yang mengatur tentang pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha yang dilakukan
oleh bendahara pemerintah, badan-badan tertentu dan Wajib Pajak badan tertentu yang telah
ditunjuk dan ditetapkan olehh Menteri Keuangan
 Pasal 23 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa, dan
kegiatan tertentu yang dilakukan yang dilakukan leh badan pemerintah, subjek badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
 Pasal 26 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas dalam bentuk apapun yang diterima
orang pribadi luar negeri selain BUT di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak dalam
negeri, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan.
b) PER-70/PJ./2007

1.3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mendeskripsikan Withholding Tax System?


2. Apa saja jenis pajak penghasilan apa sajakah yang dipungut dengan menggunakan
Withholding Tax System?
3. Bagaimana tata cara pemungutan nya?
4. Bagaimana pengaruh penerapan Withholding Tax System terhadap optimalisasi
penerimaan pajak?
5. Bagaimana perlakuan akuntansi terhadap jenis withholding tax system?

1.4. Tujuan Pembelajaran

1. Mendeskripsikan Withholding Tax System;


2. Menjelaskan jenis pajak penghasilan apa sajakah yang dipungut dengan menggunakan
Withholding Tax System
3. Menjelaskan Bagaimana tata cara pemungutan nya;
4. Menjelaskan bagaimana pengaruh penerapan Withholding Tax System terhadap
optimalisasi penerimaan pajak
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Withholding Tax System


Sistem ini merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang
Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-
undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang
dibayarkan kepada penerimaan penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif dalam
sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan
apabila ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti halnya pada self assessment system. Sistem
pajak ini menekankan kepada pemberian kepercayaan pada pihak ketiga diluar fiskus yaitu,
pemberi penghasilan melakukan pemotongan atau memungut pajak atas penghasilan yang
diberikan dengan suatu persentase tertentu dari jumlah pembayaran atau transaksi yang
dilakukannya dengan penerima penghasilan. Jumlah pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak
ketiga tersebut dibayarkan kepada negara melalui penyetoran pajak seperti pada aktivitas yang
dilakukan di self assessment dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan Undang-undang.
Nantinya jumlah yang disetorkan ke kas negara itu akan dapat diperhitungkan kembali oleh Wajib
Pajak yang penghasilannya dipotong atau dipungut dengan melampirkan bukti pemotongan atau
pemungutan yang diberikan oleh pihak ketiga saat transaksi penerimaan penghasilan.

2. Manfaat Withholding Tax System


Withholding Tax System selain memperlancar masuknya dana ke kas Negara tanpa
intervensi fiskus juga dapat menghemat biaya administrasi pemungutan (administrative cost),
seperti pada self assessment, wajib pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya secara tidak terasa
telah memenuhi kewajiban perpajakannya.
Manfaat withholding tax system yang lainnya, dapat meningkatkan kepatuhan secara
sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar pajaknya, pengumpulan
pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarkan biaya, menigkatkan penerimaan pajak
(optimalisasi perluasan objek pajak), merupakan penerapan prinsip convenience of tax system,
serta meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan obyek pajak).
Manfaat Penerapan Sistem Pemotongan dan Pemungutan Pajak (Withholding Tax System)
Manfaat withholding tax system, antara lain :
1. Meningkatkan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah
membayar
pajaknya.
2. Meningkatkan penerimaan pajak.
3. Pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarkan biaya.
4. Merupakan penerapan dari prinsip convenience of tax system.

3. Pajak Penghasilan Withholding Tax System


Penerapan withholding tax system di Indonesia seperti yang diatur dalam Undang undang
Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, tidak hanya terbatas atas penghasilan dari pekerjaan
(employment income) seperti gaji dan upah (PPh pasal 21); penghasilan dari modal (passive
income) seperti deviden, bunga, sewa dan royalti (PPh pasal 23 dan 26), tetapi juga diperluas
terhadap penghasilan dari usaha (bussines income). Bahkan, terhadap transaksi yang bukan
penghasilan, seperti pembayaran kepada badan-badan pemerintah dan impor atau kegiatan usaha
dibidang tertentu (PPh pasal 22). Pengaturan atas jenis-jenis penghasilan dan transaksi yang
dikenakan withholding tax tidak seluruhnya diatur oleh Undang-undang PPh, tetapi banyak
didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
Pajak Penghasilan Pasal 4 (2)
Pajak penghasilan yang bersifat final.

a) Pajak Penghasilan Pasal 21 Obyek pengenaan pajaknya berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan pribadi dalam negeri. Pihak yang wajib melakukan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan
Pemerintah, badan, bentuk usaha tetap, yayasan, perusahaan dan penyelenggaraan
kegiatan, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa,
serta dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan
lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
b) Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah baik
pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembagalembaga pemerintah lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Menurut Alsah (2003: 69)
mengatakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh:
1. Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang.
2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan 392/KMK.03/2001 jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-
417/PJ./2001, saat terutang dan tata cara pemungutan, dan pelaporan Pajak Penghasilan
PPh Pasal 22 oleh pihak yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22
adalah sebagai berikut:
a. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD Pajak Penghasilan Pasal 22 atas
pembelian barang yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah yang dananya
bersumber dari APBN/APBD terutang dan dipungut pada saat dilakukannya
pembayaran atas penyerahan barang oleh rekanan. Pemungutan dilakukan dengan cara
penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Bendaharawan Pemerintah ke bak persepsi
atau Kantor Pos dan Giro dengan menggunakan SSP yang diisi atas nama Wajib Pajak
rekanan serta ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah tersebut.
b. Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor Importir yang melakukan impor atas barang harus
melunasi sendiri Pajak Penghasilan Pasal 22 yangterutang bersamaan dengan
pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
maka Pajak Penghasilan Pasal 22 harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor
(PIB). Selanjutnya importir tersebut diwajibkan meyampaikan SPT Masa paling lambat
dua puluh hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Produk-Produk Tertentu Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas penjualan produk-produk tertentu di dalam negeri
dilaksanakan dengan cara pemungutan dan penyetoran oleh Pemungut Pajak atas nama
Wajib Pajak yang dipungut ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Pemnungut
pajak yang bersangkutan harus menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
22 dalam rangkap 3, lembar pertama diserahkan kepada pembeli dan lembar kedua
digunakan pemungut sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak,
sedangkan lembar ketiga merupakan arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
c) Pajak Penghasilan Pasal 23 Wajib pajak dalam negri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang
menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21 akan dipotong oleh
pemotong PPh pasal 23 yang ditunjuk.
a. Pihak Pemotong PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 dipotong pada saat dibayarkan atau terutang
oleh:
1) Badan Pemerintah, Subjek Pajak Badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT,
perwakilan perusahaan luar negeri.
2) Orang pribadi yang ditunjuk sebgaia pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Misalnya: akuntan, arsitek,dokter, notaris, PPAT kecuali PPAT
tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.
3) Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
b. Pihak yang dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23
1) Wajib Pajak dalam negeri
2) Bentuk Usaha Tetap
c. Tarif PPh 23
Tarif pajak atas objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% atas Dividen, Bunga,
Royalti, dan Hadiah ataupun sejenisnya. Kemudian untuk objek pajak sewa dan
penghasilan lain serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang telah dipotong PPh Pasal 21, dikenakan
tarif 2%.
Perlu diingat, bagi wajib pajak penerima penghasilan yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP), besar tarif pemotongan pajak penghasilan akan lebih tinggi
100%.

d) Pajak Penghasilan Pasal 24 Menurut ketentuan perpajakan, Wajib Pajak dalam negeri
terutang pajak atas penghasilan kena pajak yang berasal dari seluruh penghasilan yang
diterima dari luar negeri. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
164/KMK.03/2002, ditegaskan bahwa pajak atas penghasilan di luar yang dapat
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak dalam negeri
adalah pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri. Pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri yang dimaksud adalah pajak atas penghasilan
berkenaan dengan usaha atau kegiatan di luar negeri, sedangkan yang dimaksud dengan
pajak yang dibayar di luar negeri adalah pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan
lainnya di luar negeri, misalnyabunga, dividen, dan royalti.
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
a.Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut.
b. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut.
c. Untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
e) Pajak Penghasilan Pasal 26 Pajak
Penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.
a. Pihak Pemotong PPh Pasal 26 PPh Pasal 26 dipotong pada saat dibayarkan atau terutang
oleh:
1) Badan Pemerintah.
2) Subjek Pajak dalam negeri.
3) Penyelenggara kegiatan
4) Bentuk Usaha Tetap.
5) Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
b. Pihak yang dikenakan PPh Pasal 26 Pihak yang dikenakan PPh Pasal 26 adalah Wajib
Pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
c. Sistem Pengenaan PPh Pasal 26 Pengenaan PPh Pasal 26 menganut 2 sistem pengenaan
pajak, yaitu:
1) Pemenuhan sendiri bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan melalui
BUT di Indonesia.
2) Pemotongan oleh pihak yang wajib membayarkan bagi Wajib Pajak luar negeri selain
BUT.
f) Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) Ketentuan PPh Pasal 4 ayat (2) mengatur tentang
perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan di bursa efek dan yang
dilaporkan di bursa efek, dikenakan pemotongan PPh yang bersifat final, kecuali bagi
Wajib Pajak tertentu.
a. Pihak Pemotong Pajak
1) Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran atas
bunga dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga/obligasi dan atas diskonto dengan
kupon/obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi.
2) Perusahaan efek atau bank selaku pedagang perantara atas bunga dan diskonto pada
saat transaksi
3) Perusahaan efek, bank, dan pensiun dan reksadana selaku pembeli obligasi langsung
tanpa melalui perantara atas bunga dan diskonto obligasi pada saat transaksi.
b. Tidak dikenakan Pemotongan PPh yang bersifat Final
1) Bank yang didirikan di Indonesiaatau cabang bank luar negeri di Indonesia.
2) Dana Pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan.
3) Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal selama 5 tahun pertama
sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
4) Pemotongan PPh tidak bersifat final atas bunga dan diskonto yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya
termasuk penghasilan bunga dan diskonto obligasi dalam 1 tahun pajak tidak melebihi
jumlah PTKP. Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan restitusi atas PPh yang telah
dipotong kepada KPP

4. Penerapan Sistem Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan yang dipungut oleh
Pihak Ketiga (Withholding Tax)
Pelaksanaan witholding tax system melibatkan pihak ketiga yang ditunjuk sebagai
pemotong dan pemungut pajak. Pihak ketiga yang ditunjuk ini diberikan kewajiban untuk
melakukan pemotongan pajak yang terutang sehingga disebut sebagai pemotong pajak. Pihak
ketiga yang ditunjuk dan diberi kewajiban untuk melakukan pemungutan pajak disebut sebagai
pemungut pajak.
Pemotong dan pemungut pajak termasuk sebagai wajib pajak sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, bahwa:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Pemotong dan pemungut pajak bukanlah subjek pajak, namun diberi tanggung jawab untuk
memotong, memungut dan menyetorkan serta melaporkan pemotongan dan pemungutan pajak
yang dilakukannya, sedangkan yang menjadi Subjek Pajak adalah penerima penghasilan, dan
objek pajaknya adalah penghasilan yang diterima dan atau diperoleh. Tanggung jawab
pelaksanaan mekanisme witholding tax system, diberikan oleh undang-undang kepada pemotong
dan pemungut pajak sehingga terdapat sanksisanksi perpajakan dan tidak terdapat ketidakpatuhan
atau penyalahgunaan dalam menjalankan kewajiban sebagai pemotong atau pemungut pajak.
Peraturan jenis-jenis penghasilan dan transaksi yang dikenakan withholding tax tidak seluruhnya
diatur oleh Undang-undang PPh, tetapi banyak didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak

5. Pengaruh Penerapan Withholding Tax System


Withholding Tax System diterapkan karena pemerintah menganggap cara ini adalah cara
termudah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, karena dalam sistem ini Wajib Pajak
diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain (Wajib Pajak lain).
Dengan cara ini, pemerintah akan dengan mudah mengumpulkan pajak tanpa memerlukan upaya
dan biaya yang besar. Walaupun akan sedikit kerumitan pada penghitungan, hal ini disederhanakan
dengan penerapan tariff yang sederhana dengan menggunakan prosentase tertentu saja. Selain itu
penggunaan withholding tax system dalam pemotongan pajak penghasilan telah menguntungkan
dari segi efisiensi waktu, akuntabilitas data, biaya, serta kinerja terhadap diri wajib pajak (WP)
dan fiskus.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa berdasarkan prinsip kemandirian maka
penerimaan negara dari sisi pajak adalah hal yang paling efektif serta memberikan kepastian yang
penuh dalam menyokong anggaran negara.Dan apabila dihubungkan denganpenerimaan pajak,
optimalisasi penerimaan pajak merupakan proses atau cara yang paling mungkin dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan dan mengamankan penerimaan negara yang atau menjadi lebih
baik. Dan demi kelancaran serta suksesnya penerimaan pjak yang tinggi maka pemerintah perlu
menerapkan kebijakan-kebijakan perpajakan.Dengan adanya kebijakan pemerintah melalui
melalui sistem pemungutan pajak oleh pihak ketiga(withholding tax system) diharapkan
penerimaan pajak akan lebih optimal.
Selain Indonesia, tentu banyak negara yang menerapkan Withholding Tax System
disebabkan manfaat yang diperoleh. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara Withholding Tax
System yang berlaku di Indonesia dan di banyak negara. Di banyak negara, penerapan Withholding
Tax System dibatasi hanya terhadap penghasilan yang dikategorikan sebagai passive income
(seperti: gaji, upah, bunga, royalti, dividen, dan sewa) dan sedikit negara yang menerapkan atas
penghasilan dari kegiatan usaha (active income). Apabila ada, hanya diterapkan atas beberapa jenis
penghasilan usaha. Hal ini disebabkan karena pemungutan pajak atas penghasilan usaha biasanya
dilakukan melalui mekanisme angsuran masa yang jumlahnya dihitung sendiri oleh Wajib Pajak
(dalam konteks perpajakan Indonesia, biasa dikenal dengan nama angsuran masa PPh Pasal 25).
Sedangkan di Indonesia, penerapan Withholding Tax System hampir meluas dikenakan terhadap
seluruh penghasilan dari kegiatan usaha seperti yang diatur dalam PER-70/PJ./2007. Dalam
konteks UU PPh, Withholding Tax System ini diperlakukan sebagai angsuran pembayaran pajak
dan sebagai pemungutan pajak final.
Withholding Tax System merupakan cara termudah bagi pemerintah untuk memungut
pajak, tetapi di pihak lain, yaitu pihak Wajib Pajak, Withholding Tax System ini menimbulkan
beban pemenuhan kewajiban perpajakan (cost of compliance) yang tinggi, misalnya beban
administrasi, beban sanksi administrasi kalau terlambat memotong dan/atau menyetorkan, atau
alpa tidak/belum memotong pajaknya pihak lain. Dengan kata lain, dalam Withholding Tax
System ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak
lain (Wajib Pajak lain) yang mana kewajiban untuk mengadministrasikan pajaknya pihak lain
tersebut sebenarnya adalah tanggung jawab pemerintah (dalam hal ini wewenang ada pada
Direktorat Jenderal Pajak).
Dalam Withholding Tax System yang berlaku saat ini di Indonesia, Direktorat Jenderal
Pajak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan jenis-jenis penghasilan yang merupakan
objek Withholding Tax. Tidak ada pembatasan mengenai jenis-jenis penghasilan yang layak dan
tidak layak dikenakan Withholding Tax. Hal ini tentunya akan memberi keleluasaan bagi
Direktorat Jenderal Pajak untuk terus memperluas pengenaan Withholding Tax ini. Alasannya
adalah karena penerimaan pajak akan mudah terkumpul dan tugas Direktorat Jenderal Pajak cukup
mengawasi saja, dan kalau ada Wajib Pajak tidak menjalankan Withholding Tax System tersebut
dengan benar, maka Direktorat Jenderal Pajak tinggal menerapkan sanksi administrasi, yang
tentunya akan menambah pundi-pundi penerimaan negara. Akan tetapi, bagi Wajib Pajak,
perluasan Withholding Tax ini tentunya menimbulkan cost of compliance yang tinggi, karena
mereka dibebani untuk memungut pajaknya pihak lain yang seharusnya bukan tanggung jawab
mereka untuk memungut dan mengadministrasikannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini
bermula dari luasnya pendelegasian wewenang yang diberikan oleh UU PPh yang berlaku
sekarang kepada Direktorat Jenderal Pajak untukmenentukan sendiri jenis-jenis penghasilan yang
akan dikenakan Withholding Tax.
Selain itu ada beberapa faktor penghambat penerapan dan pelaksanaan kebijakan
Withholding Tax System baik dari aspek yuridis, aspek SDM, maupun asek moralitas. Misalnya
sering terjadi penambahan/ perubahan peraturan perpajakan, baik fiskus dan pihak ketiga
pemotong pajak (Tax Withholder) sangat terbatas, serta kurangnya kesadaran para pihak. Status
kinerja Tax Withholder dan fiskus belum diatur secara spesifik dalam UU Pajak Penghasilan,
sehingga bila terjadi kesalahan dan pelanggaran yang paling dirugikan adalah dari Wajib Pajak
dan akan menanggung akibat hukumnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, selain memiliki manfaat yang besar terdapat kekurangan
serta beberapa faktor penghambat dalam penerapan dan pelaksanaan Withholding Tax System.
Oleh karena itu, perlu adanya pembatasan terhadap pengenaan Withholding Tax atas penghasilan
usaha dan kalaupun ada, jenisjenis penghasilan yang akan dikenakan Withholding tax tersebut
harus dinyatakan dengan jelas dan tegas dalam Undang-undang dan bukan didelegasikan kepada
Direktorat Jenderal Pajak sepenuhnya. Kenapa harus dinyatakan dalam Undangundang? Hal ini
terkait dengan filosofi dari pajak yang intinya adalah bahwa pajak yang akan dipungut oleh negara
harus berdasarkankesepakatan antara warga negara dan negara yang dituangkan dalam Undang-
undang. Pasal 23A UUD 1945 juga menyatakan secara tegas bahwa pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-undang. Sedangkan di AS dikenal
dengan istilah “taxation without representation is robbery” dan di Inggris dikenal dengan istilah
“no taxation without representation”. Selain itu, sebagai bentuk penghargaan kepada Wajib Pajak
yang yang telah banyak membantu pemerintah dalam mengumpulkan pajak melalui sistem
Withholding Taxperlu dipertimbangkan adanya pemberian kompensasi, seperti yang dilakukan di
negara bagian Amerika Serikat yang memberikan kompensasi kepada pemotong/pemungut pajak
untuk menutupi biaya yang telah dikeluarkannya dalam rangka melakukan administrasi
pemotongan dan pelaporan pajak.

6. Kelebihan Sistem Pemotongan dan Pemungutan Pajak (Withholding Tax System)


Kelebihan mekanisme pemotongan dan pemungutan pajak dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
pemerintah sebagai otoritas perpajakan dan sisi wajib pajak. Keduanya tentunya sangat
bertentangan satu sama lain karena perbedaan kepentingan. Kelebihan Sistem Pemotongan dan
Pemungutan Pajak dibandingkan dengan sistem pemungutan yang lain adalah:
1. Ketepatan waktu penyetoran.
2.Kemudahan
3. Kesederhanaan
4. Biaya Pemungutan pajak yang lebih murah

7. Kekurangan Sistem Pemotongan dan Pemungutan Pajak (Withholding Tax System)


Kekurangan mekanisme pemotongan dan pemungutan pajak juga dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
sisi pemerintah sebagai otoritas perpajakan dan sisi wajib pajak. Keduanya tentunya sangat
bertentangan satu sama lain karena perbedaan kepentingan. Kekurangan Sistem Pemotongan dan
Pemungutan Pajak dibandingkan dengan sistem pemungutan yang lain adalah:
1. Menambah beban adminisitrasi wajib pajak.
2. Mempengaruhi cashflow Wajib Pajak.
3. Resiko hukum atas kepatuhan wajib pajak.
4. Menambah beban biaya wajib pajak.

7. Contoh Kasus

dr. Fiscy seorang dokter spesialis paru pemula berpraktik di Rumah Sakit Paru dengan perjanjian
kerja sama bahwa atas pembayaran jasa dokter dari pasien, sebesar 20% akan menjadi hak rumah
rumah sakit. Selain dari rumah sakit tersebut, dr. Fiscy tidak menerima penghasilan lainnya dan
status nikah dr. Fiscy adalah belum menikah (TK). Selama tahun 2019, penerimaan jasa dokter
yang dibayar pasien dapat dilihat pada tabel di bawah.

Berdasarkan kasus di atas, penghasilan dr. Fiscy diketahui hanya dari satu pemberi kerja sehingga
dapat diterapkan pengurangan berupa PTKP. Berikut penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas
penghasilan dr. Fiscy.
Apabila dalam menghitung besarnya PPh orang pribadi yang terutang dr. Fiscy menggunakan
NPPN, besarnya PPh orang pribadi tersebut untuk tahun 2019 dihitung dengan cara berikut.

Tabel di atas menunjukkan telah terjadi kelebihan pembayaran pajak bagi dr. Fiscy sebesar
Rp7.860.000,00. Kelebihan ini disebabkan adanya ketentuan dalam PER-16 yang mengharuskan
jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 adalah jumlah yang termasuk penghasilan
untuk rumah sakit/klinik. Padahal, apabila jumlah bruto ini hanya didasarkan atas penghasilan
yang dibayarkan kepada dokter, kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak akan terjadi.

Tabel berikut memperlihatkan penghitungan PPh Pasal 21 terutang oleh dr. Fiscy apabila jumlah
bruto sebagai dasar pemotongan hanya berupa penghasilan yang dibayarkan kepada
dokter.
Berdasarkan Tabel 6 dan Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa jika jumlah bruto sebagai dasar
pemotongan PPh Pasal 21 atas hanya didasarkan pada penghasilan yang dibayarkan kepada dokter
tanpa memperhitungkan bagian rumah sakit/klinik, jumlah PPh Pasal 21 terutang dari dr. Fiscy
sama dengan jumlah PPh orang pribadi terutang setahun yang dihitung menggunakan NPPN.
Dengan demikian, tidak terjadi kelebihan pembayaran pajak.

8. Akuntansi Pajak

1.1 Pencatatan Jurnal PPh 21


Pada pencatatan dalam jurnal PPh 21, pencatatan pemotongan pajak penghasilan ini dibedakan
sesuai posisi wajib pajak, yaitu pemberi kerja dan penerima kerja.

1. Pemberi Kerja
Jika dicatat dari posisi pemberi gaji, gaji maupun sejenisnya yang menjadi penghasilan karyawan
merupakan beban biaya bagi perusahaan (expense). Pembebanan gaji untuk mendapatkan
penghasilan kena pajak dilakukan dengan cara akrual basis. Artinya, gaji bulan Desember yang
dibayarkan pada bulan Januari tahun berikutnya menjadi biaya bulan Desember.

Contoh:

Aldi merupakan karyawan PT Sukses Sejahtera dengan status TK/0, mendapat gaji kotor beserta
tunjangan dan penghasilan lainnya selama setahun sebesar Rp180,000,000. Dari informasi
penghasilan ini, diketahui potongan PPh Pasal 21 sebesar Rp22,000,000. Maka, pencatatannya
adalah sebagai berikut:
Jurnal PPh 21

Gaji Rp180,000,000

Kas/Bank Rp158,000,000

Utang PPh 21 Rp22,000,000

Utang pajak penghasilan pada jurnal di atas harus dilunasi oleh pemberi kerja tanpa dilakukan
penghitungan atau jurnal dengan pajak lainnya.

Saat menyetor PPh 21 ke Negara

Utang PPh 21 Rp22,000,000

Kas/Bank Rp22,000,000

Jurnal PPh 21 yang pertama dibuat pada saat gaji tersebut diberikan pada karyawan. Lalu pada
bulan selanjutnya, pemberi kerja menyetorkan pajak penghasilan tersebut sehingga dibuatlah
jurnal kedua untuk menyesuaikan utang pajak menjadi Rp 0,-

2. Penerima Kerja
Jika dicatat dari posisi penerima kerja, gaji karyawan dan sejenisnya diakui sebagai penghasilan
sebesar nilai kotor atau belum dikenakan dengan pajak penghasilan dalam jurnal PPh 21. Mari
lihat contoh soal berikut ini.

Contoh:

Aldi merupakan karyawan PT Sukses Sejahtera dengan status TK/0, mendapat gaji kotor beserta
tunjangan dan penghasilan lainnya selama setahun sebesar Rp180,000,000. Dari informasi
penghasilan ini, diketahui potongan PPh Pasal 21 sebesar Rp22,000,000. Maka, pencatatan jurnal
PPh 21 sebagai berikut:
Jurnal PPh 21

Kas/Bank Rp158,000,000

Piutang PPh 21 Rp22,000,000

Gaji Rp180,000,000

Selanjutnya, penerima kerja membuat jurnal penyesuaian untuk pph 21 yang menjadi piutang.
Penyesuaiannya dilakukan setelah karyawan menerima bukti potong setoran pph 21 yang
dilakukan oleh pemberi kerja, dalam hal ini perusahaan tempatnya bekerja.

Setelah menyetor PPh 21 ke Negara

Piutang PPh 21 Rp22,000,000

Kas/Bank Rp22,000,000

1.2 Contoh Jurnal PPh Pasal 23

Contoh Jurnal PPh Pasal 23 dengan Tarif Potongan 2%


PT Sejahtera memberikan jasa konsultasi kepada CV Indah pada bulan Agustus 2019 dengan
imbalan sebesar Rp20.000.000 tunai.

Jurnal PPh 23 atas Imbalan Jasa Konsultan PT Sejahtera kepada CV Indah

Tanggal Keterangan Debet Kredit


Agustus 2019 Kas 19.600.000
Pph 23 dibayar dimuka 400.000
Pendapatan Jasa 20.000.000
Penjelasan: Berdasarkan ketentuan PPh pasal 23, imbalan sehubungan dengan jasa konsultasn
dikenai PPh pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruti. Jumlah PPH pasal 23 yang dipotong
adalah Rp400.000 (Rp20.000.000×2%).

Akun PPh 23 dibayar di muka adalah aktiva lancar yang akan ditutup (dikreditkan) ke PPh terutang
pada akhir tahun fiskal.

Contoh Jurnal PPh Pasal 23 dengan Tarif Potongan 15%


Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Sejahtera mengumumkan pembagian dividen sebesar
Rp3.000.000.000. PT Perkasa memiliki 10% saham PT Sejahtera.

PT Perkasa adalah wajib pajak badan yang atas dividen yang diterimanya tidak berlaku ketentuan
PPh pasal 4 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang (UU) PPh Nomor 36 Tahun 2008,
penghasilan berupa dividen dikenai PPh pasal 23 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto.

Kepemilikan PT Perkasa adalah 10%, sehingga dividen yang menjadi hak PT Perkasa adalah
Rp300.000.000 (Rp3.000.000.000×10%).

Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong adalah Rp45.000.000 (Rp300.000.000×15%).

Jurnal PPh 23 atas Dividen PT Perkasa

Tanggal Keterangan Debet Kredit


Piutang Deviden 255.000.000
Pph 23 dibayar dimuka 45.000.000
Pendapatan Deviden 300.000.000
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa Withholding Tax System memiliki beberapa manfaat yang besar
yang dapat membantu mempercepat penerimaan negara dari sektor pajak. Akan tetapi Withholding
Tax System juga memiliki beberapa kendala dengan adanya faktor penghambat serta beberapa
kekurangan dari ketidaktegasan UU yang mengatur tentang Withholding Tax System. Namun
melihat dari besarnya pengaruh Withholding Tax System dalam penerimaan negara, sistem ini
perlu untuk diterapkan namun perlu diperbaiki baik dari segi kualitas serta kuantitasnya dalam
UU. Sistem Pemotongan dan Pemungutan PPh (witholding tax system) di Indonesia, diterapkan
sangat luas tanpa batasan-batasan yang jelas yang dapat diterapkan hampir di semua jenis
penghasilan dan usaha. Sistem pemotongan dan pemungutan pajak ini memiliki kelebihan dan
kekurangan. Keunggulan dari sistem ini terletak pada efisiensi dari segi administrasi dan biaya
pemungutan, walaupun menimbulkan beban bagi wajib pajak yang ditunjuk sebagai pemotong
atau pemungut pajak. Witholding tax system dapat diterapkan baik bagi tansaksi yang berpotensi
menimbulkan penghasilan yang bersifat domestik dan transaksi-transaksi yang berpotensi
menimbulkan penghasilan yang bersifat internasional.

3.2 Saran
Sebaiknya pemerintah lebih memikirkan berbagai macam dampak yang akan terjadi, karena
walaupun sistem pemotongan dan pemungutan pajak (withholding tax system) ini merupakan cara
yang efektif untuk pemungutan pajak, namun disisi lain akan ada pihak yang terbebani. Pihak
tersebut yaitu Wajib Pajak, misalnya: beban administrasi, beban sanksi administrasi apabila
terlambat memotong atau menyetorkan, atau apabila tidak atau belum memotong pajaknya pihak
lain.
DAFTAR PUSTAKA

Alsah, A. Sjarifuddin. 2003. Pemotongan-Pemungutan Pajak Penghasilan (Withholding Tax).


Jakarta: Kharisma

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12682-pemotongan-dan-
pemungutan-pajak-penghasilan

http://www.pajak.go.id/content/selayang-pandang-withholding-tax-di-indonesia

https://news.ddtc.co.id/menyoal-withholding-tax-atas-penghasilan-dokter--20144?page_y=8262

Anda mungkin juga menyukai