Anda di halaman 1dari 8

BAB I

BAGAIMANA MANUSIA BERTUHAN

A. Menelusuri Konsep Spritualitas Sebagai Landasan Bertuhan


Dalam persfektif Islam, “spirit” sering di deskripsikan sebagai jiwa yang halus yang
ditiupkan oleh tuhan ke dalam diri manusia. Al-Qusyairi dalam tafsirnya Latha it al-
isyarat menunjukkan bahwa roh memang lathifah (jiwa halus) yang ditempatkan oleh
tuhan dalam diri manusia sebagai potensi untuk membentuk karakter yang terpuji. Roh
merupakan fitrah manusia, yang dengan roh manusia mampu berhubungan dengan tuhan
sebagai kebenaran yang sejati. Karena adanya roh, manusia mempunyai bakat untuk
bertuhan, artinya roh-roh yang membuat manusia mampu mengenal tuhan sebagai potensi
bawaan sejak lahir. Dengan adanya roh manusia mampu merasakan dan meyakini
keberadaan tuhan dan kehadiranNya dalam setiap fenomena di alam ini, Atas dasar itulah
sebenarnya manusia memiliki fitrah sebagai manusia bertuhan. Roh menurut Islam adalah
suci, merupakan karunia ilahi yang dipancarkan dari zat Tuhan. Roh bersemayam di
dalam hati (qalb) sehingga dari hati terpancar kecerdasan, keinginan dan perasaan. Ketika
hati ditempati roh, maka hati menjadi bersinar dan memancarkan cahaya kebaikan tuhan.
Hati yang terpancar oleh kebaikan tuhan disebut dengan hati nurani (hati yang tercahaya-
i) Dalam Al-Qur’an disebutkan :

‫س َٰلَلَ ٖة‬ُ ‫) ث ُ َّم َجعَ َل ن َۡسلَ ۥهُ ِمن‬٧( ‫ين‬ ٖ ‫س ِن ِمن ِط‬ ِ ۡ َ‫سنَ ُك َّل ش َۡيءٍ َخلَقَ ۖۥهُ َوبَدَأ َ خ َۡلق‬
َ َٰ ‫ٱۡلن‬ َ ‫ِي أ َ ۡح‬ ٓ ‫ٱلَّذ‬
َ ‫ص َر َو ۡٱۡل َ ۡ ِفدَ َۚة‬
َ َٰ ‫سمۡ َع َو ۡٱۡل َ ۡب‬
َّ ‫وح ِۖهۦ َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱل‬
ِ ‫س َّو َٰىهُ َونَفَ َخ ِفي ِه ِمن ُّر‬ َ ‫) ث ُ َّم‬٨( ‫ين‬
ٖ ‫ِمن َّما ٓ ٖء َّم ِه‬
)٩( َ‫قَ ِل ايٗل َّما ت َۡش ُك ُرون‬
Artinya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah (7), Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina, (8) Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur (9)” (Q.S. Assajadah :7-9)

‫فَإِذَا‬ Selain ayat diatas terdapat beberapa ayat yang serupa membahas ihwal manusia

َ‫س ِجدِين‬ ِ ‫س َّو ۡيت ُ ۥهُ َونَفَ ۡختُ فِي ِه ِمن ُّر‬
َ َٰ ُ‫وحي فَقَعُواْ لَ ۥه‬ َ
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “(Q.S. Al-
Hijr :29)
ۖ
َ‫ش ِر َو ۡٱلخ َۡي ِر فِ ۡتن اَة َو ِإلَ ۡينَا ت ُ ۡر َجعُون‬ ِ ‫ُك ُّل ن َۡف ٖس ذَآئِقَةُ ۡٱل َم ۡو‬
َّ ‫ت َون َۡبلُو ُكم ِبٱل‬
Artinya : “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan” (Q.S Al-anbiyya : 35)
Dari ayat diatas dapatlah dipahami bahwa konci dasar kehidupan manusia adalah roh.
Roh yang membuat manusia mempunyai pendengaran, penglihatan dan al-af’idah. Jika
dipahami secara filosofis apa yang dinyatakan oleh Allah ini merupakan sumber manusia
memperoleh ilmu, karena ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, penglihatan dan al-
af’idah, produk dari ketiga sumber ilmu tersebut adalah pengetahuan. Dalam hal ini, Al-
Qur’an membedakan secara mendasar pengertian qalbu dan al-af’idah. Pengertian qalbu yang
digunakan dalam al-qur’an banyak merujuk pada persoalan fisik, yaitu hati dalam bentuk
fisik. Sementara itu pengertian al-af’idah dalam al-qur’an tidak berbicara soal fisik melainkan
hal yang bersifat non fisik dan tidak tepat jika diterjermahkan sebagai hati dalam bahasa
Indonesia. Penjelasan diatas memberikan makna bahwa hakikat roh adalah bimbingan dan
pimpinan Allah yang diberikan kepada manusia, hal ini sekaligus menjadi pembeda antara
manusia dengan makhluk allah lainnya. Roh tidak lain adalah daya yang bekerja secara
spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual
yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan. Hakekat roh tidak dapat diketahui secara material
karena roh bersifat gaib.

B. Menanyakan Alasan Mengapa Manusia Memerlukan Spritualitas


Berbicara masalah ketuhanan dalam Islam, secara sederhana kita pahami bahwa
hampir semua umat manusai mengenal dan mempercayai tuhan. Oleh karena itu ketika
seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbullah tanda tanya dalam hatinya
akan banyak hal misalnya darimana saya, mengapa saya tiba-tiba ada, hendak kemana saya?
Dari bentuk arus pertanyaan yang mengalir dalam bisikan hati yang terdalam, terdapat
cetusan yang mempertanyakan tentang penguasa tertinggi alam raya yang harus dijawab.
Ketika pandangan diarahkan ke langit biru, hatipun bergetar, siapa yang menata langit dan
membangunnya sedemikian kekar dan indah? Ketika malam kelam langit dihiasi dengan
cahaya bintang, mengalirlah perasaan romantic yang mengagumkan. Akan tetapi dibalik
kekaguman akan romantika itu, hati mencoba menelusuri siapa “Dia” yang menempatkan
posisi-posisi bintang yang begitu permai, serasi akan tempatnya nan indah memukau.Tatkala
seseorang beranjak lebih dewasa dan mengenyam lebih banyak pengalaman, kecenderungan
untuk ingin tahu itu lebih keras lagi. Tampak kian banyak misteri yang terselubung dibalik
kehidupan. Banyak keinginan yang tidak terpenuhi, maka siapakah penguasa dibalik iradah
dan kemampuan insan yang terbatas ini ? Pada tahap ini bukan saja naluri yang bergejolak,
tetapi otak dan logika mulai main untuk membentuk pengertian dan kesimpulan tentang
adanya tuhan. Itulah fitrah manusia yang bergolak mencari dan merindukan sang pencipta,
mulai dari bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan, sampai ketingkat yang lebih
tinggi berupa logika dengan menempatkan akal sebagai nalar untuk menentukan jawabannya.
Boleh jadi tertutup kabut kegelapan sehingga tampak manusia tidak mau tahu siapa
penciptanya. Namun kekuatan fitrah tidak dapat dihapuskan sama sekali. Pengertian dan
pemahaman manusia tentang tuhan akan memberikan corak perilaku dalam kehidupan
beragama dan bernegara. Oleh karena itu diperlukan suatu pengertian yang lebih mendasar,
agar dapat dibedakaan secara filosofis. Dalam ajaran Islam, pemahamman tentang tuhan
berawal dari pernyataan umat Islam “dua kalimat syahadat” yang diungkapkan ketika
seseorang menyatakan dirinya Islam. Oleh karena itu setiap umat Islam sangatlah perlu
memahaminya secara filosofis.
Pengalaman bertuhan (spiritual) adalah pengalaman yang unik dan autentik, setiap
orang memiliki pengalaman yang khas dalam hal merasakan kehadiran tuhan. Pengalaman
bertuhan dapat menjadi bagian yang sangat erat dan mempengaruhi kepribadian seseorang.
Meskipun demikian dalam kehidupan modern saat ini, orientasi kehidupan yang lebih
menekankan aspek fisik-material telah menjadikkan aspek keberagamaan dan spritualitas
terpojok ke wilayah pinggiran. Modernisasi disegala bidang sebagai akibat dari kemajuan
ilmu dan teknologi melahirkan sikap hidup yang materialistik, hedonis, konsumtif, mekanis
dan individualistis, akibatnya manusia modern banyak kehilangan kehangatan spiritual,
ketenangan dan kedamian. Hilangnya realitas Ilahi ini mengakibatkan timbulnya gejala
psikologis, yakni adanya kehampaan spritual. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta filsafat rasionalisme tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek
nilai-nilai transenden, satu kebutuhan vital yang hanya bisa digali dari sumber wahyu Ilahi.
Akibatnya tidak heran kita jumpai orang yang stres dan gelisah karena tidak punya pegangan
hidup.
Al-qur’an memandang manusia sebagai makhluk yang termulia karena dibekali
dengan akal budi. Namun Al-qur’an juga memperingatkan umat manusia bahwa mereka akan
mengalami kejatuhan manakala perilakunya lebih didominasi oleh hawa nafsu. Kejatuhan
manusia tersebut dapat dilihat manifestasinya pada tataran pribadi dan sosial. Dalam ranah
pribadi berbagai bentuk penyelewengan moral dan etika menjadi indikator konkret jatuhnya
martabat manusia, dalam tataran sosial hawa nafsu menggerogoti empati manusia sehingga
alih-alih untuk membangun relasi yang harmonis antar sesama manusia justru lebih
mengedepankan egosentrisme nya masing-masing. Agar manusia kembali memiliki etika
moral dan sentuhan manusia dalam kehidupannya, maka penguatan spritualitas perlu
dilakukan. Penguatan spiritualitas ini secara filosofis dikatakan sebagai penguatan visi Ilahi,
potensi bertuhan/kebertuhanan. Untuk mencapai visi Ilahi yang kokoh diperlukan proses
peng-aktualisasian akhlak tuhan yang ada dalam diri manusia, untuk itu diperlukan pelatihan
jiwa secara sistematis, dramatis dan berkesinambungan dengan memadukan antara olah pikir
(tafakkur wa ta’ammul), olah rasa (tadzawwuq), olah jiwa (riyadhah) dan olah raga (rihlah
wa jihad). Sayyed Hossein Nasr menawarkan terapi spritual kepada manusia modern dengan
mendalami dan menjalankan praktek tasawuf, karena dengan tasawuf inilah akan
memberikan jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spritual mereka. Dalam pandangan
tasawuf, penyelesaian dan perbaikan kesadaran itu tidak dapat tercapai secara optimal jika
hanya dalam kebutuhan lahir, karena kehidupan lahir hanya merupakan gambaran atau akibat
dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya.

C. Menggali Sumber Psikologis, Sosiologis dan Filosofis serta Teologis tentang Konsep
Ketuhanan
1. Bagaimana tuhan dirasakan kehadiran-Nya dirasakan dalam perspektif psikologis
Menurut hadist Nabi,
“orang yang sedang jatuh cinta selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintai-nya”
(man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Nabi juga “orang bisa diperbudak oleh
cintanya” (man ahabba syai’an fahuwa ‘abduhu). Ciri-ciri cinta sejati menurut Nabi: (a)
lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain, (b) lebih suka
berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain, (c) lebih suka mengikuti
kemauan yang dicintai dibanding dengan kemauan orang lain maupun dirinya sendiri. Bagi
orang yang telah jatuh cinta kepada Allah, maka ia lebih suka berbicara kepada Allah Swt
dengan membaca firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah dalam i’tikaf dan
lebih suka mengikuti perintah Allah daripada perintah yang lain. Saat itulah kehadiran Allah
dapat kita rasakan.
2. Bagaimana tuhan disembah masyarakat dalam persfektif sosiologis
Berbeda dengan perspektif teologis, sosiologis memandang agama tidak berdasarkan
teks keagamaan, tetapi berdasarkan pengalaman konkret pada masa kini dan pada masa
lampau. Hingga kini agama menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap sendi kehidupan
manusia, bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia yang modern tak boleh
lepas dari agama. Hal ini membuktikan bahwa agama tidaklah sesempit pemahaman manusia
mengenai kebenarannya, agama tidak saja membicarakan hal-hal yang sifatnya eksatologis,
melainkan juga membicarakan yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi diri
terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil, karena pada waktu yang bersamaan agama juga
menyuguhkan hal-hal yang riil. Dalam sosiologis, agama dipandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu. Oleh karena itu setiap prilaku
yang diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya.
Prilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-
nilai ajaran agama yang meng-internalisasi sebelumnya. Dimana manusia, masyarakat dan
kebudayaan berhubungan secara dialektik, ketiganya berdampingan dan berhimpit saling
menciptakan dan meniadakan.
3. Bagaimana tuhan dirasionalisasikan dalam perspektif filosofis
Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentang tuhan dengan pendekatan akal budi
manusia yaitu memakai apa yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang
menganut agama tertentu (terutama Islam,), akan menambahkan pendekatan wahyu didalam
usaha memikirkannya. Jadi filsafat ketuhanan adalah pemikiran manusia tentang tuhan
dengan pendekatan akal budi mereka. Usaha yang dilakukan manusia bukanlah untuk
menemukan tuhan secara absolut/mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-
kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang tuhan. Allah bukanlah
diselidiki sebagai objek, namun eksistensi alam semesta yakni makhluk yang diciptakan.

1. Konsep tentang tuhan dalam perspektif teologis


Dalam perspektif teologis masalah ketuhanan, kebenaran dan keberagaman harus
dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena dimulai
dari atas (dari tuhan sendiri melalui wahyu-Nya) artinya kesadaran tentang tuhan, baik dan
buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari tuhan sendiri. Tanpa inisiatif
tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi makhluk yang bertuhan dan
beribadah kepada-Nya. Firman Allah :
ُ‫) َولَ ۡم يَ ُكن لَّ ۥهُ ُكفُ ًوا أ َ َح ُۢد‬٣( ‫) لَ ۡم يَ ِل ۡد َولَ ۡم يُولَ ۡد‬٢( ُ‫ص َمد‬ َّ )١( ٌ‫ٱَّللُ أ َ َحد‬
َّ ‫ٱَّللُ ٱل‬ َّ ‫قُ ۡل ُه َو‬
1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (Q.s Al-Ikhlas :1-4)

Ayat yang menjelaskan tujuan manusia diciptakan :

ِ ‫نس إِ ََّّل ِليَعۡ بُد‬


‫ُون‬ ِ ۡ ‫َو َما َخلَ ۡقتُ ۡٱل ِج َّن َو‬
َ ‫ٱۡل‬
Artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku” (Q.s Adz-zariyat:56)

D. Membangun Argumen Tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan


Dalam KBBI, kata tuhan diartikan sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah
oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. Namun dalam bahasa arab kata
tuhan dinyatakan dengan rabbun artinya pembimbing atau ilahun yang berarti gerakan atau
dorongan. Berdasarkan pengertian diatas dapatlah dipahami bahwa tuhan itu dapat berbentuk
apa saja yang dipentingkan oleh manusia, ini berarti bahwa sesuatu yang diyakini oleh
manusia apapun bentuknya jika menjadi sesuatu yang dipentingkan maka sesuatu itu telah
menjadi tuhan-Nya. Oleh karena itu jika diambil kesimpulan, tidak ada manusia di dunia ini
tidak mempunyai tuhan, namun persepsi setiap manusia memungkinkan terjadinya tanggapan
dan pandangan tentang tuhan yang berbeda-beda seauai dengan tahap dan pola pikirnya.
Mengingat tuhan adalah zat yang maha transendental dan ghaib, maka manusia tidak
mungkin sepenuhnya dapat mempersepsikan hakikat-Nya. Manusia hanya mampu merespon
dan mempersepsikan tajalliyat tuhan, dari interaksi antara tajalliyat tuhan dan respon
manusia inilah maka lahirlah keyakinan tentang tuhan. Tajalliyat tuhan adalah manifestasi
tuhan dialam semesta yang merupakan bentuk pengikatan, pembatasan yang dilakukan tuhan,
agar manusia dapat menangkap sinyal dan gelombang ketuhanan. Dengan demikian
keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap penampakan (tajalliyat) dari-Nya.
Berbicara tentang keimanan maka terdapat dua aspek yaitu keyakinan dan indikator praktis.
Jadi keyakinan dapat dimaknai sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal ini
konsep tentang tuhan), sehingga menjadi aturan dalam hati yang menunjukkan hukum sebab
akibat, identitas diri dan mempengaaruhi penilaian terhadap segala sesuatu serta dijalankan
dengan penuh komitmen.
E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Visi Ilahi Untuk Membangun Dunia yang
Damai
Dalam perspektif Islam, manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna.
Kesempurnaan manusia ditandai dengan kesiapannya untuk berbakti kepada tuhan karena
dalam dirinya telah ditiupkan salah satu tajalli tuhan yaitu ruh. Dengan kata lain manusia
lebih bisa mendengar dan mengikuti tuntunan hati nurani, karena manusia spiritualitasnya
begitu maksimal, namun karena materi yang dalam kisah Adam disimbolkan dengan syajaroh
al-khuldi (pohon keabadian) maka manusia sedikit demi sedikit mulai kehilangan nuansa
spiritual dan kehilangan superioritas ruh sebagai penggerak kehidupan manusia dalam
koridor visi Ilahi.
Dalam perspektif tasawuf, kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari tuhan
(di-ibaratkan dalam kisah Adam sebagai ketergelinciran manusia dari syurga yang luhur dan
suci ke dunia yang rendah dan penuh problematika). Ketika manusi makin jauh dari tuhan
maka ia semakin jauh dari kebenaran dan kebaikan tuhan. Tampak dari uraian diatas bahwa
manusia adalah makhluk yang menyimpan kontradiksi didalam dirinya. Disatu sisi manusia
adalah makhluk spiritual yang cenderung kepada kebajikan dan kebenaran, namun disisi lain
keberadaan unsur materi dan ragawi dalam diri manusia memaksanya untuk tunduk pada
tuntutan kesenangan jasmaniah. Seringkali terjadi konflik internal dalam diri manusia, antara
dorongan spiritual dan material sehingga dalam khazanah Islam dikenal ada tiga tipologi jiwa
manusia yaitu an-nafs al-ammarah (jiwa yang selalu tergerak melakukan keburukan), an-nafs
al-lawwamah (jiwa yang selalu mencela diri), an-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang).
Agar manusia dapat tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran tuhan, maka manusia
dituntut untuk membangun relasi yang baik dengan tuhan. Manusia tidak akan mampu
membangun relasi yang harmonis dengan tuhan apabila hidupnya lebih di dominasi oleh
kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh karena itu sisi spiritualitas sebagai peran utama harus
dimainkan dalam kehidupan manusia sehingga ia mampu merasakan kehadiran tuhan dalam
setiap gerak dan sikapnya, apabila manusia telah mampu mengasah spiritualitasnya sehingga
dapat merasakan kehadiran tuhan maka ia akan dapat melihat segala sesuatu dengan visi
tuhan (ilahi). Visi ilahi inilah yang saat ini dibutuhkan oleh manusia sehingga setiap tindak
tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan kepada Tuhan
sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta pelayanan kepada sesama
ciptaan tuhan.
F. Rangkuman tentang Kontribusi Spritualitas dalam Mengembangkan Karakter
Manusia yang Bertuhan
Konci dasar kehidupan dan keberadaan manusia adalah ruh. Ruh yang membuat
manusia mempunyai pendengaran, penglihatan dan al-af’idah. Jika dipahami secara fiosofis,
apa yang telah dinyatakan oleh Allah merupakan sumber manusia memperoleh ilmu, karena
ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, penglihatan dan al-af’idah. Produk dari ketiga
sumber ilmu tersebut adalah pengetahuan. Pengalaman bertuhan (spiritual) adalah
pengalaman yang unik dan otentik, setiap orang memiliki pengalaman yang khas dalam hal
merasakan kehadirat tuhan. Pengalaman bertuhan dapat menjadi bagian yang sangat erat dan
mempengaruhi kepribadian seseorang, meskipun demikian dalam kehidupan modern saat ini
orientasi kehidupan yang lebih menekankan aspek fisik material telah menjadikan aspek
keberagamaan danspiritualitas terpojok kewilayah pinggiran. Modernisasi disegala bidang
sebagai akibat dari kemajuan ilmu dan teknologi melahirkan sikap hidup yang materialistis,
hedonis, konsumtif, mekanis dan individualistis, akibatnya manusia modern banyak
kehilangan kehangatan spiritual, ketenangan dan kedamaian.
Manusia tidak akan mampu membangun relasi yang harmonis apabila hidupnya lebih
didominasi oleh kepentingan ragawi dan bendawi, oleh karena itu sisi spiritualitas harus
dimainkan sebagai peran utama dalam kehidupan manusia sehingga ia mampu merasakan
kehadirat tuhan dalam setiap gerak dan sikapnya. Apabila manusia telah mampu mengasah
spiritualitasnya sehingga ia dapat merasakan kehadirat tuhan maka ia akan dapat melihat
segala sesuatu dengan visi Ilahi. Sehingga kontribusi spiritualitas dalam mengembangkan
karakter manusia yang bertuhan adalah menjadikan manusia mencapai kehidupan yang damai
dan tenteram karena merasa ada tuhan yang mengatur disekitarnya. Kesadaran bertuhan
adalah kesadaran seseorang bahwa Allah tuhan yamg maha kuasa, senantiasa menyetujui dan
mengawasi hidupnya, sehingga Allah bukan hanya maha hadir tetapi juga maha dekat.
Kesadaran bertuhan juga pangkal kebaikan dan pangkal moralitas, tanpa kesadaran ketuhanan
tidak akan pernah ada taqwa. Karakter manusia spiritualis dapat dibentuk dengan cara :
1.Berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya
2.Perbanyak membaca Al-Qur’an dan memahami makna yang terkandung didalamnya.
3. Baca dan pahami hadist-hadist rosulullah Saw sedikit demi sedikit.
4. Ingatlah selalu dengan Allah swt dalam keadaan apapun.

Anda mungkin juga menyukai