Anda di halaman 1dari 12

CARA KERJA FILSAFAT

Filed under: FILSAFAT — ruhullah @ 2:53 am 

Dalam sejarah filsafat, kita akan bersua dengan berbagai produk pikiran ras manusia
yang merupakan hasil penyelidikan filosofis. Sejarah filsafat mengajarkan kita tentang:
bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis, tema-tema apa saja yang
dianggap penting dalam periode tertentu, dan aliran-aliran yang lahir dari rahim
perdebatan filosofis dan aliran yang dominan filsafat yang dominan di satu periode.
Menariknya, ada pertanyaan-pertanyaan yang tawaran jawabannya melampui zaman.
Karena itu, sejarah filsafat tampak seperti galeri pemikiran dimana tema-tema perenial
didialogkan oleh semua orang, semua zaman, semua kebudayaan. Pada bagian ini akan
dikupas ”cara kerja” filsafat secara historis.

Yunani Kuno

Proyek filsafat pra-sokretik adalah ingin menemukan arkhe, asas dari semua gejala yang
diamati dan dialami manusia. Gejala-gejala tersebut merupakan titik pangkal usaha
mereka. Dari sana mereka menuju asas yang tak kelihatan, yang dianggap sebagai
susuatu yang objektif.

Setelah itu, muncul sofisme yang berhaluan skeptis. Usaha filosofis Sokrates merupakan
reaksi terhadap sofisme. Soktrates mengarahkan wacana filsafat pada subjek. Cara kerja
sokrates: ”berdasarkan yang Anda katakan, gagasan dan keyakinan apa yang terdapat
dalam lubuk batin dan hati Anda sehubungan dengan pengetahuan maupun moral?”
Metode sokrates: maieutike (kebidanan), upaya agar dalam dialog apa yang terkandung
dalam diri manusia bisa dilahirkan, diucapkan, dan disadari.  Seperti seorang bidan yang
membantu ibu melahirkan seorang bayi.

Cara kerja ini diwarisi oleh Plato, murid Sokrates. Namun, plato memiliki kecenderungan
untuk mengarahkan usaha filosofisnya pada dunia di luar pengalaman manusia. Yang
benar dapat digapai manusia berkat intuisinya. Bagi Plato, dunia ide itulah dunia yang
objektif. Pengetahuan apriori dan cara kerja deduktif adalah jaminan untuk mencapai
kepastian mutlak dan keberlakuan umum (episteme).

Aristoteles, murid Plato, mewarisi pemikiran gurunya dengan berbagai modifikasi. Intuisi
diganti dengan abstraksi, tekanan pengetahuan apriori digeser ke pengetahuan a
posteriori, mengutamakan cara kerja induksi daripada cara kerja deduksi. Aristoteles
menitikberatkan pada pengetahuan tentang objek. Karena itu, Aristoteles menjadi tokoh
pertama yang secara luas menjalankan penelitian ilmiah empiris.  Selanjutnya, pada
akhir periode ini, muncul neoplatonisme. Aliran ini melanjutkan gagasan Plato tentang
dunia di seberang yang tak kelihatan. Yang baru dari gagasan neoplatonisme adalah
kesatuan antara dunia yang di seberang sana dengan dunia fana di sini. Semuanya
dianggap mengalir dari Sumber Esa. (emanasi), sambil mengarah kembali pada Sumber
itu (remanasi). Cara kerja seorang bijaksana, bagi neoplatonisme, adalah lewat mistik
untuk remanasi. Karena itu, seseorang mesti menyangkal diri dan menjalani lakutapa.
Tampak pengaruh pemikiran India.

Filsafat di Lingkungan Agama Semitik dan Skolastik

Konfrontasi filsafat dengan agama: Pertama, Yunani kuno, Pra-Sokratik dan Sokrates,
dengan tuduhan bahwa, Filsafat menghacurkan agama, dan menolak dewa-dewi mitologi
Yunani. Kedua, neoplatonisme dengan model mistik panteistiknya. Pertemuan selajutnya
adalah antara filsafat dengan tiga agama semitik. Bagi kaum yang kokoh memegang
prinsip-prinsip keagamaan, filsafat merupakan sebuah dunia lain, dengan struktur
pengetahuan, kehidupan yang tidak berpijak pada iman, tapi tidak boleh ditolak begitu
saja. Muncullah, problem iman dan akal (fides dan ratio).

Pertama, bersikap terbuka,dan kesinambungan iman dan rasio. Filo dari Iskandaria
(Yahudi), Yustinus (mazhab Iskandaria) dan para pengarang kuno dan penganut gereja
Timur (Kristen), dan aliran Mutazilah, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd (Islam).

Kedua, menolak rasio. Bahkan, filsafat, ilmu, dan kebijaksanaan dipandang berasal dari
lingkungan kafir serta akan merusak kemurnian iman. Sikap ini menguat di Kristen
terutama semenjak Paulus, diikuti Tertullianus, Agustinus. Di Islam, ada al-Ghazali, Ibn
Hambal, Ash’ariyah. Di kalangan Yahudi tidak terlalu kuat.

Di Spanyol Selatan, melalui kerjasama budaya, muncul corak skolastik sejak abad ke-
12. Kata methodus scholastica, terkait dengan schola (sekolah). Istilah ini tampak jelas
pada karya Boethius (sekitar 500 M). Inti pikirannya adalah menggabungkan iman dan
akal. Dalam lingkungan Islam tampak pada Mu’tazila, berpuncak pada al-Farabi dan Ibn
Sina. Di kalangan Yahudi dapat terlacak pada karya-karya Ibn Gabirol.
Dalam Kristen, yang berhutang jasa pada filosof Muslim, berkembang filsafat yang
bukan hanya berada dalam bayang-bayang filsafat kuno tapi menampilkan inovasi baru,
seperti Anselmus dengan analisis konsep dalam bahasa, khususnya kata ”Allah”, dan
Petrus Abelardus dengan pemakaian logika yang sangat maju.

Selama kurun skolastik, pemikiran Aristoteles sangat dominan, dikembangkan, terutama


oleh Ibnn Rushd (Islam), Maimonides (Yahudi) di Spanyol pada abad ke-12, Albertus
Agung dan Thomas Aquinas ( Kristen-Eropa Barat) selama abad ke-13.

Pandangan Skolastik tentang filsafat: akal berasal dari Allah, seperti halnya wahyu yang
jadi pondasi iman. Karenanya, akal tidak mungkin bertentangan dengan iman. Oleh
sebab itu, kaum beriman tidak perlu curiga terhadap akal. Namun, catatan pentingnya,
iman tetap di atas akal, teologi di atas filsafat. Meskipun demikian, iman atau teologi
tidak boleh atau tidak dapat memperbudak filsafat sebab filsafat benar-benar berdaulat
dan berdiri sendiri.

Bagaimana asal-usul dan cara kerja filsafat? Thomas Aquinas berpendapat, ilmu,
termasuk filsafat, berpangkal pada pengamatan dan pengalaman indrawi, lalu dilakukan
abstraksi ”yang umum ditarik dari yang partikular”. Abstraksi itu dibimbing oleh
asas: pertama, asas dari logika. Contoh, pernyataan ”keseluruhan lebih besar daripada
salahsatu bagiannya”. Ini analisis konsep. Kedua, pergaulan dan pembicaraan antar
manusia, karena dalam konteks itu ada asas-asas tertentu yang selalu ikut ditegaskan,
bahkan ditegaskan di tengah-tengah upaya untuk menyangkalnya. Contoh, orang yang
menolak adanya bebenaran sebetulnya implisit dikatakan ” benarlah bahwa, tidak ada
kebenaran”. Melalui asas-asas tersebut, dimulailah metode deduksi. Dengan metode
inilah semua bentuk pengetahuan diturunkan. Berbeda dengan Aristoteles, Thomas
menekankan pula intuisi (pengaruh Agustinus), dimana intuisi dipahami sebagai karunia
Tuhan, sebagai illuminatio, terang- Nya. Terang yang dimaksud, terang akal manusia
yang dianugerahkan Tuhan. Penekanan pengetahuan dan cara kerja filsafat pada masa
skolastik adalah pada objek pengetahuan serta ciri objektif pengetahuan itu sendiri.
Masa Modern

Pada masa modern, ditandai dua ciri utama: pertama, filsafat semakin berdiri sendiri.
Kebanyakan filosof tidak memperdulikan teologi yang berdasarkan iman. Kedua,
pembelokan ke arah subjek pengetahuan, seperti dirintis Descartes. Alhasil, muncullah
ribuan filosof, dan ratusan sistem filsafat bak jamur di musim hujan.

Lima tahap perkembangan filsafat modern:

Tahap pertama, Descartes, Spinoza dan Pascal. Dicirikan oleh sikap mereka terhadap
cara kerja apriori atau aposteriori filsafat dan pengetahuan secara umum. Descartes
bercita merobak cara kerja filsafat dan ilmu pengetahuan. Perombakan tersebut
membutuhkan pijakan kepastian yang kokoh. Kepastian itu dimulai dari keraguan
umum. Melalui keraguan metodis, ia merumuskan kepastian yang diperolehnya dengan
frasa ”Aku sadar (berfikir), maka aku ada” (je pense, donc je suis, cogito, ergo sum).
Dasar kepastian tersebut berasal dari ”ide yang jelas dan terpilah-pilah” (idee claire et
distantce, idea clara et distantca). Ada tiga macam ide yang jelas dan terpilah-pilah
tersebut: kesadaranku (res cogitans), keluasan (res extensa), dan adanya yang
sempurna (ens perfectissimum). Aku adalah pusat kesadaran sam dengan jiwa,
keluasan: dunia material, dan Tuhan. Berkat ketiga ide tersebut semu yang ada menjadi
masuk akal dan dapat diturunkan (dibuktikan dengna jalan deduksi). Sesuai dengan
hakekatnya masing-masing. Sebetulnya, cara kerja Descartes adalah cara kerja apriori
dan deduktif menurut model ilmu pasti.

Tanpa melalui jalan keraguan, Spinoza mengembangkan pemikiran yang telah dirintis
oleh Descartes. Bagi Descartes dan Spinoza, filsafat, ilmu alam dan teologi tunduk pada
cera kerja deduktif. Blaise pascal menyangkal anggapan tersebut. Menurutnya, cara
kerja aposteriori-lah yang mesti dikedepankan, baik dalam bidang ilmu maupun iman.
Dalam bidang iman (teologi), Pascal mencurigai kemampuan akal yang dianggapnya
lemah dan menimbulkan dosa. Ia menganut fideisme, yang berkembang menjadi
Jansenisme dan pietisme. Sedangkan dalam bidang ilmu, ia memihak pada ilmu-ilmu
yang didasarkan pada pengamatan dan percobaan.

Tahap kedua, berlangsung secara bersamaan dengan tahap pertama. Muncul aliran
rasionalisme (kelanjutan Descartes dan Spinoza), meski tidak mementingkan cara kerja
matematika yang ketat, menjunjung hasil pikiran tanpa peduli pengalaman pribadi
ataupun penelitian empiris. Cara kerja dan sistematisasinya oleh Christian Wolff. Selain
rasionalisme, muncul empirisme yang berkembang pesat di Inggris, dengan tokoh-
tokohnya: Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume. Dalam empirisme, cara kerja filsafat
adalah mengumpulkan data-data empiris yang diolah dan diatur oleh pengetahuan
inderawi si penyelidik. Selama itu berjalan, filsafat juga mengadakan penelitian atas
susunan dan mekanisme pengetahuan itu.

Tahap ketiga, munculnya filsafat Kant. Bertolak dari ketidakmampuan rasionalisme dan
empirisme menerangkan ”kemungkinan” adanya ilmu-ilmu alam yang cara kerjanya
”induksi”, Kant mencoba membuat proyek filsafat baru. Filsafat Kant bertolak dari
pertanyaan: apa yang menjadi dasar kemungkinan adanya ilmu-ilmu alam dalam diri
sunjek? Cara kerja ini disebut transendental, karena pertanyaan dan cara kerja ini
”melampaui” atau ”melompati” segala pertanyaan dan cara kerja yang menurut
anggapannya kurang matra yang paling dalam atau paling akhir. Filsafat Kant
merupakan suatu sistem yang didasarkan pada kejadian-kejadian yang secara
aposteriori diselidiki oleh ilmu pengetahuan, untuk menemukan susunan subjek
pengetahuan yang memungkinkan penyeledikan aposteriori itu. Susunan subjek
pengetahuan itu bersifat apriori, mendahului penelitian aposteriori. Singkatnya, Kant
mencoba mendamaikan unsur aposteriori dengan yang apriori, sekaligus mendamaikan
objek dengan subjek pengetahuan, meski subjek pengetahuan tetap dipandang lebih
tinggi. Dalam pikiran Kant, objek pengetahuan pada dirinya sendiri (Das Ding an sich)
ada, tetapi tidak dapat dikenal. Yang dikenal adalah apa yang terjadi dalam diri subjek.
Dari dasar pijakan ini, muncul idealisme. Dengan menghapus Das ding an sich Kant,
kenyataan objek pengetahuan diubah menjadi hasil pengetahuan atau pikiran dan
penalaran si subjek yang sedang berkembang sambil menyatakan diri dan mewujudkan
diri. Jadi, cara kerja filsafat menurut idealisme adalah: usaha aktif mengikuti atau ambil
bagian dalam perkembangahgan subjek pengethauan dalam segala bentuknya. Menurut
Hegel, bentuk perkembangan tersebut: dialektis, sambil menelusuri perkembangan roh
dalam sejarah. Unsur apiosteriori dan apriori terwakili, tapi tekanan pada apriori.

Tahap keempat, dicirikan oleh kritik atas idealisme, yang dibedakan menjadi tiga macam
dan menghasilkan tiga cara kerja filsafat. Perintisnya: Marx, Kierkegaard dan Husserl.
Marx bersepakat dengan Hegel dalam hal: dialektika penekanan pada sejarahnya.
Namun, ada perbedaan di antara keduanya: Hegel menekankan pada masa lalu,
sedangkan Marx penekanan pada praxis masa depan, Hegel lebih berorientasi pada
bukan perwujudan roh, sedang Marx pada perkembangan materi dalam ekonomi dan
politik. Kierkegaard mengkritik idealisme yang terlalu muluk-muluk, jauh dari
pengalaman pribadi, khususnya pengalaman orang beriman. Cara kerja filsafat yang
benar, menurut Kierkegaard, adalah pembinaan manusia dalam perjalanannya untuk
menjadi bebas melalui tahap etis dan estetis sampai pada tarap religius, sesuai dengan
eksistensinya yang paling dalam.

Husserl dengan fenomenologinya, kembali pada benda-benda itu sendiri (zuruck zu den
sachen selbt). Maksud ungkapan ini bukan empirisme kasar, tetapi reaksi terhadap
aliran-aliran yang meneliti kesadaran manusia. Menurut Husserl, penelitian seperti itu
sia-sia karena kurang memperhatikan intensionalitas (keterarahan kesadaran). Oleh
sebab itu, yang perlu diteliti adalah kesadaran manusia tentang sesuatu. Tentu
maksudnya bukan berarti filsafat mempelajari dunia luar itu sendiri, tapi apa yang
merupakan dasar dalam diri subjek pengetahuan yang terbuka dan rindu akan hasil
pengetahuannya. Hussel mengembangkan cara kerja berdasarkan penangguhan dan
penundahan (ephoce) terhadap penegasan, serta mengajak para fenomenolog untuk
mengurung ataupun menahan keputusan tentang ciri-ciri eksistensi konkret objek
bersangkutan. Semuanya itu guna mencapai hakekat (eidos) dari gejala-gejala yang
sedang disoroti. Inilah yang disebut: reduksi: jalan melangkah mundur dari gejala-gejala
itu sampai pada intinya yang diharapkan menampakkan diri. Jadi, metode ini seolah-olah
berdayung ke arah hulu perjumpaan subjek-objek dalam kesadaran subjek itu sendiri.
Dalam konteks inilah eksistensialisme hadir. Eksistensialisme menekankan kebebasan
manusia yang berdaulat. Cara kerjanya: tidak mau meninjau manusia dan dunia dari
luar diri manusia, melainkan hendak menguraikan eksistensi manusia berdasarkan
keseluruhan pengalaman dan kegiatannya yang secara bebas terlibat dalam
perkembangan dunia, bahkan dalam penciptaan dunia ini dengan segala nilainya.

Tahap kelima, menyimpang dari wacana subjek pengetahuan cartesian. Muncul aliran
neopositivisme dan strukturalisme. Filsafat tidak terlalu mendapatkan tempat.
Neoposiotivisme berupaya memadukan ilmu-ilmu empiris dengan ilmu-ilmu pasti.
Seharusnya, filsafat mengurusi kemurnian bahasa ilmiah sesuai dengna patokan-
patokan logika dan berdasarkan uraian bahasa ilmiah. Jadi, filsafat mesti menjaga
segala pengaruh subjektif disingkirkan dari penelitian ilmiah, dan tidak mengakui adanya
pengetahuan objektif lainnya. Setelah ilmu bahasa sukses menyusun ilmu kemanusiaan
yang ketat menurut contoh ilmu-ilmu alam, seperti dalam pemikiran Ferdinand de
Saussure (1857-1913), cara kerjanya, yakni strukturalisme, diterapkan pada ilmu-ilmu
kemanusiaannya yang lainnya, seperti antropologi kebudayaan (Levi-Strauss), psikologi
(Lacan), dan sejarah (Foucault). Menurut cara kerja ini: manusia dipelajari sebagai objek
yang tunduk pada struktur yang secara apriori terdapat dalam bidang-bidang
penyelidikan tersebut sebagai hukum-hukum yang tak dapat diganggu-gugat.

C. Verhaak dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-
Ilmu, Jakarta: Gramedia, 1997)

Apa itu Filsafat??


Jan 22
Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philosophia. Philos berarti suka, cinta, atau
kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian, secara sederhana,
filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan.

Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:

 Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap


 kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
 Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi (arti formal).
 Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk
mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi
pandangan yang konsisten tentang alam (erti spekulatif)
 Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat
yang demikian ini dinamakan juga logosentrisme.
 Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Filsafat bisa dimengerti dan dilakukan melalui banyak cara, sehingga berlaku prinsip “Variis modis bene fit”,
dapat berhasil melalui banyak cara yang berbeda. Bertens menengarai ada beberapa gaya berfilsafat.Pertama,
berfilsafat yang terkait erat dengan sastra. Artinya, sebuah karya filsafat dipandang melalui nilai-nilai sastra
tinggi. Contoh: Sartre tidak hanya dikenal sebagai penulis karya filsafat, tetapi juga seorang penulis novel,
drama, scenario film. Bahkan beberapa filsuf pernah meraih hadiah Nobel untuk bidang kesusasteraan.

Kedua, berfilsafat yang dikaitkan dengan social politik. Di sini, filsafat sering dikaitkan dengan praksis politik.
Artinya sebuah karya filsafat dipandang memiliki dimensi-dimensi ideologis yang relevan dengan konsep
negara. Filsuf yang menjadi primadona dalam gaya berfilsafat semacam ini adalah Karl Marx (1818-1883) yang
terkenal dengan ungkapannya: “Para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia. Kini tibalah saatnya
untuk mengubah dunia”.

Ketiga, filsafat yang terkait erat dengan metodologi. Artinya para filsuf menaruh perhatian besar terhadap
persoalan-persoalan metode ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes dan Karl Popper. Descartes
mengatakan bahwa untuk memperoleh kebenaran yang pasti kita harus mulai meragukan segala sesuatu. Sikap
yang demikian itu dinamakan skeptis metodis. Namun pada akhirnya ada satu hal yang tidak dapat kita ragukan,
yakni kita yang sedang dalam keadaan ragu-ragu, Cogito Ergo Sum.

Keempat, berfilsafat yang berkaitan dengan kegiatan analisis bahasa. Kelompok ini dinamakan mazhab analitika
bahasa dengan tokoh-tokohnya antara lain: G.E Moore, Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle,
dan John Langshaw Austin. Corak berfilsafat yang menekankan pada aktivitas analisis bahasa ini dinamakan
logosentrisme. Tokoh sentral mazhab ini, Wittgenstein mengatakan bahwa filsafat secara keseluruhan adalah
kritik bahasa. Tujuan utama filsafat ini adalah untuk mendapatkan klarifikasi logis tentang pemikiran. Filsafat
bukanlah seperangkat doktrin, melainkan suatu kegiatan.
Kelima, berfilsafat yang dikaitkan dengan menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa lampau. Di sini,
aktifitas filsafat mengacu pada penguasaan sejarah filsafat. Dalam hal ini, mempelajari filsafat yang dipandang
baik adalah dengan mengkaji teks-teks filosofis dari para filsuf terdahulu.

Keenam, masih ada gaya filsafat lain yang cukup mendominasi pemikiran banyak orang, terutama di abad
keduapuluh ini yakni berfilsafat dikaitkan dengan filsafat tingkah laku atau etika. Etika dipandang sebagai satu-
satunya kegiatan filsafat yang paling nyata, sehingga dinamakan juga praksiologis, bidang ilmu prkasis.

Sumber:

Mustansyir, Rizal.2008.Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pengertian Filsafat, Pengetahuan, dan


Ilmu Pengetahuan
Pengertian Filsafat

Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam
memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan. 

Pengertian filsafat menurut para tokoh :

1. Pengertian filsafat menurut  Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib


(logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalam-dalamnya
sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan 
2. Menurut Plato ( 427-347 SM) filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada 
3. Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato menyatakan filsafat menyelidiki
sebab dan asas segala benda. 
4. Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM)  mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
tentang sesuatu yang maha agung dan usaha untuk mencapainya. 
5. Al Farabi (wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina menyatakan filsafat adalah
ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan  menyelidiki hakekatnya yang
sebenarnya. 

Ciri-ciri berfikir filosfi :

1. Berfikir dengan menggunakan disiplin berpikir yang tinggi.


2. Berfikir secara sistematis.
3. Menyusun suatu skema konsepsi, dan
4. Menyeluruh.

Tiga persoalan yang ingin dipecahkan oleh filsafat ialah :

1. Apakah sebenarnya hakikat hidup itu? Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
2. Apakah yang dapat saya ketahui? Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
3. Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas olen Atropologi Filsafat.

Beberapa ajaran filsafat yang  telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:

1. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta
badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki
dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
2. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani
atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
3. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan
hakitat yang asli dan abadi.
4. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut)
tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.

Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah :

1. Sebagai dasar dalam bertindak.


2. Sebagai dasar dalam mengambil keputusan.
3. Untuk mengurangi salah paham dan konflik.
4. Untuk bersiap siaga menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.

Pengertian Pengetahuan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pengetahuan berarti segala sesuatu
yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg diketahui berkenaan dengan hal (mata
pelajaran). Adapun pengetahuan menurut beberapa ahli adalah:
1. Menurut Pudjawidjana (1983), pengetahuan adalah reaksi dari manusia atas rangsangannya
oleh alam sekitar melalui persentuhan melalui objek dengan indera dan pengetahuan
merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan sebuah objek tertentu.
2. Menurut Ngatimin (1990), pengetahuan adalah sebagai ingatan atas bahan-bahan yang telah
dipelajari dan mungkin ini menyangkut tentang mengikat kembali sekumpulan bahan yang
luas dari hal-hal yang terperinci oleh teori, tetapi apa yang diberikan menggunakan ingatan
akan keterangan yang sesuai.
3. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah
orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telingan.

Dari beberapa pengertian pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan


merupakan segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari persentuhan panca indera
terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil dari proses melihat,
mendengar, merasakan, dan berfikir yang menjadi dasar manusia dan bersikap dan bertindak.
Partanto Pius dalam kamus bahasa indonesia (2001) pengetahuan dikaitkan dengan segala
sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses belajar.

Pengertian Ilmu pengetahuan

Ilmu Pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan


meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia . Segi-
segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian
dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.
        Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode  yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat,
ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.
Contoh:

  Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani
(materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari.
  Ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi
ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah
seorang pemudi cocok menjadi perawat.
http://rifkaputrika.wordpress.com/2013/03/29/iad/
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pendidikan
adalah suatu proses perjalanan hidup yang memiliki tujuan untuk mengembangkan potensi
dalam diri manusia untuk mencapai tujuan berikutnya yang dapat diterima oleh masyarakat.
Dengan perkembangan potensi yang dimiliki oleh manusia maka akan mempermudah
perkembangan manusia itu sndiri di dalam pertumbuhannya untuk mencapai apa yang  ia
cita-citakan dan dapat memberi buat diri dia sendiri naupun buat orang lain atau masyarakat.
Pada hakikatnya pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dari yang sudah baik menjadi lebih baik lagi sehingga terciptalah manusia yang
berkualitas dan baik. Yang menjadi masalah sekarang ialah bagaimana caranya menentukan
kriteria manusia yang baik
Untuk memahami apa-apa saja masalah yang ada dalam pendidikan maka filsafat sangat
berperan penting untuk mencari dan menemukan jawaban dari masalah itu sendiri.
Dalam arti yang sangat luas, dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan ialah
pemikiran-pemikiran filasafat tentang pendidikan.ada juga yang mengatakan bahwa
filsafat pendidikan adalah filsafat tentang proses pendidikan, dan ada pula yang
mengatakan bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan (the
philosophy of the discline of education).

Dafpus bahasan hal ini

DAFTAR PUSTAKA

Gazalba, Sidi. 1973. Sistematika Filsafat Pengantar Kepada Metafisika. Jakarta: Bulan Bintang.


Indar, Djumberansyah. 1994. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abditama.
Nasution, Muhammad Yasir. 1988. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: CV. Rajawali.
Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisus.
Rifai, Melly Sri Sulastri. 1993. Tugas-Tugas Perkembangan dalam Rangka Bimbingan Perawatan
Anak. Jakarta: Rineka Cipta.
Surip, Muhammad dan Musrini. 2010. Filsafat Ilmu Pengembangan Wawasan Keilmuan dalam
Berfikir Kritis. Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.
Syafaruddin. 2008. Filsafat Ilmu.  Bandung: Ciptapustaka Media Perintis.

Usiono. 2011. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan. Medan: Perdana Publishing.

Anda mungkin juga menyukai