Anda di halaman 1dari 4

Budaya Perusahaan

Resume Bab 12 – Merger dan Akuisisi dalam Perspektif Manusia dan Budaya

Disusun Oleh :

Jessy Septalista H 16311293

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM
INDONESIA 2019

This study source was downloaded by 100000802597481 from CourseHero.com on 06-03-2021 09:38:27 GMT -05:00
Tujuan perusahaan melakukan M&A adalah untuk mempertahankan eksistensi bisnis
dan menciptakan sinergi sehingga scope dan skala ekonomi perusahaan semakin besar yang
berkibat perolehan laba semakin besar. M&A bias dianalisis dari disiplin manajemen strategi,
ilmu ekonomi, ilmu keuangan, organisasi dan sumber daya manusia.

M&A MERUPAKAN FENOMENA BISNIS YANG PARADOKSAL

Secara umum bias dikatakan bahwa M&A sering disebut sebagai fenomena bisnis yang
paradoksal. Dikatakan demikian karena disatu sisi, intensitasnya terus meningkat tapi di sisi
lain tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Cartwright dan Cooper lebih lanjut menegaskan
karena secara histroris M&A adalah domain para ekonom dan para strategist maka kegagalan
M&A biasanya haya dikaitkan dengan factor-faktor berikut :

(1) Jeleknya pengambilan keputusan karena membeli perusahaan lain dengan harga yang
terlalu tinggi
(2) Terjadi kesalahan dalam mengelola keuangan sehingga realisasi bertambahnya skala
ekonomi dan rasio-rasio laba yang diharapkan tidak tercapai
(3) Terjadi perubahan pasar yang mendadak.

Sesungguhnya M&A nuka sekedar mengambil alih asset perusahaan lain melainkan
menggabungkan dua kelompok manusia yang berbeda sikap dan perilaku, dan
menggabungkan dua kegagalan yang berbeda sehingga keberhasilan juga sangat bergntung
pada factor manusia dan budaya.

METAFORA M&A SEBAGAI SEBUAH PERKAWINAN

Pada saat melakukan M&A kedua belah pihak cenderung mempertahankan mind-set masing-
masing yakni mind-set perussahaan pembeli dan mind-set perusahaan penjual meski
penggabungan usaha telah berlangsung.

Mind-set Perusahaan Pembeli. Perusahaan pembeli atau dalam konteks merger


perusahaan yang memimpin perusahaan lain cenderung mengalami superiority syndrome
yakni merasa senang dan superior. Bagi oara eksekutuf perusahaan tersebut, kemenangan ini
juga menunjukkan seolah-olah mereka mempunyai kemampuan untuk memimpin perusahaan
lain dan secara psikologis memperoleh kepuasan dalam bekerja karena merasa telah
menyelesaikan pekerjaan besar. Sikap semacam ini bias berdampak pada suatu anggapan
bahwa ketajaman bisnis mereka - baik dalam hal strategi, kebijakan, prosedur, system,
teknologi maupun orang-orangnya, lebih superior ketimbang perusahaan yang
demerger/diakuisisi dan disisi lain menganggap pihak lain lebih inferior. Karena perasaan
superior itu pula, saat implementasi M&A mulai dijalankan, perusahaan yang memimpin
mulai bergerak cepat dan mulai melakukan konsolidasi untuk meriah keuntungan yang sudah
dibayangkan sebelumnya. Janji-janji yang diberikan saat negosiasi berlangssung misalnya
seprti menghormati tradisi dan kebiasaan perusahaan yang demerger/diakuisisi, mereka
lupakan begitu saja.

Mind-set Perusahaan Yang Dibeli. Mereka cenderung menganggap pihak lain


sebagai barbar dan tidak punya perasaan. Akibatnya para eksekutif mengalami cultural shock
seera setelah M&A diumumkan. Mereka merasa tidak siap menghadapi tugas-tugas dan
tanggung jawab baru, tidak siap dengan perubahan struktur organisasi yang baru, bahkan
mereka terus bersikap waspada pada manajer yang baru. Implikasi dari perasaan takut,
bingung dan curiga yang dialami para eksekutif menjadikan mereka berupaya mengatasi
dirinya. Diantaranya dengan melakukan tindakan-tindakan defensive seperti melakukan
regrouping. Tidak patuh, sabotase, atau serangan secara agresif merupakan bentuk-bentuk
serangan balik yang biasa dilakukan para eksekutif perusahaan penjual. Tujuan lain yang
lebih ekstrim adalah mereka ingin merebut kembali (buyback) perusahaan yang diakuisis atau
merger.

Marks dan Mirvis (1998) mengatakan bahwa menghilangkan perbedaan mind-set


merupakan pekerjaan yang sia-sia dan hanya bersifat artifisial. Yang penting adalah
menyadarkan mereka bahwa kesepakatan sudah dibuat dan M&A sudah sah secara hukum.

DIMENSI PSIKOLOGIS DAN JENIS PERKAWINAN DALAM M&A

Secara umum M&A dilihat dari sifatnya dapat digolongkan kedalam berbagai bentuk,
diantaranya adalah :

1. Horizontal merger. Penggabungan usaha antar dua perusahaan dalam satu industry
yang mempunyai pangsa pasar yang sama.
2. Vertical merger. Boleh jadi tidak terjadi antar dua perusahaan dalam satu industry
tetapi antar dua perusahaan yang saling terkait.
3. Conglomerate merger. Terjadi antar dua perusahaan yang tidak terkait atau pada dua
industry berbeda yang tidak saling berkompetisi.
4. Triangular merger. Merupakan merger dua perusahaan di mana asset, hak dan
kewajiban dari salah satu perusahaan yang demerger atau diakuisisi dialihkan kepada
induk dan anak perusahaan yang mengakuisisi.
5. In-group merger. Ada dua bentuk merger yaitu asset perusahaan induk dilebur
kedalam anak perusahaan yang disebut “down steam merger” atau sebaliknya asset
perusahaan anak dilebur ke perusahaan induk yang disebut up stream merger.

Dilihat dari aspek perilaku dan budaya, secara umum ada tiga jenis perkawinan :

1. Perkawinan terbuka. Penggabungan dua perusahaan di mana masing-masing


perusahaan mau saling menerima apa adanya kondisi pihak lain.
2. Perkawinan tradisional. Penggabungan dua perusahaan di mana salah satu pihak
merasa lebih dominan ketimbang pihak lain (unequal marriage).
3. Perkawinan modern. Atau biasa disebut perkawinan kolaboratif. Pada dasarnya pihak-
pihak yang bergabung, secara konsisten berupaya untuk mencapai tujuan M&A yang
sesungguhnya yakni mencapai sinergi.

PERKAWINAN TRADISIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MANUSIA DAN


BUDAYA

Paling tidak ada lima bentuk reaksi atau upaya yang akan dilakukan oleh karyawan sebagai
jalan keluar ketika menghadapi perubahan organisasi yaitu :
1. Negative strategy: mereks akan menutup diri, menolak perubahan dan berusaha
membayangkan dan membangun lingkungan hidup baru seperti pada periode-periode
sebelumnya.
2. Hedonist strategy: mereka akan terbawa arus perubahan, kehilangan ingatan akan
pegangan masa lalu dan yang lebih tragis lagi mereka akan bersikap apatis terhadap
yang mapan.
3. Fatalistic strategy: mereka akan bertahan hidup dalam perubahan namun dengan sikap
yang traumatic, menatap masa depan tanpa harapan dan berjuang untuk tetap hidup
hanya pada batas survival.
4. Pragmatist strategy: mereka akan bertahan hidup dalam perubahan tetapi dengan
membuat pegangan-pegangan baru yang bersifat sementara agar bias digunakan
menyiasati masa lalu, masa kini maupun masa depan.
5. Relective strategy : mereka menerima perubahan dengan sikap kritis dan selektif
dengan menggunakan program jangka Panjang sebagai tolak ukurnya.

Tindakan Pencegahan

1. Sebelum kesepakatan M&A ditandatangani, pihak yang berinisiatif melakukan M&A


perlu melakukan due diligence yang tidak terbatas pada aspek legal dan finansial saja
tetapi meluas sampai pada aspek sumber daya manusia dan budaya.
2. Selain audit budaya, karyawan juga harus dibekali dengan persiapan psikologis
tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi sesudah M&A sah secara
hukum.
3. Mengintensifkan peran Manajer Sumber Daya Manusia (SDM).

Mengintegrasikan Manusia dan Budaya

Selain komitmen pimpinan puncak komunikasi dua arah, ada variable lain yang turut
menentukan berhasil atau tidaknya proses integrase. Variable tersebut adalah : (1) strategi, (2)
tingkat kecocokan budaya dan (3) karakter politik dan tingkat konflik yang berkembang
selama integrase berlangsung.

Anda mungkin juga menyukai