س َٰلَلَ ٖةُ ) ث ُ َّم َجعَ َل ن َۡسلَ ۥهُ ِمن٧( ين ٖ س ِن ِمن ِط ِ ۡ َسنَ ُك َّل ش َۡيءٍ َخلَقَ ۖۥهُ َوبَدَأ َ خ َۡلق
َ َٰ ٱۡلن َ ِي أ َ ۡح ٓ ٱلَّذ
َ ص َر َو ۡٱۡل َ ۡ ِفدَ َۚة
َ َٰ سمۡ َع َو ۡٱۡل َ ۡب
َّ وح ِۖهۦ َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱل
ِ س َّو َٰىهُ َونَفَ َخ ِفي ِه ِمن ُّر َ ) ث ُ َّم٨( ين
ٖ ِمن َّما ٓ ٖء َّم ِه
)٩( َقَ ِل ايٗل َّما ت َۡش ُك ُرون
Artinya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah (7), Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina, (8) Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur (9)” (Q.S. Assajadah :7-9)
فَإِذَا Selain ayat diatas terdapat beberapa ayat yang serupa membahas ihwal manusia
َس ِجدِين ِ س َّو ۡيت ُ ۥهُ َونَفَ ۡختُ فِي ِه ِمن ُّر
َ َٰ ُوحي فَقَعُواْ لَ ۥه َ
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “(Q.S. Al-
Hijr :29)
ۖ
َش ِر َو ۡٱلخ َۡي ِر فِ ۡتن اَة َو ِإلَ ۡينَا ت ُ ۡر َجعُون ِ ُك ُّل ن َۡف ٖس ذَآئِقَةُ ۡٱل َم ۡو
َّ ت َون َۡبلُو ُكم ِبٱل
Artinya : “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan” (Q.S Al-anbiyya : 35)
Dari ayat diatas dapatlah dipahami bahwa konci dasar kehidupan manusia adalah roh.
Roh yang membuat manusia mempunyai pendengaran, penglihatan dan al-af’idah. Jika
dipahami secara filosofis apa yang dinyatakan oleh Allah ini merupakan sumber manusia
memperoleh ilmu, karena ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, penglihatan dan al-
af’idah, produk dari ketiga sumber ilmu tersebut adalah pengetahuan. Dalam hal ini, Al-
Qur’an membedakan secara mendasar pengertian qalbu dan al-af’idah. Pengertian qalbu yang
digunakan dalam al-qur’an banyak merujuk pada persoalan fisik, yaitu hati dalam bentuk
fisik. Sementara itu pengertian al-af’idah dalam al-qur’an tidak berbicara soal fisik melainkan
hal yang bersifat non fisik dan tidak tepat jika diterjermahkan sebagai hati dalam bahasa
Indonesia. Penjelasan diatas memberikan makna bahwa hakikat roh adalah bimbingan dan
pimpinan Allah yang diberikan kepada manusia, hal ini sekaligus menjadi pembeda antara
manusia dengan makhluk allah lainnya. Roh tidak lain adalah daya yang bekerja secara
spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual
yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan. Hakekat roh tidak dapat diketahui secara material
karena roh bersifat gaib.
C. Menggali Sumber Psikologis, Sosiologis dan Filosofis serta Teologis tentang Konsep
Ketuhanan
1. Bagaimana tuhan dirasakan kehadiran-Nya dirasakan dalam perspektif psikologis
Menurut hadist Nabi,
“orang yang sedang jatuh cinta selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintai-nya”
(man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi juga “orang bisa diperbudak oleh
cintanya” (man ahabba syai’an fahuwa ‘abduhu). Ciri-ciri cinta sejati menurut Nabi: (a)
lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain, (b) lebih suka
berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain, (c) lebih suka mengikuti
kemauan yang dicintai dibanding dengan kemauan orang lain maupun dirinya sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Allah, maka ia lebih suka berbicara kepada Allah Swt
dengan membaca firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah dalam i’tikaf dan
lebih suka mengikuti perintah Allah daripada perintah yang lain. Saat itulah kehadiran Allah
dapat kita rasakan.
2. Bagaimana tuhan disembah masyarakat dalam persfektif sosiologis
Berbeda dengan perspektif teologis, sosiologis memandang agama tidak berdasarkan
teks keagamaan, tetapi berdasarkan pengalaman konkret pada masa kini dan pada masa
lampau. Hingga kini agama menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap sendi kehidupan
manusia, bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia yang modern tak boleh
lepas dari agama. Hal ini membuktikan bahwa agama tidaklah sesempit pemahaman manusia
mengenai kebenarannya, agama tidak saja membicarakan hal-hal yang sifatnya eksatologis,
melainkan juga membicarakan yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi diri
terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil, karena pada waktu yang bersamaan agama juga
menyuguhkan hal-hal yang riil. Dalam sosiologis, agama dipandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Oleh karena itu setiap prilaku
yang diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya.
Prilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-
nilai ajaran agama yang meng-internalisasi sebelumnya. Dimana manusia, masyarakat dan
kebudayaan berhubungan secara dialektik, ketiganya berdampingan dan berhimpit saling
menciptakan dan meniadakan.
3. Bagaimana tuhan dirasionalisasikan dalam perspektif filosofis
Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentang tuhan dengan pendekatan akal budi
manusia yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang
menganut agama tertentu (terutama Islam,), akan menambahkan pendekatan wahyu didalam
usaha memikirkannya. Jadi filsafat ketuhanan adalah pemikiran manusia tentang tuhan
dengan pendekatan akal budi mereka. Usaha yang dilakukan manusia bukanlah untuk
menemukan tuhan secara absolut/mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-
kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang tuhan. Allah bukanlah
diselidiki sebagai objek, namun eksistensi alam semesta yakni makhluk yang diciptakan.